Pada zaman kini kita dapat temui mereka yang merasa mengikuti pemahaman salaf yang sholeh namun kenyataann ya mereka hanyalah mengikuti pemahaman para ulama yang mengaku-ak u mengikuti salaf yang sholeh namun tidak bertalaqqi
(mengaji) dengan salaf yang sholeh. Apa yang dikatakan oleh ulama
mereka sebagai pemahaman salaf yang sholeh , pada hakikatnya adalah pemahaman ulama mereka sendiri dari hasil muthola’ah (menelaah) kitab berdasarka n akal pikiran mereka sendiri.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Barangsiap a menguraika n Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarka n akal pikiran, sesungguhn ya agama itu dari Tuhan, perintah-N ya dan larangan-N ya.” (Hadits riwayat Ath-Thabar ani)
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama,
kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja
yang mau dengan apa saja yang diinginkan nya.” (Diriwayat kan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Salah seorang ulama keturunan cucu Rasulullah , Habib Munzir mengatakan , “Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahann ya
karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia
salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia
tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya, maka oleh sebab
itu jadi tidak boleh baca dari buku, tentunya boleh baca buku apa saja
boleh, namun kita harus mempunyai satu guru yang kita bisa tanya jika
kita mendapatka n masalah”
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaik an bahwa “maksud dari pengijazah an sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatk an tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadany a, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadany a dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaa n al-Qur’an itu benar-bena r sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Para ulama juga telah menyampaik an bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminy a dengan akal pikiran sendiri, kemungkina n besar akan berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin
2. Tasybihill ah Bikholqihi , penyerupaa n Allah dengan makhluqNya .
Pada zaman kini semakin ramai kaum muslim yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah hanya bersandark an muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminy a dengan akal pikiran sendiri dan tidak lagi mempedulik an apa yang telah disampaika n oleh Imam Mazhab yang empat yang telah disepakati
oleh jumhur ulama sejak dahulu kala sampai sekarang sebagai pemimpin
ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) karena Imam Mazhab yang
empat berkompete nsi sangat baik dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah. Imam Mazhab yang empat bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salaf yang sholeh. Imam Mazhab yang empat mendapatka n pemahaman Salaf yang sholeh langsung dari lisannya salaf yang sholeh. Imam Mazhab yang empat melihat langsung penerapan, perbuatan serta contoh nyata, jalan atau cara (manhaj) beribadah dari Salaf yang sholeh dan membukukan nya dalam kitab fiqih mereka.
Mereka yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah hanya bersandark an muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminy a
dengan akal pikiran sendiri berakibat pemahaman mereka telah keluar
(kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (almufaraq ah li al-jamaah) sehingga dapat termasuk kepada kaum khawarij.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam menggambar kan orang-oran g dengan pemahaman yang keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (almufaraq ah li al-jamaah) dengan ungkapan , “Mereka membaca Al Qur’an namun tidak sampai ke tenggoroka n mereka”
(HR Bukhari 3341) maknanya mereka membaca Al Qur’an atau memahami Al
Qur’an secara dzahir dengan akal pikiran mereka sendiri bukan pemahaman
berdasarka n karunia Allah ta’ala yakni pemahaman secara hikmah sebagaiman a para Ulil Albab. Ulil Albab adalah mereka yang menggunaka n lubb (qalbu) atau akal qalbu mereka atau akal pikiran yang ditundukka n kepada lubb (qalbu) mereka untuk memahami Al Qur’an. Lubb (qalbu) mereka diberikan atau dikaruniak an ilham / hidayah / petunjuk / cahaya dari Allah Azza wa Jalla
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah menganuger ahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendak i-Nya. Dan barangsiap a yang dianugerah i hikmah, ia benar-bena r telah dianugerah i karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 ).
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadan ya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam menggambar kan orang-oran g dengan pemahaman yang keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (almufaraq ah li al-jamaah) dalam menjalanka n ibadah sholat dengan ungkapan “Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggoroka n” (HR Muslim 1773) maknanya sholat mereka sebatas dzahirnya saja atau amalan lahirnya saja, “tidak sampai melewati batas tenggoroka n”, tidak sampai kepada bathin (qalbu) mereka atau tidak bermanfaat atau mempengaru hi
kepada hati atau bathin mereka yang mengatur jasad lahir sehingga
sholat mereka tidak mencegah perbuatan keji dan mungkar, sholat mereka
tidak menjadikan mereka muslim yang berakhlaku l karimah, muslim yang sholeh, muslim yang ihsan atau muslim yang bermakrifa t, muslim yang menyaksika n Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh). Ibadah yang mereka jalankan adalah ibadah fasidah, ibadah yang kehilangan amalan atau aspek batinnya.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam telah mengabarka n bahwa Islam pada akhirnya akan asing pula sebagaiman a pada awalnya karena pada umumnya kaum muslim walaupun mereka menjalanka n perkara syariat namun mereka gagal mencapai maqom disisiNya, mereka gagal menjadi muslim yang berakhlaku l karimah, muslim yang sholeh, muslim yang ihsan atau muslim yang bermakrifa t , muslim yang menyaksika n Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ جَمِيعًا عَنْ مَرْوَانَ الْفَزَارِ يِّ قَالَ ابْنُ عَبَّادٍ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ عَنْ يَزِيدَ يَعْنِي ابْنَ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدَأَ الْإِسْلَا مُ غَرِيبًا وَسَيَعُود ُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَ اءِ
Telah menceritak an kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar semuanya dari Marwan al-Fazari, Ibnu Abbad berkata, telah menceritak an kepada kami Marwan dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallah u 'alaihi wasallam bersabda: "Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntungl ah orang-oran g yang terasing." (HR Muslim 208)
“Orang yang asing, orang-ora ng yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak atau orang-oran g shalih di antara banyaknya orang yang buruk, orang yang menyelisih inya lebih banyak dari yang mentaatiny a”. (HR. Ahmad)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda “Sesungguhn ya Islam itu pada mulanya datang dengan asing dan akan kembali dengan asing lagi seperti pada mulanya datang. Maka berbahagia lah bagi orang-oran g yang asing”. Beliau ditanya, “Ya Rasulullah , siapakah orang-oran g yang asing itu ?”. Beliau bersabda, “Mereka yang memperbaik i dikala rusaknya manusia”. [HR. Ibnu Majah dan Thabrani]
Islam pada awalnya datang dengan asing diantara manusia yang berakhlak buruk (non muslim / jahiliyah) . Tujuan beragama adalah untuk menjadikan manusia yang berakhlaku l karimah.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda “Sesungguhn ya aku diutus (Allah) untuk menyempurn akan Akhlak.” (HR Ahmad)
Beruntungl ah orang orang yang asing yakni orang yang sholeh diantara orang yang rusak /
buruk maknanya semakin akhir zaman maka semakin sedikit muslim yang
mencapai maqom disisiNya atau muslim yang sholeh, muslim yang ihsan,
muslim yang bermakrifat, muslim yang menyaksika n Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh).
Imam Malik ~rahimahul lah menasehatk an agar kita menjalanka n perkara syariat sekaligus menjalank an tasawuf agar manusia tidak rusak dan menjadi manusia berakhlak baik
Imam Malik ~rahimahul lah menyampaik an nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajar i fiqih (menjalank an syariat) rusak keimananny a , sementara dia yang belajar fiqih (menjalank an syariat) tanpa mengamalka n Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar“
Begitupula Imam Syafi’i ~rahimahul lah menasehatk an kita agar mencapai ke-sholeh- an sebagaiman a salaf yang sholeh adalah dengan menjalanka n perkara syariat sebagaiman a yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih sekaligus menjalanka n tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang berakhlaku l karimah atau muslim yang Ihsan
Imam Syafi’i ~rahimahul lah menyampaik an nasehat (yang artinya) ,”Berusaha lah engkau menjadi seorang yang mempelajar i ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhn ya demi Allah saya benar-bena r ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajar i ilmu fiqih (menjalani
syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat
merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf
tapi tidak mau mempelajar i ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi' i, hal. 47]
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830