Budaya selamatan setelah
hari kematian seseorang dengan tahlilan dan walimahan—baik dalam 7 hari, 40
hari, 100 hari atau 1000 hari—adalah salah satu budaya masyarakat Nahdhiyyin di
Indonesia yang sangat diingkari oleh kaum Wahhabi dan yang sefaham dengannya
serta dituduh sebagai budaya bid’ah dan sesat.
Berbagai buku yang
bermuatan kritik dan hinaan terhadap budaya tersebut banyak ditulis oleh
orang-orang menisbatkan dirinya penganut faham salaf atau Wahhabi. Mereka juga
mengatakan dan memberi bukti tuduhannya bahwa budaya tersebut adalah warisan
budaya agama Hindu, terbukti dengan diadakannya konggres yang dilakukan oleh
petinggi-petinggi umat Hindu se-Asia pada tahun 2006 di Lumajang, Jawa Timur.
Dan salah satu point pembahasannya adalah membicarakan tentang ungkapan syukur
atas keberhasilan menyebarkan budaya acara-acara setelah kematian seperti 7
hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari. (Lihat buku Mantan
Kyai NU Menggugat Tahlilan, Istighatsahan dan Ziarah Para Wali, karangan H. Mahrus Ali
).
Berikut ini, akan kami
kupas hadits dan dalil tentang melaksanakan budaya di atas. Jawaban tentang
masalah ini kami ambil dari kitab Qurrah
al-’Ain bi Fatawi Isma’il Zain al-Yamani halaman 175 cetakan
Maktabah al-Barakah dan kitab al-Hawi
lil Fatawi karya al-Hafizh Jalaluddin
as-Suyuthi juz 2 halaman 179 cetakan Darul Kutub, Bairut.
Syaikh Isma’il Zain
al-Yamani menulis sebagai berikut (kami kutib secara garis besar):
Dalam Sunan Abu Dawud hadits nomer
2894 dituliskan:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ
كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ قَالَخَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ
أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ
اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ
ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ
أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ
اللهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ
فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا
بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ
بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ
اْلأُسَارَى
“Muhammad
bin al-‘Ala’ menceritakan dari (Abdullah) bin Idris dari ‘Ashim bin Kulaib dari
ayahnya (Kulaib) dari seorang laki-laki Anshar (shahabat), berkata: ‘Aku keluar
bersama Rasulallah berta’ziyah ke salah satu jenazah. Selanjutnya aku melihat
Rasulallah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur (dengan berkata):
‘Lebarkanlah bagian arah kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala!’
Setelah Rasulallah hendak kembali pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi
pesuruh wanita (istri mayit) menemui beliau, mengundangnya (untuk datang ke
rumah wanita tersebut). Lalu Rasulallah pun datang dan diberi hidangan suguhan
makanan. Kemudian Rasulallah pun mengambil makanan tersebut yang juga diikuti
oleh para shahabat lain dan memakannya. Ayah-ayah kami melihat Rasulallah
mengunyah sesuap makanan di mulut beliau, kemudian Rasulallah berkata: ’Aku
merasa menemukan daging kambing yang diambil dengan tanpa izin pemiliknya?!’
Kemudian wanita itu berkata: ’Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku telah menyuruh
untuk membeli kambing di Baqi,[1] tapi
tidak menemukannya, kemudian aku mengutus untuk membeli dari tetangga laki-laki
kami dengan uang seharga (kambing tersebut) untuk dikirimkan kepada saya, tapi
dia tidak ada dan kemudian saya mengutus untuk membeli dari istrinya dengan uang
seharga kambing tersebut lalu oleh dia dikirimkan kepada saya.’ Rasulallah
kemudian menjawab: ’Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!’”
Hadits Abu Dawud tersebut
juga tercatat dalam Misykah
al-Mashabih
karya Mulla Ali al-Qari bab mukjizat halaman 544 dan tercatat juga dalam
as-Sunan
al-Kubra serta
Dala’il
an-Nubuwwah,
keduanya karya al-Baihaqi.
Komentar Syaikh Ismail
tentang status sanad hadits di atas, beliau berkata bahwa dalam Sunan Abu Dawud tersebut, Imam
Abu Dawud diam tidak memberi komentar mengenai statusnya, yang artinya secara
kaidah (yang dianut oleh ulama termasuk an-Nawawi dalam mukaddimah al-Adzkar) bahwa hadits tersebut
boleh dibuat hujjah, artinya status haditsnya berkisar antara hasan dan shahih.
Al-Hafizh al-Mundziri juga diam tidak berkomentar, yang artinya bahwa hadits
tersebut juga boleh dibuat hujjah.
Perawi yang bernama
Muhammad bin al-‘Ala’ adalah guru Imam al-Bukhari, Muslim dan lain-lain dan
jelas termasuk perawi shahih. Abdullah bin Idris dikomentari oleh Ibnu Ma’in
sebagai perawi tsiqah
dan di katakan
oleh Imam Ahmad sebagai orang yang tidak ada duanya (nasiju
wahdih).
Sementara ‘Ashim, banyak yang komentar dia adalah perawi tsiqah dan terpercaya, haditsnya
tidak mengapa diterima, orang shalih dan orang mulia penduduk Kufah. Sedangkan
laki-laki penduduk Madinah yang di maksud adalah shahabat Nabi yang semuanya
adalah adil tanpa ada curiga sama sekali. Dari keterangan ini, dapat diambil
kesimpulan bahwa hadits di atas adalah hadits hasan yang bisa dibuat
hujjah.
Sedangkan dari sisi isinya,
hadits tersebut mengandung beberapa faidah dan hukum penting, di
antaranya:
1.Menunjukkan mukjizat
Rasulallah yang dapat mengetahui haram tidaknya sesuatu tanpa ada seseorang yang
memberi tahu. Oleh karena itu, al-Baihaqi dalam Dala’il
an-Nubuwwah
menyebutkan hadits ini dalam bab Mukjizat.
2.Jual belinya seseorang yang
bukan pemilik atau wakil (bai’
fudhuli)
adalah tidak sah dan bathil. Oleh karennya, Abu Dawud menyebutkan hadits ini
dalam Sunan-nya di bagian bab Jual
Beli.
3.Akad yang mengandung
syubhat seyogianya dihindari agar tidak jatuh pada limbah keharaman.
4.Diperbolehkannya bagi
keluarga mayit membuat hidangan atau walimah dan mengundang orang lain untuk
hadir memakannya. Bahkan, jika difahami dari hadits tersebut, melakukan walimah
tersebut adalah termasuk qurbah (ibadah). Sebab,
adakalanya memberi makan bertujuan mengharapkan pahala untuk si mayit -termasuk
utama-utamanya qurbah- serta sudah menjadi
kesepakatan bahwa pahalanya bisa sampai kepada mayit. Mungkin pula bertujuan
menghormati tamu dan niat menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah agar
tidak lagi larut dalam kesedihan. Baik jamuan tersebut dilakukan saat hari
kematian, seperti yang dilakukan oleh istri mayit dalam hadits di atas, atau
dilakukan di hari-hari berikutnya. (Mungkin maksud Syaikh Ismail adalah hari
ke-7, 40, 100 dan 1000).
Hadits di atas juga di
nilai tidak bertentangan dengan hadits masyhur berikut:
إِصْنَعُوا
لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُنَّ مَا يُشْغِلُهُنَّ أَوْ أَتَاهُمْ مَا
يُشْغِلُهُمْ
“Buatlah
makanan untuk keluarga Ja‘far, karena anggota keluarga yang wanita sedang sibuk
atau anggota keluarga laki-laki sedang sibuk.”
Menurut Syaikh Isma‘il,
hadits tersebut (keluarga Ja'far) ada kemungkinan (ihtimal) khusus untuk keluarga
Ja‘far, karena Rasulallah melihat keluarga Ja‘far tersebut sedang dirundung duka
sehingga anggota keluarganya tidak sempat lagi membuat makanan. Kemudian
Rasulallah menyuruh anggota keluarga beliau untuk membuatkan makanan bagi
keluarga Ja‘far. Selain itu juga, tidak ada hadits yangsharih
(jelas) yang
menjelaskan bahwa Rasulallah melarang bagi keluarga mayit membuat hidangan atau
walimahan untuk pentakziyah.
Pernyataan ini dikuatkan
dengan riwayat dalam Shahih
al-Bukhari
dari Aisyah:
عَنْ
عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ
إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ
تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ
فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ
كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيضِ تَذْهَبُ بِبَعْضِ
الْحُزْنِ
“Dari
Aisyah, istri Rasulallah, ketika salah satu keluarganya ada yang meninggal, para
wanita-wanita berkumpul dan kemudian pergi kecuali anggota keluarganya dan
orang-orang tertentu. Kemudian beliau memerintahkan untuk membawakannya periuk
berisi sup yang terbuat dari tepung yang dicampuri dengan madu kemudian dimasak.
Kemudian dibuatlah bubur sarid dan sup tadi dimasukkan ke dalam bubur tersebut.
Lalu beliau berkata: ‘Makanlah makanan ini karena aku mendengar dari Rasulallah
bersabda bahwa bahwa sup dapat melegakan hati orang yang sedang sakit;
menghilangkan sebagian kesusahan.”
Orang yang mengerti kaidah
syari’at berpandangan bahwa walimah yang dibuat oleh keluarga mayit adalah tidak
dilarang selama mereka membuat walimah tersebut karena taqarrub kepada Allah, menghibur
keluarga yang sedang mendapat musibah dan menghormat para tamu yang datang untuk
bertakziyah. Tentunya, semua itu jika harta yang digunakan untuk walimah
tersebut tidak milik anak yatim, yakni jika salah satu keluarga yang
ditinggalkan mayit ada anak yang masih kecil (belum baligh).
Adapun menanggapi perkataan
(hadits) al-Jarir bin Abdillah yang mengatakan bahwa berkumpul dengan keluarga
mayit dan membuatkan hidangan untuk mereka adalah termasuk niyahah
(meratapi
mayit) yang diharamkan, Syaikh Isma‘il memberi jawaban: “Maksud dari ucapan
Jarir tersebut adalah mereka berkumpul dengan memperlihatkan kesedihan dan
meratap. Hal itu terbukti dari redaksi ucapan Jarir yang menggunakan kata
niyahah. Hal itu menunjukkan bahwa
keharaman tersebut dipandang dari sisi niyahah
dan bukan dari
berkumpulnya. Sedangkan apabila tidak ada niyahah tentu hal tersebut tidak
di haramkan.”
Sedangakan menjawab
komentar ulama-ulama yang sering digunakan untuk mencela budaya di atas[2]
(tentang hukum sunah bagi tetangga keluarga mayit membuat atau menyiapkan
makanan bagi keluarga mayit sehari semalam) yang dimaksudkan adalah obyek hukum
sunah tersebut adalah bagi keluarga mayit yang sedang kesusahan seperti yang
dialami keluarga Ja‘far. Oleh karena itu, tidak ada dalil tentang hukum makruh
membuat walimah oleh keluarga mayit secara mutlak kecuali dari (memahami) hadits
keluarga Ja‘far dan hadits Jarir di atas. Ada kemungkinan juga ulama-ulama
tersebut belum pernah melihat hadits ‘Ashim di atas yang menerangkan tentang
bolehnya membuat walimah bagi keluarga mayit.
Al-‘Allamah Mulla Ali
al-Qari mengatakan: “Zhahir dari hadits ‘Ashim tersebut menentang apa yang
diputuskan oleh para ulama kita (ashhabuna) tentang dimakruhkannya
membuat walimah di hari pertama, ketiga atau setelah seminggu.”
Adapun dalil bahwa pahala
shadaqah yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai kepadanya adalah riwayat
al-Bukhari dari Aisyah:
أَنَّ
رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي
افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا
أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
“Seorang
laki-laki bertanya kepada Rasulallah Saw.: ‘Ibu saya telah meninggal, dan aku
berprasangka andai dia bisa berbicara pasti dia akan bersedekah, maka apakah dia
mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya?’ Rasulallah menjawab:
‘Benar.’”
Hadits shahih ini adalah
hujjah tentang pahala shadaqah yang sampai kepada mayit. Maka dari itu, pembaca
jangan terperdaya dengan ‘pandangan’ H. Mahrus Ali dalam bukunya yang berjudul
Mantan
Kyai NU Menggugat Tahlilan, Istighatsahan dan Ziarah para Wali. Mahrus Ali mengatakan
bahwa hadits-hadits tentang pahala shadaqah tersebut adalah dha‘if dan secara
isyarah dia melemahkan hadits shahih al-Bukhari di atas. Sungguh brutal dan
‘ngawur’ sekali! Bukan dalang tapi mendalang. Bukan ahli hadits tapi menilai
hadits. Apalagi sampai mendhaifkan hadits dalam shahih Bukhari yang mempunyai
sanad (bukan mu’allaq) dan sudah menjadi
kesepakatan ulama termasuk hadits shahih.
Fatwa
as-Suyuthi:
Terdapat keterangan ulama
bahwa mayit difitnah (ditanya malaikat Munkar dan Nakir) di dalam kuburnya
adalah selama 7 hari (setelah hari penguburan) sebagaimana tersirat dalam hadits
yang dibawakan oleh beberapa ulama. Hadits yang dibuat landasan tersebut
adalah:
1.Hadits riwayat Ahmad dalam
az-Zuhd dari Thawus.
2.Hadits riwayat Abu Nu’aim
al-Ashbahani dari Thawus.
3.Hadits riwayat Ibnu Juraij
dalam al-Mushannaf dari ‘Ubaid bin ‘Umair
(sebagian berkomentar dia adalah pembesar tabi’in dan sebagian yang lain
mengatakan dia seorang shahabat). Al-Hafizh Ibnu Rajab menisbatkan pada Mujahid
dan ‘Ubaid bin ‘Umair.
Hadits-hadits tersebut
adalah:
قَالَ
اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لَهُ
حَدَّثَنَا هَاشِمٌ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ
قَالَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا
يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعِمُوا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ
قَالَ
الْحَافِظُ أَبُو نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ بْنِ مَالِكٍ
ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ ابْنُ حَنْبَلَ ثَنَا أُبَيُّ ثَنَا هَاشِمٌ بْنُ
الْقَاسِمِ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قاَلَ طَاوُوسُ إِنَّ
الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ
يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ
ذِكْرُ
الرِّوَايَةِ الْمُسْنَدَةِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ: قاَلَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي
مَصَنَّفِهِ عَنِ الْحَارِثِ ابْنِ أَبِي الْحَارِثِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ
قَالَ يُفْتَنُ رَجُلاَنِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ
سَبْعًا
“Imam
Ahmad dalam az-Zuhd berkata: ‘Hasyim bin Qasim bercerita kepadaku dari
al-Asyja‘i dari Sufyan dari Thawus, dia berkata: Sesungguhnya mayit di dalam
kuburnya terfitnah (ditanyai Malaikat Munkar dan Nakir) selama 7 hari. Dan
mereka menganjurkan supaya membuat (walimahan) dengan memberi makan
(orang-orang), (yang pahalanya dihadiahkan) untuk si mayit tersebut di hari-hari
tersebut.”
Selanjutnya hadits riwayat
berikutnya adalah sama secara makna. Sebelum membahas isi dari hadits ini,
marilah kita bahas terlebih dahulu diri sisi sanadnya, sehingga kita akan tahu
layak dan tidaknya hadits ini untuk dibuat hujjah.
1.Perawi-perawi hadits yang
pertama adalah shahih dan Thawus adalah termasuk pembesar tabi’in.
2.Hadits yang diriwayatkan
dan tidak mungkin dari hasil ijtihad shahabat atau tabi’in hukumnya adalah
marfu’ bukan mauquf, seperti hadits yang menerangkan tentang alam barzakh,
akhirat dan lain-lain sebagaimana yang sudah maklum dalam kaidah ushul hadits.
3.Atsar Thawus tersebut adalah
termasuk hadits marfu’ yang mursal dan sanadnya shahih serta boleh dibuat hujjah
menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad secara mutlak tanpa syarat. Sedangkan
menurut asy-Syafi‘i juga boleh dibuat hujjah jika ada penguat seperti ada
riwayat yang sama atau riwayat dari shahabat yang mencocokinya. Syarat tersebut
telah terpenuhi, yaitu dengan adanya riwayat dari Mujahid dan ‘Ubaid bin ‘Umair
dan keduanya seorang tabi’in besar (sebagian mengatakan ‘Ubaid adalah shahabat
Rasulallah). Dua hadis riwayat selanjutnya adalah hadits mursal yang menguatkan
hadits mursal di atas.
4.Menurut kaidah ushul,
kata-kata “mereka menganjurkan memberi makan di hari-hari itu” adalah termasuk
ucapan tabi’in. Artinya, kata “mereka” berkisar antara shahabat Rasulallah, di
zaman Rasulallah, dan beliau taqrir (setuju) terhadap prilaku
tersebut atau artinya adalah shahabat tanpa ada penisbatan sama sekali kepada
Rasulallah. Ulama juga berselisih apakah hal itu adalah ikhbar (informasi) dari semua
shahabat yang berarti menjadi ijma’ atau hanya sebagian dari shahabat saja.
Dari hadits di atas dapat
difahami dan digunakan sebagai:
1.Dasar tentang i’tiqad bahwa
fitnah kubur adalah selama 7 hari.
2.Penetapan hukum syara'
tentang disunahkannya bershadaqah dan memberi makan orang lain di hari-hari
tersebut. Serta, dapat dijadikan dalil bahwa budaya memberi makan warga
Nahdhiyyin saat hari pertama sampai hari ketujuh dari hari kematian adalah
terdapat dalil yang mensyariatkannya.
As-Suyuthi juga mengatakan:
“Sunah memberi makan selama 7 hari tersebut berlaku sampai sekarang di Makkah
dan Madinah, dan secara zhahirnya hal itu sudah ada dan tidak pernah
ditinggalkan masyarakat sejak zaman shahabat sampai sekarang. Dan mereka
mengambilnya dari salaf-salaf terdahulu.”
Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir
meriwayatkan dari Abul Fath Nashrullah bin Muhammad bahwa Nashr al-Maqdisi wafat
di hari Selasa tanggal 9 Muharram tahun 490 hijriyyah di Damaskus dan kami
menetap di makamnya selama 7 hari membaca al-Qur’an sebanyak 20
khataman.
Adapun melakukan acara 40
hari, 100 hari atau 1000 hari dari kematian dengan melakukan tahlilan dan
bershadaqah memang tidak ada dalil yang mengatakan sunah. Namun demikian,
melakukan budaya tersebut diperbolehkan menurut syariat. Dan seyogianya bagi
yang mengadakan acara tersebut tidak mengi’tiqadkan bahwa hal tersebut adalah
sunnah dari Rasulallah, tetapi cukup berniat untuk bershadaqah dan membacakan
Al-Qur’an, yang mana pahalanya dihadiahkan kepada mayit, sebagaimana keterangan
di atas.
Sedangkan untuk menanggapi
syubhat dari H. Mahrus Ali yang
mengatakan bahwa tahlilan kematian dan budaya 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000
hari adalah budaya Hindu dan melakukannya adalah syirik karena menyerupai orang
kafir (dia juga membawakan hadits tentang tasyabbuh riwayat ath-Thabarani dan
Abu Dawud), kami menjawab sebagai berikut:
1.Sebagian dari pernyataannya
tentang acara selamatan 7 hari yang katanya adalah merupakan salah satu dakwah
(ajaran syari’at) umat Hindu sudah terbantah dengan hadits-hadits di atas.
2.Andai anggapan tersebut
benar adanya, bahwasannya budaya walimah kematian 7 hari, 40 hari dan sebagainya
tersebut adalah bermula dari budaya warisan umat Hindu Jawa, sebagaimana yang di
yakini oleh bebarapa Kyai dan ahli sejarah babat tanah Jawa, dan di saat ajaran
Islam yang di bawa Wali Songo datang, budaya tersebut sudah terlanjur mendarah
daging dengan kultur masyarakat Jawa kala itu. Kemudian dengan dakwah yang penuh
hikmah dan kearifan dari para wali, budaya yang berisi kemusyrikan tersebut di
giring dan di arahkan menjadi budaya yang benar serta sesuai dengan ajaran
Islam, yaitu dengan diganti dengan melakukan tahlilan, kirim do’a untuk orang
yang telah meninggal atau arwah laluhur dan bersedekah. Maka sebenarnya jika
kita kembali membaca sejarah Islam bahwasannya methode dakwah wali 9 yang
mengganti budaya Hindu tersebut dengan ajaran yang tidak keluar dari tatanan
syariat adalah sesuai dengan apa yang di lakukan oleh Rasulallah yang mengganti
budaya Jahiliyyah melumuri kepala bayi yang di lahirkan dengan darah hewan
sembelihan dan diganti dengan melumuri kepala bayi dengan minyak zakfaron. Apa
yang di lakukan Rasulallah tersebut tersirat dalam sebuah hadits shahih riwayat
al-Hakim dalam al-Mustadrak, Abu Dawud dalam
Sunan-nya, Imam Malik dalam
al-Muwaththa’ dan al-Baihaqi dalam
as-Sunan
al-Kubrayang
semuanya di riwayatkan dari shahabat Abu Buraidah al-Aslami berikut:
كُنَّا
فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَّخَ
رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً
وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ
“Saat
kami masih hidup di zaman Jahiliyyah; saat salah satu dari kami melahirkan
seorang bayi, maka kami menyembelih seekor kambing dan kepala bayi kami lumuri
dengan darah kambing tersebut. Namun saat Allah mendatangkan Islam, kami
menyembelih kambing, kami cukur rambut kepala bayi dan kami lumuri kepalanya
dengan minyak zakfaron”
Dengan demikian, jika
budaya walimah kematian di atas yang di isi dengan berbagai kebaikan seperti
shodaqah penghormatan kepada tamu dan bacaan ratib
tahlil atau
dzikir-dzikir lain di anggap sebagai sesuatu yang keluar dari jalur syariat dan
bid'ah yang sesat, maka sebenarnya anggapan tersebut sama dengan menganggap
dakwah wali songo tersebut tidak benar dan mereka adalah pendakwah yang sesat.
Na'udzu
billah.
Tasyabbuh dengan orang kafir yang
dihukumi kufur adalah jika tasyabbuh dengan kelakuan kufur
mereka, memakai pakaian ciri khas mereka, atau sengaja melakukan syiar-syiar
kekufuran bersama-sama dengan mereka. Atau ringkasnya, tasyabbuh yang menjadikan kufur
adalahtasyabbuh dengan mereka secara
mutlak (zhahiran
wa bathinan).
Sedangakan tasyabbuh yang dihukumi haram adalah
jika tasyabbuh tersebut diniatkan
menyerupai mereka di dalam hari-hari raya mereka.[3] Padahal kita tahu, acara
selamatan sudah ada sejak dulu dan juga selamatan tidak pernah tasyabbuh dengan kekufuran dan
hari-hari raya mereka. Andaipun tuduhan itu benar, bahwa selamatan merupakan
budaya Hindu, maka juga tidak bisa dihukumi kufur atau haram karena warga
Nahdhiyyin sama sekali tidak ada niat tasyabbuh dengan budaya mereka.
Selain dari pada itu, umat Hindu tidak pernah mengenal tahlilan sama sekali.
Lalu kenapa dikatakan tasyabbuh dan dihukumi haram? dan
masihkan acara yang dilakukan oleh warga Nahdhiyyin tersebut dianggap sebagai
budaya bid’ah dan sesat?
[1]
Sebagian riwayat menyebutkan Naqi (tempat pembelian kambing).
[3]
Lihat Faidh al-Qadir 6/128 (hadits no 8593) dan Bughyatul Mustarsyidin hlm.
248.