Ketahuilah bahwa keluarnya
seorang perempuan dalam keadaan berhias atau memakai minyak wangi dengan keadaan
menutup aurat hukumnya makruh tanzih, tidak haram. Hal itu menjadi haram jika
perempuan tersebut bertujuan untuk pamer (mendapatkan pandangan mata) dari kaum
laki-laki; artinya bertujuan membuat fitnah terhadap mereka.
Ibnu Hibban[58],
al-Hakim[59], an-Nasa’i[60], al-Baihaqi[61] meriwayatkan dalam bab kemakruhan
kaum perempuan untuk memakai minyak wangi, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud[62]
dari Abi Musa al-‘Asy’ari dengan marfu’ kepada Rasulullah, ia
bersabda:
أيما
امرأة استعطرت فمرت على قوم ليجدوا ريحها فهي زانية
(Perempuan
manapun memakai wewangian kemudian lewat pada suatu kaum (laki-laki) agara
mereka mendapati baunya maka ia seorang pelaku zina).
At-Tirmidzi[63] dalam bab
tetang kemakruhan keluar perempuan dengan memakai wewangian, juga dari hadits
Abi Musa al-‘Asy’ari dengan marfu’
kepada
Rasulullah, ia bersabda:
كل
عين زانية، والمرأة إذا استعطرت فمرت بالمجلس فهي كذا وكذا
(Setiap
[kebanyakan] mata melakukan zina, dan perempuan jika ia memakai wewangian
kemudian lewat di suatu majelis maka ia yang begini dan begini). Artinya ia seorang pelaku
zina.
Hadits terakhir di atas
dalam pengertian umum (Muthlaq),
sementara
hadits yang pertama dengan lafazh [ليجدوا
ريحها] dalam
pengertian yang dikhususkan (Muqayyad). Tujuan kedua hadits
adalah sama. Karena itu maka pengertian yang umum (Mutlaq)
harus dipahami
dengan mengaitkannya dengan pengertian yang khusus (Muqayyad), sebagai mana kaedah ini
telah menjadi keharusan dengan kesepakatan (Ijma’) mayoritas ulama, supaya
kita terhindar dari konfrontasi dengan kesepakatan (Ijma’)
mayoritas
ulama tersebut. Karena itu tidak ada seorangpun dari para ulama yang menyatakan
haram secara mutlak bagi seorang perempuan keluar rumah dengan memakai
wewangian. Pemahaman semacam ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan
Abu Dawud dalam Sunan-nya, bahwa ia berkata[64]: “Kita [Isteri-isteri nabi]
keluar bersama nabi menuju Mekah, dan kita melumuri wajah dengan misik wangi
untuk ihram. Jika salah seorang dari kami berkeringat, air keringatnya mengalir
di atas wajahnya [membentuk guratan-guratan], dan nabi tidak mencegah”. Padahal
Rasulullah dan isteri-isterinya berpakian ihram dari Dzil Hulaifah; suatu tempat
beberapa mil dari Madinah.
Hadits pertama di atas
diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan al-Baihaqi dalam suatu bab yang keduanya
menamakan bab tersebut dengan “Bab makruh bagi perempuan untuk memakai
wewangian”. Bab tersebut dinamakan demikian karena keduanya paham bahwa hukum
perempuan memakai minyak wangi adalah makruh tanzih. Lafazh makruh jika
diungkapkan secara mutlak maka yang dimaksud adalah makruh tanzih, sebagaimana
dinyatakan para ulama madzhab Syafi’i. Syaikh Ahmad ibn Ruslan
berkata[65]:
وفاعل
المكروه لم يعذب # بل إ ن يكف لامتثال يثب
(Seorang
pelaku perbuatan makruh tidak disiksa, tetapi bila ia tidak melakukan perbuatan
tersebut karena tujuan melaksanakan syari’at, ia diberi pahala).
Sebagaiman diketahuai
al-Baihaqi adalah salah seorang ulama besar madzhab Syafi’i. Pemahaman mazdhab
Syafi’i ini juga diambil oleh madzhab Hanbali dan Maliki. Artinya semua madzhab
menyatakan bahwa lafazh “makruh” jika disebut secara mutlak maka yang dimaksud
adalah “makruh tanzih”. Adapaun dalam madzhab Hanafi, umumnya penyebutan
tersebut untuk tujuan “makruh tahrim”; artinya pelaku perbuatan tersebut telah
berdosa.
Dengan demikian, orang yang
mengharamkan keluarnya perempuan dengan wewangian, akan bersikap apa terhadap
hadits ‘Aisyah di atas yang merupakan hadits shahih, karena tidak ada seorang
ahli haditspun (al-hafizh) yang menyatakan hadits tersebut dla’if ?!. Adapun
penyataan sikap dari seorang yang bukan ahli hadits tentu saja tidak ada
gunanya, karena itu tidak memberikan pengaruh (sebagaimana disebutkan dalam
kitab-kitab Musthalah
al-Hadits).
Adapun hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, bahwa suatu ketika seorang perempuan lewat di
hadapan Abu Hurairah yang wewangiannya dirasakan oleh beliau, ia bertanya:
“Handak kemanakah engkau wahai hamba Tuhan yang maha perkasa?, perempuan
tersebut menjawab: “Ke masjid”. Abu Hurairah berkata: “Adakah engkau memakai
wewangian untuk itu?”. Ia menjawab: “Iya”. Abu Hurairah berkata: “Kembalilah
engkau pulang dan mandilah, sesungguhnya saya mendengar Rasulullah bersabda:
“Allah tidak menerima shalat seorang perempuan yang keluar menuju masjid
sementara wewangiannya menyebar semerbak hingga ia pulang kembali dan mandi”.
Hadits ini tidak dinyatakan shahih oleh seorang hafizhpun. Bahkan Ibnu Khuzaimah
yang meriwayatkannya berkata: “Jika hadits ini shahih”. [artinya menurut beliau
hadits ini tidak shahih].
Dengan demikian hadits ini
tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Yang menjadi sandaran hukum dalam hal ini
adalah hadits ‘Aisyah sebelumnya di atas, karena hadits tersebut lebih kuat
sanadnya dari pada hadits Ibnu Khuzaimah ini.
Namun demikian makna dua
hadits ini dapat dipadukan. Dengan dipahami sebagai berikut: “Jika hadits Ibnu
Khuzaimah dinyatakan shahih maka maknanya bukan untuk tujuan mengharamkan
memakai minyak wangi bagi kaum perempuan, tapi untuk menyatakan bahwa shalatnya
perempuan tersebut tidak diterima [tidak memiliki pahala]. Hal ini sebagaimana
diketahui bahwa ada beberapa perbuatan makruh yang dapat menghilangkan pahala
perbuatan [ibadah] yang sedang dilakukan, namun begitu perbuatan [makruh]
tersebut bukan sebuah kemaksiatan. Contohnya seperti shalat tanpa adanya khusyu,
shalat tetap sah [menggugurkan kewajiban] hanya saja tanpa pahala dan tidak
diterima. Contoh lainnya seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan Abu Dawud
dengan marfu’[66]: “Siapa yang mendengar
orang memanggil [adzan] dan ia tidak memiliki alasan untuk mengikutinya [shalat
jama’ah] maka tidak diterima shalatnya [sendiri] yang ia lakukan”. Beberapa
sahabat bertanya: “Apakah alasan dalam hal ini?”. Ia menjawab: “Rasa takut atau
karena sakit”. Hadits ini bukan berarti orang yang tidak shalat berjama’ah
dengan tanpa alasan sebagai pelaku maksiat. Tetapi maknanya orang tersebut telah
berlaku perbuatan makruh. Demikian pula dengan hadits Ibnu Khuzaimah di atas
bukan dalam pengertian haram memakai wewangian bagi perempuan, tetapi dalam
pengertian makruh.
Catatan lainnya; wewangian
yang dimakruhkan di sini adalah wewangian yang semerbak baunya, sebab lafazh
haditsnya menyatakan [وريحها
تعصف], dan
lafazh [تعصف] untuk bau yang menyengat,
tidak digunakan mutlak/umum bagi seluruh wewangian. Sebagaimana hal ini telah
dijelaskan oleh para ahli bahasa.
Adapun hadits yang
berbunyi:
لا
تمنعوا إماء الله من مساجد الله ولكن ليخرجن تفلات
(Janganlah
kalian melarang para hamba Allah dari kaum perempuan untuk mendatangi
masjid-masjid, hanya saja hendaklah mereka keluar dalam keadaan tidak memakai
wewangian).
Hadits inipun dalam pengertian makruh tanzih bila perempuan tersebut memakai
wewangian menuju masjid.
Pengakuan sebagain orang
bahwa an-Nasa’i meriwayatkan:
فمرت
بقوم فوجدوا ريحها ...
Dengan lafazh [فوجدوا]; (…hingga
kaum laki-laki medapatkan wanginya…) adalah periwayatan yang
tidak shahih. Riwayat yang shahih adalah dengan lafazh [ليجدوا]; (…dengan
tujuan agar kaum laki-laki mendapatkan wanginya).
Simak apa yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah dari Muhammad ibn al-Munkadir, berkata: “Suatu saat Asma’
didatangi ‘Aisyah, sementara Zubair (suami Asma’) tidak ada di rumah. Dan ketika
Rasulullah masuk ia mendapati wewangian, ia bersabda: “Tidak layak bagi seorang
perempuan memakai wewangain di saat suaminya tidak di rumah”. Hadits inipun
bukan untuk menunjukan keharaman, karena bila untuk tujuan haram maka akan
diterangkan langsung oleh nabi.
Ibnu Muflih al-Maqdisi
al-Hanbali dalam karyanya al-Adab
as-Syar’iyyah
berkata: “Haram bagi seorang perempuan keluar rumah suaminya tanpa mendapatkan
izin darinya, kecuali karena dlarurat atau karena kewajian syari’at…”. Pada
akhir tulisan ia berkata: “…dan dimakruhkan bagi perempuan memakai wewangain
untuk hadir ke masjid atau ke tempat lainnya”.
* * *
Al-Baihaqi dalam dalam
Sunan-nya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa di hari iedul fitri Rasulullah
keluar rumah, ia shalat dua raka’at, saat itu beliau bersama Bilal, kemudian
datang kaum perempuan dan nabi menyuruh mereka semua untuk bersedekah, setelah
itu kemudian kaum perempuan tersebut melepaskan apa yang mereka kenakan dari
al-Khursh dan as-Sakhab. Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari
dalam kitab Shahih-nya dari Abi al-Walid, dan diriwayatkan Muslim dari Syu’bah”.
As-Sakhab adalah sesuatu yang dikenakan dari wewangian. Al-Khursh adalah
perhiasan-perhiasan dari emas dan perak. Dalam hadits ini terdapat kebolehan
bagi kaum perempuan untuk memakai wewangaian dan berhias, di mana Rasulullah
tidak melarang kaum perempuan tersebut untuk mengenakannya.
__________________________________
[58]. Al-Ihsan
Bi Tartib Shahih Ibn Hibban (6/301)
[59]. Al-Mustadrak:
Kitab at-Tafsir (2/396)
[60]. Sunan
an-Nasa'i: Kitab az-Zinah
[61]. As-Sunan
al-Kubra
(3/246)
[62]. Sunan
Abi Dawud: Kitab at-Tarajjul: Bab tentang keluarnya
perempuan dengan memakai minyak wangi.
[63]. Jami'
at-Tirmidzi: Kitab al-Adab: Bab tentang makruhnya
seorang perempuan keluar dengan memakai minyak wangi.
[64]. Sunan
Abi Dawud: Kitab al-Manasik.
[65]. Matan
az-Zubad (h.
10)
[66]. Sunan
Abi Dawud:
Kitab
as-Shalat.
Lihat pula al-Mustadrak (1/246) dan as-Sunan
al-Kubra
(3/75)
SUMBER : EBOOK MASA-IL
DINIYYAH oleh Kholil Abou Fateh, Kompilasi ebook oleh: M. Luqman Firmansyah,
Facebook Pages AQIDAH AHLUSSUNNAH : ALLAH ADA TANPA TEMPAT, Blog:
allahadatanpatempat.wordpress.com