PERTANYAAN :
Assalamu'alaikum. Mohon uraikan Tafsir atas makna "Pujian" dalam rangkaian kata Alhamdu Lillah ?? [Hady Wantoro].
JAWABAN :
Waalaikumsalam wr wb.
Tafsir Hamdalah "sikap saat memuji dan dipuji"
Alhamdu-lillahi Rabb al-‘alamin “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al-Fatehah : 2)
HAMDU : Menurut bahasa arab berarti “Pujian yang sempurna”
...Pujian kebalikannya celaan, lebih umum artinya ketimbang "syukur" karena syukur atau terima kasih adalah sebuah ungkapan sebagai balasan atas kenikmatan yang telah diterima seperti ungkapan "aku berterima kasih atas kebaikannya" sedangkan pujian bisa terjadi atas dasar sekedar kekaguman semata "aku memuji ketampanannya, ikmunya, pribadinya dll."
Diberi tambahan “Al” berfaedah sebagai “Istighroq lil-jins” artinya mencakup segala jenis pujian yang bila dijabarkan bentuknya ada empat macam :
1. Qodim ‘ala Qodim (Pencipta terhadap Dirinya Sendiri) maksudnya adalah Allah Swt memuji kepada Dirinya Sendiri , hal ini Adalah patut , karena yang pantas sombong hanya Allah Swt semata , makhluk ciptaanya tidaklah pantas menyombongkan diri. Hal ini banyak terdapa dalam Al-Qur’an , terutama saat menerangkan tentang Asmaul Husna .
2. Qodim ‘ala Huduts (Pencipta memuji terhadap makhlukNya) maksudnya adalah Allah memberikan penghargaan atau meningkatkan derajat kepada mahlukNya . Contohnya saat Isro’ Mi’roj Rosululloh Saw . “Innalloha wa malaaikatahu yusolluna alannabiyyi…” ,Artinya “Sesunggahnya Allah SWT dan para malaikatnya menyampaikan salam kepada Nabi (Muhammad SAW)….”
3. Huduts ‘ala Qodim (Mahluk terhadap Pencipta) maksudnya kita sebagai mahluk wajib memuji kepada Allah SWT , Hal ini pasti kita lakukan saat melakukan sholat atau berdoa.Hal ini telah di contohkan oleh Rosululoh saat beliau melihat segala hal yang beliau senangi, beliau selalu mengucapkan hamdalah.
4.Huduts ‘ala Huduts (Makhluk terhadap makhluk) maksudnya kita sebagai mahkluk diperbolehkan untuk memuji atau memberikan penghargaan kepada orang lain sesama makhluk.
Karena di antara fenomena umum yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, adalah fenomena pujian.
Secara garis besar, pujian bisa diklasifikasikan dalam 3 bentuk :
1.Pujian yang diucapkan untuk menjilat,
2.Pujian yang sifatnya hanya basa-basi belaka,
3.Pujian yang diucapkan sebagai ekspresi kekaguman.
Bila disikapi secara sehat dan proporsional, pujian bisa menjadi modal positif yang dapat memotivasi kita agar terus meningkatkan diri. Namun, kenyataannya, pujian justru lebih sering membuat kita lupa daratan, lepas kontrol, dan seterusnya. Semakin sering orang lain memuji kita, maka semakin besar potensi kita untuk terlena, besar kepala, serta hilang kendali diri. Padahal Allah Swt. mengingatkan dalam firmanNya: "Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Najm; 32)
.
Agar dapat menyikapi pujian secara sehat, Nabi Saw. memberikan 3 kiat yang sangat menarik untuk diteladani:
1. Selalu mawas diri supaya tidak sampai terbuai oleh pujian yang dikatakan orang. Oleh karena itu, setiap kali ada yang memuji beliau, Nabi Saw. menanggapinya dengan doa: “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR. Al-Bukhari) Lewat doa ini, Nabi Saw. mengajarkan bahwa pujian adalah perkataan orang lain yang potensial menjerumuskan kita. Ibaratnya, orang lain yang mengupas nangka, tapi kita yang kena getahnya. Orang lain yang melontarkan ucapan, tapi malah kita yang terjerumus menjadi besar kepala dan lepas kontrol.
2. Menyadari hakikat pujian sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain. Karena, sebenarnya, setiap manusia pasti memiliki sisi gelap. Dan ketika ada seseorang yang memuji kita, maka itu lebih karena faktor ketidaktahuan dia akan belang serta sisi gelap kita miliki. Hal ini bukan berarti kita boleh memelihara sisi gelap tersebut , tapi jadikan sisi terang kita sebagai modal untuk menerangkan hati. Oleh sebab itu, kiat Nabi Saw. dalam menanggapi pujian adalah dengan berdoa: “Dan ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku)”. (HR. Al-Bukhari)
3. Kalaupun sisi baik yang dikatakan orang lain tentang kita adalah benar adanya, Nabi Saw mengajarkan kita agar memohon kepada Allah Swt. untuk dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang lain. Maka kalau mendengar pujian seperti ini, Nabi Saw. kemudian berdoa: “Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira”. (HR. Al-Bukhari). Selain memberikan teladan kiat menyikapi pujian, Nabi Saw. dalam keseharian beliau juga memberikan contoh bagaimana mengemas pujian yang baik. Intinya, jangan sampai pujian yang terkadang secara spontan keluar dari bibir kita, malah menjerumuskan dan merusak kepribadian sahabat yang kita puji.
Ada beberapa teladan yang dapat disarikan dari kehidupan Nabi Saw. saat memuji yaitu di antaranya:
1. Nabi Saw. tidak memuji di hadapan orang yang bersangkutan secara langsung, tapi di depan orang-orang lain dengan tujuan memotivasi mereka. Suatu hari, seorang Badui yang baru masuk Islam bertanya tentang Islam. Nabi menjawab bahwa Islam adalah shalat lima waktu, puasa, dan zakat. Maka Orang Badui itupun berjanji untuk menjalankan ketiganya dengan konsisten, tanpa menambahi atau menguranginya. Setelah Si Badui pergi, Nabi Saw. memujinya di hadapan para Sahabat, “Sungguh beruntung kalau ia benar-benar melakukan janjinya tadi.” Setelah itu beliau menambahi “Barangsiapa yang ingin melihat penghuni surga, maka lihatlah Orang (Badui) tadi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Thalhah ra.)
2. Nabi Saw. lebih sering melontarkan pujian dalam bentuk doa. Ketika melihat minat dan ketekunan Ibn Abbas ra. dalam mendalami tafsir Al-Qur’an, Nabi Saw. tidak serta merta memujinya. Beliau lebih memilih untuk mendoakan Ibn Abbas ra.: “Ya Allah, jadikanlah dia ahli dalam ilmu agama dan ajarilah dia ilmu tafsir (Al-Qur’an).” (HR. Al-Hakim, dari Sa’id bin Jubair)
Begitu pula, di saat Nabi Saw. melihat ketekunan Abu Hurairah ra. Dalam mengumpulkan hadits dan menghafalnya, beliau lantas berdoa agar Abu Hurairah ra. dikaruniai kemampuan untuk tidak lupa apa yang pernah dihapalnya. Doa inilah yang kemudian dikabulkan oleh Allah Swt. dan menjadikan Abu Hurairah ra. sebagai Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Pujian yang dilontarkan orang lain terhadap diri kita, merupakan salah satu tantangan berat yang dapat merusak kepribadian kita. Pujian dapat membunuh karakter seseorang, tanpa ia sadari. Oleh karena itu, ketika seorang Sahabat memuji Sahabat yang lain secara langsung, Nabi Saw. menegurnya: “Kamu telah memenggal leher temanmu.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Bakar ra.) Senada dengan hadits tersebut, Ali ra. berkata dalam ungkapan hikmahnya yang sangat populer, “Kalau ada yang memuji kamu di hadapanmu, akan lebih baik bila kamu melumuri mulutnya dengan debu, daripada kamu terbuai oleh pujiannya.”
Namun ketika pujian sudah menjadi fenomena umum ditengah-tengah masyarakat kita, maka yang paling penting adalah bagaimana menyikapi setiap pujian secara sehat agar tidak sampai lupa daratan dan lepas kontrol; mengapresiasi setiap pujian hanya sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain; serta terus berdoa kepada Allah Swt. agar dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang.
Selain itu yang tidak kalah pentingnya, kalaupun perlu memuji seseorang adalah bagaimana bisa mengemas pujian secara sehat.. Toh memuji tidak mesti dengan kata-kata, tapi akan lebih berarti bila diekspresikan lewat dukungan dan doa. Sehingga dengan demikian, kita tidak sampai menjerumuskan orang yang kita puji. Wallohu a'lam. [Masaji Antoro].
Alhamdu-lillahi Rabb al-‘alamin “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al-Fatehah : 2)
HAMDU : Menurut bahasa arab berarti “Pujian yang sempurna”
...Pujian kebalikannya celaan, lebih umum artinya ketimbang "syukur" karena syukur atau terima kasih adalah sebuah ungkapan sebagai balasan atas kenikmatan yang telah diterima seperti ungkapan "aku berterima kasih atas kebaikannya" sedangkan pujian bisa terjadi atas dasar sekedar kekaguman semata "aku memuji ketampanannya, ikmunya, pribadinya dll."
Diberi tambahan “Al” berfaedah sebagai “Istighroq lil-jins” artinya mencakup segala jenis pujian yang bila dijabarkan bentuknya ada empat macam :
1. Qodim ‘ala Qodim (Pencipta terhadap Dirinya Sendiri) maksudnya adalah Allah Swt memuji kepada Dirinya Sendiri , hal ini Adalah patut , karena yang pantas sombong hanya Allah Swt semata , makhluk ciptaanya tidaklah pantas menyombongkan diri. Hal ini banyak terdapa dalam Al-Qur’an , terutama saat menerangkan tentang Asmaul Husna .
2. Qodim ‘ala Huduts (Pencipta memuji terhadap makhlukNya) maksudnya adalah Allah memberikan penghargaan atau meningkatkan derajat kepada mahlukNya . Contohnya saat Isro’ Mi’roj Rosululloh Saw . “Innalloha wa malaaikatahu yusolluna alannabiyyi…” ,Artinya “Sesunggahnya Allah SWT dan para malaikatnya menyampaikan salam kepada Nabi (Muhammad SAW)….”
3. Huduts ‘ala Qodim (Mahluk terhadap Pencipta) maksudnya kita sebagai mahluk wajib memuji kepada Allah SWT , Hal ini pasti kita lakukan saat melakukan sholat atau berdoa.Hal ini telah di contohkan oleh Rosululoh saat beliau melihat segala hal yang beliau senangi, beliau selalu mengucapkan hamdalah.
4.Huduts ‘ala Huduts (Makhluk terhadap makhluk) maksudnya kita sebagai mahkluk diperbolehkan untuk memuji atau memberikan penghargaan kepada orang lain sesama makhluk.
Karena di antara fenomena umum yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, adalah fenomena pujian.
Secara garis besar, pujian bisa diklasifikasikan dalam 3 bentuk :
1.Pujian yang diucapkan untuk menjilat,
2.Pujian yang sifatnya hanya basa-basi belaka,
3.Pujian yang diucapkan sebagai ekspresi kekaguman.
Bila disikapi secara sehat dan proporsional, pujian bisa menjadi modal positif yang dapat memotivasi kita agar terus meningkatkan diri. Namun, kenyataannya, pujian justru lebih sering membuat kita lupa daratan, lepas kontrol, dan seterusnya. Semakin sering orang lain memuji kita, maka semakin besar potensi kita untuk terlena, besar kepala, serta hilang kendali diri. Padahal Allah Swt. mengingatkan dalam firmanNya: "Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Najm; 32)
.
Agar dapat menyikapi pujian secara sehat, Nabi Saw. memberikan 3 kiat yang sangat menarik untuk diteladani:
1. Selalu mawas diri supaya tidak sampai terbuai oleh pujian yang dikatakan orang. Oleh karena itu, setiap kali ada yang memuji beliau, Nabi Saw. menanggapinya dengan doa: “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR. Al-Bukhari) Lewat doa ini, Nabi Saw. mengajarkan bahwa pujian adalah perkataan orang lain yang potensial menjerumuskan kita. Ibaratnya, orang lain yang mengupas nangka, tapi kita yang kena getahnya. Orang lain yang melontarkan ucapan, tapi malah kita yang terjerumus menjadi besar kepala dan lepas kontrol.
2. Menyadari hakikat pujian sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain. Karena, sebenarnya, setiap manusia pasti memiliki sisi gelap. Dan ketika ada seseorang yang memuji kita, maka itu lebih karena faktor ketidaktahuan dia akan belang serta sisi gelap kita miliki. Hal ini bukan berarti kita boleh memelihara sisi gelap tersebut , tapi jadikan sisi terang kita sebagai modal untuk menerangkan hati. Oleh sebab itu, kiat Nabi Saw. dalam menanggapi pujian adalah dengan berdoa: “Dan ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku)”. (HR. Al-Bukhari)
3. Kalaupun sisi baik yang dikatakan orang lain tentang kita adalah benar adanya, Nabi Saw mengajarkan kita agar memohon kepada Allah Swt. untuk dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang lain. Maka kalau mendengar pujian seperti ini, Nabi Saw. kemudian berdoa: “Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira”. (HR. Al-Bukhari). Selain memberikan teladan kiat menyikapi pujian, Nabi Saw. dalam keseharian beliau juga memberikan contoh bagaimana mengemas pujian yang baik. Intinya, jangan sampai pujian yang terkadang secara spontan keluar dari bibir kita, malah menjerumuskan dan merusak kepribadian sahabat yang kita puji.
Ada beberapa teladan yang dapat disarikan dari kehidupan Nabi Saw. saat memuji yaitu di antaranya:
1. Nabi Saw. tidak memuji di hadapan orang yang bersangkutan secara langsung, tapi di depan orang-orang lain dengan tujuan memotivasi mereka. Suatu hari, seorang Badui yang baru masuk Islam bertanya tentang Islam. Nabi menjawab bahwa Islam adalah shalat lima waktu, puasa, dan zakat. Maka Orang Badui itupun berjanji untuk menjalankan ketiganya dengan konsisten, tanpa menambahi atau menguranginya. Setelah Si Badui pergi, Nabi Saw. memujinya di hadapan para Sahabat, “Sungguh beruntung kalau ia benar-benar melakukan janjinya tadi.” Setelah itu beliau menambahi “Barangsiapa yang ingin melihat penghuni surga, maka lihatlah Orang (Badui) tadi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Thalhah ra.)
2. Nabi Saw. lebih sering melontarkan pujian dalam bentuk doa. Ketika melihat minat dan ketekunan Ibn Abbas ra. dalam mendalami tafsir Al-Qur’an, Nabi Saw. tidak serta merta memujinya. Beliau lebih memilih untuk mendoakan Ibn Abbas ra.: “Ya Allah, jadikanlah dia ahli dalam ilmu agama dan ajarilah dia ilmu tafsir (Al-Qur’an).” (HR. Al-Hakim, dari Sa’id bin Jubair)
Begitu pula, di saat Nabi Saw. melihat ketekunan Abu Hurairah ra. Dalam mengumpulkan hadits dan menghafalnya, beliau lantas berdoa agar Abu Hurairah ra. dikaruniai kemampuan untuk tidak lupa apa yang pernah dihapalnya. Doa inilah yang kemudian dikabulkan oleh Allah Swt. dan menjadikan Abu Hurairah ra. sebagai Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Pujian yang dilontarkan orang lain terhadap diri kita, merupakan salah satu tantangan berat yang dapat merusak kepribadian kita. Pujian dapat membunuh karakter seseorang, tanpa ia sadari. Oleh karena itu, ketika seorang Sahabat memuji Sahabat yang lain secara langsung, Nabi Saw. menegurnya: “Kamu telah memenggal leher temanmu.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Bakar ra.) Senada dengan hadits tersebut, Ali ra. berkata dalam ungkapan hikmahnya yang sangat populer, “Kalau ada yang memuji kamu di hadapanmu, akan lebih baik bila kamu melumuri mulutnya dengan debu, daripada kamu terbuai oleh pujiannya.”
Namun ketika pujian sudah menjadi fenomena umum ditengah-tengah masyarakat kita, maka yang paling penting adalah bagaimana menyikapi setiap pujian secara sehat agar tidak sampai lupa daratan dan lepas kontrol; mengapresiasi setiap pujian hanya sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain; serta terus berdoa kepada Allah Swt. agar dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang.
Selain itu yang tidak kalah pentingnya, kalaupun perlu memuji seseorang adalah bagaimana bisa mengemas pujian secara sehat.. Toh memuji tidak mesti dengan kata-kata, tapi akan lebih berarti bila diekspresikan lewat dukungan dan doa. Sehingga dengan demikian, kita tidak sampai menjerumuskan orang yang kita puji. Wallohu a'lam. [Masaji Antoro].
LINK ASAL :