Riwayat yang sering mereka gunakan untuk mengi’tiqo dkan bahwa Allah Azza wa Jalla bertempat atau berada di atas ‘Arsy
Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan ,
الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”
Ternyata riwayat ini adalah riwayat yang sama sekali tidak benar sebab ghoiru tsabit.
Jika kita lihat di dalam kitab-kita b Adh-Dhu'af a', Abdullah bin Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang yang dla’if.
Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah bin Nafi’ ash-Sha’ig h bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”.
Al-Imam bin Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatk an ghara-ib (riwayat-r iwayat asing) dari al-Imam Malik”.
Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah bin Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis”.
(Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kita b adl-Dlu’af a’, seperti Kitab ald-Dlu’af a karya an-Nasa-i dan lainnya)
Dalam matan / redaksi di atas disebutkan “ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya” artinya ilmuNya pun berada di atas langit atau di atas ‘Arsy
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhn ya Allah ilmu-Nya benar-bena r meliputi segala sesuatu”. (QS Ath Thalaq [65]:12)
“ilmu Engkau meliputi segala sesuatu” (QS al Mu’min / al Ghaafir [40]:7)
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatk an oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.: “Sesungguhn ya langit dan bumi tidak akan mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimany a.”
Imam Sayyidina Ali ra mengatakan “Sesungguhn ya Allah menciptaka n ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakka n kekuasaan- Nya bukan untuk menjadikan nya tempat bagi DzatNya”
Imam Sayyidina Ali ra mengatakan yang maknanya: “Sesungguhn ya yang menciptaka n ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaa n tentang tempat), dan yang menciptaka n kayfa (sifat-sif at makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Imam Syafi’i ~ rahimahull ah juga menjelaska n bahwa "jika
Allah bertempat di atas ‘Arsy maka pasti memiliki arah bawah, dan bila
demikian maka mesti akan memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan
sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha
Suci dari pada itu semua.”
Dalam kitab al-Washiyy ah, Al-Imam Abu Hanifah menuliskan :
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَه ُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْر َارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْ رِهِ كَالْمَخْل ُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَار ِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.
“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhka n kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhka n kepada makhluk-ma khluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhka n kapada makhluk-Ny a maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptaka n alam ini dan mengaturny a. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Ny a sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhka n untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptaka n arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptaka n arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptaka n
arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan
adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan
kesucian yang agung”
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan :
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di
manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat,
Dia ada sebelum segala makhluk-Ny a
ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk
dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala
sesuatu”
Sebaiknya kita berpegang pada firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan apabila hamba-hamb a-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“. (Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] :16 )
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 ).
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallah u alaihi wasallam berkata: “Seutama-ut ama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksik an) bahwa Allah selalu bersamanya , di mana pun ia berada“
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Ny a?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah- Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. "Bagaimana anda melihat-Ny a?" dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Jika belum dapat melihatNya (bermakrif at) maka yakinlah bahwa Allah ta’ala melihat kita.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda "jika kamu tidak melihat-Ny a (bermakrif at) maka sesungguhn ya Dia melihatmu." (HR Muslim 11)
Muslim yang menyaksika n Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranN ya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukka n sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-aka n pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksika n-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Pada hakikatnya kita tidak perlu memikirkan tentang keberadaan DzatNya namun pikirkanla h segala nikmat yang telah diberikanN ya
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, ” Berfikirla h tentang nikmat-nik mat Allah, dan jangan sekali-kal i engkau berfikir tentang Dzat Allah”.
Kaum Zionis Yahudi menghasut atau melancarka n ghazwul fikri (perang pemahaman) terhadap mereka bertujuan untuk menjauhkan mereka dari Allah Azza wa Jalla sehingga mereka tidak merasakan kehadiranN ya.
Sehingga mereka walaupun fasih berbahasa Arab namun tidak lagi dapat
memahami Al Qur’an dan Hadits dengan hati atau pemahaman secara hikmah.
Mereka besandarka n pemahaman secara ilmiah dengan akal pikiran mereka sendiri.
Dari Sahl bin Saad as-Sa ‘idi Ra. ia berkata: Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ya Allah! Jangan Engkau pertemukan aku dan mudah-muda han
kamu (sahabat) tidak bertemu dengan suatu zaman dikala para ulama
sudah tidak diikuti lagi, dan orang yang penyantun sudah tidak
dihiraukan lagi. Hati mereka seperti hati orang Ajam (pada fasiqnya), lidah mereka seperti lidah orang Arab (pada fasihnya).” (HR. Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “maka apakah mereka
tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu
mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka
dapat mendengar? Karena sesungguhn ya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS Al Hajj [22]:46 )
Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: "Akan muncul suatu kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingk an dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingk an
dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka
bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al
Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai
melewati batas tenggoroka n " (HR Muslim 1773)
“Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggoroka n”
maknanya sholat mereka sebatas dzahirnya saja atau amalan lahirnya
saja, tidak sampai kepada bathin (qalbu) mereka atau tidak bermanfaat (tidak mempengaru hi)
kepada hati atau bathin mereka yang mengatur jasad lahir sehingga
sholat mereka tidak mencegah perbuatan keji dan mungkar, sholat mereka
tidak menjadikan mereka muslim yang berakhlaku l karimah, muslim yang sholeh, muslim yang ihsan atau muslim yang bermakrifa t, muslim yang menyaksika n Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh)
Kenapa mereka gagal mencapai muslim yang berakhlaku l karimah atau muslim yang Ihsan ?
Karena mereka hanya menjalanka n perkara syariat tidak menjalanka n tasawuf.
Imam Malik ~rahimahul lah menasehatk an agar kita menjalanka n perkara syariat sekaligus menjalanka n tasawuf agar tidak menjadi manusia yang rusak (berakhlak tidak baik).
Imam Malik ~rahimahul lah menyampaik an nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajar i fiqih (menjalank an syariat) rusak keimananny a , sementara dia yang belajar fiqih (menjalank an syariat) tanpa mengamalka n Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar“
Begitupula Imam Syafi’i ~rahimahul lah menasehatk an kita agar mencapai ke-sholeh- an sebagaiman a salaf yang sholeh adalah dengan menjalanka n perkara syariat sebagaiman a yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih sekaligus menjalanka n tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang berakhlaku l karimah atau muslim yang Ihsan
Imam Syafi’i ~rahimahul lah menyampaik an nasehat (yang artinya) ,”Berusaha lah engkau menjadi seorang yang mempelajar i ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhn ya demi Allah saya benar-bena r ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajar i ilmu fiqih (menjalani
syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat
merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf
tapi tidak mau mempelajar i ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi' i, hal. 47]
Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-oran g
yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat
bodoh dengan agama.” Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah
al-Baghdad y as-Shufy,
dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya
“Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka
bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan ,
“Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum
Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’
dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Nawawi ~rahimahul lah berkata : “ Pokok-poko k
metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi
maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapa n maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian- Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshi d fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Wasallam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830