Dalam tulisan sebelumnya pada
http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/06/ tawassul-ta barruk-zia rah/ kami telah menguraika n tentang bertawassu l (adab berdoa) dengan bertabarru k dan ziarah kubur.
Bertawassu l adalah merupakan
bagian dari adab berdoa kepada Allah Azza wa Jalla
Bertawassu l adalah
jalan kita mendekatka n diri kepada
Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-oran g yang beriman, bertakwala h kepada Allah dan carilah jalan
(washilah) yang
mendekatka n diri
kepada-Nya , dan
berjihadla h pada
jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntun gan” (QS Al Maa’idah
[5]: 35 )”
Bertawassu l adalah
jalan (washilah)
mendekatka n diri
kepada-Nya sehingga doa yang
kita panjatkan kepada Allah ta’ala lebih besar kemungkina n terkabulny a
Bertawasul yang paling
mudah adalah dengan sholawat kepada Nabi Muhammad Shallallah u alaihi wasallam
Anas bin Malik r.a meriwayatk an bahwa Nabi Muhammad shallallah u alaihi wasallam bersabda: “Tiada doa kecuali
terdapat hijab di antaranya dengan di antara langit, hingga
bershalawa t atas Nabi
shallallah u alaihi wasallam,
maka apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab dan diterimala h doa tersebut, namun jika tidak demikian,
kembalilah doa itu kepada
pemohonnya“
Rasulullah bersabda
“Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya dia
memulainya dengan memuji dan
menyanjung Allah, kemudian dia
bershalawa t kepada Nabi
-shallalla hu alaihi
wasallam-, kemudian setelah itu baru
dia berdoa sesukanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan
dishahihka n oleh At Tirmidzi)
Bertawassu l dikenal
dalam bentuk antara lain keutamaan (barokah/ berkat) tempat, waktu maupun derajat (maqom) kedekatan
seseorang dengan Allah ta’ala
Keutamaan (barokah/ berkat)
tempat contohnya Raudoh, Multazam, Maqam (tempat) Ibrahim as, Hijr Ismail a.s
dll
Keutamaan (barokah/ berkat)
waktu contohnya 1/3 malam terakhir, wukuf di Arafah, ketika waktu sujud dll
Keutamaan (barokah/ berkat) derajat (maqom) kedekatan seseorang dengan
Allah ta’ala pada hakikatnya
adalah penghormat an, pengakuan
keutamaan derajat mereka (yang ditawasulk an) di sisi Allah Azza wa Jalla dan rasa syukur
kita akan peran mereka menyiarkan agama Islam sehingga kita dapat
mendapatka n ni’mat Iman dan ni’mat
Islam.
Sebaiknyal ah kita ingat
bahwa mereka berziarah dan bertabarru k bukan meminta pertolonga n kepada arwah, namun mereka meminta
pertolonga n kepada Allah ta'ala
dengan perantaraa n
(washilah) barokah (berkat)
keutamaan mereka disisiNya.
Silahkan baca uraian kami selengkapn ya
pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/06/ melalui-ham banya/ dan http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/06/ 2011/10/11/ tawassul-da n-tabarruk /
Salah satu contoh ulama yang tidak lagi mengikuti pemimpin ijtihad kaum
muslim (Imam Mujtahid) alias Imam Mazhab adalah ulama Ibnu Taimiyah.
Dalam kitab Minhaju As-sunnah Ibnu Taimiyah mengeluark an fatwa yang bunyinya demikian: “Semua hadist yang
berasal dari Nabi Shallallah u alaihi wasallam tentang ziarah kubur
Nabi Shallallah u alaihi
wasallam adalah dhoif [lemah] dan ja’li
[bikinan]” . Lihat Minhaju
As-sunnah, Juz 2, Halaman 441.
Sementara Asqalani yang menukil dari Ibnu Taimiyah
menceritak an bahwa tidak ada
alasan sama sekali untuk berziarah ke makam para wali dan ulama meskipun ziarah
ke makam Nabi Shallallah u alaihi
wasallam sekalipun. Dan Ibnu
Taimiyah secara mutlaq telah mengharamk an perbuatan itu. Apakah itu dilakukan untuk
tujuan ziarah ataupun ziarah itu dilaksanak an bersamaan dengan ibadah haji. Lihat kitab Irsyadu
As-sari, Juz 2, Halaman 329.
Lebih jelas lagi, coba kita lihat kitab karangan Ibnu Taimiyah yang
berjudul Attawassul wal Wasilah,
Halaman 72. Ia berfatwa bahwa: “Semua Hadist-had ist yang berkenaan dengan ziarah kubur nabi
Shallallah u alaihi
wasallam adalah dhoif dan tidak bisa dijadikan pegangan. Oleh
karena itu para perawi hadist-had ist dan sunan sahih sama sekali tidak ada yang
menukil hadist tentang halalnya ziarah kubur nabi Shallallah u alaihi wasallam. Kalaupun ada yang menukil
maka yang dia nukil adalah hadist dhoif”. Lihat kitab
Attawassul wal Wasilah,
Halaman 72.
Sementara di lain tempat dalam kitab yang sama, Ibnu Taimiyah juga berkata:
“Semua hadist yang berkenaan dengan ziarah kubur nabi
Shallalla hu alaihi
wasallam adalah lemah bahkan bohong semata”. Lihat kitab
Attawassul wal Wasilah, Halaman 156.
Kemudian salah satu pengikut Ibnu Taimiyah yakni Abdul Aziz Bin Baz
berusaha “memperbai ki” fatwa
Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan
bahwa ziarah kubur nabi shallallah u
alaihi wasallam dan para ulama itu mustahab hukumnya akan tetapi jangan
diniatkan untuk berziarah sebab kalau bepergian itu diniatkan untuk ziarah maka
hukumnya adalah bid’ah.
Disini Bin Baz itu berkilah dengan menukil sabda Nabi
shallallah u alaihi wasallam:
“Ziarahlah kalian ke
tempat-tem pat kubur sehingga engkau
teringat akan hari akhir”. “Akan tetapi (lanjutan ini adalah
perkataan bin Baz), bila diniatkan untuk
semata-mat a ziarah kubur maka hukumnya
tidak boleh”. Lihat kitab Majmu’u Fatawa bin Baz, Juz 2, Halaman 754 dan
755.
Begitu pula dari kumpulan fatwa-fatw a mereka yang dikenal dengan nama Allajnah
Addaimah Lilbuhust Alalamiyah
wal Ifta, Nomor Fatwa 423, juga mengeluark an fatwa yang sama.
Bin Baz telah menyadari memang ada hadits yang
menganjurk an ziarah kubur
sehingga beliau terpaksa “mengkorek si” ulama teladannya walaupun pada akhirnya fatwa beliau bersifat
ambigu.
Pada mulanya dulu Nabi shallallah u ‘alaihi wasalam melarang ziarah kubur, kemudian
beliau membolehka nnya dengan sabdanya
yang artinya: “Dahulu saya telah melarang kalian ziarah kubur, maka
(kini) ziarahlah kalian padanya karena sesungguhn ya itu mengingatk an kematian.” (HR Muslim 977,
At-Tirmidz i 1054,
At-Thayali si 807, Ibnu Hibban 3168,
Al-Hakim 12/375, Abu Daud 3235, dan Ahmad 5/359).
Dan dalam riwayat yang lain yangartiny a: ”…maka (kini) ziarahlah kalian padanya
karena sesungguhn ya (ziarah
kubur) itu menzuhudka n
(menjauhka n diri dari
kecintaan) terhadap dunia dan
mengingatk an akhirat.” (HR Ibnu
Majah dalam sunannya, nomor 1571).
Hadits-had its tentang
ziarah kubur itu diriwayatk an
dalam kitab Shahihain —Al-Bukhar i dan Muslim—, Sunan At-Tirmidz i dan lainnya. Keseluruha n hadits-had its tersebut ada di kitab Misykatul Mashabih 1/154.
Ibnu Hajar al Haytami (W 974 H) dalam karyanya Hasyiyah al Idlah fi
Manasik al Hajj Wa al ‘Umrah li an-Nawawi, hlm. 214 menyatakan tentang pendapat Ibnu Taimiyah yang
mengingkar i
kesunnahan safar
(perjalana n) untuk ziarah ke
makam Rasulullah
shallallah u ‘alaihi wasallam:
“Janganlah tertipu dengan pengingkar an Ibnu Taimiyah terhadap
kesunnahan ziarah ke makam
Rasulullah , karena
sesungguhn ya ia adalah seorang
hamba yang disesatkan oleh Allah
seperti dikatakan oleh al ‘Izz ibn Jama’ah. At-Taqiyy as-Subki dengan panjang
lebar juga telah membantahn ya
dalam sebuah tulisan tersendiri .
Perkataan Ibnu Taimiyah yang berisi celaan dan penghinaan terhadap Rasulullah Muhammad ini tidaklah aneh karena dia bahkan
telah mencaci Allah, Maha Suci Allah dari perkataan orang-oran g kafir dan atheis. Ibnu Taimiyah
menisbatka n hal-hal yang tidak
layak bagi Allah, ia menyatakan
Allah memiliki arah, tangan, kaki, mata (yang merupakan anggota badan) dan
hal-hal buruk yang lain. Karenanya, Demi Allah ia telah dikafirkan oleh banyak para ulama, semoga Allah
memperlaku kannya dengan
kedilan-Ny a dan tidak menolong
pengikutny a yang mendukung
dusta-dust a yang dilakukan Ibnu
Taimiyah terhadap Syari’at Allah yang mulia ini”.
Pengingkar an sunnah
Rasulullah akan ziarah kubur
adalah dikarenaka n ulama mereka
lebih bersandar kepada belajar sendiri (otodidak) dengan muthola’ah (menelaah kitab). Penelaahan kitab diperparah dengan pemahaman bersandark an pada akal pikiran mereka sendiri,
memperguna kan
metodologi
“terjemahk an saja” hanya
memandang dari sudut bahasa (lughat) dan istilah (terminolo gis) namun kurang memperhati kan nahwu, shorof, balaghoh, makna majaz, dll. Mereka
memahami secara dzahir, harfiah, apa yang tertulis atau apa yang tampak
saja.
Para ulama menyampaik an
ilmu agama tidak diambil dari “Muthola’a h” (menelaah kitab) semata dengan
mengesampi ngkan “Talaqqi”
(mengaji) kepada Ahl Al Ma’rifah Wa Al Tsiqoh (ahli pengetahua n khushush dan dapat dipercaya) dikarenaka n terkadang dalam beberapa kitab terjadi
“penyusupa n” dan
“pendustaa n” atas nama agama
atau terjadi pemahaman yang berbeda dengan pengertian para “salaf” maupun “kholaf”
sebagaiman a mereka (para ulama)
saling memberi dan menerima ilmu agama dari satu generasi ke generasi lainnya
maka pemahaman yang berbeda dengan ulama salaf maupun kholaf itu dapat berakibat
kepada pelaksanaa n “Ibadah
fasidah” (ibadah yang rusak) atau dapat menjerumus kan kedalam “Tasybihil lah Bikholqihi ” (penyerupa an Allah dengan makhluq Nya) atau implikasi negative
lainnya.
Kita sudah paham bahwa Ibnu Taimiyah pernah terjerumus ke dalam “Tasybihil lah Bikholqihi ” (penyerupa an Allah dengan makhluq Nya) karena menelaah kitab
berdasarka n akal pikiran dia
sendiri. Namun sebelum dia wafat , dia sempat bertobat akan
kesalahpah amannya. http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2010/04/ taimiyahtob at.pdf
Penjelasan
keterjerum usan beliau ke dalam
“Tasybihil lah
Bikholqihi ”
dijelaskan dalam http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2010/02/ ahlussunnah bantahtaim iyah.pdf
Selain berakibat “Tasybihil lah Bikholqihi ” (penyerupa an Allah dengan makhluq Nya) adalah
pelaksanaa n “Ibadah fasidah”
(ibadah yang rusak) atau ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin.
Akibat pemahaman ulama-ulam a yang bersandar kepada belajar sendiri
(otodidak) dengan
muthola’ah (menelaah kitab) dan
metodologi
terjemahka n saja
mengakibat kan umat muslim
kehilangan ruh ibadah atau aspek
bathin dari ziarah kubur.
Mereka yang melakukan ziarah kubur tidak lagi meyakini bahwa ahli kubur
dapat melihat siapa yang menziarahi mereka. Sehingga berakibat mereka tidak lagi
beradab ketika melakukan ziarah kubur. Contohnya apa yang
berlangsun g pada ziarah kubur
Rasulullah , umumnya adab mereka
tidak menampakka n bahwa mereka
sedang dilihat oleh Rasulullah
shallallah u alihi wasallam.
Mereka berdesak-d esakkan, tidak
mengalah atau mereka tidak menampakka n bahwa mereka bersaudara sesama muslim. Mereka melakukan semua itu adalah
atas ketidak-pa haman bahwa
Rasulullah melihat mereka yang
menziarahi kuburnya.
Mereka yang disisiNya walaupun telah wafat mereka hidup
sebagaiman a para Syuhada
Firman Allah t’ala yang artinya,
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-oran g yang gugur di jalan Allah
(syuhada), (bahwa mereka itu )
mati; bahkan (sebenarny a) mereka
itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarin ya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )
”Janganlah kamu mengira bahwa orang-oran g yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan
mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]:
169)
Rasulullah bersabda,
“sebagaiman a engkau
tidur begitupula h engkau mati,
dan sebagaiman a engkau bangun
(dari tidur) begitupula h engkau
dibangkitk an (dari alam kubur)”.
Dalam riwayat lain, Rasulullah ditanya, “apakah penduduk surga itu tidur?,
Nabi menjawab tidak, karena tidur temannya mati dan tidak ada kematian
dalam surga”.
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam
telah membukakan kepada kita
salah satu sisi tabir kematian. Bahwasanya tidur dan mati
memiliki kesamaan, ia adalah saudara yang sulit dibedakan kecuali dalam hal
yang khusus, bahwa tidur adalah mati kecil dan mati adalah tidur besar. Ruh
orang tidur dan ruh orang mati semuanya ada dalam genggaman Allah Subhanahu wa
Ta’ala,
Dialah Yang Maha berkehenda k siapa yang ditahan jiwanya dan siapa yang akan
dilepaskan nya.
Ibnu Zaid berkata, “Mati adalah wafat dan tidur juga adalah
wafat”.
Al-Qurtubi dalam
at-Tadzkir ah mengenai hadis
kematian dari syeikhnya mengatakan :
“Kematian bukanlah ketiadaan yang murni, namun kematian merupakan
perpindaha n dari satu keadaan kepada
keadaan lain.”
Salah satu cara Allah Azza wa Jalla mempertemu kan antara yang masih hidup dengan mereka disisiNya
adalah ketika tidur (melalui mimpi)
Abdullah Ibnu Abbas r.a. pernah berkata, “ruh orang tidur dan ruh
orang mati bisa bertemu diwaktu tidur dan saling berkenalan sesuai kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala
kepadanya, karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang menggengga m ruh manusia pada dua keadaan, pada keadaan tidur dan
pada keadaan matinya.”
Rasulullah bersabda,
حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت
خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.
“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian.
Kalian bercakap-c akap dan
mendengark an
percakapan . Amal perbuatan
kalian disampaika n kepadaku.
Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan
keburukan aku memohonkan ampunan
kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatk an oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al
Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami
menyebutka nnya dalam Majma’u al
Zawaaid dan mengkatego rikannya
sebagai hadits shahih dengan komentarny a : hadits diriwayatk an oleh Al Bazzaar dan para perawinya sesuai dengan
kriteria hadits shahih)
Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di
mana Rasulullah dikubur di dalamnya
dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku.
Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan
busana tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar”. (HR Ahmad).
Al Hafidh Al Haitsami menyatakan , “Para perawi atsar di atas Btu sesuai dengan
kriteria perawi hadits shahih ( Majma’ul Zawaaid vol 8 hlm. 26 ). Al Hakim
meriwayatk anya dalam Al
Mustadrok dan mengatakan atsar
ini shahih sesuai kriteria yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Adz Dzahabi sama sekali tidak
mengkritik nya. ( Majma’ul Zawaid vol.
4 hal. 7 ).
‘Aisyah tidak melepaskan baju dengan tanpa tujuan, justru ia
mengetahui bahwa Nabi dan kedua
sahabatnya
mengetahui siapakah yang orang yang
berada didekat kuburan mereka.
Nabi shallallah u alaihi
wasallam bersabda:
(ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عليه إلا استأنس ورد عليه حتي يقوم)
“Tidak seorangpun
yang mengunjung i kuburan
saudaranya dan duduk kepadanya
(untuk mendoakann ya) kecuali dia
merasa bahagia dan menemaniny a
hingga dia berdiri meninggalk an
kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).
Nabi shall allahu alaihi
wasallam bersabda:
(ما من أحد يمربقبر أخيه المؤمن كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا عَرَفَهُ
ورد عليه السلام)
“Tidak seorang pun melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama hidup di dunia,
lalu orang yang lewat itu mengucapka n salam untuknya, kecuali dia
mengetahui nya dan menjawab
salamnya itu.” (Hadis Shahih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam
kitab Al-Istidzk ar dan
At-Tamhid) .
Nabi shallallah u alaihi
wasallam bersabda:
إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات فإن كان خيرا استبشروا، وإن
كان غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا)
“Sesungguh nya perbuatan
kalian diperlihat kan kepada
karib-kera bat dan keluarga
kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka
mendapatka n kabar gembira, namun
jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau
matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau
memberikan hidayah kepada kami.”
(HR. Ahmad dalam musnadnya) .
Begitupula , dapat kita
saksikan segelintir umat Islam
ketika di Baitullah, Makkah al
Mukaromah masih saja mereka memperliha tkan adab bahwa mereka tidak merasa sedang
diawasi/ dilihat oleh Allah Azza
wa Jalla. Mereka berdesak-d esakkan, tidak mengalah dan tidak
menampakka n bahwa mereka
bersaudara sesama muslim. Hal
ini diakibatka n ulama tidak lagi
menyampaik an tentang tasawuf
atau tentang ihsan atau tentang akhlak. Sejak dahulu kala di
perguruan- perguran tinggi Islam,
pelajaran tentang tasawuf adalah tentang akhlak atau tentang ihsan. Tasawuf
adalah jalan untuk mencapai muslim yang ihsan
Muslim yang Ihsan atau muslim yang sholeh hanya ada dua kondisi. Kondisi
minimum adalah mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla dan
kondisi terbaik adalah mereka yang dapat melihat Allah ta’ala dengan hati.
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَا نُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ
فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah , apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut
(takhsya / khasyyah) kepada
Allah seakan-akan kamu melihat-Ny a, maka jika kamu tidak
melihat-Ny a maka
sesungguhn ya Dia
melihatmu. ’ (HR Muslim 11) Link: http:// www.indoqur an.com/ index.php?s urano=2&ay atno=3&act ion=displa y&option=c om_muslim
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang
sahabatnya bernama Zi’lib
Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana
saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda
melihat-Ny a?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan
manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Mereka yang telah dapat melihat Allah ta’ala dengan hati adalah mereka
yang telah berma’rifa t atau
mereka yang telah memperjala nkan
dirinya (suluk) hingga sampai (wushul) kepada Allah ta’ala. Mereka adalah yang
menjalanka n tasawuf yakni mereka
yang setelah menjalanka n syariat
kemudian meneruskan kepada
tharikat, hakikat hingga berma’rifa t.
Nasihat Imam Syafi’i ~ rahimahull ah,
فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح
“
Berusahala h engkau
menjadi seorang yang mempelajar i
ilmu fiqih (perkara syariat) dan juga menjalani tasawuf
(thariqat, hakikat dan ma’rifat) ,
dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhn ya demi
Allah saya benar-bena r ingin
memberikan nasehat padamu. Orang
yang hanya mempelajar i ilmu
fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan
kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau
mempelajar i ilmu fiqih, maka bagaimana
bisa dia menjadi baik (muslim yang ihsan) ? [Diwan Al-Imam
Asy-Syafi' i, hal. 47]
Nasehat Imam Malik ~rahimahul lah
و من تصوف و لم يتفقه فقد تزندق
من تفقه و لم يتصوف فقد تفسق
و من جمع بينهما فقد تخقق
“Dia yang sedang Tasawuf tanpa mempelajar i fikih rusak keimananny a , sementara dia yang belajar fikih tanpa
mengamalka n Tasawuf rusaklah dia .
Hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar”
Barangsiap a yang merasa
diawasi Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb atau
muslim yang Ihsan (muslim yang baik , muslim yang sholeh) – , maka ia mencegah
dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , mereka tidak berdesak-d esakan, mereka mau mengalah atau mereka
menunjukka n adab atau sikap
bahwa mereka bersaudara sesama muslim.
Tidak saja ketika di Baitullah namun dimanapun mereka berada di muka bumi
ini.
Keyakinan dilihat oleh Allah Azza wa Jalla maupun keyakinan dilihat
oleh Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam
tidak lagi timbul pada segelintir umat muslim dikarenaka n pengajaran para ulama yang mengakibat ibadah fasidah (ibadah yang rusak) atau ibadah
yang kehilangan ruhnya atau aspek
bathin.
Segelintir kaum muslim,
ibadah sholat mereka sekedar upacara keagamaan (ritual) atau
gerakan-ge rakan yang bersifat
mekanis (amal) yang sesuai syarat dan rukun-ruku nnya (ilmu), sebagaiman a robot sesuai programnya .
Rasulullah
shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhn ya Allah tidak
melihat kepada rupa kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR
Muslim)
Tidaklah mereka mencapai sholat yang dikatakan oleh
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam bahwa
“Ash-shalat ul Mi’rajul
Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya
orang-oran g mukmin“. yaitu
naiknya jiwa meninggalk an ikatan nafsu
yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah
Akibat pemahaman ulama-ulam a yang bersandar kepada belajar sendiri
(otodidak) dengan
muthola’ah (menelaah kitab) dan
metodologi
terjemahka n saja
mengakibat kan mereka melakukan
upaya pembenaran terhadap apa
yang mereka pahami sehingga mereka pada hakikatnya tidak lagi menyampaik an kebenaran melainkan memperturu tkan keinginan atau hawa nafsu mereka sendiri.
Mereka dapat mengingkar i sunnah
Rasulullah karena bagi mereka tidak
masuk akal.
Contohnya ulama mereka mengingkar i sunnah Rasulullah bahwa, “Barangsiap a yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh
dariNya” (diriwayat kan oleh
ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46). Hal ini telah kami sampaikan
dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/09/22/ sebaik-baik -manusia/
Mereka juga mengingkar i
kebenaran yang tidak masuk akal mereka sehingga mereka
mengakatak an sebagai tahayul atau
khurafat.
Dalam upaya mereka melakukan pembenaran terhadap apa yang mereka pahami mereka
mendustaka n perkataan ulama yang
lain
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu
(yang kau pelajari) dari ahli bid’ah; juga dari orang yang tidak engkau ketahui
catatan pendidikan nya (sanad
ilmu); serta dari orang yang mendustaka n perkataan manusia, meskipun dia tidak
mendustaka n hadits
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam“
.
Mereka yang tanpa disadari telah menjadi ahli bid’ah telah diuraikan dalam
tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/03/ ahli-bidah- sebenarnya /
Sedangkan contoh mereka yang mendustaka n perkataan ulama lainnya untuk
membenarka n apa yang mereka pahami
dapat ditemukan pada http:// abahnajibri l.wordpres s.com/ 2011/04/18/ siapa-bilan g-ibnu-tai miyyah-4nt 1-ziarah-k ubur/
Mereka adalah termasuk pengikut Ibnu Taimiyyah dan mereka melakukan
upaya “pembelaan ” terhadap ulama
mereka. Mereka menyampaik an dalam
tulisan mereka bahwa Imam Malik dan para Imam lainnya sangat tidak suka apabila
ada yang berkata : “Saya berziarah kemakam Nabi”
Hal tersebut serupa dengan pendapat Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu’
Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal. 111-112 sangat
mengandalk an ungkapan Imam Malik
ra untuk melarang menziarahi
Rasulullah .
Ibnu Taimiyah berkata yang artinya,
“… bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci
kata-kata, ‘Aku
menziarahi kubur Nabi
Shallallah u alaihi wasallam’
sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan penduduk Madinah
adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik adalah imamnya
penduduk Madinah. Seandainya
terdapat sunnah dalam hal ini dari Rasulullah Shallallah u alaihi wasallam. yang di dalamnya terdapat lafaz
‘menziarah i
kuburnya’, niscaya tidak akan
tersembuny i (tidak
diketahui) hal itu oleh para ulama
ahli Madinah dan penduduk sekitar makam beliau –demi bapak dan ibuku .“
Imam Malik ra dengan perkataann ya “aku membenci kata-kata, “Aku menziarahi kubur Nabi Shallallah u alaihi wasallam’ “ tidak bermaksud
mengingkar i Sunnah
Rasulullah tentang ziarah kubur.
Imam Malik ra termasuk yang dapat meyakini bahwa
Rasulullah walaupun secara dzahir
telah wafat namun beliau hidup sehingga beliau tidak menyukai perkataan
“menziarahi kubur
Rasulullah”. Beliau lebih baik mengatakan nya dengan “menziarahi Rasulullah” atau
"mendatangi
Rasulullah"
Imam Malik adalah orang yang sangat memuliakan Rasulullah shallallah u alaihi wasallam, sampai-sam pai ia enggan naik kendaraan di kota Madinah
karena menyadari bahwa tubuh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam dikubur di tanah Madinah,
sebagaiman a ia nyatakan,
“Aku malu kepada Allah ta’ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya
ada Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam
dengan kaki hewan (kendaraan )”
(lihat Syarh Fath al-Qadir, Muhammad bin Abdul Wahid
As-Saywasi , wafat 681 H., Darul Fikr,
Beirut, juz 3, hal. 180).
Bagaimana mungkin sikap yang sungguh luar biasa itu dalam
memuliakan jasad
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam
seperti menganggap seolah beliau
masih hidup, membuatnya benci
kepada orang yang ingin menziarahi makam Rasulullah shallallah u alaihi wasallam ? Sungguh ini adalah sebuah pemahaman
yang keliru.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalla ni, di dalam kitab Fathul-Bar i juz 3 hal. 66, menjelaska n, bahwa Imam Malik membenci ucapan “aku
menziarahi kubur Nabi
shallallah u alaihi
wasallam.” adalah karena semata-mat a dari sisi adab, bukan karena membenci amalan
ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan oleh para muhaqqiq (ulama khusus)
mazhabnya. Dan ziarah kubur
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam
adalah termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari’a tannya jelas, dan hal itu merupzkan ijma’ para
ulama.
Oleh karenanyal ah
sebaiknya jangan mengikuti pemahaman ulama yang banyak
kesalahann ya yang
dibuktikan dengan banyak ulama
lain yang menyanggah atau
membantah pendapat ulama tersebut. Jangan beralasan dengan “ambil yang baik dan
buang yang buruk” karena pada hakikatnya mereka tidak dalam pemelihara an Allah subhanahu wa ta’ala terhadap
orang-oran g sholeh.
Bagaimana yang dimaksud
pemilharaa n Allah subhanahu wa
ta’ala terhadap orang-oran g sholeh
telah kami uraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/05/ meluncurnya -anak-pana h/
Sekali lagi kami mengingatk an marilah kita ikuti pemahaman pemimpin ijtihad
kaum muslim (Imam Mujtahid / Imam
Mazhab) dan penjelasan para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka
mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830