PERTANYAAN
:
Aqad gaduh sapi bagaimana
caranya agar boleh secara fiqh ? Akad gaduh yang berlaku di masyarakat, misal A
titip sapi pada B, kelak jika sapi dijual dan ada keuntungan dibagi dua, jika
tidak ada keuntungan maka B tidak dapat bagian apapun. [Mbah
Jenggot].
JAWABAN
:
Apabila yang dijanjikan itu
adalah membagi keuntungan dari hasil penjualan (ribhi), maka hal itu termasuk
qirod fasid, menurut ulama Tsalasah. Apabila yang dimaksud menyewa orang, dengan
ongkos membagi hasil, maka dinamakan ijaroh fasidah, yang mempunyai sapi wajib
memberi ongkos misil (umum) kepada orang tersebut (amil).
Dasar Pengambilan
:
- Al-Muhadzab juz I, Hlm.
392 :
فَصْلٌ:
وَلاَ يَصِحُ (القِراَضُ) إِلاَّ عَلَى اْلأَثْماَنِ وَهِيَ الدَّراَهِمُ
وَالدَّناَنِيْرُ فَأَماَّ ماَ سِواَهُماَ مِنَ الْعُرُوْضِ وَالْعَقاَرِ
وَالسَّباَئِكَ وَالْفُلُوْسِ فَلاَ يَصِحُ القِراَضُ عَلَيْهاَ.
(Fasal): Tidak sah Qirodl
(bagi hasil) kecuali atas atsman (yang bernilai) yaitu, Dirham dan Dinar, adapun
selain keduanya, seperti benda, tanah, barang produksi, fulus (uang logam) maka
tidak sah Qirodl (bagi hasil) atasnya.
- Al-Mizan, Juz II, Hlm. 88
:
قَالَ
وَأَمَّا مَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ (القِرَاضِ) فَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ مَالِكَ
وَالشَّافِعِىِّ وَأَحْمَدَ: إِنَّهُ لَوْأَعْطَاهُ سِلْعَةً وَقَالَ لَهُ بِعْهَا
وَاجْعَلْ ثَمَنَهَا قِرَاضاً فَهُوَ قِراَضٌ فاَسِدٌ مَعَ قَوْلٍ أَبِى حَنيِفَةَ
إِنَّهُ قِراَضٌ صَحِيْحٌ، فاَلأَوَّلُ مُشَدَّدٌ وَالثَّانِ
مُخَلَّفٌ...الخ
Adapun permasalahan yang
dipertentangkan (Qirodl / bagi hasil) diantaranya pendapat imam Malik, imam
Syafi’i dan imam Ahmad: Sesungguhnya apabila seseorang memberikan harta benda
dan berkata kepada penerimanya “Juallah ini dan hasilnya kau jadikan Qirodl”,
maka itu dinamakan Qirodl fasid (bagi hasil yang rusak). Pendapat yang pertama
adalah pendapat yang berat sedangkan yang kedua, adalah pendapat yang
ringan.
Aqad tersebut tidak sah,
sebab anak sapi itu bukan dari pekerjaan pemelihara tersebut.
Dasar Pengambilan
:
- Al-Bujairimi ala
al-Iqna’, Juz III, Hlm. 115 :
تَتِمَّةٌ:
لَوْ أَعْطَى شَخْصٌ آخَرَ دَابَّةً لِيَعْمَلَ عَلَيْهَا، أَوْ يَتَعَهَّدَهَا
وَفَوَائِدُهَا بَيْنَهُمَا لَمْ يَصِحَّ الْعَقْدُ؛ ِلأَنَّهُ فِي اْلأُولَى
يُمْكِنُهُ إيجَارُ الدَّابَّةِ فَلاَ حَاجَةَ إلَى إيرَادِ عَقْدٍ عَلَيْهَا فِيهِ
غَرَرٌ، وَفِي الثَّانِيَةِ الْفَوَائِدُ لاَ تَحْصُلُ بِعَمَلِهِ . وَلَوْ
أَعْطَاهَا لَهُ لِيَعْلِفَهَا مِنْ عِنْدِهِ بِنِصْفِ دَرِّهَا فَفَعَلَ ضَمِنَ
لَهُ الْمَالِكُ الْعَلَفَ، وَضَمِنَ اْلآخَرُ لِلْمَالِكِ نِصْفَ الدَّرِّ وَهُوَ
الْقَدْرُ الْمَشْرُوطُ لَهُ لِحُصُولِهِ بِحُكْمِ بَيْعٍ فَاسِدٍ، وَلاَ يَضْمَنُ
الدَّابَّةَ؛ ِلأَنَّهَا غَيْرُ مُقَابَلَةٍ بَعُوضٍ .وَإِنْ قَالَ: لِتَعْلِفْهَا
بِنِصْفِهَا فَفَعَلَ فَالنِّصْفُ الْمَشْرُوطُ مَضْمُونٌ عَلَى الْعَالِفِ
لِحُصُولِهِ بِحُكْمِ الشِّرَاءِ الْفَاسِدِ دُونَ النِّصْفِ اْلآخَرِ .
(Peringatan) jika seseorang
memberikan hewan piaraannya kepada orang lain agar dipekerjakan, atau untuk
dipelihara, dan hasilnya dibagi antara keduannya, maka aqad tersebut tidak sah.
Karena pada contoh yang pertama menyewakan hewan, maka tidak ada hajat (tidak
perlu) mendatangkan aqad lagi atas hewannya yang dapat mengandung
ghoror/penipuan. Yang kedua, hasil dari hewan piaraan, itu bukan
pekerjaan.
Seandainya seseorang
memberikan hewan piaraannya kepada orang lain untuk dipekerjakan untuk dirinya
dengan upah ½ dari hasil susu hasil perahnya, kemudian dipekerjakan oleh orang
lain tersebut, maka pemilik hewan harus mengganti biaya pemeliharaan (memberi
makan hewan) dan pekerja harus mengganti kepada pemilik atas ½ dari hasil susu
perahnya. Pengganti itu karena sudah hasil ukuran yang dijanjikan, dan telah
terjadi dengan hukum jual beli yang rusak. dan tidak perlu mengganti rugi hewan
piaraan, karena itu tidak ada kesesuaian ganti rugi.
Jika pemilik dalam
menyerahkan hewan mengatakan untuk diramut (diberi makan) dengan ongkos separo
hasilnya, kemudian dilaksanakan oleh penerima (pemelihara), maka separo yang
dijanjikan menjadi tanggungan pemelihara, karena dianggap terjadi hukum
pembeliaan yang fasid (rusak) bukan separo yang lain.
- Tuhfatu al-Habib ‘Ala
Syarhi al-Iqna al-Bujairimi, Juz III, Hlm. 179 :
وَلَوْ
قَالَ شَخْصٌ لآخَرَ سَمِّنْ هَذِهِ الشَّاةَ وَلَكَ نِصْفُهاَ أَوْ هاَتَيْنِ
عَلىَ أَنَّ لَكَ إِحْداَهُماَ لَمْ يَصِحَّ ذَلِكَ وَاسْتَحَقَّ أُجْرَةَ المِثْلِ
لِلنَّصْفِ الذِّى سَمَنَّهُ لِلْماَلِكِ.
Apabila ada orang berkata
kepada orang lain: gemukkan kambing ini! Kamu saya beri komisi separo dari laba
penjualan, atau berkata: gemukkan dua kambing ini! Kamu saya beri yang satu,
maka tidak sah. Dan ia mendapat ongkos misil (umum), sedang hasilnya semua
dimiliki yang punya kambing.
Sebagai perbandingan, hasil KEPUTUSAN PENGURUS BESAR MUKTAMAR NASIONAL ( Pada tanggal 21-25 Syawal 1379 H. /18-22 April M. di Jakarta ) yang menyatakan Hukum akad tersebut tidak SAH sebab anak dan tambahan itu bukan dari pekerjaan pemeliharaan tersebut.
تتمة
لو أعطى شخص آخر دابة ليعمل عليها أو يتعهدها وفوائدها بينهما لم يصح العقد لأنه في
الأولى يمكنه إيجار الدابة فلا حاجة إلى إيراد عقد عليها فيه غرر وفي الثانية
الفوائد لا تحصل بعمله ولو أعطاها له ليعلفها من عنده بنصف درها ففعل ضمن له المالك
العلف وضمن الآخر للمالك نصف الدر وهو القدر المشروط له لحصوله بحكم بيع فاسد ولا
يضمن الدابة لأنها غير مقابلة بعوض وإن قال لتعلفها بنصفها ففعل فالنصف المشروط
مضمون على العالف لحصوله بحكم الشراء الفاسد دون النصف الآخر
[ PUNGKASAN ] Jika ada
orang lain memberikan seekor ternak untuk dipekerjakan atau di pelihara dan
keuntungannya untuk mereka berdua (si pemilik ternak dan pengembala) maka
akadnya TIDAK SAH, Karena pada contoh yang pertama menyewakan hewan, maka tidak
ada hajat (tidak perlu) mendatangkan aqad lagi atas hewannya yang dapat
mengandung ghoror/penipuan. Sedang pada contoh yang kedua keuntungan-keuntungan
tersebut tidak bisa diperoleh hanya dengan mengerjakannya. Seandainya seseorang
memberikan hewan piaraannya kepada orang lain untuk dipekerjakan dengan
memperoleh separoh separo susunya dan orang tersebut kemudian mengerjakannya,
maka si pemilik harus menjamn pakannyasedangkan pihak pekerjanya mengambil
separoh dari dari susu tersebut. Itulah ukuran yang disyaratkan, karena
sipekerja mendapatkan keuntungan berdasarkan transaksi yang rusak, Ia juga tidak
di bebani untuk menanggung hewan ternak tersebut karena hewan tidak bisa di
nilai imbalannya. Jika pemilik berkata “Agar anda memberi pakan dengan imbalan,
anda mendapatkan separoh dari hasilnya” kemudian si penggembala melaksanakan,
separoh dari yang disyaratkan itu menjadi tanggungan pemberi pakan sebagai
konsekuensi yang rusak untuk memberikan separoh hasilnya pada pemilik ternak. [
Iqna Li as-Syarbiiny II/356 ]. Wallohu a'lam. [Edy
Humaidi, Masaji Antoro].