Kembang
Atau bunga. Bermakna
filosofis agar kita dan keluarga senantiasa mendapatkan “keharuman” dari para
leluhur. Keharuman merupakan kiasan dari berkah-safa’at yang berlimpah dari para
leluhur, dapat mengalir (sumrambah) kepada anak turunnya.
Menurut pengalaman saya pribadi, masing-masing aroma bunga, dapat menjadi ciri
khas masing-masing leluhur. Desa
mawa cara, negara mawa tata. Beda daerah, beda
masyarakatnya, beda leluhurnya, beda pula tradisi dan tata cara penghormatannya.
Bahkan aroma khas bunga serta berbagai jenis dedaunan tertentu sering menjadi
penanda bau khas salah satu leluhur kita. Bila bau harum bunga tiba-tiba hadir
di sekitar anda, kemungkinan besar ada salah satu leluhur anda yang hadir di
dekat anda berada.
Kembang
Setaman
Uborampe ini sangat
fleksibel, cakupannya luas dan dimanfaatkan dalam berbagai acara ritus dan
kegiatan spiritual. Kembang setaman versi Jawa terdiri dari beberapa jenis
bunga. Yakni, mawar, melati, kanthil, dan kenanga. Lihat dalam
gambar.
Adapun makna-makna bunga
tersebut yang sarat akan makna filosofis adalah sbb :
1.
Kembang KANTHIL, kanthi
laku, tansah kumanthil
Atau simbol pepeling bahwa untuk meraih
ngelmu iku kalakone kanthi laku.
Lekase kalawan kas, tegese kas iku nyantosani . Maksudnya, untuk meraih ilmu
spiritual serta meraih kesuksesan lahir dan batin, setiap orang tidak cukup
hanya dengan memohon-mohon doa. Kesadaran spiritual tak akan bisa dialami secara
lahir dan batin tanpa adanya penghayatan akan nilai-nilai luhur dalam kehidupan
sehari-hari (lakutama atau perilaku yang utama).
Bunga kanthil berarti pula, adanya tali rasa, atau tansah
kumanthil-kanthil, yang bermakna pula kasih
sayang yang mendalam tiada terputus. Yakni cirahan kasih sayang kepada seluruh
makhluk, kepada kedua orang tuanya dan para leluhurnya. Bukankah hidup ini pada
dasarnya untuk saling memberi dan menerima kasih sayang kepada dan dari seluruh
makhluk. Jika semua umat manusia bisa melakukan hal demikian tanpa
terkotak-kotak ragam “kulit” agama, niscaya bumi ini akan damai, tenteram, dan
sejahtera lahir dan batinnya. Tak ada lagi pertumpahan darah dan ribuan nyawa
melayang gara-gara masing-masing umat manusia (yang sesungguhnya maha lemah)
tetapi merasa dirinya disuruh tuhan yang Maha Kuasa. Tak ada lagi manusia yang
mengklaim diri menjadi utusanNya untuk membela tuhan Yang Maha Kuasa. Yaah,
mudah-mudahan untuk ke depan tuhan tak usah mengutus-utus manusia membela
diriNya. Kalau memang kita percaya kemutlakan kekuasaan Tuhan, biarkan tuhan
sendiri yang membela diriNya, biarkan tuhan yang menegakkan jalanNya untuk
manusia, pasti bisa walau tanpa adanya peran manusia! Toh tuhan maha kuasa,
pasti akan lebih aman, tenteram, damai. Tidak seperti halnya manusia yang suka
pertumpahan darah !! Seumpama membersihkan lantai dengan menggunakan lap yang
kotor.
2.
Kembang MLATHI, rasa
melad saka njero ati.
Dalam berucap dan berbicara
hendaknya kita selalu mengandung ketulusan dari hati nurani yang paling dalam.
Lahir dan batin haruslah selalu sama, kompak, tidak munafik. Menjalani segala
sesuatu tidak asal bunyi, tidak asal-asalan. Kembang melati, atau mlathi, bermakna filosofis bahwa
setiap orang melakukan segala kebaikan hendaklah melibatkan hati (sembah kalbu),
jangan hanya dilakukan secara gerak ragawi saja.
3.
Kembang KENANGA, Keneng-a!
Atau gapailah..! segala
keluhuran yang telah dicapai oleh para pendahulu. Berarti generasi penerus
seyogyanya mencontoh perilaku yang baik dan prestasi tinggi yang berhasil
dicapai para leluhur semasa hidupnya. Kenanga, kenang-en ing
angga.
Bermakna filosofis agar supaya anak turun selalu mengenang, semua “pusaka”
warisan leluhur berupa benda-benda seni, tradisi, kesenian, kebudayaan,
filsafat, dan ilmu spiritual yang banyak mengandung nilai-nilai kearifan lokal
(local
wisdom).
4.
Kembang MAWAR, Mawi-Arsa
Dengan kehendak atau niat.
Menghayati nilai-nilai luhur hendaknya dengan niat. Mawar, atau awar-awar
ben tawar.
Buatlah hati menjadi “tawar” alias tulus. Jadi niat tersebut harus berdasarkan
ketulusan, menjalani segala sesuatu tanpa pamrih (tapa
ngrame)
sekalipun pamrih mengharap-harap pahala. Pahala tetap saja “upah” yang
diharapkan datang dari tuhan apabila seseorang melakukan suatu perbuatan baik.
Pamrih pahala ini tetap saja pamrih, berarti belum
mencapai ketulusan yang tiada batas atau keadaan rasa tulus
pada titik nihil, yakni duwe
rasa, ora duwe rasa duwe (punya rasa tidak punya
rasa punya) sebagaimana ketulusan tuhan/kekuatan alam semesta dalam melimpahkan
anugrah kepada seluruh makhluk. Pastilah tanpa pamrih.
4.1.
Mawar Merah
Mawar melambangkan proses
terjadinya atau lahirnya diri kita ke dunia fana. Yakni lambang
dumadine jalma menungsa melalui langkah
Triwikrama. Mawar merah melambangkan
ibu. Ibu adalah tempat per-empu-an di dalam mana jiwa-raga
kita diukir. Dalam bancakan weton dilambangkan juga berupa bubur merah (bubur
manis gula jawa).
4.2.
Mawar Putih
Mawar putih adalah
perlambang dari bapa yang meretas roh kita menjadi ada. Dalam lingkup
makrokosmos, Bapanya adalah Bapa langit, Ibunya adalah Ibu Bumi. Bapanya jiwa
bangsa Indonesia, Ibunya adalah nusantara Ibu Pertiwi. Keduanya mencetak
“pancer” atau guru sejati kita. Maka, pancer kita adalahpancerku
kang ana sa ngisore langit, lan pancerku kang ana sa nduwure bumi. Sang Bapa dalam bancakan
weton dilambangkan pula berupa bubur putih (santan kelapa). Lalu kedua bubur
merah dan putih, disilangkan, ditumpuk, dijejer, merupakan lambang dari
percampuran raga antara Bapa dan Ibu. Percampuran ragawi yang diikat oleh rasa
sejati, dan jiwa yang penuh cinta kasih yang mulia, sebagai pasangan hidup yang
seiring dan sejalan. Perpaduan ini diharapkan menghasilkan bibit regenerasi yang
berkwalitas unggul. Dalam jagad makro, keselarasan dan keharmonisan antara bumi
dan langit menjadukan keseimbangan alam yang selalu melahirkan berkah agung,
berupa ketentraman, kedamaian, kebahagiaan kepada seluruh penghuninya.
Melahirkan suatu negeri yang tiada musibah dan bencana, subur makmur, gemah
ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja.
Kembang
Telon
Terdiri tiga macam bunga.
Bisa menggunakan bunga mawar putih, mawar merah, dan kanthil. Atau mawar,
melati, kenanga. Atau mawar, melati, kantil. Telon berasal dari kata telu
(tiga). Dengan harapan agar meraih tiga kesempurnaan dan kemuliaan hidup (tri
tunggal jaya sampurna). Sugih
banda, sugih ngelmu, sugih kuasa.
Kembang
Boreh, Putihan
Terdiri dari tiga macam
bunga yang berwarna putih. Yakni kanthil, melati, dan mawar putih. Ditambah
dengan “boreh” atau parutan terdiri dua macam rempah; dlingo dan bengle. Agar segala sesuatu
selalu dalam tindak tanduk, perilaku yang suci murni. Karena putih di sini
melambangkan kesucian dan ketulusan hati. Kembang telon bermakna pula sebagai
pengingat agar supaya kita selalu eling danwaspada.
Kembang
Tujuh Rupa
Berupa kembang setaman
ditambah jenis bunga-bunga lainnya sampai berjumlah 7 macam. Lebih sempurna bila
di antara kembang tersebut terdapat kembang wora-wari
bang. Atau
sejenis bunga sepatu yang wujudnya tidak mekar, tetapi bergulung/gilig memanjang
(seperti gulungan bulat memanjang berwarna merah). Ciri lainya jika pangkal
bunga dihisap akan terasa segar manis. Kembang tujuh rupa, dimaksudkan supaya
apa yang sedang menjadi tujuan hidupnya dapat terkabul dan terlaksana. Tujuh
(Jawa; pitu) bermakna sebuah harapan
untuk mendapatkan pitulungan atau pertolongan dari
tuhan yang Mahakuasa.
Rujak
Degan
Atau rujak kelapa muda.
Degan supaya hatinya legan, legowo. Seger sumringah, segar bugar dengan hati
yang selalu sumeleh,
lega lila lan legawa. Hatinya selalu berserah
diri pada tuhan, selalu sabar, dan tulus.
Dlingo
dan Bengle
Keduanya termasuk
rempah-rempah, atau empon-empon. Bengle bentuk luarnya mirip jahe. Tetapi baunya
sangat menyengat dan bisa membuat puisng. Sedangkan dalamnya berwarna kuning
muda. Karena baunya yangmblenger sehingga di Indonesia
jenis rempah ini tidak digunakan sebagai bumbu masak. Sebaliknya di negeri
Thailand rempah ini termasuk sebagai bumbu masak utama. Entah apa sebabnya,
bengle dan dlingo merupakan rempah yang sangat tidak disukai oleh bangsa
lelembut. Sehingga masyarakat Jawa sering memanfaatkannya sebagai sarana penolak
bala atau gangguan berbagai makhluk halus. Anda dapat membuktikannya secara
sederhana. Bila ada orang gila yang dicurigai karena ketempelanmahluk halus, atau jika ada
seseorang sedang kesurupan, coba saja anda ambil bengle, atau parutan bengle,
lalu oleskan di bagian tubuhnya mana saja, terutama di bagian tengkuk. Anda akan
melihat sendiri bagaimana reaksinya. Biasanya ia akan ketakutan atau berteriak
histeris lalu sembuh dari kesurupan. Dalam tradisi Jawa, jika ada orang
meninggal dunia biasanya disiapkan parutan bengle dicampur dengan sedikit air
digunakan sebagai pengoles bagian belakang telinga. Gunanya untuk menangkal
sawan.
Bahkan pengalaman saya
pribadi, setiap hidung ini mencium bau bengle, menandakan ada seseorang yang
berada di dekat saya waktu itu, yang akan meninggal dunia.
Dlingo bengle, walaupun
keduanya sangat berbeda bentuk dan rupanya, tetapi baunya seolah matching,
sangat serasi dan sekilas baunya hampir sama. Dlingo dan bengle ebrmanfaat pula
sebagai sarana memasaang pagar gaib di lingkungan rumah tinggal. Dengan cara ;
dlingo dan bengle ditusuk bersama seperti sate, lalu di tanam di setiap sudut
pekarangan atau rumah.
Begitulah pelajaran
berharga yang kini sering dianggap remeh bagi yang merasa diri telah suci dan
kaya pengetahuan. Di balik semua itu sungguh memuat nilai adiluhung sebagai
“pusaka” warisan leluhur, nenek moyang kita, nenek moyang bangsa ini sebagai
wujud sikapnya yang bijaksana dalam memahami jagad raya dan segala isinya. Doa
tak hanya diucap dari mulut. Tetapi juga diwujudkan dalam bergai simbol dan
lambang supaya hakekat pepeling/ajaran yang ada di
dalamnya mudah diingat-ingat untuk selalu dihayati dalam perilaku kehidupan
sehari-hari. Ajaran adiluhung yang di dalamnya penuh arti, sarat dengan filsafat
kehidupan. Kaya akan makna alegoris tentang moralitas dan spiritualitas dalam
memahami jati diri alam semesta, jagad nusantara, serta jagad kecil yang ada
dalam diri kita pribadi. [ Irawan
Khan
].