PERTANYAAN
:
Bagaimana hukum pria uluk
salam kepada wanita bukan mahrom dan bagaimana pula hukum menjawabnya ?
[Secercah
Harapan].
JAWABAN
:
1. Antar lawan jenis yang
terdapat hubungan suami istri. Karena hubungan di antara keduanya adalah legal,
maka berucap salam di antara keduanya diperbolehkan. Bahkan, sunah untuk memulai
salam dan wajib dalam menjawabnya, karena ada anjuran untuk menjaga keharmonisan
di antara keduanya.
2. Antar lawan jenis yang
terdapat hubungan mahram (keharaman menikah di antara keduanya karena hubungan
kekerabatan, sesusuan atau besanan). Dianjurkan ucapan salam di antara keduanya,
sunah memulai salam, dan wajib menjawabnya.
3. Antar lawan jenis ajnaby
– ajnabiyyah, akan tetapi salah satu pihak berusia lanjut (‘ajuz). Diriwayatkan
dari Sahl bin Sa’d radliyallahu anhu, dia berkata, ”Ada seorang wanita tua yang
memunguti batang talas dan memasukkannya dalam tempayan, lalu membuat tepung
dari gandum. Seusai salat Jum’at, kami berucap salam kepadanya dan dia
menyuguhkan makanan itu pada kami,” (HR. Bukhari)
4. Antar lawan jenis ajnaby
– ajnabiyyah, akan tetapi salah satu pihak adalah sekumpulan orang. Yakni antara
satu orang lelaki ajnabiy dan sekumpulan wanita ajnabiyyah. Atau sebaliknya,
antara satu orang wanita ajnabiyyah dan sekumpulan lelaki ajnabiy, dengan syarat
aman dari potensi fitnah. Diriwayatkan dari Asma’ binti Yazid radliyallahu anha,
dia berkata, ”Rasulullah Saw lewat di depan kami beserta para perempuan, lalu
beliau mengucapkan salam kepada kami,” (HR. Abu Dawud)
5. Ucapan salam lelaki
ajnaby kepada wanita ajnabiyyah di hadapan mahram dari wanita tersebut. Hal ini
diperbolehkan, sebagaimana dituturkan Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.
Perincian hukum di atas
adalah ketika salam diucapkan secara langsung atau face to face. Bagaimana jika
ucapan salam antar lelaki ajnabiy dan wanita ajnabiyyah dilakukan melaui media
tulisan atau titipan melalui orang lain? Dalam referensi Syafi'iyyah dipaparkan,
bahwasanya disunahkan berucap salam lewat tulisan atau titipan kepada seseorang
yang dianjurkan (masyru') untuk diucapi salam secara langsung. Dan, sebagaimana
paparan sebelumnya, ucapan salam antar lawan jenis ajnabiy – ajnabiyyah adalah
bukan sesuatu yang dianjurkan, akan tetapi makruh bagi lelaki, dan haram bagi
wanita.
Hanya saja, terdapat
penjelasan secara sharih atau tekstual dari kalangan madzhab Hanbali, seperti
dalam Kasysyâf al-Qinâ', bahwa seorang lelaki yang menitipkan salam kepada
wanita ajnabiyyah tidaklah mengapa. Karena dalam salam tersebut terdapat
kemaslahatan (yakni kandungan doa) dengan pertimbangan ketiadaan sisi negatif
yang berupa fitnah atau potensi zina dan pendahuluannya. Demikian referensi fiqh
klasik memaparkan. Namun, dalam penerapan keseharian, hendaklah diperhatikan
kemungkinan sisi negatif yang bakal ditimbulkan. Apalagi di zaman teknologi
komunikasi yang serba canggih ini, sisi negatif akan lebih banyak merongrong
interaksi antar lawan jenis. Sedangkan kaedah fiqh menyatakan bahwa dar'ul
mafâsid muqaddam 'ala jalb al-mashâlih, mengantisipasi dampak
negatif harus diprioritaskan daripada mengakomodir kemaslahatan. [Mbah
Jenggot].
Referensi:
1.As-Sayyid Abu Bakar
al-Bakriy bin Muhammad Syatha, I’anah at-Thâlibîn, Surabaya: Al-Haramain,
tt.
2.Abu Zakariyya Yahya bin
Syaraf al-Nawawi, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,
2002.
3.Abu Zakariyya Yahya bin
Syaraf al-Nawawi, Al-Adzkâr, Surabaya: Al-Hidayah, tt.
4.Muhammad bin ‘Alân,
Al-Futûhât ar-Rabbâniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
5.As-Sayyid ‘Alawiy bin
Ahmad as-Saqqaf, Fath al-Allâm fî Ahkâm al-Salâm, dalam Sab’ah Kutub Mufîdah,
Surabaya: Al-Hidayah, tt.
6.Muhammad Abdurrahman bin
Abdirrahman al-Mubarakfuriy, Tuhfah al-Ahwadziy, Beirut: Darul Fikr.