PERTANYAAN
:
Assalaamu 'alaikum. Wanita
yang sedang haidh bolehkah berwudhu syar'iy sebelum tidur ? [Yan
Hidayat].
JAWABAN
:
Wa’alaikumussalaam
warahmatullaah wabarakaatuh. Wanita yang sedang haid tidak disunnahkan berwudhu
sebelum tidur, kecuali jika darah haidnya sudah berhenti. Imam Nawawi dalam
syarah Muslim:
وَأَمَّا
أَصْحَابنَا فَإِنَّهُمْ مُتَّفِقُوْنَ عَلَى أَنَّهُ لَا يُسْتَحَبُّ الْوُضُوءُ
لِلْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ ؛ لِأَنَّ الْوُضُوْء لَا يُؤَثِّرُ فِي حَدَثِهِمَا ،
فَإِنْ كَانَتْ الْحَائِضُ قَدْ اِنْقَطَعَتْ حَيْضَتُهَا صَارَتْ كَالْجُنُبِ .
وَاللهُ أَعْلَمُ .
"Adapun ashab kami, mereka
sepakat bahwasanya tidak disunnahkan berwudhu bagi wanita haid dan wanita nifas.
Karena berwudhu tidak berpengaruh pada hadats mereka berdua. Jika wanita haid
sudah berhenti darah haidnya, maka dia seperti orang junub. Wallaahu A’lam."
(Sumber Kitab: Syarhunnawawi ‘Alaa Shahihi Muslim juz III halaman 218, cetakan
ke III tahun 1398 H – 1978 M / juz I halaman 499 / juz III halaman 218, maktabah
syamilah).
وَيُنْدَبُ
) لَهُ أَيْضًا ( اَلْوُضُوْءُ لِلطَّعَامِ وَالشَّرْبِ وَالْجِمَاعِ وَالْمَنَامِ
: قَوْلُهُ اَلْوُضُوءُ لِلطَّعَامِ إلَخْ ) قَالَ النَّوَوِيُّ فِي الْمَجْمُوعِ ؛
لِأَنَّهُ يُؤَثِّرُ فِي حَدَثِ الْجُنُبِ بِخِلَافِ الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ ؛
لِأَنَّ حَدَثَهُمَا مُسْتَمِرٌّ وَلَا تَصِحُّ الطَّهَارَةُ مَعَ اسْتِمْرَارِهِ
وَهَذَا مَا دَامَتْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاءَ فَإِذَا انْقَطَعَ الدَّمُ صَارَا
كَالْجُنُبِ يُسْتَحَبُّ لَهُمَا الْوُضُوءُ فِي هَذِهِ الْمَوَاضِعِ
"Dan bagi orang junub
disunnahkan wudhu untuk makan, minum, bersenggama dan tidur. Ucapan Mushannif
(Imam Ibnul Wardi): (disunnahkan) Wudhu untuk makan. Imam Nawawi berkata dalam
kitab al Majmu’ : Karena
berwudhu bisa berpengaruh pada hadatsnya orang junub. Berbeda dengan hadatsnya
wanita haid & nifas, karena hadats keduanya tetap. Tidak sah bersuci dengan
tetapnya hadats tersebut. Ini selagi wanita tersebut dalam keadaan haid atau
nifas. Jika darahnya sudah berhenti maka keduanya menjadi seperti orang junub,
keduanya disunnahkan wudhu disaat-saat tersebut diatas." (Sumber Kitab: Syarh al
Bahjah lisysyaikh Zakariya al Anshari (pengarang al Bahjah = Imam Ibnul Wardi.
Pengarang syarh al Bahjah = Syaikhul Islam Zakariya al Anshari) juz II halaman
155, maktabah syamilah).
وَيُنْدَبُ
لِلْجُنُبِ رَجُلًا كَانَ أَوْ امْرَأَةً وَلِلْحَائِضِ بَعْدَ انْقِطَاعِ
حَيْضِهَا الْوُضُوْءُ لِنَوْمٍ أَوْ أَكْلٍ أَوْ شَرْبٍ أَوْ جِمَاعٍ أَوْ نَحْوِ
ذَلِكَ تَقْلِيْلًا لِلْحَدَثِ
"Disunnahkan bagi orang
junub, laki-laki atau perempuan, dan bagi wanita haid setelah berhenti haidnya
berwudhu karena mau tidur, makan, minum, jima’ dan sebagainya untuk mengecilkan
(mengurangi) hadats." (Sumber Kitab: Hasyiyah Jamal ‘alaa Syarhil Manhaj juz I
halaman 166, cetakan Daar Ihya at Turats al ‘Arabi, Beirut / juz I halaman 486 /
juz II halaman 96, maktabah syamilah).
Dalam Kitab Nihayatul
Muhtaj :
وَمِمَّا
يَحْرُمُ عَلَيْهَا الطَّهَارَةُ عَنْ الْحَدَثِ بِقَصْدِ التَّعَبُّدِ مَعَ
عِلْمِهَا بِالْحُرْمَةِ لِتَلَاعُبِهَا ، فَإِنْ كَانَ الْمَقْصُوْدُ مِنْهَا
النَّظَافَةَ كَأَغْسَالِ الْحَجِّ لَمْ يُمْتَنَعْ
"Diantara perkara yang
haram atas wanita haid adalah bersuci dari hadats dengan tujuan beribadah serta
mengertinya dia akan keharamannya, hal itu karena dia TALAA'UB (mempermainkan
ibadah). Jika yang dikehendaki dari bersuci itu untuk kebersihan seperti mandi
haji, maka bersuci tersebut tidak dicegah." (Sumber Kitab: Nihayatul Muhtaj Lil
Imam Ar Ramli juz I halaman 330, maktabah syamilah).
Dalam Fiqh
Malikiyyah:
قَوْلُهُ
: [ وُضُوءٌ لِنَوْمٍ ] : فِي ( عب ) : مِثْلُهُ الْحَائِضُ بَعْدَ انْقِطَاعِ
الدَّمِ لَا قَبْلَهُ وَهَذَا عَلَى أَنَّ الْعِلَّةَ رَجَاءُ نَشَاطِهِ
لِلْغُسْلِ
"Ucapan Mushannif
(mushannif kitab Syarh Shaghier/ Syeikh Ahmad ibn Muhammad Ad Dardiir): Dan
WUDHU untuk tidur , didalam ‘AIN BAA`: seperti halnya orang jubub adalah wanita
haid sesudah berhentinyya darah, tidak sebelumnya. Hal ini karena illatnya
adalah harapan agar semangat untuk mandi." (Sumber Kitab: Hasyiyah Ash Shawi
‘alaa Syarhishshaghier juz I halaman 300, maktabah syamilah).
Dalam Kitab al
Majmu’:
فَرْعٌ
) هَذَا الَّذِيْ ذَكَرْنَاهُ مِنْ أَنَّهُ لَا تَصِحُّ طَهَارَةُ حَائِضٍ ، هُوَ
فِيْ طَهَارَةٍ لِرَفْعِ حَدَثٍ سَوَاءٌ كَانَتْ وُضُوْءًا أَوْ غُسْلًا ، وَأَمَّا
الطَّهَارَةُ الْمَسْنُوْنَةُ لِلنَّظَافَةِ كَالْغُسْلِ لِلْإِحْرَامِ
وَالْوُقُوْفِ وَرَمْيِ الْجَمْرَةِ فَمَسْنُوْنَةٌ لِلْحَائِضِ بِلَا
خِلَافٍ
"Cabang : Apa yang telah
kami tuturkan yaitu bersucinya orang haid tidak sah, itu adalah bersuci dalam
menghilangkan hadats, baik wudhu maupun mandi. Adapun bersuci yang sunnah karena
untuk kebersihan seperti mandi untuk Ihram, wuquf dan melempar jumrah maka
hukumnya sunnah untuk wanita haid tanpa ada khilaf." (Sumber Kitab: Al Majmu’,
Syarh al Muhadzdzab juz II halaman 383, cetakan Maktabah Ial Irsyaad Jeddah /juz
II halaman 349, maktabah syamilah).
Dalam Kitab Fiqhul
‘ibadat:
تَحْرُمُ
عَلَى الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ اَلطَّهَارَةُ بِنِيَّةِ رَفْعِ الْحَدَثِ أَوْ
نِيَّةِ الْعِبَادَةِ كَغُسْلِ الْجُمُعَةِ أَمَّا الطَّهَارَةُ الْمَسْنُوْنَةُ
لِلنَّظَافَةِ كَالْغُسْلِ لِلْإٍحْرَامِ وَغُسْلِ الْعِيْدِ وَنَحْوِهِ مِنَ
الْأَغْسَالِ الْمَشْرُوْعة ِاَلَّتِيْ لَا تَفْتَقِرُ إٍلَى طَهَارَةٍ فَلَا
تَحْرُمُ
"Haram atas wanita hadi dan
wanita nifas bersuci dengan niat menghilangkan hadats atau niat beribadah,
seperti mandi Jumat.. Adapun bersuci yang disunnahkan untuk kebersihan seperti
mandi untuk ihram, mandi shalat ied dan sebagainya dari mandi-mandi yang masyru’
yang tidak membutuhkan bersuci maka tidak haram." (Sumber Kitab: Fiqhul
‘Ibaadaat ‘alaa Madzhabisysyaafi’iyyi juz I halaman 200, maktabah syamilah).
Dalam Fiqh al-Islaam wa
adillatuh:
يَغْتَسِلُ
تَنَظُّفًا، أَوْ يَتَوَضَّأُ، وَالْغُسْلُ أَفْضَلُ؛ لِأَنَّهُ أَتَّمُّ
نَظَافَةً، وَلِأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ اِغْتَسَلَ لِإِحْرَامِهِ
، وَهُوَ لِلنَّظَافَةِ لَا لِلطَّهَارَةِ، وَلِذَا تَفْعَلُهُ الْمَرْأَةُ
الْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ
"(Orang yang akan melakukan
Ihram agar) mandi untuk kebersihan, atau berwudhu. Mandi lebih utama, karena
lebih sempurna kebersihannya, dan karena Nabi ‘alaihishshalaatu wassalaam mandi
untuk ihram beliau. Mandi tersebut untuk kebersihan bukan untuk bersuci, oleh
karenanya dilakukan oleh wanita haid dan wanita nifas." (Sumber Kitab: Al Fiqhul
Islaam Wa Adillatuhuu karya Dr. Wahbah Zuhayli juz III halaman 503, maktabah
syamilah).
Kesimpulannya, HUKUM WUDHU
WANITA HAID
:
·Bila wudhunya untuk
menghilangkan hadats atau untuk ibadah maka haram karena akan menimbulkan
TANAAQUD (fungsi wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang hadats) dan
menimbulkan TALAA'UB (mempermainkan ibadah sebab dia tahu wudhunya tidak bisa
menghilangkan hadats berupa haidnya).
·Bila wudhunya untuk
menghilangkan hadats atau untuk ibadah setelah berhentinya darah maka sunnah
karena fungsinya TAQLIIL ALHADATS (meringankan dan mengecilkan hadats) dan
NASYAATH LI ALGHUSLI (untuk merangsang segera mandi).
·Bila wudhunya tidak untuk
menghilangkan hadats / ibadah melainkan wudhu yang tujuannya untuk 'AADAH /
kebiasaan seperti Tabarrud (menyejukkan dirinya) dan nazhoofah (kebersihan) maka
sunnah karena fungsi rof'i alhadats (menghilangkan hadats) atau taqliil alhadats
(meringankan/mengecilkan hadats tidak terjad dalam wudhu semacam ini dan tidak
menimbulkan tanaaqud (fungsi wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang
hadats). Wallaahu A'lam bishshawaab. [ Abdullah
Afif, Jupiter Z, Masaji Antoro ]