Berikut kutipan makalah Imam Ahlussunna h wal Jama'ah yang juga keturunan cucu Rasulullah shallallah u
alaihi wasallam, Abuya Prof. Dr. Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi
Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki
Alasy’ari Assyadzili yang disampaika n dalam Pertemuan Nasional dan Dialog Pemikiran Kedua di Makkah Al Mukarramah Tanggal 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H
******** awal kutipan ******
Pembagian klaim syirik & kufur kepada kelompok–k elompok Islam dalam kurikulum pembelajar an, dalam pertemuan dan kesempatan yang baik ini, saya ingin mengingatk an kepada Anda sekalian tentang sebagian kurikulum sekolah, khususnya materi tauhid.
Dalam materi tersebut terdapat pengkafira n, tuduhan syirik dan sesat terhadap kelompok-k elompok Islam sebagaiman a dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiy (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah yang berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Shuufiyyah (aliran–al iran tashowwuf ) adalah syirik dan keluar dari agama.
Materi kurikulum tersebut menjadikan sebagian pengajar terus memperdala m luka dan memperleba r wilayah perselisih an.
Padahal, 3/ 4 penduduk muslim seluruh dunia adalah Shuufiyyah dan seluruhnya terikat dan meramaikan padepokan (zaawiyah) mereka dengan tashowwuf.
Bahkan, harus dimengerti bahwa zawiyah–za wiyah tersebut memiliki jasa besar dalam memerangi penjajahan , membela negara, menyebarka n agama, dan memberikan pengajaran kepada kaum muslimin. Inilah sikap dan perilaku zawiyah Sanusiyyah , Idrisiyyah , Tijaaniyya h, Qoodiriyya h, Rifaa’iyya h, Syadziliyy ah, Mahdiyyah, Naqsyaband iyyah, dan Marghoniyy ah.
Sejarah yang objektif dan terpercaya
mengakui akan hal ini. Sementara itu, generasi berikut dari para imam
thoriqot tersebut seperti Syekh Umar al Mukhtar, Syekh Abdul Qodir al
Jaelani, al Imam al Mahdi, Syekh Umar al Fauti at Tiijani, Syekh Utsman
bin Faudi al Qodiri juga mempunyai jasa–jasa yang perlu dihargai dalam
berjihad di jalan Allah. Para imam tersebut melayani agama dan
menyebarlu askan ilmu pengetahua n untuk memerangi kebodohan dan tindakan bid’ah.
Adapun (lebih jauh lagi) para imam tashowwuf pendahulu mereka
yang terkenal dalam abad–abad terdahulu seperti Imam Rifai, Imam al
Badawi, Imam Syadzili, dan para imam lain setingkat mereka serta para
imam dari generasi tabi’in dan para pengikutny a dari para ahli Hilyah, Shofwah, Risalah dan Madarijis saalikin.
Usaha dan jihad mereka semua di jalan Allah merupakan suatu hal yang banyak memenuhi sejarah dan telah banyak dikisahkan oleh buku–buku biografi (Manaaqib/ Taroojim).
Meskipun begitu, kita tidak mengatakan
mereka ma’shum sebab setiap kita dan mereka (adalah sama,) diambil dan
juga ditolak. Ijtihad yang mereka lakukan juga berputar antara daerah
kebenaran dan kesalahan, diterima dan dibantah.
Kendati begitu, kita semua tidak ingin mereka dihujat dengan
tuduhan keluar dari Islam, kafir, syirik, dan fanatik dalam bermadzhab .
Saya ingin bertanya kepada Saudara–Sa udara yang berijtihad dalam menetapkan hukum dan klaim–klai m tersebut, dalam hitungan mereka berapa banyak mereka akan kehilangan saudara sesama kaum muslimin?
Dengan hukum mereka yang menyimpang , berapa banyak tali silaturrah im dan persaudara an Islam yang akan mereka putuskan di antara ratusan juta kaum muslimin yang telah mengucapka n Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah ?
Karena itulah, marilah kembali meninjau perhitunga n kita bersama saudara–sa udara kita!
Tiga Pembagian Tauhid sebagai faktor dominan di antara faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremism e adalah apa yang kita saksikan bersama pada metode pembelajar an tauhid dalam kurikulum sekolah.
Dalam materi tersebut terdapat pembagian tauhid menjadi tiga bagian:
1) Tauhid Rububiyyah ,
2) Tauhid Uluhiyyah,
3) Tauhid Asma’ was Shifaat.
(Padahal pembagian seperti ini), tidak pernah dikenal oleh
generasi salaf dari masa Sahabat, Tabi’in maupun Tabi’it Taabi’in.
Bahkan, pembagian dengan format seperti ini tidak terdapat dalam al
Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah .
Jadi, pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad yang dipaksakan dalam masalah ushuluddin serta tak ubahnya seperti tongkat yang berfungsi membuat perpecahan di antara umat Islam dengan konsekuens i hukumnya yang memunculka n sebuah konklusi bahwa kebanyakan umat Islam telah kafir, menyekutuk an Allah, dan lepas dari tali tauhid.
Selanjutny a taqsiim ini juga akan senantiasa menjadi sarana yang mudah didapat untuk terus mengeluark an klaim–klai m dan keputusan seenaknya tanpa didasari pemikiran dan perenungan .
Taqsiim ini, terlepas dari penelitian apakah memiliki dasar dalam aqidah Islaamiyya h atau tidak, yang jelas dan sangat disayangka n kini telah menjadi dasar kuat (dan alat) untuk mengafirka n
banyak kelompok Islam. Andai saja yang menjadi korban dari taqsiim ini
hanya sebagian orang, tentu bencana sangat ringan dan mudah diatasi.
Akan tetapi, musibah ini ternyata menimpa mayoritas umat: ulama dan awam, pemikir, juga para sastrawan. (Dengan demikian), pada hakikatnya taqsiim ini merupakan goresan yang memotong tali hubungan di antara umat Islam.
Jika kita berniat membersihk an Makkah Madinah –dengan standar pendapat mereka– dari orang–oran g yang dicurigai sebagai pemilik kesyirikan , penyembah para wali, pengagum Ahlul Bait, dan pengikut pemahaman umum dalam sifat–sifa t-Nya, tentu akan terjadi penolakan terhadap banyak jamaah haji dan para peziarah.
Para jamaah haji dan para peziarah tersebut, dalam musim–musi m agama, berasal dari berbagai kelompok umat Islam yang seluruhnya mendapat sambutan dan pelayanan dari pemerintah serta kebebasan menjalanka n apapun sesuai dengan prinsip (madzhab) mereka yang sedikitpun tidak bertentang an dengan syariat Islam.
(Sungguh, betapapun perbedaan itu ada), tetapi hanya berputar dalam masalah khilaafiyy ah, hal di luar yang sudah disepakati bersama (ijma’) seperti halnya para pelaku kesalahan dan pelanggara n syariat. Para ulama tidak pernah sepakat (berijma’) mengafirka n para pelakunya, karena termasuk dalam firman-Nya :
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“ Sesungguhn ya Allah tidak mengampuni apabila Dia disekutuka n dan Dia memberikan ampunan kepada selain itu kepada orang yang Dia kehendaki. ” (QS an Nisa’: 48)
Telah kami jelaskan di awal sambutan bahwa semua pihak dituntut untuk melakukan penjerniha n (tashfiyah ), pembersiha n (tanqiyah) , saling mengingatk an, mengoreksi , dan dengar pendapat (murooja’a h), berusaha saling memahami (mufaahama h), dan mengadakan dialog (muhaawaro h) dengan memegang satu prinsip, “Sesungguh nya setiap jalan pemikiran ilmiah dalam agama, cabang–cab ang, dan rinciannya yang masuk dalam medan ijtihad harus mau dikoreksi untuk perbaikan, pergantian , dan perubahan. Pemiliknya
tidak boleh meyakini cabang dan rincian tersebut sebagai suatu masalah
pasti yang wajib diterima dan dihormati seperti dua dasar pokok, yaitu
al Qur’an dan al Hadits.”
Jika semua pihak memegang prinsip ini, niscaya semuanya bisa
bertemu, saling mendekat, menerima alasan orang lain, dan saling
memaafkan satu sama lain.
Sudah barang tentu, ini merupakan pondasi langkah–la ngkah pertama untuk membangun persatuan Islam yang diinginkan dan didambakan serta menjadi keinginan kuat setiap muslim.
Kendati begitu, ini tidak lantas harus menghapus, memberanta s, membuang, dan menolak secara total serta tidak memberikan pengakuan akan keberadaan
komunitas yang berbeda yang telah ada di muka bumi dan memiliki akar
kuat, para penjaga, dan pengikut yang loyal dan siap menjadi pembela.
Sesungguhn ya mayoritas kaum muslimin, dari saudara–sa udara kita yang dikenal dengan tashowwuf dan meresapi betapa tashowwuf telah menyematka n kemulian dan keagungan besar kepada mereka serta merasa bangga memiliki hubungan dengannya. Itulah tashowwuf yang benar dan sesuai syariat serta berdiri di atas landasan maqom ihsan, maqom yang dibanggaka n.
Semestinya , setiap orang Islam berusaha mengenal dan memiliki hubungan denganNya yang digambarka n dalam sabda Rasulullah Shollallah u Alaihi Wasallam:
…أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ …
“…. hendaknya kamu menyembah Allah seakan–aka n kamu melihat-Ny a. Jika kamu tidak melihat-Ny a, sesungguhn ya Dia melihatmu .…” (H.R. Muslim)
Sungguh, mereka semua dituntut untuk kembali meneliti dan meninjau ulang kurikulum kemudian mengoreksi , membenarka n, dan meluruskan sesuai kebenaran, keadaan, kenyataan, dan selaras dengan semangat persatuan nasional dalam perlindung an dan perawatan satu pemerintah an yang melihat semuanya dengan satu pandangan keadilan.
Ibaratnya seperti anak–anak seorang lelaki yang semuanya harus memperoleh hak–hak dan kewajibann ya masing–mas ing. Mereka mendapat kesempatan yang sama, perhatian dan kasih sayang yang seimbang. Semuanya berhak mengingatk an, “Takutlah kepada Allah dan berbuatlah adil terhadap anak–anak kalian.”
***** akhir kutipan *******
Dari kutipan makalah di atas telah jelas bahwa mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarka n oleh kaum Zionis Yahudi
Salah satu contoh penghasutn ya
adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang
dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens
menyelidik i dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpu lan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab ) dan istiqomah mengikuti tharikat-t harikat tasawuf.
Laurens mengupah ulama-ulam a yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemah kan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis .
Mereka menyusun kurikulum pendidikan bekerjasam a dengan Amerika yang merupakan representa tif dari kaum Zionis Yahudi sebagaiman a yang dapat diketahui dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/03/13/ 2011/02/07/ muslim-buka nlah-ekstr imis/
Dari sistem pendidikan seperi itulah yang menghasilk an ulama seperti Ustadz Yazid bin Abdul Qodir sebagaiman a yang telah diungkap oleh Habib Muhammad Rizieq Shihab dalam dua rekaman nasehat beliau pada
Kutipan transkrip rekaman telah disampaika n dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/03/15/ tanggapan-w ahabi-syia h/
Pada hakikatnya upaya kaum Zionis Yahudi menjauhkan kaum muslim dari tasawuf adalah dalam rangka merusak akhlak kaum muslim sebagaiman a mereka menyebarlu askan pornografi , gaya hidup bebas, liberalism e, sekulerism e, pluralisme , hedonisme dll
Upaya kaum Zionis Yahudi menghasut atau menjauhkan kaum muslim dari tasawuf dengan cara mencitraka n
hal yang buruk terhadap tasawuf agar kaum muslim gagal mencapai
“sebaik baik manusia” atau gagal mencapai muslim yang berakhlaku l karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan atau muslim yang bermakrifa t.
Mereka yang gagal mencapai “sebaik baik manusia” atau gagal mencapai muslim yang berakhlaku l karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan atau muslim yang bermakrifa t akan menularkan kepada yang lain.
Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak & Tasawuf, UIN Syarif Hidayatull ah Jakarta mengutip perkataan Imam Syafi’i ~rahimahul lah yang menyatakan
bahwa orang yang buruk itu seperti pantatnya dandang (tempat menanak
nasi) yang hitam. Kata Imam Syafi’i, dia hitam, dan dia ingin
menempelka nnya ke kulit kita. Kalau kita terpancing , maka yang hitam itu dua. Jadi kalau sampai kita sadar bahwa ada ruhani yang tidak stabil, dan kita terpancing untuk tidak stabil, maka sesungguhn ya yang terjadi adalah dua ketidaksta bilan, karena kita terpancing . Selengkapn ya uraian dosen Ahmad Shodiq tentang tasawuf dan pendidikan akhlak ada dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2010/06/07/ pendidikan- akhlak/
Keadaan zaman sekarang ini semakin sesuai dengan yang dilukiskan dalam hadits-had its berikut yang merupakan sebagian tanda-tand a akhir zaman
Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila ada seseorang atau sebuah kaum (sekte) yang mengatakan bahwa kaum muslim pada umumnya telah rusak, maka sebenarnya orang atau sebuah kaum (sekte) itu sendiri yang rusak” (HR Muslim 4755)
Kita telah melihat kenyataan adanya seseorang atau sebuah kaum (sekte) yang mengatakan bahwa kaum muslim pada umumnya telah rusak.
Dari Sahl bin Saad as-Sa ‘idi Ra. ia berkata: Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ya Allah! Jangan Engkau pertemukan aku dan mudah-muda han
kamu (sahabat) tidak bertemu dengan suatu zaman dikala para ulama
sudah tidak diikuti lagi, dan orang yang penyantun sudah tidak
dihiraukan lagi. Hati mereka seperti hati orang Ajam (pada fasiqnya), lidah mereka seperti lidah orang Arab (pada fasihnya).” (HR. Ahmad)
Orang banyak mengikuti ulama yang fasih berbahasa arab akan tetapi mereka tidak dapat menggunaka n hati mereka untuk memahami Al Qur’an dan Hadits.
Dari Ali bin Abi Thalib Ra. ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallah u
‘Alaihi wa Sallam.: “Sudah hampir tiba suatu zaman, kala itu tidak
ada lagi dari Islam kecuali hanya namanya, dan tidak ada dari
Al-Qur’an kecuali hanya tulisannya . Masjid-mas jid mereka indah, tetapi kosong dari hidayah. Ulama mereka adalah sejahat-ja hat
makhluk yang ada di bawah kolong langit. Dari merekalah keluar
fitnah, dan kepada mereka fitnah itu akan kembali .” (HR. al-Baihaqi )
Orang banyak mengikuti ulama yang berilmu namun kosong hidayah dan menebar fitnah.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda: “Barangsiap a yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya , maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh”
Telah menceritak an kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritak an kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhn ya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutny a dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-oran g bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatka n (HR Bukhari 98)
Keadaan orang banyak mengikuti mereka yang berfatwa tanpa ilmu. Berfatwa menggunaka n akal pikiran sendiri
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda…”Barangsiap a yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediaka n tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmid zi)
Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimulla h mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama,
kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja
yang mau dengan apa saja yang diinginkan nya.” (Diriwayat kan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Telah menceritak an kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar semuanya dari Marwan al-Fazari, Ibnu Abbad berkata, telah menceritak an kepada kami Marwan dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasululla h shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntungl ah orang-oran g yang terasing.” (HR Muslim 208)
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam telah mengabarka n bahwa Islam pada akhirnya akan asing pula sebagaiman a pada awalnya karena pada umumnya kaum muslim walaupun mereka banyak dan menjalanka n perkara syariat namun mereka gagal mencapai maqom disisiNya, mereka gagal menjadi muslim yang berakhlaku l karimah, muslim yang sholeh, muslim yang ihsan atau muslim yang bermakrifa t , muslim yang menyaksika n Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh)
“Orang yang asing, orang-oran g yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak atau orang-oran g shalih di antara banyaknya orang yang buruk, orang yang menyelisih inya lebih banyak dari yang mentaatiny a”. (HR. Ahmad)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda “Sesungguhn ya
Islam itu pada mulanya datang dengan asing dan akan kembali dengan
asing lagi seperti pada mulanya datang. Maka berbahagia lah bagi orang-oran g yang asing”. Beliau ditanya, “Ya Rasulullah , siapakah orang-oran g yang asing itu ?”. Beliau bersabda, “Mereka yang memperbaik i dikala rusaknya manusia”. [HR. Ibnu Majah dan Thabrani]
Islam pada awalnya datang dengan asing diantara manusia yang berakhlak buruk (non muslim / jahiliyah) . Tujuan beragama adalah untuk menjadikan manusia yang berakhlaku l karimah.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda “Sesungguhn ya aku diutus (Allah) untuk menyempurn akan Akhlak.” (HR Ahmad)
Beruntungl ah orang orang yang asing yakni orang yang sholeh diantara orang yang rusak /
buruk maknanya semakin akhir zaman maka semakin sedikit muslim yang
mencapai maqom disisiNya atau muslim yang sholeh, muslim yang ihsan,
muslim yang bermakrifat, muslim yang menyaksika n Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh).
Imam Malik ~rahimahul lah menasehatk an agar kita menjalanka n perkara syariat sekaligus menjalanka n tasawuf agar manusia tidak rusak dan menjadi manusia berakhlak baik
Imam Malik ~rahimahul lah menyampaik an nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajar i fiqih (menjalank an syariat) rusak keimananny a , sementara dia yang belajar fiqih (menjalank an syariat) tanpa mengamalka n Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar“
Begitupula Imam Syafi’i ~rahimahul lah menasehatk an kita agar mencapai ke-sholeh- an sebagaiman a salaf yang sholeh adalah dengan menjalanka n perkara syariat sebagaiman a yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih sekaligus menjalanka n tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang berakhlaku l karimah atau muslim yang Ihsan
Imam Syafi’i ~rahimahul lah menyampaik an nasehat (yang artinya) ,”Berusaha lah engkau menjadi seorang yang mempelajar i ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhn ya demi Allah saya benar-bena r ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajar i ilmu fiqih (menjalani
syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat
merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf
tapi tidak mau mempelajar i ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi' i, hal. 47]
Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-oran g yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.”
Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdad y
as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada
putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi,
karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan ,
“Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum
Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati
sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah
bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Nawawi ~rahimahul lah berkata : “ Pokok-poko k
metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi
maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapa n maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian- Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshi d fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Wasallam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830