DALIL AMALAN WARGA NAHDLIYIN (NU)
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulil lah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT
sang Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta
seperangka t
aturan-Nya , karena berkat
limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya , sehingga penulis dapat
menyelesai kan
Elektronik Book (E-BOOK) ini dengan
judul “DALIL AMALAN WARGA NAHDLIYIN
(NU)’ ini dapat
terselesai kan tidak kurang dari pada
waktunya.
Maksud dan tujuan dari penulisan E-BOOK ini tidak lain sebagai
informasi dan “meluruska n” dari
tuduhan golongan yang tidak sepaham dengan amalan-ama lan warga nahdliyin, sehingga mudahnya mereka
mengatakan banyak amalan warga
NU berbau Tahayul, Bid’ah dan Churafat (TBC) .Sebenarny a penulis pun tidak mempermasa lahkan sebuah perbedaan pendapat namun penulis
sangat merasa prihatin sebagai warga nahdliyin ketika
orang-oran g dari golongan lain
mempermasa lahkan
amalan-ama lan yang juga merupakan
amalan yang penulis lakukan sebagai warga nahdliyin.
Pada kesempatan ini,
penulis juga ingin menyampaik an
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesai an e-book ini baik
secara langsung maupun tidak langsung.. Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan
dimana penulispun sadar
bawasanya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan , sedangkan
kesempurna an hanya milik Allah
Azza Wa’jalla sehingga dalam penulisan dan penyusunan nya masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstrukti f akan senantiasa penulis harapkan dalam upaya untuk
mengevalua si diri penulis
pribadi ^_^. Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik
ketidaksem purnaan penulisan dan
penyusunan e-book ini ditemukan
sesuatu yang dapat memberikan manfaat
atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh warga nahdliyin
khususnya.
Kepanjen,1 2 Maret 2011
M. Imam Nawawi, S.PdI
DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………… ………………………… ………………………. . 1
Kata Pengantar ………………………… ………………………… ………………………. . 2
Daftar Isi ………………………… ………………………… ………………………… ……. 3
1. Makna ”KULLU BID’AH
DHOLALAH” ………………………… ……………….
4
2. Mengenal Makna Bidah
………………………… ………………………… …………. 7
3. Pertanyaan dan jawaban seputar bidah
………………………… …………………. 11
4. Bid’ah
sebuah kata sejuta makna ………………………… ………………………… 15
5. Contoh-con toh bid’ah yang diamalkan para sahabat
.......... .......... .......... .......... ...... 26
6. Qadha (pengganti an) Sholat yang ketinggala n dan dalil-dali l yang berkaitan dengannya
.......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ........ 42
7. Dalil Sholat sunnah
Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at .......... .......... .......... .......... .... 45
8. Dalil
mengangkat tangan waktu berdo’a .......... .......... .......... .......... .......... .......... ....... 48
9. Menyebut nama Rasulullah saw. dengan awalan kata sayyidina atau maulana…
50
10. Penggunaan Tasbih bukanlah bid’ah sesat
………………………… ……………… 58
11. Bagaimana hukum
menyuguhka n makanan baik kepada
para jamaah yang datang membacakan tahlil bagi si mayit maupun bagi para
pentakziah ? ………………... 63
12. Hukum Duduk Bersama Untuk Berdzikir
………………………… ………………. 65
13. Dalil Nyekar Bunga Di
Kuburan ………………………… ………………………… . 66
14. Dalil Tentang Bolehnya
Bertabaruk ………………………… …………………….. . 68
15. Bagaimana hukumnya
membaca manaqib? ………………………… …………….. 71
16. Dalil Bolehnya Bertawasul
………………………… ……………...…… …………… 77
17. Hukum Maulid Nabi
………………………… ………………………… ……………. 80
18. Dalil Membaca dzikir dan syair
sebelum pelaksanaa n shalat
berjama'ah ……….
82
19. Berzikir dengan pengeras suara
………………………… ………………………… .. 83
20. Hukum
Meng-Hadiah-kan
Fatihah ………………………… ………………………. 84
21. Hukum Bacaan
al-Qur’an, Doa (Tahlil) dan Jamuan
makan untuk orang mati ... 85
22. Tahlilan/ Kenduri Arwah, Mana dalilnya?
………………………… ………………. 87
23. Hukum Membaca Al-Barzanj i ………………………… ………………………… …. 98
1.
Makna “KULLU BID’AH
DHOLALAH”
Pada firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in
hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemah kan dengan arti : SEBAGIAN. Sehingga ayat itu
berarti: Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluk
hidup.Kare na Allah juga
berfirman menceritak an tentang
penciptaan jin dan Iblis yang
berbunyi: Khalaqtani i min
naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptaka n aku (iblis) dari api.
Dengan demikian, ternyata lafadl KULLU, tidak dapat
diterjemah kan secara mutlak
dengan arti : SETIAP/ SEMUA,
sebagaiman a umumnya jika merujuk ke
dalam kamus bahasa Arab umum, karena hal itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Demikian juga dengan arti hadits Nabi saw. : Fa inna KULLA BID`ATIN
dhalalah,. Maka harus
diartikan:
Sesungguhn ya SEBAGIAN dari BID`AH itu
adalah sesat.
Kulla di dalam Hadits ini, tidak dapat diartikan
SETIAP/ SEMUA BID`AH itu sesat,
karena Hadits ini juga muqayyad atau terikat dengan sabda Nabi saw., yang lain:
Man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man `amila biha.
Artinya : Barangsiap a
memulai/ menciptakan perbuatan baik di dalam Islam, maka dia
mendapatka n pahalanya dan pahala
orang yang mengikutin ya.
Jadi jelas, ada perbuatan baru yang diciptakan oleh orang-oran g di jaman sekarang, tetapi dianggap baik oleh
Nabi saw. dan dijanjikan pahala
bagi pencetusny a, serta tidak
dikatagori kan BID`AH DHALALAH.
Sebagai contoh dari man sanna sunnatan hasanah
(menciptak an perbuatan baik)
adalah saat Hajjaj bin Yusuf memprakars ai pengharaka tan pada mushaf Alquran, serta
pembagiann ya pada juz, ruku`,
maqra, dll yang hingga kini lestari, dan sangat bermanfaat bagi seluruh umat Islam.
Untuk lebih jelasnya, maka bid’ah itu dapat diklasifik asi sebagai berikut : Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU
BID`ATIN DHALALAH diartikan dengan: SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT, yang contohnya
:
1. Adanya sebagian masyarakat
yang secara kontinyu bermain remi atau domino setelah pulang dari mushalla.
2. Adanya kalangan umat Islam yang menghadiri undangan Natalan.
3. Adanya beberapa sekelompok muslim yang memusuhi sesama muslim, hanya karena
berbeda pendapat dalam masalah-ma salah ijtihadiya h furu`iyyah (masalah fiqih ibadah dan
ma’amalah) , padahal sama-sama
mempunyai pegangan dalil Alquran-Ha dits, yang motifnya hanya karena merasa paling
benar sendiri. Perilaku semacam ini dapat diidentifi kasi sebagai BID`AH DHALALAH).
Ada pula pemahaman yang mengatakan , bahwa amalan baik yang terrmasuk ciptaan baru di
dalam Islam dan tidak bertentang an dengan syariat Islam yang sharih, maka disebut
SANNA (menciptak an perbuatan baik).
Contohnya:
- Adanya sekelompok
orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara berjamaah setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-toko h beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan Syeikh Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong amalan BID`AH karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., tetapi dikatagori kan sebagai BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik.
Melaksanak an shalat
sunnah malam hari dengan berjamaah yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan,
adalah masalah ijtihadiya h yang
tidak didapati tuntunanny a
secara langsung dari Nabi saw. maupun dari ulama salaf, tetapi kini menjadi
tradisi yang baik di Arab Saudi. Dikatakan Bid’ah Hasanah karena masih adanya
dalil-dali l dari
Alquran-Ha dits yang dijadikan
dasar pegangan, sekalipun tidak didapat secara langsung/ sharih, melainkan secara
ma`nawiyah . Antara lain adanya
ayat Alquran-Ha dits yang
memerintah kan shalat sunnah
malam (tahajjud) , dan adanya
perintah menghidupk an malam di bulan
Ramadhan.
Tetapi mengkhusus kan
shalat sunnah malam (tahajjud)
di bulan Ramadhan setelah shalat tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah
jelas-jela s perbuatan BID`AH
yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan ulama salaf. Sekalipun demikian
masih dapat dikatagori kan sebagai
perilaku BID`AH HASANAH.
Demikian juga umat Islam yg melakukan pembacaan tahlil atau kirim doa
untuk mayyit, melaksanak an
perayaan maulid Nabi saw. mengadakan isighatsah , dll, termasuk BID’AH HASANAH. Sekalipun
amalan-ama lan ini tidak pernah
dilakukan oleh Nabi saw. namun masih terdapat dalil-dali l Alquran-Ha ditsnya sekalipun secara
ma’nawiyah .
Contoh mudah, tentang pembacaan tahlil (tahlilan
masyarakat ), bahwa isi kegiatan
tahlilan adalah membaca surat Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas. Amalan ini
jelas-jela s adalah perintah
Alquran-Ha dits. Dalam kegiatan
tahlilan juga membaca kalimat Lailaha illallah, Subhanalla h, astaghfiru llah, membaca shalawat kepada Nabi saw. yang
jelas- jelas perintah Alquran-Ha dits. Ada juga pembacaan doa yang
disabdakan oleh Nabi saw. :
Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa itu adalah intisari ibadah. Yang jelas,
bahwa menghadiri majelis ta`lim
atau majlis dzikir serta memberi jamuan kepada para tamu, adalah perintah
syariat yang terdapat di dalam Alquran-Ha dits.
Hanya saja mengemas amalan-ama lan tersebut dalam satu rangkaian kegiatan acara
tahlilan di rumah-ruma h penduduk
adalah BID`AH, tetapi termasuk bid’ah yang dikatagori kan sebagai BID`AH HASANAH. Hal itu, karena senada
dengan shalat sunnah malam berjamaah yang dikhususka n di bulan Ramadhan, yang kini menjadi kebiasaan
tokoh-toko h Wahhabi Arab Saudi.
Nabi saw. dan para ulama salaf, juga tidak pernah berdakwah lewat
pemancar radio atau menerbitka n
majalah dan bulletin. Bahkan pada saat awal Islam berkembang , Nabi saw. pernah melarang penulisan apapun yang
bersumber dari diri beliau saw. selain penulisan Alquran.
Sebagaiman di dalam sabda beliau
saw. : La taktub `anni ghairal quran, wa man yaktub `anni ghairal quran famhuhu.
Artinya: Jangan kalian menulis dariku selain alquran,
barangsiap a menulis dariku
selain Alquran maka hapuslah. Sekalipun pada akhir perkembang an Islam, Nabi saw. menghapus larangan tersebut
dengan Hadits : Uktub li abi syah. Artinya: Tuliskanla h hadits untuk Abu Syah.
Meskipun sudah ada perintah Nabi saw. untuk menuliskan Hadits, tetapi para ulama salaf tetap memberi
batasan-ba tasan yang sangat
ketat dan syarat-sya rat yang
harus dipenuhi oleh para muhadditsi n. Fenomena di atas sangat berbeda dengan
penerbitan majalah atau bulletin.
Dalam penulisan artikel untuk majalah atau bulletin, penulis hanyalah
mencetuska n pemahaman dan
pemikirann ya, tanpa ada
syarat-sya rat yang mengikat,
selain masalah susunan bahasa. Jika memenuhi standar jurnalisti k maka artikel akan dimuat, sekalipun isi
kandungann ya jauh dari standar
kebenaran syariat.
Contohnya, dalam
penulisan artikel, tidak ada syarat tsiqah (terpercay a) pada diri penulis, sebagaiman a yang disyaratka n dalam periwayata n dan penulisan Hadits Nabi saw. Jadi sangat
berbeda dengan penulisan Hadits yang masalah ketsiqahan menjadi syarat utama untuk
diterima-t idaknya Hadits yang
diriwayatk annya.
Namun, artikel majalah atau bulletin dan yang
semacamnya , jika berisi
nilai-nila i kebaikan yang
sejalan dengan syariat, dapat dikatagori kan sebagai BID’AH HASANAH, karena berdakwah lewat
majalah atau bulletin ini, tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. maupun oleh
ulama salaf manapun. Namun karena banyak manfaat bagi umat, maka dapat
dibenarkan dalam ajaran Islam, selagi
tidak keluar dari rel-rel syariat yang benar.
2. Mengenal Makna Bidah
Ada sekelompok golongan
yg suka membid’ah- bid’ahkan
(sesat) berbagai kegiatan yang baik di masyarakat , seperti peringatan Maulid, Isra’ Mi’raj, Yasinan mingguan, Tahlilan
dll. Kadang mereka berdalil dengan dalih “Agama ini telah sempurna” atau dalih
“Jika perbuatan itu baik, niscaya Rasulullah saw. telah mencontohk an lebih dulu” atau mengatakan “Itu bid’ah” karena tidak pernah
dicontohka n oleh
Rasulullah saw. Atau
“jikalau hal tersebut dibenarkan , maka pasti Rasulullah saw. memerintah kannya. Apa kamu merasa lebih pandai dari
Rasulullah ?”
Mem-vonis bid’ah sesat suatu amal perbuatan (baru) dengan argumen di
atas adalah lemah sekali. Ada berbagai amal baik yang Baginda Rasul saw. tidak
mencontohk an ataupun
memerintah kannya.
Teriwayatk an dalam berbagai hadits dan
dalam fakta sejarah.
1. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Nabi
saw. berkata kepada Bilal ketika shalat fajar (shubuh), “Hai Bilal, ceritakan
kepadaku amalan apa yang paling engkau harap pahalanya yang pernah engkau
amalkan dalam masa Islam, sebab aku mendengar suara terompamu di surga. Bilal
berkata, “Aku tidak mengamalka n
amalan yang paling aku harapkan lebih dari setiap kali aku berssuci, baik di
malam maupun siang hari kecuali aku shalat untuk bersuciku
itu”.Dalam riwayat at Turmudzi
yang ia shahihkan, Nabi saw. berkata
kepada Bilal,
‘Dengan apa engkau mendahului ku masuk surga? ” Bilal berkata, “Aku tidak
mengumanda ngkan adzan melainkan
aku shalat dua rakaat, dan aku tidak berhadats melaikan aku bersuci dan aku
mewajibkan atas diriku untuk
shalat (sunnah).” Maka Nabi saw.
bersabda “dengan keduanya ini (engkau mendahului ku masuk surga).
Hadis di atas juga diriwayatk an oleh Al Hakim dan ia berkata, “Hadis shahih
berdasarka n syarat keduanya
(Bukhari & Muslim).” Dan adz Dzahabi mengakuiny a.
Hadis di atas menerangka n secara mutlak bahwa sahabat ini (Bilal)
melakukan sesuatu dengan maksud ibadah yang sebelumnya tidak pernah dilakukan atau ada perintah dari Nabi
saw.
2. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan para muhaddis lain pada kitab Shalat,
bab Rabbanâ laka al Hamdu,
Dari riwayat Rifa’ah ibn Râfi’, ia berkata, “Kami shalat di belakang
Nabi saw., maka ketika beliau mengangkat kepala beliau dari ruku’ beliau membaca,
sami’allah u liman hamidah (Allah
maha mendengar orang yang memnuji-Ny a), lalu ada seorang di belakang beliau membaca,
“Rabbanâ laka al hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fîhi (Tuhan kami,
hanya untuk-Mu segala pujian dengan pujian yang banyak yang indah serta
diberkahi) .
Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah orang yang
membaca kalimat-ka limat tadi?”
Ia berkata, “Aku.” Nabi bersabda, “Aku menyaksika n tiga puluh lebih malaikat berebut mencatat pahala
bacaaan itu.”
Ibnu Hajar berkomenta r,
“Hadis itu dijadikan hujjah/ dalil dibolehann ya berkreasi dalam dzikir dalam shalat selain apa
yang diajarkan (khusus oleh Nabi saw.) jika ia tidak bertentang dengan yang diajarkan. Kedua dibolehkan nya mengeraska n suara dalam berdzikir selama tidak
menggangu. ”
3. Imam Muslim dan Abdur Razzaq ash Shan’ani
meriwayatk an dari Ibnu Umar, ia
berkata,
Ada seorang lali-laki datang sementara orang-oran g sedang menunaikan shalat, lalu ketika sampai shaf, ia berkata:
اللهُ أكبرُ كبيرًا، و الحمدُ للهِ كثيرًا و سبحانَ اللهِ بكْرَةً و
أصِيْلاً.
Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah yang
mengucapka n
kalimat-ka limat tadi?
Orang itu berkata, “Aku wahai Rasulullah saw., aku tidak mengucapka nnya melainkan mengingink an kebaikan.”
Rasulullah saw.
bersabda, “Aku benar-bena r
menyaksika n
pintu-pint u langit terbuka untuk
menyambutn ya.”
Ibnu Umar berkata, “Semenjak aku mendengarn ya, aku tidak pernah meninggalk annya.”
Dalam riwayat an Nasa’i dalam bab ucapan pembuka shalat, hanya saja
redaksi yang ia riwayatkan :
“Kalimat-k alimat itu direbut oleh dua
belas malaikat.”
Dalam riwayat lain, Ibnu Umar berkata: “Aku tidak pernah
meningglak annya semenjak aku
mendengar Rasulullah saw. bersabda
demikian.”
Di sini diterangka n
secara jelas bahwa seorang sahabat menambahka n kalimat dzikir dalam i’tidâl dan dalam pembukaan
shalat yang tidak/ belum pernah
dicontohkan atau diperintah kan
oleh Rasulullah saw. Dan reaksi
Rasul saw. pun membenarka nnya
dengan pembenaran dan kerelaan yang
luar biasa.
Al hasil, Rasulullah
saw. telah men-taqrîr -kan
(membenark an) sikap sahabat yang
menambah bacaan dzikir dalam shalat yang tidak pernah beliau ajarkan.
4. Imam Bukhari meriwayatk an dalam kitab Shahihnya, pada bab menggabung kan antara dua surah dalam satu raka’at dari Anas, ia
berkata,
“Ada seorang dari suku Anshar memimpin shalat di masjid Quba’, setiap
kali ia shalat mengawali bacaannya dengan membaca surah Qul Huwa Allahu Ahad
sampai selesai kemudian membaca surah lain bersamanya . Demikian pada setiap raka’atnya ia berbuat. Teman-tema nnya menegurnya , mereka berkata, “Engkau selalu mengawali bacaan
dengan surah itu lalu engkau tambah dengan surah lain, jadi sekarang engkau
pilih, apakah membaca surah itu saja atau membaca surah lainnya saja.” Ia
menjawab, “Aku tidak akan meninggalk an
apa yang biasa aku kerjakan. Kalau kalian tidak keberatan aku mau mengimami
kalian, kalau tidak carilah orang lain untuk menjadi imam.” Sementara mereka
meyakini bahwa orang ini paling layak menjadi imam shalat, akan tetapi mereka
keberatan dengan apa yang dilakukan.
Ketika mereka mendatangi Nabi saw. mereka melaporkan nya. Nabi menegur orang itu seraya bersabda, “hai
fulan, apa yang mencegahmu
melakukan apa yang diperintah kan
teman-tema nmu? Apa yang
mendorongm u untuk selalu membaca
surah itu (Al Ikhlash) pada setiap raka’at? Ia menjawab, “Aku
mencintain ya.”
Maka Nabi saw. bersabda, “Kecintaan mu kepadanya memasukkan mu ke dalam surga.”
Demikianla h sunnah dan
jalan Nabi saw. dalam menyikapi kebaikan dan amal keta’atan walaupun tidak
diajarkan secara khusus oleh beliau, akan tetapi selama amalan itu sejalan
dengan ajaran kebaikan umum yang beliau bawa maka beliau selalu
merestuiny a. Jawaban orang
tersebut membuktika n motifasi
yang mendorongn ya melakukan apa
yang baik kendati tidak ada perintah khusus dalam masalah itu, akan tetapi ia
menyimpulk annya dari dalil umum
dianjurkan nya
berbanyak- banyak berbuat
kebajikan selama tidak bertentang an
dengan dasar tuntunan khusus dalam syari’at Islam.
Kendati demikian, tidak seorangpun dari ulama Islam yang mengatakan bahwa mengawali bacaan dalam shalat dengan surah
al Ikhlash kemudian membaca surah lain adalah sunnah yang tetap! Sebab apa yang
kontinyu diklakukan Nabi saw.
adalah yang seharusnya
dipelihara , akan tetapi ia
memberikan kaidah umum dan bukti
nyata bahwa praktik-pr akti
seperti itu dalam ragamnya yang bermacam-m acam walaupun seakan secara lahiriyah berbeda dengan
yang dilakukan Nabi saw. tidak berarti ia bid’ah (sesat).
5. Imam Bukhari meriwayatk an
dalam kitab at Tauhid,
dari Ummul Mukminin Aisyah ra. bahwa Nabi sa. Mengutus seorang memimpin
sebuah pasukan, selama perjalanan orang itu apabila memimpin shalat membaca surah
tertentu kemudian ia menutupnya
dengn surah al Ikhlash (Qulhu). Ketika pulang, mereka
melaporkan nya kepada nabi saw.,
maka beliau bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukann ya?” Ketika mereka bertanya
kepadanya, ia menjawab “Sebab
surah itu (memuat) sifat ar Rahman (Allah), dan aku suka
membacanya .” Lalu Nabi saw.
bersabda, “Beritahuk an kepadanya
bahwa Allah mencintain ya.”
(Hadis Muttafaqun Alaihi).
Apa yang dilakukan si sahabat itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi
saw., namun kendati demikian beliau membolehka nnya dan mendukung pelakunya dengan
mengatakan bahwa Allah
mencintain ya.
3. Pertanyaan dan Jawaban Seputar Bidah
Orang-oran g yang tidak
sependapat dengan amalan warga
NU biasanya membidahka n amalan warga
Nahdliyin dengan dalil sebagai berikut:
- Barangsiap
a menimbulka n sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak. (HR. Bukhari)
- Sesungguhn
ya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah , dan sebaik-bai k jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-bu ruk urusan agama ialah yang diada-adak an. Tiap-tiap yang diada-adak an adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka. (HR. Muslim)
- Apabila kamu melihat orang-oran
g yang ragu dalam agamanya dan ahli bid'ah sesudah aku (Rasululla h Saw.) tiada maka tunjukkanl ah sikap menjauh (bebas) dari mereka. Perbanyakl ah lontaran cerca dan kata tentang mereka dan kasusnya. Dustakanla h mereka agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-oran g yang dikhawatir kan meniru-nir u bid'ah mereka. Dengan demikian Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatk an derajat kamu di akhirat. (HR. Ath-Thahaw i)
- Kamu akan mengikuti perilaku orang-oran
g sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukiny a. Para sahabat lantas bertanya, "Siapa 'mereka' yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah ?" Beliau menjawab, "Orang-ora ng Yahudi dan Nasrani." (HR. Bukhari)
- Tiga perkara yang aku takuti akan menimpa umatku setelah aku tiada:
kesesatan sesudah memperoleh
pengetahua n, fitnah-fit nah yang menyesatka n, dan syahwat perut serta seks. (Ar-Ridha)
- Barangsiap
a menipu umatku maka baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Ditanyakan , "Ya Rasulullah , apakah pengertian tipuan umatmu itu?" Beliau menjawab, "Mengada-a dakan amalan bid'ah, lalu melibatkan orang-oran g kepadanya. " (HR. Daruquthin dari Anas).
Setelah kita membaca hadits-had its di atas Coba saudara cermati lagi. Telah kami
terangkan bahwa kami umat Islam Ahlussunna h Wal Jamaah sangat menolak bid'ah dhalalah,
persis dengan hadits2 di atas, yaitu menolak perilaku
menciptaka n ibadah baru yang
bertentang an dengan ajaran
Syariat Islam, contohnya pelaksanaa n Doa Bersama Muslim non Muslim, karena perilaku
itu bertentang an dengan Alquran,
falaa taq'uduu ma'ahum hatta yakhudhuu fi hadiitsin ghairih
(janganlah kalian duduk dengan
mereka -non muslim dalam ritualnya- hingga mereka membicarak an pembahasan lain -yang bukan ritual). Serta dalil lakum
diinukum wa liadiin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jadi jelaslah, perilaku
“Doa Bersama Muslim non Muslim” ini ini jelas-jela s bid'ah dhalalah, tidak ada
tuntunanny a
sedikitpun di dalam Islam.
Tetapi tentang bid'ah hasanah semisal ritual tahlilan atau kirim doa untuk
mayit, pasti tetap kami laksanakan , karena tidak bertentang an dengan syariat Islam,
bahkan ada perintahny a
baik dari Alquran maupun Hadits. Perlu diketahui, yang dimaksud ritual Tahlilan itu, adalah dimulai
dengan
- Mengumpulk
an masyarakat untuk hadir di majlis dzikir dan taklim, tidakkah ini sunnah Nabi? Hadits masyhur : idza marartum bi riyaadhil jannah farta'uu, qaluu wamaa riyadhul jannah ya rasulullah ? Qaala hilaqud dzikr (Jika kalian mendapati taman sorga, maka masuklah, mereka bertanya, apa itu (riyadhul jannah) taman sorga, wahai Rasulullah ? Beliau menjawab : majlis dzikir).
- Membaca surat Alfatihah,
tidakkah baca Alfatihah ini perintah syariat ? - Baca surat Yasin, tidakkah baca Yasin juga perintah syariat ?
- Baca Al-ikhlas,
Al-alaq-An naas, tidakkah Allah berfirman faqra-u ma tayassara minal quran (bacalah apa yang mudah/ ringan dari ayat Alquran).
- Baca subhanalla
h, astaghfiru llah, shalawat Nabi, kalimat thayyibah lailaha illallah muhammadur rasulullah .
- Doa penutup.
- Lantas tuan rumah melaksanak
an ikramud dhaif, menghormat i tamu sesuai dengan kemampuann ya.
Tentunya dalam masalah ini sangat bervariati f sesuai dengan tingkat
kemampuann ya, tak ubahnya saat
Akhi/ keluarga Akhi
melaksnaka n
pernikahan dengan suguhan untuk
tamu, yang disesuaika n dengan
kemampuan tuan rumah.
Nah, jika amalan2 ini dikumpulka n dalam satu tatanan acara, maka itulah yang
dinamakan tahlilan, sekalipun Nabi tidak pernah mengamalka n tahlilan model Indonesia ini, namun setiap komponen
dari ritual tahlilan adalah mengikuti ajaran Nabi saw. maka yang demikian inilah
yang dinamakan dengan BID'AH HASANAH.
Siapa kira-kira yang memulai Bid’ah Hasanah ini? Tiada lain adalah
Khalifah ke dua, Sahabat Umar bin Khatthab, tatkala beliau tahu bahwa Nabi
mengajarka n shalat sunnah
Tarawih 20 rakaat di bulan Ramadhan. Namun Nabi saw. melaksanak annya di masjid dengan sendirian, setelah beberapa kali beliau lakukan, lantas ada
yang ikut jadi makmum, kemudian Nabi melaksnaka n 8 rakaat di masjid, selebihnya dilakukan di rumah sendirian. Demikian pula para sahabatpun mengikuti perilaku ini, hingga pada saat
kekhalifah an Sahabat Umar,
beliau berinisiat if
mengumpulk an semua
masyarakat untuk shalat Tarawih
dengan berjamaah,
dilaksanak an 20 rakaat penuh di
dalam masjid Nabawi, seraya berkata : Ni'matil bid'atu haadzihi
(sebaik-ba ik bid’ah adalah ini =
pelaksanaa n tarawih 20 rakaat
dengan berjamaah di dalam masjid sebulan penuh). Bid'ahnya sahabat Umar ini
terus berjalan hingga saat ini, malahan yang melestarik an adalah tokoh-toko h Saudi Arabia seperti kita lihat sampai saat ini
bahwa di Masjidil Haram tarawih berjama’ah 20 rokaat sebulan penuh, sekaligus dengan
mengkhatam kan Qur’an. Hal ini
sama lestarinya dengan bid'ahnya
para Wali songo yang mengajarka n
tahlilan di masyarakat Muslim
Indonesia. Jadi baik Sahabat
Umar dan pelanjut shalat tarawih di masjid-mas jid di seluruh dunia, maupun para Walisongo dengan
para pengikutny a umat Islam
Indonesia, adalah pelaku BID'AH
HASANAH, yang dalam hadits Nabi yang diriwayatk an oleh Imam Muslim disebut : Man sanna fil Islami
sunnatan hasanatan, fa lahu
ajruha wa ajru man amila biha bakdahu min ghairi an yangkusha min ujurihim syaik
(Barangsia pa yang memberi contoh
sunnatan hasanatan (perbuatan
baru yang baik) di dalam Islam (yang tidak bertentang an dengan syariat), maka ia akan
mendapatka n pahalanya dan
kiriman pahala dari orang yang mengamalka n ajarannya, tanpa mengurangi pahala para pengikutny a sedikit pun.
Jadi sangat jelas baik sahabat Umar maupun para Wali songo telah
mengumpulk an
pundi-pund i pahala yang sangat
banyak dari kiriman pahala umat Islam yang mengamalka n ajaran Bid'ah Hasanahnya beliau-bel iau itu. Baik itu berupa Bid'ahnya Tarawih Berjamaah
maupun Bid'ahnya Tahlilan dan amalan baik umat Islam yang lainnya.
CONTOH-CONTOH BID’AH HASANAH
Setelah baginda Nabi saw. wafat pun amal-amal perbuatan baik yang baru
tetap dilakukan. Umat islam
mengakuiny a berdasar
dalil-dali l yang shahih. Simak
berbagai contoh berikut,
1. Pembukuan al Qur’an. Sejarah pengumpula n ayat-ayat Al-Qur’an. Bagaimana sejarah penulisan ayat-ayat al Qur’an. Hal
ini terjadi sejak era sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra.
Kemudian oleh sahabat Ustman bin ‘Affan ra. Jauh setelah itu kemudian penomoran
ayat/ surat, harakat tanda baca, dll.
2. Sholat tarawih seperti saat ini. Khalifah Umar bin Khattab ra yang
mengumpulk an kaum muslimin dalam
shalat tarawih berma’mum pada seorang imam. Pada perjalanan berikutnya dapat ditelusuri perkembang an sholat tarawih di masjid Nabawi dari masa ke masa
3. Modifikasi yang
dilakukan oleh sahabat Usman Bin Affan ra dalam pelaksanaa n sholat Jum’at. Beliau memberi tambahan adzan sebelum
khotbah Jum’at.
4. Pembukuan hadits beserta pemberian derajat hadits shohih, hasan,
dlo’if atau ahad. Bagaimana sejarah pengumpula n dari hadits satu ke hadits lainnya. Bahkan Rasul
saw. pernah melarang menuliskan
hadits2 beliau karena takut bercampur dengan Al Qur’an. Penulisan hadits baru
digalakkan sejak era Umar ibn Abdul
Aziz, sekitar abad ke 10 H.
5. Penulisan sirah Nabawi. Penulisan berbagai kitab nahwu saraf, tata bahasa
Arab, dll. Penulisan kitab Maulid. Kitab dzikir, dll
6. Saat ini melaksanak an ibadah haji sudah tidak sama dengan zaman Rasul
saw. atau para sahabat dan tabi’in. Jamaah haji tidur di hotel
berbintang penuh fasilitas
kemewahan, tenda juga diberi fasiltas
pendingin untuk yang haji plus, memakai mobil saat menuju ke Arafah, atau
kembali ke Mina dari Arafah dan lainnya.
7. Pendirian Pesantren dan Madrasah serta TPQ-TPQ yang dalam
pengajaran nya dipakai sistem
klasikal.
dan masih banyak contoh-con toh lain.
4. Bidah sebuah kata sejuta makna
Setelah adanya uraian singkat tapi cukup jelas pada halaman sebelum ini
mengenai faham Salafi/ Wahabi dan
pengikutny a, marilah kita teruskan
mengupas apa yang dimaksud Bid’ah menurut syari’at Islam serta
wejangan/ pandangan para ulama pakar
tentang masalah ini. Dengan demikian insya Allah buat kita lebih jelas bidáh
mana yang dilarang dan yang dibolehkan dalam syari’at Islam.
Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling
berhadap-h adapan dalam memahami
ucapan-uca pan
Rasulullah saw. sebagai
Shohibusy- Syara’ (yang berwenang
menetapkan hukum
syari’at). Sunnah dan bid’ah
masing-mas ing tidak dapat
ditentukan
batas-bata s
pengertian nya, kecuali jika yang
satu sudah ditentukan batas
pengertian nya lebih dulu. Tidak
sedikit orang yang menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.
Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar
meninggalk annya, dan akhirnya
mereka terbentur pada dalil-dali l yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah.
Seandainya mereka
menetapkan batas
pengertian sunnah lebih dulu
tentu mereka akan memperoleh
kesimpulan yang tidak berlainan.
Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa
Rasulullah saw.
menekankan soal sunnah
lebih dulu, baru kemudian memperinga tkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatk an oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra.
bahwa Rasulullah saw. bila
berkhutbah tampak matanya
kemerah-me rahan dan dengan suara keras
bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhn ya tutur kata yang terbaik ialah
Kitabullah
(Al-Qur’an ) dan
petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw.
Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adak an, dan setiap hal yang
diada-adak an ialah bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah sesat’. (diketenga hkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud
ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatk an oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
‘Barangsia pa yang
didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang
mengerjaka nnya sesudah dia tanpa
dikurangi sedikit pun juga. Barangsiap a yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia
memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjaka nnya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun
juga’ (Shohih Muslim VII hal.61). Selain hadits ini masih beredar
lagi hadits-had its yang semakna
yang diriwayatk an oleh Imam Muslim
dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu Hurairah [ra].
Sekalipun hadits ini berkaitan dengan soal shadaqah namun kaidah pokok
yang telah disepakati bulat oleh
para ulama menetapkan ;
‘Pengertia n berdasar
kan keumuman lafadh, bukan berdasarka n kekhususan sebab’.
Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw., berhadap-h adapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang
diada-adak an yang menyalahi
Kitabullah dan petunjuk
Rasulullah saw. Dari hadits
berikutnya kita melihat bahwa
jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-h adapan dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi
jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang
menyimpang dan
berlawanan dengan sunnah adalah
Bid’ah .
Ar-Raghib Al-Ashfaha ni dalam
kitab Mufradatul -Qur’an
Bab Sunan hal.245 mengatakan : ‘Sunan adalah jamak dari kata
sunnah .Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah
Rasulullah saw. Berarti Jalan
Rasulullah saw. yaitu jalan yang
ditempuh dan ditunjukka n oleh beliau.
Sunnatulla h dapat
diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan
mentaati-N ya. Contoh firman Allah
SWT. dalam Surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatull ah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak
akan menemukan perubahan pada Sunnatulla h itu’ .
Penjelasan nya ialah
bahwa cabang-cab ang hukum
syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan
tidak berubah, yaitu membersihk an jiwa manusia dan mengantark an kepada keridhoan Allah SWT.
Demikianla h menurut
penjelasan Ar-Raghib
Al-Ashfaha ni.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76 mengata- kan:
‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah . Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti
adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang
berulang-u lang dilakukan oleh
orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai
peribadata n maupun yang tidak
dianggap sebagai peribadata n’.
Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam
tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia
mengatakan , bahwa beberapa
riwayat hadits menggunaka n kata
sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna
thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan
Al-Mawardi juga
mengartika n kata sunnah
dengan thariqah (jalan).
Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulullah saw. dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya,
yaitu persoalan- persoalan yang
tidak dilakukan, tidak diucapkan
dan tidak diperintah kan oleh
beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-oran g yang berijtihad menurut kesanggupa n akal pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah
Rasulullah saw.
Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan- persoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau
sunnah yang ditempuh Rasulullah
saw. dalam membenarka n, menerima
atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan mengikuti dan
menelusuri
persoalan- persoalan itu kita
dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai
soal-soal baru yang terjadi sepeningga l Rasulullah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau
saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak
sesuai dan bertentang an dengan
Sunnah Rasulullah saw., itulah yang
kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita
dapat membedakan lebih dahulu mana yang
sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak
dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulullah saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang
benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan
petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulullah saw. membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi. Perlu juga
diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan
Rasulullah saw. tidak menjadi
sunnah dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan
oleh beliau saw. Pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti.
Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh
beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak
sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak
bertentang an dengan tuntunan dan
petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangk an akibat buruk !
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan , bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ baik
yang bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak
dilakukan dan tidak diperintah -
kan secara khusus oleh Rasulullah
saw.!
Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang
menunjukka n bahwa
Rasulullah saw. sering
membenarka n prakarsa baik
(umpama amal perbuatan, dzikir,
do’a dan lain sebagainya ) yang
diamalkan oleh para sahabatnya.(silahkan baca halaman selanjutny a). Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan
mengerjaka n- nya
berdasarka n pemikiran dan
keyakinann ya sendiri, bahwa yang
dilakukan- nya itu merupakan
kebajikan yang dianjurkan oleh
agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulullah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu juga mereka
berpedoman pada firman Allah
SWT. dalam surat Al-Hajj:77 :
‘Hendaklah kalian
berbuat kebajikan, agar kalian
memperoleh
keberuntun gan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa
masing-mas ing, itu tidak
berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa,
karena agama Islam mempunyai kaidah-kai dah dan pedoman-pe doman yang telah ditetapkan batas-bata snya. Amal kebajikan yang
prakarsany a diambil oleh para
sahabat Nabi saw. berdasarka n
ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah
Rasulullah saw. jika amal
kebajikan itu sesuai dan tidak bertentang an dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan
syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan
syari’at, tidak bertentang an
dengan Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah saw., dan tidak
mendatangk an
madharat/ akibat buruk, tidak dapat
disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah
Hasanah, sebagaiman a
yang terdapat dalam hadits Rasulullah
saw. yang lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya
menurut pengertian
bahasa, karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja
dengan berdalil sabda Rasulullah saw.
“Setiap bid’ah adalah sesat…” (“Kullu bid’atin dholalah”),
serta tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib dan
sebagainya . Setiap amal yang
dikategori kan sebagai bid’ah,
maka hukumya haram, karena bid’ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang
haram dikerja-ka n secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada
hadits–had its lain
(keteranga n lebih mendetail baca
halaman selanjutny a) yang
membuktika n sikap
Rasulullah saw. yang
membenarka n dan meridhoi
berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’ ) yang dilakukan oleh para sahabat- nya yang
sebelum dan sesudahnya tidak ada
perintah dari beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang
dikerjakan setelah wafatnya
Rasulullah saw. umpamanya oleh
isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra, Khalifah ‘Umar bin Khattab serta para sahabat
lainnya yang mana amalan-ama lan
ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulullah saw. dan mereka kategorika n atau ucapkan sendiri sebagai amalan
bid’ah (baca uraian selanjutny a), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat
yang mengatakan bahwa sebutan bid’ah
itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid’ah
selain haram.
Untuk mencegah timbulnya kesalah-fa haman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan
ulama Fiqih memisahkan makna
Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang
menjelaska nnya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim:
اَلبِدْعَة
ُبِدْعَتَا نِ , بِدْعَة
ٌمَحْمُودَ ةٌ
وَبِدْعَةِ
مَذْمُوْمَ ةٌ فِيْمَا وَافَقَ
السُّنَّةَ فَهُوَ
مَحْمُوْدَ ةٌ وَمَا
خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah
tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah
yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang
tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَث َاتُ
ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ
يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ
فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَ ةٌ
‘Perkara-p erkara
baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-pe rkara baru yang menyalahi
Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’.
Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah
perkara-pe rkara baru yang
mengandung kebaikan dan tidak
bertentang an dengan salah satu
dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah
yang seperti ini tidaklah tercela’.
Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan
ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama pakar
yang sependapat dengan Imam
Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi,
Imam Ibnu ‘Abdussala m, Imam
Al-Qurafiy , Imam
Ibnul-‘Ara biy, Imam Al-Hafidh Ibnu
Hajar dan lain-lain.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa bid’ah itu adalah segala praktek baik
termasuk dalam ibadah ritual maupun dalam masalah muamalah, yang tidak pernah
terjadi di masa Rasulullah saw.
Meski namanya bid’ah, namun dari segi ketentuan hukum
syari’at,, hukumnya tetap
terbagi menjadi lima perkara sebagaiman a hukum dalam fiqih. Ada bid’ah yang hukumnya haram,
wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari
4/ 318 sebagai berikut: “Pada
asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang
mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunak an untuk sesuatu yang bertentang an dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat
bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik
menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu
yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka
dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi
kepada hukum-huku m yang
lima”.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapka n oleh ulama-ulam a pakar berikut ini :
Jalaluddin
as-Suyuthi dalam
risalahnya Husnul Maqooshid fii
‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoob ih fii Sholaatit Taroowih;
Az-Zarqoon i dalam Syarah al
Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’i d ; As-Syaukan i dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam
Syarhul Misykaat; Al-Qasthol aani dalam
Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang
senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/ sesat dan tidak mengakui adanya bidáh
hasanah/ mahmudah, tetapi mereka
sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh
mukaffarah (bidáh kufur), bidáh
muharramah (bidáh haram) dan
bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak
menetapkan adanya bidáh mubah,
seolah-ola h mubah itu tidak
termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-ola h bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu
dibicaraka n.
Sedangkan menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki
Al-Hasani (salah seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Iht ifal Bil Maulidin Nabawayyis y Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia) bahwa menurut ulama
(diantaran ya Imam Nawawi dalam
Syarah Muslim jilid 6/ 154—pen.) bid’ah
itu dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bid’ah wajib; seperti
menyanggah orang yang
menyelewen gkan agama, dan belajar
bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu bagi siapapun yang ingin memahami Qur’an dan
Hadits dengan baik dan benar.
2. Bid’ah mandub/ baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum
muslimin, mengadakan
sekolah-se kolah,
mengumanda ngkan adzan diatas
menara dan memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa
pertumbuha n Islam belum pernah
dilakukan.
3. Bid’ah makruh; menghiasi
masjid-mas jid dengan
hiasan-hia san yang bukan pada
tempatnya,
mendekoras ikan
kitab-kita b Al-Qur’an dengan
lukisan-lu kisan dan
gambar-gam bar yang tidak
semestinya .
4. Bid’ah mubah; seperti
menggunaka n saringan (ayakan),
memberi warna-warn a pada makanan
(selama tidak mengganggu
kesehatan) , memakai kopyah,
memakai pakaian batik dan lain sebagainya .
5. Bid’ah haram; semua perbuatan
yang tidak sesuai dengan dalil-dali l umum hukum syari’at dan tidak
mengandung
kemaslahat an yang
dibenarkan oleh syari’at.
Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/ sesat atau haram, maka sebagian
amalan-ama lan para sahabat serta
para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintah kan Rasulullah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a). Pengumpula n ayat-ayat Al-Qur’an, penulisann ya serta pengumpula nnya (kodifikas inya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh
sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram.
Padahal tujuan mereka untuk menyelamat kan dan melestarik an keutuhan dan keautentik an ayat-ayat Allah. Mereka khawatir
kemungkina n ada ayat-ayat
Al-Qur’an yang hilang karena orang-oran g yang menghafaln ya meninggal.
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang
mengumpulk an kaum muslimin dalam
shalat tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu
beliau sendiri berkata : ‘Ni’matul Bid’ah Hadzihi/ Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c). Pemberian gelar atau titel
kesarjanaa n seperti; doktor, drs
dan sebagai- nya pada universita s Islam adalah haram, yang pada zaman
Rasulullah saw. cukup banyak
para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka
memakai titel dibelakang namanya.
d). Mengumanda ngkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah
sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung
orang yang bersalah berbulan-b ulan atau bertahun-t ahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan
sebagainya adalah haram. Sebab
dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang
dilaksanak an pada zamannya
khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat
Jum’at baik di Indonesia, di
masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-neg ara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman
karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f). Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada
huruf-huru fnya, memberi nomer
pada ayat-ayatn ya. Mengatur juz
dan rubu’nya dan tempat-tem pat
dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaska n ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan
sebagainya .
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang
diperintah kan Allah SWT. kepada
ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin
pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang
penggunaan
pesaw.at-p esaw.at tempur,
tank-tank raksasa, peluru-pel uru
kendali, raket-rake t dan
persenjata an modern lainnya.
Masih banyak lagi contoh-con toh bid’ah/ masalah yang baru seperti mengada kan syukuran
waktu memperinga ti hari
kemerdekaa n, halal bihalal,
memperinga ti hari ulang tahun
berdirinya sebuah negara atau
pabrik dan sebagainya (pada
waktu memperinga ti semua ini
mereka sering mengadakan bacaan
syukuran), yang mana semua ini
belum pernah dilakukan pada masa hidup- nya Rasulullah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau.
Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal
peribadata n tidak sesuai dengan
zamannya Rasulullah saw. atau
para sahabat dan tabi’in umpamanya; pembanguna n hotel-hote l disekitar Mina dan tenda-tend a yang pakai full ac sehingga orang tidak akan
kepanasan, nyenyak tidur,
menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat
yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya .
Sesungguhn ya bid’ah (masalah
baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para
pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at Islam, bukan berarti
haram untuk dilakukan.
Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat),
maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang
teknologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulil lah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak
sedangkal itu.
Sebagaiman a telah
penulis cantumkan sebelumnya
bahwa para ulama diantarany a
Imam Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Katsir ra. serta para
ulama lainnya menerangka n:
“Bid’ah/ masalah baru yang
diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-gari s syari’at, semuanya mustahab
(dibolehka n) apalagi dalam hal
kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah bagian dari agama”.
Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf
sepeningga l
Rasulullah saw. telah diteliti
para ulama dan diuji dengan Kitabullah , Sunnah Rasulullah saw. dan kaidah-kai dah hukum syari’at. Dan setelah diuji ternyata
baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima.
Sebaliknya , bila setelah diuji
ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah
tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-M ustaqim banyak menyebutka n bentuk-ben tuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh
generasi-g enerasi yang hidup
pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya . Kebajikan- kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa
hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikanny a oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarka n celaan terhadap ulama-ulam a terdahulu yang mensunnahk an kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin
Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainn ya.
Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat
Imam Ahmad bin Hanbal diantarany a : Mensunnahk an orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat
gunung ’Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya didalam masjid tertentu
sebelum Mekkah , mengusap-u sap
mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain
sebagainya .
Ibnu Taimiyyah membenarka n
pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahk an shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha
(Palestina ), tempat
khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash
mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau
ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbany ak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak
dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang
mengatakan : “Kalau hal-hal
itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman
sebelum- nya”. (perkataan ini
sering diungkapka n oleh golongan
pengingkar ).
Masalah-ma salah serupa itu
banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain
soal tawassul (doá perantaran ) yang dilakukan oleh isteri
Rasulullah saw. ‘Aisyah ra. yaitu
ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa
(sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di
Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu.
Walaupun itu hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan
tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/ sesat.
Sebuah hadits yang diketengah kan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya juz 1
halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri
berkata bahwa ia tidak pernah menyaksika n Rasulullah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini
Imam Bukhori juga mengetenga hkan
sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang
mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin
Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.
Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah
ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan
kepada ‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab :
“Bidáh”.
‘Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah
mengatakan sendiri bahwa dia
sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalka nnya. Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar)
mengatakan sholat dhuha adalah
bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah yang
pelakunya akan dimasukkan ke
neraka!
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut
bid’ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau
dikerjakan oleh isteri Nabi atau para
sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa
disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam
pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah
mustanbath ah yakni sunnah
yang ditetapkan
berdasarka n istinbath atau
hasil ijtihad.
Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani yang berjudul
Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyis y Syarif tersebut disebutkan : Yang dikatakan oleh orang fanatik (extrem) bahwa
apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil
bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab bahwa tiap orang
yang mendalami ilmu ushuluddin
mengetahui bahwa
Asy-Syar’i
(Rasululla h saw.)
menyebutny a bid’ahtul
hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan
Rasul-Nya) sunnah, dan
menjanjika n pahala bagi pelakunya.
Firman Allah SWT. ‘Dan hendaklah ada diantara kamu
segolongan umat yang menyeru
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah
orang-oran g yang beruntung’. (Ali
Imran (3) : 104).
Allah SWT. berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian
memperoleh
keuntungan ”.
(Al-Hajj:7 7)
Abu Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulullah saw.;
وَعَنْ أبِي مَسْعُوْدِ
(ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ
عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ فَاعِلُهُ( رواه مسلم)
‘Siapa yang menunjukka n kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama
dengan yang mengerjaka nnya’. (
HR.Muslim)
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulullah saw. bersabda:
‘Barangsia pa
menciptaka n satu gagasan yang
baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang
melaksanak annya dengan tanpa
dikurangi sedikitpun , dan
barangsiap a
menciptaka n satu gagasan yang
jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa
orang-oran g yang
mengamalka nnya dengan tanpa
dikurangi sedikitpun ” .
Masih banyak lagi hadits yang serupa/ semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari
Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat
sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah
ditetapkan oleh
Rasulullah saw. dan para
Khulafa’ur
Roosyidin, bukan
gagasan-ga gasan baik yang tidak
terjadi pada masa Rasulullah
saw. dan Khulafa’ur
Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah
hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang
diada-adak an oleh manusia
daripada perkara-pe rkara
keduniaan yang mendatangk an manfaat, sedangkan maksud sunnah
sayyiah/ buruk adalah sesuatu
yang diada-adak an oleh manusia
daripada perkara-pe rkara
keduniaan yang mendatangk an bahaya dan kemudharat an.
Dua macam pembatasan
mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan itu merupakan
satu bentuk pembatasan hadits dengan
tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut
membenarka n adanya
gagasan-ga gasan kebaikan pada masa
kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits
itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa
ada contoh yang mendahului baik
dia itu dari perkara-pe rkara
dunia ataupun perkara-pe rkara agama!!
Kami perlu tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulullah saw. berikut ini:
“Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah
Rasyidun sepeningga lku”. (HR.Abu
Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah
yakni jalan (baca keterangan sebelumnya ), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah
para penerus kepemimpin an
beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat
Khalifah sepeningga l
Rasulullah saw. saja,
tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarka n makna Hadits yang lain : “Para ulama adalah
ahli-waris para Nabi “.
Dengan demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama
dikalangan kaum muslimin
berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in,
Tabi’it-Ta bi’in dan
seterusnya ; dari generasi ke generasi,
mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 :
“Sekiranya mereka
menyerahka n (urusan
itu) kepada Rasulullah dan
Ulul-amri (orang-ora ng yang mengurus kemaslahat an ummat) dari mereka sendiri, tentulah
orang-oran g yang ingin
mengetahui
kebenarann ya (akan dapat)
mengetahui dari mereka
(ulul-amri )”.
Para alim-ulama bukan
kaum awamyang mengurus kemaslahat an ummat Islam, khususnya dalam kehidupan
beragama. Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan- ketentuan dan hukum-huku m agama. Ibnu Mas’ud ra.
menegaskan : “Allah telah memilih
Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulullah ) dan telah pula memilih
sahabat-sa habatnya. Karena itu apa
yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah “
. Demikian yang diberitaka n oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam
Musnad-nya dan
dinilainya sebagai hadits Hasan
(hadits baik).
Dengan pengertian
penakwilan kalimat sunnah
dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa
keumuman hadits kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah
sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentang an dengan nash dan dasar-dasa r syari’at maupun yang tidak. Berarti mereka telah
mencampur- aduk kata bid’ah itu
antara penggunaan nya yang
syar’i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah
terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits
hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru
yang bertentang an dengan nash dan
dasar syari’at. Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap
perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud
yaitu perkara baru yang bertentang an dengan nash dan
dasar-dasa r syari’at dan inilah yang
disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang
maqbul yaitu perkara baru yang tidak
bertentang an dengan nash
dan dasar-dasa r syari’at dan
inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/ pertama atau sesudahnya .
Barangsiap a yang
memasukkan semua perkara baru
yang tidak pernah dikerjakan
oleh Rasulullah saw., para
sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah
dholalah, maka dia haruslah mendatangk an terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus)
untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang
demikian itu tidak bercampur- aduk dengan bid’ah yang maqbul
berdasarka n
penggunaan nya yang lughawi. Karena
tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan
tuduhan mengharamk an
amalan tersebut.
Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah
diharuskan sebanyak mungkin
menjalanka n ma’ruf
(kebaikan) yaitu semua perbuatan yang
mendekatka n kita
kepada Allah SWT. dan menjauhi yang mungkar (keburukan ) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan
kita dari pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun juga
orang yang menunjukka n kepada
kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah SWT. pahala yang sama dengan orang yang
mengerjaka nnya.
Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang
kalimatnya : semua bid’ah
dholalah dan kita buang ayat ilahi dan
hadits-had its yang lain yang
menganjurk an manusia selalu
berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah bahwa kita harus
berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarann ya oleh jumhurul-u lama serta tidak hanya melihat tekstual
kalimatnya saja tapi memahami
makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulullah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama
lain tidak akan berlawanan
maknanya.
Berbuat kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah
peribadata n saja. Termasuk juga
kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi ) baik antara sesama muslimin maupun antara muslim
dan non-muslim (yang tidak
memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta.
Sebagaiman a para ulama pakar
Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggara n hak asasi manusia tidak akan diampuni
kecuali oleh orang yang bersangkut an,
sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri.
Manusia manapun tidak pernah diperkenan kan membuat klaim-klai m yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep
tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Ny a. Karena itu, kita harus
berhati-ha ti untuk tidak melanggar
hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun
tidak akan mengampuni pelanggara n terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang
bersangkut an telah memberi maaf.
5. Contoh-con toh bid’ah yang diamalkan para sahabat
Marilah kita sekarang rujuk hadits-had its Rasulullah saw. mengenai amal kebaikan yang dilakukan oleh
para sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka sendiri, bukan perintah Allah SWT.
atau Nabi saw., dan bagaimana Rasulullah saw. menanggapi masalah itu. Insya Allah dengan adanya beberapa
hadits ini para pembaca cukup jelas bahwa semua hal-hal yang baru (bid’ah) yang
sebelum atau sesudahnya tidak
pernah diamalkan, diajarkan atau
diperintah - kan oleh
Rasulullah saw. selama hal ini
tidak merubah dan keluar dari garis-gari s yang ditentukan syari’at itu adalah boleh diamalkan apalagi dalam
bidang kebaikan itu malah dianjurkan
oleh agama dan mendapat pahala.
- Hadits dari Abu Hurairah: “Rasululla
h saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’. Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-mala m sebagaiman a aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Dalam hadits lain yang diketengah kan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim
dan Ad-Dzahabi yang mengakui
juga sebagai hadits shohih ialah Rasulullah saw. meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah
meninggalk an sholat dua rakaat setelah
adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan
sholat dua raka’at demi karena Allah SWT. (lillah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath
mengatakan : Dari hadits tersebut
dapat diperoleh pengertian , bahwa
ijtihad menetapkan
waktu ibadah diperboleh kan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada
Rasulullah
saw.adalah hasil istinbath
(ijtihad)- nya sendiri dan
ternyata dibenarkan oleh beliau saw.
(Fathul Bari jilid 111/276).
- Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai
perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan
sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).
Dua hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah
menetapkan
waktu-wakt u ibadah atas dasar
prakarsany a
sendiri-se ndiri.
Rasulullah saw. tidak
memerintah kan hal itu dan tidak
pula melakukann ya, beliau hanya
secara umum menganjurk an supaya
kaum muslimin banyak beribadah.
Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan
membenarka n prakarsa dua orang sahabat
itu.
- Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal
dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangka
n bahwa:
“Pada suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulullah saw. Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’
beliau saw. mengucapka n
‘sami’alla hu liman hamidah’. Salah
seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana
lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan
kami, puji syukur sebanyak-b anyaknya dan sebaik-bai knya atas limpahan keberkahan -Mu). Setelah shalat Rasulullah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang
berdo’a?’. Orang yang bersangkut an menjawab: Aku, ya Rasul- Allah.
Rasulullah saw. berkata : ‘Aku
melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’
“.
Ibnu Hajar Al-Asqalan i dalam
Al-Fath II:287 mengatakan : ‘ Hadits tersebut dijadikan dalil untuk
membolehka n membaca suatu dzikir
dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw. (ghair ma’tsur) jika
ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau
bertentang an dengan dzikir yang
ma’tsur dicontohka n langsung oleh Nabi Muhammad saw.. Disamping itu,
hadits tersebut mengisyara tkan
bolehnya mengeraska n suara bagi
makmum selama tidak mengganggu
orang yang ada didekatnya …’.
Al-Hafidh dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukka n juga diperboleh kannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat
selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasa- an yang telah
ditentukan
(diwajibka n). Juga hadits itu
memperbole hkan orang
mengeraska n suara diwaktu shalat
dalam batas tidak menimbulka n
keberisika n.
Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’a h Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah
bin Shiddiq Al-Ghimary untuk
mengetahui makna al-bid’ah
- Hadits serupa diatas yang diriwayatk
an oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-e ngah (Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya) al-hamduli llah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulullah saw. selesai dari sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantara- mu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-oran g diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakan nya ? Sesungguhn ya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-e ngah (kelelahan ) sehingga aku mengatakan nya’. Maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkat kannya (amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
- Dalam Kitabut-Ta
uhid Al-Bukhori mengetenga hkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan : “Pada suatu saat Rasulullah saw. menugas- kan seorang dengan beberapa temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap sholat berjama’ah , selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah . Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang diantarany a memberitah ukan persoalan itu kepada Rasulullah saw. Beliau saw.menjaw ab : ‘Tanyakanl ah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang yang bersangkut an menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangka n sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya ’. Ketika jawaban itu disampaika n kepada Rasulullah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukainy a’ “.
Apa yang dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak
pernah diperintah kan oleh
Rasulullah saw. Itu hanya
merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun begitu
Rasulullah saw. tidak
mempersala hkan dan tidak pula
mencelanya , bahkan memuji dan
meridhoiny a dengan ucapan “Allah
menyukainy a”.
- Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari
Anas bin Malik yang menceriter
akan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukann ya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya : Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang lain dan meninggalk an surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalk an surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau meng- imami kalian. Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulullah saw. dan menceriter akan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulullah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhn ya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-tema nmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulullah , aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaan mu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya
Al-Fath mengatakan
antara lain; ‘Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah
ditentukan karena terdorong oleh
kecintaann ya kepada surah
tersebut. Namun Rasulullah saw.
menggembir akan orang itu dengan
pernyataan bahwa ia akan masuk
surga. Hal ini menunjukka n bahwa
beliau saw. meridhainy a’.
Imam Nashiruddi n Ibnul
Munir menjelaska n
makna hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat
mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’.
Selanjutny a ia
menerangka n; ‘Seumpama orang itu
menjawab dengan alasan karena ia tidak hafal Surah yang lain, mungkin
Rasulullah saw. akan
menyuruhny a supaya belajar
menghafal Surah-sura h selain
yang selalu dibacanya berulang-u lang. Akan tetapi karena ia
mengemukak an alasan karena sangat
mencintai Surah itu (yakni Al-Ikhlas) , Rasulullah saw. dapat membenarka nnya, sebab alasan itu menunjukka n niat baik dan tujuan yang sehat’.
Lebih jauh Imam Nashiruddi n mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga
menunjukka n, bahwa orang boleh
membaca berulang-u lang Surah
atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an menurut kesukaanny a. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan
bahwa orang yang bersangkut an
tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau meninggalk annya’.
Menurut kenyataan, baik
para ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zama n berikutnya , tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupa- kan suatu bid’ah
sesat, dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuat- an itu merupakan sunnah yang
tetap. Sebab sunnah yang tetap dan wajib dipertahan kan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan
diperintah kan oleh
Rasulullah saw. Sedangkan
sunnah-sun nah yang tidak pernah
dijalankan atau
diperintah kan oleh
Rasulullah saw. bila tidak keluar dari
ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan yang diminta
oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan berdzikir kepada
Allah SWT.
- Al-Bukhori
mengetenga hkan sebuah hadits tentang Fadha’il (keutamaan ) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang mengatakan , bahwa ia mendengar seorang mengulang- ulang bacaan Qul huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitah ukan hal itu kepada Rasulullah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus mengulang- ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulullah saw.berkat a : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditanganNy a, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam Al-Hafidh mengatakan
didalam Al-Fathul- Bari;
bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin
Nu’man. Hadits tersebut diriwayat- kan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id, yang
mengatakan , bahwa sepanjang
malam Qatadah bin Nu’man terus-mene rus
membaca Qul huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar
adalah saudaranya seibu (dari
lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang
sama diriwayatk an juga oleh
Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan : ‘Tetanggak u selalu bersembahy ang di malam hari dan terus-mene rus membaca Qul huwallahu ahad’.
- Ashabus-Su
nan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatk an sebuah hadits berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceriter akan kesaksiann ya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulullah saw. masuk kedalam masjid Nabawi (masjid Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulullah saw. bersabda; ‘Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya , dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab’.
Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat tanggapan sangat meng-
gembirakan dari
Rasulullah saw. itu disusun
atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a
yang diajarkan atau diperintah kan oleh Rasulullah saw. kepadanya. Karena susunan do’a itu sesuai dengan
ketentu- an syari’at dan bernafaska n tauhid, maka beliau saw.
menanggapi nya dengan baik,
membenarka n dan
meridhoiny a.
- Hadits dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat
bersama Nabi saw. ada seorang lelaki dari yang hadir yang
mengucapka
n ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanall ahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai sholatnya, maka Rasulullah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapka n kalimat-ka limat tadi? Jawab sese- orang dari kaum; Wahai Rasulullah , akulah yang mengucapka n kalimat-ka limat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-ka limat tadi sesungguhn ya langit telah dibuka pintu-pint unya karenanya’. Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku tidak pernah meninggalk an untuk mengucapka n kalimat-ka limat tadi.” (HR. Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’an i ‘Abdurrazz aq juga mengutipny a dalam Al-Mushann af.
Demikianla h bukti yang
berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan
Rasulullah saw.
terhadap prakarsa-p rakarsa baru yang
berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam sholat, walaupun
beliau saw. sendiri tidak pernah melakukann ya atau memerintah kannya. Kemudian Ibnu Umar
mengamalka n hal tersebut bukan
karena anjuran dari Rasulullah saw.
tapi karena mendengar jawaban beliau saw. mengenai bacaan itu.
Yang lebih mengherank an
lagi ialah ada golongan yang bependapat lebih jauh lagi yaitu menganggap do’a qunut waktu sholat
shubuh sebagai bid’ah. Padahal do’a tersebut berasal dari hadits
Rasulullah saw. sendiri yang
diriwayatk an oleh Abu Daud, Turmudzi,
Nasa’i dan selain mereka dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. juga oleh Al
Baihaqi dari Ibnu Abbas.
Sedangkan waktu dan tempat
berdirinya untuk membaca do’a
qunut pada waktu sholat Shubuh, ini juga berdasarka n hadits-had its yang diketengah kan oleh Anas bin Malik; Awam bin Hamzah; Abdullah
bin Ma’qil; Barra’ (ra) yang diriwayatk an oleh sekolompok huffaz dan mereka juga ikut
menshahih- kannya serta para
ulama lainnya diantarany a Hafiz
Abu Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi, Al Hakim Abu Abdillah, Imam Muslim, Imam
Syafi’i, Imam Baihaqi dan Daraquthni
dan lain lain).
Bagaimana mungkin do’a qunut yang berasal dari Nabi saw. tersebut dikatakan
bid’ah sedangkan tambahan-t ambahan kalimat dalam sholat yang tersebut diatas
atas prakarsany a para sahabat
sendiri tidak dipersalah kan oleh Nabi
saw. malah diridhoi dan diberi kabar gembira bagi yang membaca nya ?
- Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem
pengobatan
dengan jalan berdo’a kepada Allah SWT. atau dengan jalan bertabarru k pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan . Karena sangat lapar mereka minta pada orang-oran g suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatin ya, akhirnya mereka mendekati sahabat
Nabi seraya berkata: Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala
suku kami yang disengat binatang berbisa? Salah seorang sahabat sanggup
menyembuhk annya tapi dengan
syarat suku badui mau memberikan
makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut. Maka sahabat
Nabi itu segera mendatangi
kepala suku lalu membacakan nya
surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa
berjalan. Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing
sesuai dengan perjanjian . Para
sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap
Rasulullah saw. Setiba dihadapan
Rasulullah saw., mereka
menceriter akan apa yang telah
mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulullah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah
al-Fatihah itu dapat
menyembuhk an’?
Rasulullah saw.
membenarka n mereka dan ikut
memakan sebagian dari daging kambing tersebut “.
(HR.Bukhor i)
- Abu Daud, At-Tirmudz
i dan An-Nasa’i mengetenga hkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan ; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombo l dan ditengah-t engah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulullah saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah , dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga diketengah kan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih banyak hadits yang meriwayatk an amal perbuatan para sahabat atas dasar prakarsa
dan ijtihadnya sendiri yang
tidak dijalani serta dianjurkan
oleh Rasulullah saw. Semuanya
itu diridhoi oleh Rasulullah
saw. dan beliau memberi kabar gembira pada mereka. Amalan-ama lan tersebut juga tidak
diperintah atau
dianjurkan oleh
Rasulullah saw. sebelum atau
sesudahnya . Karena semua
itu bertujuan baik, tidak melanggar syariát maka oleh Nabi saw. diridhoi dan
mereka diberi kabar gembira. Perbuatan- perbuatan tersebut dalam pandangan syari’at dinamakan
sunnah mustanbath ah yakni sunnah yang
ditetapkan
berdasarka n istinbath atau hasil
ijtihad. Dengan demikian hadits-had its diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap amal
kebaik- an selama tidak keluar dari garis-gari s yang ditentukan syari’at Islam itu mustahab/ baik hukumnya, apalagi masalah tersebut
bermanfaat bagi
masyarakat muslim khususnya
malah dianjurkan oleh agama.
Kalau kita teliti hadits-had its diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah
shalat yaitu suatu ibadah pokok dan
terpenting dalam Islam.
Sebagaiman a
Rasulullah saw. telah bersabda :
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُو ْنِي
أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu
sholat sebagaiman a kalian melihat aku
sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun demikian beliau saw. dapat membenarka n dan meridhoi tambahan tambahan tertentu yang
berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw.
memandang do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak keluar dari
batas-bata s yang telah
ditentukan oleh syari’at dan
juga bernafaska n tauhid. Bila
ijtihad dan amalan para sahabat itu melanggar dan merubah
hukum-huku m yang telah
ditentukan oleh syari’at, pasti
akan ditegur dan dilarang oleh Rasulullah saw.
Mungkin ada orang yang bertanya-t anya lagi; Bagaimanak ah pendapat orang tentang penetapan sesuatu yang
disebut sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang dilakukan oleh
masyarakat muslimin pada abad pertama
Hijriyah, padahal apa yang dikatakan sunnah atau mustahab itu tidak pernah
dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.?
Memang benar, bahwa masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan
generasi berikutnya , banyak
menetapkan hal-hal yang bersifat
mustahab dan baik. Pada masa itu banyak sekali para ulama yang menurut
kesanggupa nnya
masing-mas ing dalam menguasai
ilmu pengetahua n, giat melakukan
ijtihad (studi mendalam untuk mengambil kesimpulan hukum) dan menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau mustahab.
Untuk menerangka n hal
ini baiklah kita ambil contoh yang paling mudah dipahami dan yang pada umumnya
telah dimengerti oleh kaum
muslimin, yaitu soal kodifikasi
(pengitaba n) ayat-ayat suci
Al-Qur’an,
sebagaiman a yang telah kita
kenal sekarang ini. Para sahabat Nabi saw. sendiri pada masa-masa
sepeningga l beliau saw.
berpendapa t bahwa
pengkodifi kasian ayat-ayat suci
Al-Qur’an adalah bid’ah sayyiah. Mereka khawatir kalau-kala u pengkodifi kasian itu akan mengakibat kan rusaknya kemurnian agama Allah SWT., Islam.
‘Umar bin Khattab ra. sendiri sampai merasa takut kalau-kala u dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena wafatnya
para sahabat Nabi saw. yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia mengemukak an
kekhawatir annya itu kepada
Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulka n supaya Khalifah memerintah kan pengitaban ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ketika itu Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar
dan berkata kepada ‘Umar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang
tidak dilakukan oleh Rasulullah
saw.? ‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu merupakan hal yang
baik. Namun, tidak berapa lama kemudian Allah SWT.
membukakan pikiran Khalifah Abu
Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada pikiran ‘Umar bin Khattab ra,
dan akhirnya bersepakat lah dua
orang sahabat Nabi itu untuk mengitabka an ayat-ayat Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan
diperintah kan supaya
melaksana- kan
pengitabat an ayat-ayat Al-Qur’an itu.
Zaid bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana mungkin
aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.? Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu
pekerjaan yang baik! Untuk lebih detail keterangan nya silahkan membaca riwayat hadits ini yang
dikemukaka n oleh Imam Bukhori
dalam Shohih-nya juz 4 halaman 243
mengenai pembukuan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Jelaslah sudah, baik Abu Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada
masa itu telah melakukan suatu cara yang tidak pernah dikenal pada waktu
Rasulullah saw. masih hidup.
Bahkan sebelum melakukan pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin
Tsabit sendiri masing-mas ing
telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka dibukakan dadanya oleh Allah
saw. sehingga dapat menyetujui
dan menerima baik prakarsa ‘Umar bin Khattab ra. Demikianla h contoh suatu amalan yang tidak pernah dikenal pada
zaman hidupnya Nabi saw.
Secara umum bid’ah adalah sesat karena berada diluar perintah
Allah SWT. dan Rasul-Nya. Akan
tetapi banyak kenyataan membuktika n, bahwa Nabi saw. membenarka n dan meridhoi banyak persoalan yang telah kami
kemuka kan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw.
Hadits-had its diatas itu
mengisyara tkan adanya bid’ah
hasanah, karena Rasulullah
saw. membenarka n serta
meridhoi atas kata-kata tambahan dalam sholat dan semua bentuk
kebajikan yang diamalkan para sahabat walaupun Nabi saw. belum
menetapkan atau
memerintah kan
amalan-ama lan tersebut. Begitu juga
prakarsa para sahabat diatas setelah wafatnya beliau saw.
Darisini kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-ama lan, baik itu dijalankan atau tidak pada masa
Rasulullah saw. atau zaman
dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak melanggar syariát serta mempunyai
tujuan dan niat mendekatka n diri
untuk mendapatka n ridha Allah
SWT. dan untuk mengingatk an (dzikir)
kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan dapat
diterima.
Sebagaiman a hadits
Rasulullah saw.:
اِنَّمَا الأَعْمَال ُ
بِالْنـِّي َّاتِ
وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى,
فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِ هِ فَهِجْرَتُ هُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِ هِ (رواه البخاري
‘Sesungguh nya
segala perbuatan tergantung
kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang
diniatkan, siapa yang hijrahnya
(tujuannya )
karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya
itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya (berhasil) ’. (HR. Bukhori).
Sekiranya orang-oran g
yang gemar melontarka n tuduhan
bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap
Rasulullah saw. dalam meng-
hadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya sebagaiman a yang telah kami kemukakan
dalil-dali l haditsnya tentu
mereka mau dan akan menghargai
orang lain yang tidak sependapat atau
sepaham dengan mereka.
Tetapi sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan
mensesatka n para ulama yang
tidak sepaham dengannya. Mereka
ini malah mengatakan ; ‘Bahwa
para ulama dan Imam yang memilah-mi lahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah membuka
pintu selebar-le barnya bagi kaum
Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa
pengertian yang benar
mengatakan , bahwa semua bid’ah
adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya
berlindung pada Allah SWT. atas
pemahaman mereka semacam ini.
Dalil-dali l
yang membantah dan jawabannya
Hanya orang-oran g
egois, fanatik dan mau menangnya sendiri sajalah yang
mengingkar i hal tersebut.
Seperti yang telah kemukakan sebelum ini bahwa golongan
pengingkar ini selalu
menafsirka n Al-Qur’an dan Sunnah
secara tekstual oleh karenanya sering mencela semua amalan yang tidak sesuai
dengan paham mereka.
Misalnya, mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits
Rasulullah saw. berikut ini :
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ,
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ
“Setiap yang diada-adak an (muhdatsah ) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
sesat’.
Juga hadits Nabi saw.:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و
مسلم)
‘Barangsia pa yang
didalam agama kami mengadakan sesuatu
yang tidak dari agama ia tertolak’.
Hadits-had its tersebut
oleh mereka dipandang sebagai pengkhusus an hadits Kullu bid’atin dhalalah yang bersifat
umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari agama ia
tertolak, yakni dholalah/ sesat. Dengan adanya kata Kullu
(setiap/ semua) pada hadits
diatas ini tersebut mereka menetapkan
apa saja yang terjadi setelah zaman Rasul- Allah saw. serta
sebelumnya tidak pernah
dikerjakan oleh
Rasulullah saw. adalah bi’dah
dholalah.
Mereka tidak memandang apakah hal yang baru itu membawa
maslahat/ kebaikan dan termasuk
yang dikehendak i oleh agama atau
tidak. Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca contoh-con toh hadits diatas mengenai prakarsa para sahabat
yang menambahka n
bacaan-bac aan dalam sholat yang
mana sebelum dan sesudahnya
tidak pernah diperintah kan
Rasulullah saw. Mereka juga
tidak mau mengerti bahwa memperbany ak kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama
sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-p ayah memperoleh kebaikan.
Ada lagi kaidah yang dipegang dan sering dipakai oleh golongan
pengingkar dan pelontar
tuduhan-tu duhan bid’ah mengenai suatu
amalan, adalah kata-kata sebagai berikut:
“Rasululla h saw.
tidak pernah memerintah kan dan
mencontohk annya. Begitu juga
para sahabatnya tidak ada
satupun diantara mereka yang mengerja- kannya. Demikian pula para
tabi’in dan tabi’ut-ta bi’in. Dan
kalau sekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak
dilakukan oleh Rasulullah , sahabat dan
para tabi’in?”
Atau ucapan mereka : “Kita kaum muslimin
diperintah kan untuk mengikuti
Nabi yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau
lakukan, kenapa justru kita yang melakukann ya..? Bukankah kita harus
menjauhkan diri dari sesuatu
yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulam a salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak
pernah dikerjakan oleh Nabi
adalah bid’ah”.
Kaidah-kai dah seperti
itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai
perlindung an oleh golongan
pengingkar ini juga sering mereka
jadikan sebagai dalil/ hujjah untuk melegitima si tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan
yang baru termasuk tahlilan, peringatan Maulid Nabi saw. dan sebagainya . Terhadap semua ini mereka langsung
menghukumn ya dengan ‘sesat, haram,
mungkar, syirik dan sebagainya ’, tanpa mau mengembali kannya kepada kaidah-kai dah atau melakukan penelitian terhadap hukum-huku m pokok/ asal agama.
Ucapan mereka seperti diatas ini adalah ucapan yang awalnya
haq/benar namun akhirnya batil atau awalnya shohih
namun akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan Nabi saw.
atau para sahabat yang tidak pernah mengamal- kannya (umpamanya ; berkumpul untuk tahlilan,
peringatan keagamaan dan lain
sebagainya ). Sedangkan yang
batil/ salah atau fasid adalah
penghukum- an mereka
terhadap semua perbuatan amalan yang baru itu dengan hukum haram,
sesat, syirik, mungkar dan sebagainya.
Yang demikian itu karena Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak
mengerja- kan satu perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan
penghukuma n dengan
berdasarka n kaidah diatas
tersebut adalah penghukuma n
tanpa dalil/ nash. Dalil untuk
mengharamk an sesuatu perbuatan
haruslah menggunaka n nash yang
jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang dan
mengingkar i perbuatan tersebut.
Jadi tidak bisa suatu perbuatan diharam- kan hanya
karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak pernah melakukann ya.
Telitilah lagi hadits-had its diatas yakni amalan-ama lan bid’ah para sahabat yang belum pernah
dikerjakan atau
diperintah kan oleh
Rasulullah saw. dan bagaimana
Rasulullah saw.
menanggapi nya.
Penanggapa n Rasul- Allah saw. inilah
yang harus kita contoh !
Demikian pula para ulama mengatakan ’ bahwa amalan ibadah itu bila tidak
ada keterangan
yang valid dari Rasulullah saw., maka
amalan itu tidak boleh dinisbahka n kepada beliau saw. !!
Jelas disini para ulama tidak
mengatakan bahwa suatu
amalan ibadah tidak boleh diamalkan karena tidak ada
keterangan dari beliau saw.,
mereka hanya mengatakan amalan itu
tidak boleh dinisbahka n kepada Rasulullah saw. bila
tidak ada dalil dari beliau saw. !
Kalau kita teliti perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab
selalu ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaiman a yang sering kita baca
dikitab-ki tab fiqih para ulama pakar
yaitu Satu hadits bisa dishohihka n oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini
bisa dilemahkan
atau dipalsukan oleh ulama
pakar lainnya. Kedua kelompok ulama ini sama-sama ber- pedoman kepada
Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah saw. tetapi berbeda
cara penguraian nya.
Tidak lain semuanya, karena status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang
mengatakan nya. Dari sini saja
kita sudah bisa ambil kesimpul an; Kalau hukum atas derajat suatu hadits itu
masih berbeda-be da diantara para
ulama, tentu saja ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan sunnah dari
Rasulullah saw. pun berbeda juga
!!
Para ulama pun berbeda pandangan ketika menyimpulk an hasil dari sekian banyak hadits yang
berserakan . Umpamanya mereka
berbeda dalam meng- ambil kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun amal ini
disebutkan didalam suatu hadits
yang shohih. Para ulama juga mengenal beberapa macam sunnah yang sumbernya
langsung dari Rasulullah saw., umpama-
nya; Sunnah Qauliyyah,
Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana
Rasulullah saw. sendiri
menganjur- kan atau
mensaranka n suatu amalan, tetapi
belum tentu kita mendapatka n dalil bahwa Rasulllah saw. pernah
mengerjaka nnya secara langsung.
Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulullah saw. yang dalilnya/ riwayat- nya sampai kepada kita bukan dengan cara
dicontohka n, melainkan dengan
diucapkan saja oleh beliau saw. Di mana ucapan itu tidak selalu berbentuk
fi’il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk anjuran, janji
pahala dan sebagainya .
Contoh sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits
Rasulullah saw. yang
menganjurk an orang untuk belajar
berenang, tetapi kita belum pernah mendengar bahwa Rasulullah saw. atau para sahabat telah belajar atau kursus
berenang !!
Sunnah Fi’liyah ialah sunnah
yang ada dalilnya juga dan pernah dilakukan langsung oleh
Rasulullah saw. Misalnya ibadah
shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah Senin Kamis, makan dengan
tangan kanan dan lain sebagainya . Para shahabat melihat langsung beliau saw.
melakukann ya, kemudian
meriwayatk annya kepada kita.
Sedangkan Sunnah Taqriyyah
ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukann ya langsung, juga tidak pernah
memerintah kannya dengan
lisannya, namun hanya mendiamkan nya saja. Sunnah yang terakhir ini
seringkali disebut dengan sunnah
taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah
kami kemukakan sebelumnya .
Begitu juga dengan amalan-ama lan ibadah yang belum pernah
dikerjakan oleh
Rasulullah saw. atau para
sahabatnya , tetapi diamalkan
oleh para ulama salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf (ulama
belakangan ) misalnya
mengadakan majlis maulidin Nabi
saw., majlis tahlilan/ yasinan
dan lain sebagainya (baca keterangan nya pada bab Maulid Nabi saw.dan bab Ziarah
kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalka n ini mengambil dalil-dali l baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. yang menganjurk an agar manusia selalu berbuat kebaikan atau
dalil-dali l tentang
pahala-pah ala bacaan dan amalan
ibadah lainnya. Berbuat kebaikan ini banyak macam dan caranya semuanya mustahab
asalkan tidak tidak bertentang an
dengan apa yang telah digariskan oleh
syari’at.
Apalagi didalam majlis-maj lis (maulidin- Nabi, tahlilan/ yasinan, Istighotsa h) yang sering diteror oleh golongan tertentu,
disitu sering didengungk an
kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir dan Sholawat kepada Rasulullah saw. yang semuanya itu
dianjurkan oleh Allah SWT. dan
Rasul-Nya. Semuanya ini
mendekatka n/ taqarrub kita kepada Allah SWT.!!
Mari kita rujuk ayat al-Qur’an:
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْل ُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُو ْا
‘Apa saja yang didatangka n oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan
apa saja yang kamu dilarang daripadany a, maka berhentila h (mengerjak annya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak
mengerjaka n sesuatu itu adalah
apabila telah tegas dan jelas laranganny a dari Rasulullah saw. !
Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ
فَانْتَهُو ْا
‘Dan apa saja yang tidak pernah
dikerjakan nya
(oleh Rasulullah ), maka
berhentila h
(mengerjak annya)’.
Juga dalam hadits Nabi saw. yang diriwayatk an oleh Bukhori:
فَاجْتَنِب ُوْهُ اِذَا
أمَرْتُكُم ْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا
مِنْهُ مَااسْتَطَ عْتُمْ وَاِذَا
نَهَيْتُكُ مْ عَنْ شَيْئٍ
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka
lakukanlah semampumu dan jika aku
melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘
Dalam hadits ini Rasulullah
saw. tidak mengatakan :
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِب ُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka
jauhilah dia!’
Jadi pemahaman golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua
hadits yang telah kami kemukakan Setiap yang
diada-adak an
(muhdatsah ) adalah… dan hadits
Barangsiap a yang didalam
agama… adalah tidak benar, karena adanya beberapa
keterangan dari
Rasulullah saw. didalam
hadits-had its yang lain dimana
beliau merestui banyak perkara yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan
beliau saw. sendiri tidak pernah melakukan apalagi memerintah kan. Maka para ulama menarik
kesimpulan bahwa bid’ah
(prakarsa) yang dianggap sesat
ialah yang mensyari’a tkan
sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah SWT. (QS Asy-Syura :21)
serta prakarsa-p rakarsa yang bertentang an dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun
sunnah Rasulullah saw., contohnya yang
mudah ialah:
Sengaja sholat tidak menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam
dan diakhiri denga takbir ; Melakukan sholat dengan satu sujud saja;
Melaku kan sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan lain
sebagai- nya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena
bertentang an dengan apa yang
telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulullah
saw. diatas yang mengatakan ,
mengada-ad akan sesuatu
itu…. adalah masalah pokok-poko k agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah.
Saya ambil perumpamaa n lagi yang
mudah saja, ada orang mengatakan bahwa
sholat wajib itu setiap harinya dua kali, padahal agama
menetapkan lima kali
sehari. Atau orang yang sanggup tidak berhalanga n karena sakit, musafir dan lain-lain berpuasa
wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan tersebut
tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apapun saja. Inilah yang dinamakan
menambah dan mengada-ad akan
agama. Jadi bukan masalah-ma salah
nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Telitilah isi hadits Qudsi berikut ini yang diriwayatk an Bukhori dari Abu Hurairah :
…… وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا
افْتَرَطْت ُ عَلَيْهِ,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّب ُ أِلَيَّ بِالنّـَوَ افِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا
أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي
يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ اَلَّذِي
يُبْصِرُبِ هِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي
يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَه ُ اَلَّتِي
يَمْشِي بِهَا
وَاِنْ سَألَنِي لاُعْطَيْن َّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذ َنِي لاُعِيْذَن َّهُ. (رواه البخاري)
“…. HambaKu yang mendekatka n diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai
daripada yang telah Kuwajibkan
kepadanya, dan selagi hambaKu
mendekatka n diri kepadaKu dengan
nawafil (amalan-am alan atau sholat sunnah) sehingga Aku
mencintain ya, maka jika Aku
telah mencintain ya. Akulah yang
menjadi pendengara nnya dan
dengan itu ia mendengar, Akulah
yang menjadi penglihata nnya dan
dengan itu ia melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul
(musuh), dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon
kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindung an kepadaKu ia pasti Ku lindungi”.
Dalam hadits qudsi ini Allah SWT. mencintai orang-oran g yang menambah amalan sunnah disamping amalan
wajibnya.
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu
yang mana kata ini tidak harus berarti
semua/ setiap, tapi bisa
berarti khusus untuk beberapa hal saja.
Firman Allah SWT dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba
Allah yang sholeh), sebagai berikut:
“Adapun perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin
yang bermata pencaharia n
dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka merampas
semua perahu”.
Ayat ini menunjukka n
tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan perahu yang masih
dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya Khidir/ seorang hamba yang sholeh sengaja
membocorka n perahu
orang-oran g miskin itu agar
terlihat sebagai perahu yang cacat/ jelek sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu.
Dengan demikian maka kata safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah
safiinah hasanah atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah
diayat ini tidak bersifat umum dalam arti tidak semua safiinah/ perahu yang akan dirampas oleh raja melainkan safiinah
hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah
(semua/ setiap perahu).
Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah SWT.berfir man : “Angin taufan itu telah
menghancur kan segala
sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun demikian keumuman pada ayat diatas ini
tidak terpakai karena pada saat itu gunung-gun ung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah SWT.berfir man : “Ratu Balqis itu telah diberikan
segala sesuatu”. Keumuman pada ayat ini juga tidak
terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi
Sulaiman as.
Dalam surat Thoha ayat 15 Allah SWT. berfirman : “Agar setiap manusia
menerima balasan atas apa yang telah diusahakan nya”. Kalimat ‘apa yang telah
diusahakan nya’ mencakup semua
amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian amal
yang sayyiah yang telah diampuni oleh Allah SWT.
tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).
Dalam surat Aali ‘Imran : 173 Allah SWT. berfirman mengenai suatu peristiwa
dalam perang Uhud :
“Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang
mengatakan bahwa semua orang (di
Mekkah) telah mengumpulk an pasukan untuk menyerang… .” Yang dimaksud semua orang
(an-naas) dalam ayat ini tidak bermakna secara
harfiahnya , tetapi hanya untuk
kaum musyrikin Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb yang
memerangi Rasulullah saw. dan kaum
Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang
Arab.
Dalam surat Al-Anbiya : 98 : “Sesungguh nya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah
adalah umpan neraka jahannam.. ”. Ayat ini sama sekali tidak boleh
ditafsirka n bahwa Nabi ‘Isa as
dan bundanya yang dipertuhan kan
oleh kaum Nasrani akan menajdi umpan neraka. Begitu juga para malaikat yang oleh
kaum musyrikin lainnya dianggap sebagai tuhan-tuha n mereka.
Dalam surat Aali ‘Imran : 159 : “Ajaklah mereka
bermusyawa rah dalam suatu urusan…”.
Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan
termasuk urusan agama dan urusan akhirat , tidak ! Yang dimaksud urusan
dalam hal ini ialah urusan duniawi. Allah SWT. tidak
memerintah kan Rasul-Nya supaya
memusyawar ahkan soal-soal
keagamaan atau keukhrawia n
dengan para sahabatnya atau dengan
ummatnya.
Dalam surat Al-An’am : 44 : ‘Kami bukakan bagi mereka pintu segala
sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat ini terkait, Allah tidak
membukakan pintu rahmat bagi
mereka (orang-ora ng kafir durhaka).
Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud
khusus.
Dalam surat Al-Isra : 70 : “Dan sesungguhn ya telah Kami muliakan anak-anak Adam….dan
seterusnya “. Firman Allah
ini bersifat umum, sebab Allah SWT. juga telah berfirman, bahwa ada manusia-ma nusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami
ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunaka nnya untuk melihat tanda-tand a kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi
tidak menggunaka nnya untuk
mendengark an
firman-fir man Allah; mereka itu
bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi
(QS.Al-A’r af : 179).
Jadi jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk yang mulia,
tetapi secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang ternak, bahkan
lebih sesat. Masih banyak lagi ayat-ayat Ilahi yang walaupun
didalamnya terdapat keumuman
namun ternyata keumumanny a itu tidak
terpakai untuk semua hal atau masalah. !!
Sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatk an oleh Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang
menunaikan sholat sebelum matahari
terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. Hadits
ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud oleh
hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan sholat shubuh
dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan sholat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya
!
Ibnu Hajar mengatakan ;
‘ Hadits-had its shahih yang
mengenai satu persoalan2 harus
dihubungka n satu sama lain untuk dapat
diketahui dengan jelas maknanya yang muthlak dan yang
muqayyad. Dengan demikian maka semua yang
di-isyarat kan oleh
hadits-had its itu semuanya dapat
dilaksana- kan’.
Dalam shohih Bukhori dan juga dalam
Al-Muwatth a
terdapat penegasan Rasulullah
saw. yang menyatakan bahwa jasad
semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu ‘Abdul Birr
rh. dalam At-Tamhid mengatakan : Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan menurut
keumuman maknanya adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi
dalam hadits yang lain Rasulullah saw. menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan
syahid tidak akan dimakan tanah (hancur) !
Masih banyak contoh seperti diatas baik didalam nash Al-Qur’an maupun
Hadits. Banyak sekali ayat Ilahi yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat yang lain
dikhususka n maksud dan maknanya,
demikian pula banyak terdapat didalam hadits. Begitu banyaknya sehingga ada
sekelompok ulama
mengatakan ; ‘Hal yang umum
hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan -kekhususa nnya’.
Begitu juga halnya dengan hadits Nabi ‘Kullu bid’ atin
dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarka n dalil hadits lainnya maka
disimpulka nlah bahwa tidak
semua bid’ah (prakarsa) itu
dholalah/ sesat ! Mereka
juga lupa yang disebut agama bukan hanya masalah peribadata n saja. Allah SWT. menetapkan agama Islam bagi umat manusia mencakup semua
perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki bid’ah baik yang hasanah maupun
yang sayyiah/ buruk.
Banyak kenyataan membuktika n, bahwa Rasulullah saw. membenarka n dan meirdhoi macam-maca m perbuatan yang berada diluar perintah Allah dan
perintah beliau saw. Silahkan baca kembali hadits-had its yang telah kami kemukakan diatas.
Bagaimanak ah cara kita memahami semua
persoalan itu? Apakah kita berpegang pada satu hadits Nabi (yakni kalimat: semua
bid’ah adalah sesat) diatas dan kita buang ayat ilahi dan
hadits-had its yang lain yang
lebih jelas uraiannya (yang menganjurk an manusia selalu berbuat kebaikan) ? Yang benar
ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima
kebenarann ya oleh
jumhurul-u lama. Untuk itu tidak
ada jalan yang lebih tepat daripada yang telah ditunjukka n oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu
sebagaiman a yang telah
dipecahkan oleh Imam Syafi’i dan
lain-lain.
Insya Allah dengan keterangan singkat tentang hadits-had its Rasulullah saw. masalah Bid’ah, akan bisa membuka pikiran
kita untuk mengetahui bid’ah
mana yang haram dan bid’ah yang Hasanah/ baik. Untuk lebih lengkapnya keterangan yang saya kutip dalam hal bid’ah ini, silahkan
membaca buku Pembahasan Tuntas
Perihal Khilafiyah oleh H.M.H
Al-HAMID – AL-HUSAINI .
6. Qadha (pengganti an) Sholat yang ketinggala n dan dalil-dali l yang berkaitan dengannya
Sebagian golongan muslimin telah membid’ahk an, mengharamk an/mem batalkan mengqadha/ mengganti sholat yang sengaja tidak
dikerjakan pada waktunya. Mereka
ini berpegang pada wejangan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah yang
mengatakan tidak sah
orang yang ketinggala n sholat
fardhu dengan sengaja untuk menggantin ya/ qadha pada waktu sholat lainnya, mereka harus
menambah sholat-sholat sunnah untuk menutupi kekurangan - nya tersebut. Tetapi pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu
Taimiyyah ini telah terbantah oleh hadits-had its dibawah ini dan ijma’
(kesepakat an) para ulama pakar
diantarany a Imam Hanafi, Malik
dan Imam Syafi’i dan lainnya tentang kewajiban qadha bagi yang
meninggalk an sholat baik dengan
sengaja maupun tidak sengaja. Mari kita ikuti beberapa hadits tentang qadha
sholat berikut ini
:
- HR.Bukhori
, Muslim dari Anas bin Malik ra.: “Siapa yang lupa (melaksana kan) suatu sholat atau tertidur dari (melaksana kan)nya, maka kifaratnya (tebusanny a) adalah melakukann ya jika dia ingat”. Ibnu Hajr Al-‘Asqala ny dalam Al-Fath II:71 ketika menerangka n makna hadits ini berkata; ‘Kewajiban menggadha sholat atas orang yang sengaja meninggalk annya itu lebih utama. Karena hal itu termasuk sasaran Khitab (perintah) untuk melaksanak an sholat, dan dia harus melakukann ya…’.
Yang dimaksud Ibnu Hajr ialah kalau perintah
Rasulullah saw. bagi orang yang
ketinggala n sholat karena lupa dan
tertidur itu harus diqadha, apalagi untuk sholat yang disengaja
ditinggalk an itu malah lebih
utama/ wajib untuk
menggadhan ya. Maka bagaimana dan
darimana dalilnya orang bisa mengatakan bahwa sholat yang sengaja
ditinggalk an itu tidak
wajib/ tidak sah untuk diqadha ?
Begitu juga hadits itu menunjukka n bahwa orang yang ketinggala n sholat karena lupa atau tertidur tidak
berdosa hanya wajib menggantin ya. Tetapi orang yang meninggalk an sholat dengan sengaja dia berdosa
besar karena kesengajaa nnya meninggalk an sholat, sedangkan kewajiban qadha tetap berlaku
baginya.
- Rasulullah
saw. setelah sholat Dhuhur tidak sempat sholat sunnah dua raka’at setelah dhuhur, beliau langsung membagi-ba gikan harta, kemudian sampai dengar adzan sholat Ashar. Setelah sholat Ashar beliau saw. sholat dua rakaat ringan, sebagai ganti/ qadha sholat dua rakaat setelah dhuhur tersebut. (HR.Bukhor i, Muslim dari Ummu Salamah).
- Rasulullah
saw. bersabda: ‘Barangsia pa tertidur atau terlupa dari mengerjaka n shalat witir maka lakukanlah jika ia ingat atau setelah ia terbangun’ . (HR.Tirmid zi dan Abu Daud).(dik utip dari at-taj 1:539) - Rasulullah
saw. bila terhalang dari shalat malam karena tidur atau sakit maka beliau saw. menggantik annya dengan shalat dua belas rakaat diwaktu siang. (HR. Muslim dan Nasa’i dari Aisyah ra).(dikut ip dari at-taj 1:539)
Nah kalau sholat sunnah muakkad setelah dhuhur, sholat witir dan sholat
malam yang tidak dikerjakan pada
waktunya itu diganti/ diqadha
oleh Rasulullah saw. pada waktu
setelah sholat Ashar dan waktu-wakt u
lainnya, maka sholat fardhu yang sengaja
ketinggala n itu lebih utama
diganti dari- pada sholat-sho lat
sunnah ini.
- HR Muslim dari Abu Qatadah, mengatakan
bahwa ia teringat waktu safar pernah Rasulullah saw. ketiduran dan terbangun waktu matahari menyinari punggungny a. Kami terbangun dengan terkejut. Rasulullah saw. bersabda: Naiklah (ketunggan gan masing-mas ing) dan kami menunggang i (tunggang- an kami) dan kami berjalan. Ketika matahari telah meninggi, kami turun. Kemudian beliau saw. berwudu dan Bilal adzan utk melaksanak an sholat (shubuh yang ketinggala n). Rasulullah saw. melakukan sholat sunnah sebelum shubuh kemudian sholat shubuh setelah selesai beliau saw. menaiki tunggangan nya.
Ada sementara yang berbisik pada temannya; ‘Apakah kifarat (tebusan)
terhadap apa yang kita lakukan dengan mengurangi kesempurna an shalat kita (at-tafrit h fi ash-sholah )? Kemudian Rasulullah saw. bersabda: ’Bukankah aku sebagai teladan bagi
kalian’?, dan selanjutny a
beliau bersabda : ‘Sebetulnya jika karena tidur (atau lupa) berarti
tidak ada tafrith (kelalaian atau kekurangan dalam pelaksanaa n ibadah, maknanya juga tidak berdosa). Yang
dinamakan kekurangan dalam pelaksanaa n ibadah (tafrith) yaitu orang yang tidak
melakukan (dengan sengaja) sholat sampai datang lagi waktu sholat
lainnya….’ . (Juga Imam
Muslim meriwayatk an dari Abu Hurairah,
dari Imaran bin Husain dengan kata-kata yang mirip, begitu juga Imam Bukhori
dari Imran bin Husain).
Hadits ini tidak lain berarti bahwa orang yang dinamakan
lalai/ meng-
gampangkan sholat ialah bila
meninggalk an sholat dengan
sengaja dan dia berdosa, tapi bila karena tertidur atau
lupa maka dia tidak berdosa, kedua-duan ya wajib menggadha sholat yang
ketinggala n tersebut. Dan dalam hadits
ini tidak menyebutka n bahwa orang tidak boleh/ haram menggadha sholat yang
ketinggala n kecuali selain dari
yang lupa atau tertidur, tapi hadits ini menyebutka n tidak ada kelalaian (berdosa) bagi
orang yang meninggal- kan sholat
karena tertidur atau lupa. Dengan demikian tidak ada dalam kalimat hadits
larangan untuk menggadha sholat !
- Jabir bin Abdullah ra.meriway
atkan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah datang pada hari (peperanga n) Khandaq setelah matahari terbenam. Dia mencela orang kafir Quraisy, kemudian berkata; ‘Wahai Rasulullah , aku masih melakukan sholat Ashar hingga (ketika itu) matahari hampir terbenam’. Maka Rasulullah saw. menjawab : ‘Demi Allah aku tidak (belum) melakukan sholat Ashar itu’. Lalu kami berdiri (dan pergi) ke Bith-han. Beliau saw. berwudu untuk (melaksana kan) sholat dan kami pun berwudu untuk melakukann ya. Beliau saw. (melakukan ) sholat Ashar setelah matahari terbenam. Kemudian setelah itu beliau saw. melaksanak an sholat Maghrib. (HR.Bukhor i dalam Bab ‘orang yg melakukan sholat bersama orang lain secara berjama’ah setelah waktunya lewat’, Imam Muslim I ;438 hadits nr. 631, meriwayatk annya juga, didalam Al-Fath II:68, dan pada bab ‘meng- gadha sholat yang paling utama’ dalam Al-Fath Al-Barri II:72)
- Begitu juga dalam kitab Fiqih empat madzhab atau Fiqih lima madzhab bab
25 sholat Qadha’ menulis: Para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi,
Imam Malik, Imam Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiap
a ketinggala n shalat fardhu maka ia wajib menggantin ya/ menggadhany a. Baik shalat itu ditinggal- kannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran.
Memang terdapat perselisih an antara imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan
lainnya), perselisih an antara mereka
ini ialah apakah ada kewajiban qadha atas orang
gila, pingsan dan orang mabuk.
- Dalam kitab fiqih Sunnah Sayyid Sabiq (bahasa
Indonesia)
jilid 2 hal. 195 bab Menggadha Sholat diterangka n: Menurut madzhab jumhur termasuk disini Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan orang yang sengaja meninggalk an sholat itu berdosa dan ia tetap wajib meng- gadhanya. Yang menolak pendapat qadha dan ijma’ ulama ialah Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah, mereka ini membatalka n (tidak sah) untuk menggadha sholat !! Dalam buku ini diterangka n panjang lebar alasan dua imam ini. (Tetapi alasan dua imam ini terbantah juga oleh hadits-had its diatas dan ijma’ para ulama pakar termasuk disini Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan ulama pakar lainnya yang mewajibkan qadha atas sholat yang sengaja ditinggal- kan. Mereka ini juga bathil dari sudut dalil dan berlawanan dengan madzhab jumhur—pen .).
Kesimpulan
:
Kalau kita baca hadits-had its diatas semuanya masalah qadha sholat, dengan
demikian buat kita insya Allah sudah jelas bahwa menggadha/ meng- gantikan sholat yang
ketinggala n baik secara
disengaja maupun tidak disengaja menurut ijma’ ulama hukumnya wajib,
sebagaiman a yang
diutarakan oleh
ulama-ulam a pakar yang telah
diakui oleh ulama-ulam a dunia yaitu
Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Hanya perbedaan antara yang disengaja
dan tidak disengaja ialah masalah dosanya jadi bukan masalah
qadhanya.
Semoga dengan adanya dalil-dali l yang cukup jelas ini bisa
menjadikan manfaat bagi kita
semua. Semoga kita semua tidak saling cela-mence la atau merasa pahamnya/ anutannya yang paling benar.
7. Dalil Sholat
sunnah Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at
Sebagian orang telah membid’ahk an sholat sunnah qabliyah jum’at ini. Menurut
pandangan mereka hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. atau para sahabat. Padahal kalau kita teliti
cukup banyak hadits serta wejangan ulama pakar ahli fiqih dalam madzhab Syafi’i
dan lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan
sunnah- nya sholat qabliyah jum’at ini. Mari kita ikuti
hadits-had its yang berkaitan
dengan sholat sunnah diantarany a :
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim : “Dari Abdullah bin
Mughaffal al-Muzanni , ia
berkata; Rasulullah saw. bersabda:
‘Antara dua adzan itu terdapat shalat’”. Menurut para ulama yang dimaksud
antara dua adzan ialah antara adzan dan iqamah.
Mengenai hadits ini tidak ada seorang ulamapun yang meragukan keshohih-
annya karena dia disamping diriwayatk an oleh Bukhori Muslim juga diriwayat kan oleh
Ahmad dan Abu Ya’la dalam kitab Musnadnya. Dari hadits ini saja kita sudah dapat memahami
bahwa Nabi saw. menganjurk an
supaya diantara adzan dan iqamah itu dilakukan sholat sunnah dahulu, termasuk
dalam katergori ini sholat sunnah qabliyah jum’at. Tetapi nyatanya para golongan
pengingkar tidak
mengamalka n amalan sunnah ini karena
mereka anggap amalan bid’ah.
Riwayat dalam sunan Turmudzi II/18: “Diriwayat kan dari Abdullah bin Mas’ud
bahwasanya beliau melakukan shalat
sunnah qabliyah jum’at sebanyak empat raka’at dan sholat ba’diyah (setelah)
jum’at sebanyak empat raka’at pula”.
Abdullah bin Mas’ud merupakan sahabat Nabi saw. yang utama dan tertua,
dipercayai oleh Nabi sebagai pembawa
amanah sehingga beliau selalu dekat dengan nabi saw. Beliau wafat pada tahun 32
H. Kalau seorang sahabat Nabi yang utama dan selalu dekat dengan beliau saw.
mengamal- kan suatu ibadah, maka tentu ibadahnya itu diambil dari sunnah Nabi
saw.
Penulis kitab Hujjatu Ahlis Sunnah Wal-Jama’a h setelah mengutip riwayat Abdullah bin
Mas’ud tersebut mengatakan :
“Secara dhohir (lahiriyah )
apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud itu adalah
berdasarka n petunjuk langsung dari
Nabi Muhammad saw.”
Dalam kitab Sunan Turmudzi itu dikatakan pula bahwa Imam Sufyan
ats-Tsauri dan Ibnul Mubarak
beramal sebagaiman a yang diamalkan
oleh Abdullah bin Mas’ud ( Al-Majmu’ 1V/10).
Hadits riwayat Abu Daud: “Dari Ibnu Umar ra.
bahwasanya ia
senantiasa
memanjangk an shalat qabliyyah
jum’at. Dan ia juga melakukan shalat ba’diyyah jum’at dua raka’at. Ia
menceriter akan
bahwasanya
Rasulullah saw.
senantiasa melakukan hal yang
demikian”.(Nailul Authar III/313).
Penilaian beberapa ulama mengenai hadits terakhir diatas ialah : Imam
Syaukani berkata: ‘Menurut Hafidz al-Iraqi, hadits Ibnu Umar itu isnadnya
shohih’. ; Hafidz Ibnu Mulqin dalam kitabnya yang berjudul
Ar-Risalah berkata:
‘Isnadnya shohih tanpa ada keraguan’. ; Imam Nawawi dalam
Al-Khulash ah
mengatakan : ‘Hadits
tersebut shohih menurut persyarata n Imam Bukhori. Juga telah
dikeluarka n oleh Ibnu Hibban
dalam shohihnya’ .
Hadits riwayat Ibnu Majah : “Dari Abu Hurairah dan Abu Sufyan dari
Jabir, keduanya berkata; Telah datang Sulaik al-Ghathfa ni diketika Rasulullah saw. tengah berkhutbah (khotbah jum’at). Lalu Nabi saw. bertanya
kepada- nya: ‘Apakah engkau sudah shalat dua raka’at
sebelum datang kesini ?’ Dia menjawab; Belum. Nabi saw.
bersabda; ‘Shalatlah
kamu dua raka’at dan ringkaskan
shalatmu itu’ “. (Nailul Authar III/318).
Jelas sekali dalam hadits ini bagaimana Rasulullah saw. menganjurk an (pada orang itu) shalat sunnah qabliyyah jum’at
dua raka’at sebelum duduk mendengark an khutbah. Juga dalam menerangka n hadits ini Syeikh Syihabuddi n al-Qalyubi wafat 1070H mengatakan ; bahwa hadits ini nyata dan jelas berkenaan dengan
shalat sunnah qabliyah jum’at, bukan shalat
tahiyyatul masjid. Hal ini
dikarenaka n
tahiyyatul masjid
tidak boleh dikerjakan dirumah
atau diluar masjid melainkan harus dikerjakan di masjid.
Syeikh Umairoh berkata: Andai ada orang yang
mengatakan bahwa yang
disabdakan oleh Nabi itu mungkin
sholat tahiyyatul masjid, maka dapat
dijawab “Tidak Mungkin”. Sebab shalat tahiyyatul masjid tidak dapat dilaku- kan diluar masjid, sedangkan
nabi saw. (waktu itu) bertanya; Apakah engkau sudah sholat
sebelum (dirumahny a) datang kesini ?
(Al-Qalyub i wa Umairoh 1/212).
Begitu juga Imam Syaukani ketika mengomenta ri hadits riwayat Ibnu Majah tersebut
mengatakan dengan tegas :
Sabda Nabi saw. ‘sebelum engkau datang kesini’
menunjukka n bahwa
sholat dua raka’at itu adalah sunnah qabliyyah jum’at dan bukan sholat sunnah
tahiyyatul
masjid“.(N ailul Authar III/318)
Mengenai derajat hadits riwayat Ibnu Majah itu Imam Syaukani berkata ;
‘Hadits Ibnu Majah ini perawi-per awinya adalah orang kepercayaa n’. Begitu juga Hafidz al-Iraqi berkata:
‘Hadits Ibnu Majah ini adalah hadits shohih’.
Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Thabrani: “Dari
Abdullah bin Zubair, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda : ‘Tidak ada satupun sholat yang
fardhu kecuali disunnahka n
sebelumnya shalat dua raka’at’
“. Menurut kandungan hadits ini jelas bahwa
disunnahka n juga shalat
qabliyyah jum’at sebelum sholat fardhu jum’at dikerjakan .
Mengenai derajat hadits ini Imam Hafidz as-Suyuthi
mengatakan : ‘Ini adalah hadits
shohih’ dan Ibnu Hibban berkata ; ‘Hadits ini adalah shohih’.
Sedang- kan Syeikh al-Kurdi berkata: “Dalil yang paling kuat
untuk dijadikan pegang- an dalam hal disyariatk annya sholat sunnah dua raka’at qabliyyah
jum’at adalah hadits yang dipandang shohih oleh Ibnu Hibban yakni
hadits Abdullah bin Zubair yang marfu’ (bersambun g sanadnya sampai kepada Nabi saw.) yang artinya:
‘Tidak ada satupun shalat yang fardhu kecuali
disunnahka n
sebelumnya shalat dua raka’at’
“.
Demikianla h beberapa hadits
yang shohih diatas sebagai dalil disunnah- kannya sholat qabliyyah
jum’at.
Sedangkan kesimpulan beberapa
ulama ahli fiqih khususnya dalam madzhab Syafi’i tentang hukum sholat sunnah
qabliyyah jum’at yang tertulis dalam kitab-kita b mereka ialah :
Hasiyah al-Bajuri 1/137 :
“Shalat jum’at itu sama dengan shalat Dhuhur dalam perkara yang
disunnahka n untuknya. Maka
disunnahka n sebelum jum’at itu
empat raka’at dan sesudahnya juga
empat raka’at”.
Al-Majmu’ Syarah Muhazzab 1V/9 :
“Disunnahk an shalat
sebelum dan sesudah jum’at. Minimalnya adalah dua raka’at qabliyyah dan dua raka’at
ba’diyyah (setelah sholat jum’at). Dan yang lebih sempurna adalah empat raka’at
qabliyyah dan empat raka’at ba’diyyah’ .
Iqna’ oleh Syeikh Khatib Syarbini 1/99 :
“Jum’at itu sama seperti shalat Dhuhur.Dis unnahkan sebelumnya empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.
Minhajut Thalibin oleh Imam Nawawi :
“Disunnahk an shalat
sebelum Jum’at sebagaiman a shalat
sebelum Dzuhur”.
Begitu juga masih banyak pandangan ulama pakar berbagai madzhab mengenai
sunnahnya sholat qabliyyah jum’at ini.
Dengan keterangan -keteranga n singkat mengenai kesunnahan sholat qabliyyah jum’at, kita akan memahami bahwa
ini semua adalah sunnah Rasulullah
saw., bukan sebagai amalan bid’ah. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah
SWT.
8. Dalil
mengangkat
tangan waktu berdo’a
Sebagian golongan ada yang membid’ahk an mengangkat kedua tangan waktu berdo’a.
Sebenarnya ini sama sekali tidak
ada larangan dalam agama, malah sebaliknya ada hadits bahwa Rasulullah saw. mengangkat tangan waktu berdo’a. Begitupun juga
ulama-ulam a pakar dari berbagai
madzhab (Hanafi, Maliki , Syafi’i dan lain sebagainya ) selalu mengangkat tangan waktu berdo’a, karena hal ini termasuk adab
atau tata tertib cara berdo’a kepada Allah SWT.
Dalam kitab Riyaadus Shalihin jilid 2 terjemahan bahasa Indonesia oleh Almarhum H.Salim Bahreisj
cetakan keempat tahun 1978 meriwayatk an sebuah hadits berikut ini:
Sa’ad bin Abi Waqqash ra.berkata : Kami bersama Rasulullah saw. keluar dari Makkah menuju ke Madinah, dan
ketika kami telah mendekati Azwara, tiba-tiba Rasulullah saw. turun dari kendaraann ya, kemudian
mengangkat
kedua tangan berdo’a sejenak lalu sujud lama sekali,
kemudian bangun mengangkat
kedua tangannya berdo’a, kemudian sujud kembali,
diulanginy a perbuatan itu tiga kali.
Kemudian berkata: ‘Sesungguh nya saya minta kepada Tuhan supaya
di-izinkan
memberikan syafa’at
(bantuan) bagi ummat ku, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku,
kemudian saya mengangkat kepala
dan minta pula kepada Tuhan dan diperkenan kan untuk sepertiga, maka saya sujud syukur kepada Tuhan, kemudian
saya mengangkat kepala berdo’a minta
untuk ummatku, maka diterima oleh Tuhan, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku’.
(HR.Abu Dawud).
Dalam hadits ini menerangka n bahwa Rasulullah saw. tiga kali berdo’a sambil
mengangkat tangannya setiap
berdo’a, dengan demikian berdo’a sambil mengangkat tangan adalah termasuk sunnah
Rasulullah saw.
Dalam Kitab Fiqih Sunnah Sayid Sabiq (bahasa
Indonesia) jilid 4 cetakan
pertama tahun 1978 halaman 274-275 diterbitka n oleh PT Alma’arif, Bandung Indonesia, dihalaman ini ditulis sebagai berikut :
Berdasarka n riwayat Abu Daud
dari Ibnu Abbas ra., katanya :
“Jika kamu meminta (berdo’a kepada Allah SWT.) hendaklah dengan
mengangkat
kedua tanganmu setentang kedua bahumu atau kira-kira
setentangn ya, dan jika istiqhfar
(mohon ampunan) ialah dengan menunjuk dengan sebuah
jari, dan jika berdo’a dengan melepas semua jari-jemar i tangan”.
Malah dalam hadits ini, kita diberi tahu sampai dimana batas sunnahnya
mengangkat tangan
waktu berdo’a, dan waktu mengangkat tangan tersebut disunnahka n dengan menunjuk sebuah jari waktu mohon ampunan,
melepas semua jari-jari tangan (membuka telapak tangannya) waktu berdo’a selain istighfar.
Diriwayatk an dari Malik
bin Yasar bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Jika kamu meminta Allah, maka mintalah dengan bagian dalam telapak
tanganmu, jangan dengan punggungny a !”
Sedang dari Salman, sabda Nabi saw. : “Sesungguh nya Tuhanmu yang Mahaberkah dan Mahatinggi adalah Mahahidup lagi Mahamurah, ia merasa malu terhadap hamba-Nya jika ia
menadahkan
tangan (untuk berdo’a) kepada-Nya , akan menolaknya dengan tangan hampa”.
Lihat hadits ini Allah SWT. tidak akan menolak do’a hamba-Nya waktu
berdo’a sambil menadahkan tangan
kepadaNya, dengan demikian do’a
kita akan lebih besar harapan dikabulkan oleh-Nya!
Sedangkan hadits yang diriwayatk an Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra.
menuturkan :
“Aku pernah melihat Rasulullah saw. mengangkat dua tangan
keatas saat berdo’a sehingga tampak warna keputih-pu tihan pada ketiak beliau”.
Masih ada hadits yang beredar mengenai mengangkat tangan waktu berdo’a. Dengan
hadits-had its diatas ini, cukup buat
kita sebagai dalil atas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a kepada Allah SWT. Bagi
saudaraku muslim yang tidak mau angkat tangan waktu berdo’a, silahkan, tapi
janganlah mencela atau membid’ahk an saudara muslim lainnya yang
mengangkat tangan waktu berdo’a
!. Karena mengangkat tangan waktu
berdo’a adalah sebagai adab atau sopan santun cara berdo’a kepada
Allah SWT. dan hal ini diamalkan oleh para salaf dan para ulama pakar (Imam
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad –radhiyall ahu ‘anhum– dan para imam lainnya).
Janganlah kita cepat membid’ahk an sesuatu amalan karena membaca satu hadits dan
mengenyamp ingkan hadits lainnya.
Semuanya ini amalan-ama lan
sunnah, siapa yang mengamalka n
tersebut akan dapat pahala, dan yang tidak mengamalka n hal tersebut juga tidak berdosa. Karena
membid’ahk an sesat sama saja
mengharamk an amalan tersebut.
9. Menyebut nama Rasulullah saw. dengan awalan kata sayyidina atau maulana
Sebagian orang membid’ahk an
panggilan Sayyidinaa
atau Maulana didepan nama Muhammad
Rasulullah saw., dengan alasan
bahwa Rasulullah saw. sendiri
yang menganjurk an kepada kita
tanpa mengagung- agungkan dimuka
nama beliau saw. Memang golongan ini mudah sekali membid’ahk an sesuatu amalan tanpa melihat motif makna yang
dimaksud Bid’ah itu apa. Mari kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan
hadits-had its
Rasulullah saw. yang berkaitan dengan
kata-kata sayyid.
Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj dalam risalahnya yang berjudul panjang yaitu
Dala’ilul- Mahabbah Wa
Ta’dzimul- Maqam
Fis-Shalat i Was-Salam ‘AN
Sayyidil-A nam dengan tegas
mengatakan : Menyebut nama
Rasulullah saw. dengan tambahan kata
Sayyidina (junjungan kita) didepannya merupakan suatu keharusan bagi setiap
muslim yang mencintai beliau saw. Sebab kata tersebut
menunjukka n kemuliaan martabat
dan ketinggian kedudukan beliau.
Allah SWT.memeri ntahkan ummat
Islam supaya menjunjung tinggi
martabat Rasulullah saw.,
menghormat i dan
memuliakan beliau, bahkan
melarang kita memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara
sebagaiman a kita menyebut nama
orang diantara sesama kita. Larangan tersebut tidak berarti lain kecuali untuk
menjaga kehormatan dan kemuliaan
Rasulullah saw. Allah
SWT.berfir man :
“Janganlah kalian
memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang
diantara kalian”. (QS.An-Nur : 63).
Dalam tafsirnya mengenai ayat diatas ini Ash-Shawi
mengatakan : Makna ayat itu ialah
janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulullah saw. cukup dengan nama beliau saja, seperti Hai
Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim. Hendaklah kalian menyebut
namanya atau memanggiln ya dengan
penuh hormat, dengan menyebut kemuliaan dan keagungann ya. Demikianla h yang dimaksud oleh ayat tersebut diatas. Jadi,
tidak patut bagi kita menyebut nama beliau saw.tanpa menunjukka n penghormat an dan pemuliaan kita kepada beliau saw., baik
dikala beliau masih hidup didunia maupun setelah beliau kembali
keharibaan Allah SWT. Yang sudah
jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahk an ayat tersebut berarti tidak
mengindahk an larangan Allah
dalam Al-Qur’an. Sikap demikian
bukanlah sikap orang beriman.
Menurut Ibnu Jarir, dalam menafsirka n ayat tersebut Qatadah
mengatakan : Dengan ayat itu
(An-Nur:63 ) Allah
memerintah kan ummat Islam supaya
memuliakan dan
mengagungk an
Rasulullah saw.
Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathi t-Tanzil Imam Suyuthi
mengatakan : Dengan turunnya ayat
tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau saw. atau memanggil beliau
hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya
Rasulullah atau Ya
Nabiyullah . Menurut kenyataan sebutan
atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah
wafat.
Dalam kitab Fathul-Bar i syarh Shahihil Bukhori juga terdapat
penegasan seperti tersebut diatas, dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra. yang
diriwayatk an oleh
Ad-Dhahhak , bahwa sebelum ayat
tersebut turun kaum Muslimin memanggil Rasulullah saw. hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai
Abul-Qasim dan lain sebagainya . Dengan menurunkan ayat itu Allah SWT. melarang mereka menyebut atau
memanggil Rasulullah saw. dengan
ucapan-uca pan tadi. Mereka
kemudian menggantin ya dengan kata-kata
: Ya Rasulallah, dan Ya
Nabiyallah.
Hampir seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai
pendapat yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya
melarang orang menggunaka n sebutan atau panggilan
sebagaiman a yang dilakukan orang
sebelum ayat tersebut diatas turun.
Didalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang
mengisyara tkan makna tersebut
diatas. Antara lain firman Allah SWT. dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath :
8-9, Al-Insyira h : 4 dan lain
sebagainya . Dalam ayat-ayat ini
Allah SWT. memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan
memuliakan
Rasulullah saw., bahkan menyebut
mereka sebagai orang-oran g yang
beruntung. Juga firman Allah
SWT. mengajarka n kepada kita
tatakrama yang mana dalam firman-Nya
tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya dengan kalimat Hai
Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan kalimat Hai Rasul atau
Hai Nabi.
Firman-fir man Allah
SWT. tersebut cukup gamblang dan jelas membuktika n bahwa Allah SWT. mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut sayyidina
atau junjungan kita Muhammad Rasulullah saw. Menyebut nama beliau saw. tanpa diawali
dengan kata yang menunjuk- kan penghormat an, seperti sayyidina tidak sesuai dengan
pengagunga n yang
selayaknya kepada kedudukan dan
martabat beliau.
Dalam surat Aali-‘Imra n:39
Allah SWT. menyebut Nabi Yahya as. dengan predikat sayyid :
“…Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan
kelahiran seorang puteramu, Yahya, yang membenarka n kalimat (yang datang dari) Allah, seorang
sayyid (terkemuka , panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa
nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-oran g sholeh”.
Para penghuni neraka pun menyebut orang-oran g yang menjerumus kan mereka dengan istilah saadat (jamak
dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan Allah SWT.dalam firman-Nya :
“Dan mereka (penghuni neraka) berkata : ‘Ya Tuhan kami,
sesungguhn ya kami telah mentaati para
pemimpin (sadatanaa ) dan para pembesar kami, lalu mereka
menyesatka n kami dari jalan yang
benar”. (S.Al-Ahza b:67).
Juga seorang suami dapat disebut dengan kata sayyid,
sebagaiman a yang terdapat dalam firman
Allah SWT. dalam surat Yusuf : 25 :
“Wanita itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang
hingga koyak, kemudian kedua-duan ya
memergoki sayyid (suami) wanita itu didepan pintu”. Dalam kisah
ini yang dimaksud suami ialah raja Mesir.
Demikian juga kata Maula yang berarti pengasuh, penguasa,
penolong dan lain sebagainya .
Banyak terdapat didalam Al-Qur’anu l-Karim kata-kata ini, antara lain dalam surat
Ad-Dukhan: 41 Allah berfirman :
“…Hari (kiamat) dimana seorang maula
(pelindung ) tidak dapat
memberi manfaat apa pun kepada maula (yang
dilindungi nya) dan mereka
tidak akan tertolong” .
Juga dalam firman Allah SWT. dalam Al-Maidah : 55
disebutkan juga kalimat Maula untuk
Allah SWT., Rasul dan orang yang beriman.
Jadi kalau kata sayyid itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya
putera Zakariya, dapat digunakan untuk menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga
digunakan untuk menyebut pemimpin yang semuanya itu menunjuk kan kedudukan
seseoranga lasan apa yang dapat
digunakan untuk menolak sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi
Muhammad saw.
Demikian pula soal penggunaan
kata maula . Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama seorang
Nabi yang diimani dan dicintainy a
dengan awalan sayyidina atau maulana ?!
Mengapa orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi
pemerintah an, kepada para
president, para raja atau menteri,
atau kepada diri seseorang dengan awalan ‘Yang Mulia’ tidak
dituduh berbuat bid’ah? Tidak salah kalau ada orang yang
mengatakan , bahwa sikap menolak
penggunaan kata sayyid atau
maula untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah saw. itu sesungguhn ya dari pikiran meremehkan kedudukan dan martabat beliau saw. Atau
sekurang-k urang hendak
menyamakan kedudukan dan
martabat beliau saw. dengan manusia awam/ biasa.
Sebagaiman a kita
ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang menyebut nama
Rasulullah saw. tanpa diawali
dengan kata sayyidina dan tanpa dilanjutka n dengan kalimat sallahu ‘alaihi wasallam (saw.).
Menyebut nama Rasulullah dengan
cara demikian menunjukka n sikap
tak kenal hormat pada diri orang yang bersangkut an. Cara demikian itu lazim dilakukan oleh
orang-oran g diluar Islam,
seperti kaum orientalis barat
dan lain sebagainya . Sikap kaum
orientalis ini tidak boleh kita
tiru.
Banyak hadits-had its
shohih yang menggunaka n kata
sayyid, beberapa diantarany a ialah :
“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi
isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluargany a (rumah tangga nya)”. (HR Bukhori
dan Adz-Dzahab i).
Jadi kalau setiap anak Adam saja dapat disebut sayyid, apakah anak Adam
yang paling tinggi martabatny a
dan paling mulia kedudukann ya disisi
Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad saw. tidak boleh disebut sayyid ?
Didalam shohih Muslim terdapat sebuah hadits,
bahwasanya
Rasulullah saw.
memberitah u para
sahabatnya , bahwa pada hari
kiamat kelak Allah SWT. akan menggugat hamba-hamb aNya : “Bukankah engkau telah
Ku-muliaka n dan
Ku-jadikan sayyid ?” (alam
ukrimuka wa usaw.widuk a?)
Makna hadits itu ialah, bahwa Allah SWT. telah
memberikan kemuliaan dan
kedudukan tinggi kepada setiap manusia. Kalau setiap manusia dikarunia kemuliaan
dan kedudukan tinggi, apakah manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan
Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi kedudukan dan
martabatny a daripada manusia
lainnya ? Kalau manusia-ma nusia biasa
saja dapat disebut sayyid , mengapa Rasulullah saw. tidak boleh disebut sayyid atau maula
?
Dalil-dali l orang
yang membantah dan jawabannya
– Ada sementara orang terkelabui oleh pengarang hadits palsu yang berbunyi:
“Laa tusayyiduu nii
fis-shalah ” artinya “Jangan
menyebutku (Nabi Muhammad saw.)
sayyid didalam sholat”. Tampaknya pengarang hadits palsu yang mengatas namakan
Rasulullah saw. untuk
mempertaha nkan
pendiriann ya itu lupa atau memang
tidak mengerti bahwa didalam bahasa Arab tidak pernah terdapat kata
kerja tusayyidu.
Tidak ada kemungkina n
sama sekali Rasulullah
saw.menguc apkan kata-kata dengan
bahasa Arab gadungan seperti yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu tersebut. Dilihat dari segi
bahasanya saja, hadits itu tampak jelas
kepalsuann ya. Namun untuk lebih kuat
membuktika n
kepalsuan hadits tersebut baiklah kami kemukakan beberapa pendapat
yang dinyatakan oleh para ulama.
Dalam kitab Al-Hawi , atas pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam
Jalaluddin
As-Suyuthi menjawab tegas :
“Tidak pernah ada (hadits tersebut),
itu bathil !”.
Imam Al-Hafidz As-Sakhawi
dalam kitab Al-Maqashi dul-Al-Has anah menegaskan : “ Hadits itu tidak karuan sumbernya ! “
Imam Jalaluddin
Al-Muhli, Imam As-Syamsur -Ramli,
Imam Ibnu Hajar Al-Haitsam i,
Imam Al-Qari, para ahli Fiqih madzhab Sayfi’i dan madzhab Maliki dan
lain-lainn ya, semuanya
mengatakan : “Hadits itu sama sekali
tidak benar”.
– Selain hadits palsu diatas tersebut, masih ada hadits palsu lainnya yang
semakna, yaitu yang berbunyi : “La tu’adzdzim uunii fil-masjid ” artinya ; “Jangan
mengagungk an aku (Nabi Muhammad saw.)
di masjid”.
Dalam kitab Kasyful Khufa Imam Al-Hafidz
Al-‘Ajluni dengan tegas mengata-
kan: “Itu bathil !”. Demikian pula Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul
Kanzul-‘If ah
menyatakan tentang
hadits ini: “Kebohonga n yang
diada-adak an”.
Memang masuk akal kalau ada orang yang berkata seperti itu yakni
jangan mengagungk an aku di
masjid kepada para hadirin didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan
tawadhu’ (rendah hati). Akan tetapi kalau dikatakan bahwa perkataan
tersebut diucapkan oleh Rasulullah saw. atau sebagai hadits beliau saw., jelas hal
itu suatu pemalsuan yang terlampau berani.
Mari kita lanjutkan tentang hadits-had its yang menggunaka n kata sayyid berikut ini:
– Hadits yang diriwayatk an oleh Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa
Rasulullah
saw.bersab da : “Aku sayyid anak
Adam…” . Jelaslah bahwa kata sayyid dalam hal ini berarti pemimpin
ummat, orang yang paling terhormat dan paling mulia dan paling sempurna dalam
segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta teladan bagi ummat yang
dipimpinny a.
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan ,
bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut ialah orang yang paling
mulia disisi Allah. Qatadah ra. mengatakan , bahwa Rasulullah saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah
dapat dikalahkan oleh
amarahnya.
– Dalam hadits yang diriwayatk an oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan
At-Turmudz i,
Rasulullah saw. bersabda :
“Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat”. Surmber
riwayat lain yang diketengah kan
oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhori dan Imam Muslim,
mengatakan bahwa
Rasulullah saw. bersabda : “Aku
sayyid semua manusia pada hari kiamat”.
Hadit tersebut diberi makna oleh Rasulullah saw. sendiri dengan penjelas- annya: ‘Pada
hari kiamat, Adam dan para Nabi keturunann ya berada dibawah panjiku”.
Sumber riwayat lain mengatakan lebih tegas lagi, yaitu bahwa
Rasulullah saw. bersabda : “Aku
sayyid dua alam”.
– Riwayat yang berasal dari Abu Nu’aim sebagaiman a tercantum didalam kitab
Dala’ilun- Nubuwwah
mengatakan bahwa
Rasulullah saw. bersabda :
“Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat mereka dibangkitk an kembali (pada hari kiamat)”.
– Hadits lain yang diriwayatk an oleh Al-Khatib mengatakan , bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid
kaum yang bertaqwa”.
– Sebuah hadits yang dengan terang mengisyara tkan keharusan menyebut nama
Rasulullah saw. diawali dengan kata
sayyidina diketengah kan
oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadr ak. Hadits yang mempunyai isnad shohih ini
berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada suatu hari kulihat Rasulullah saw. naik keatas mimbar. Setelah
memanjatka n puji syukur kehadirat
Allah saw. beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut:
Rasulullah ! Beliau bertanya lagi:
‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad
bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mut thalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau
kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid
anak Adam….’.”
Riwayat hadits ini menjelaska n kepada kita bahwa Rasulullah saw. lebih suka kalau para
sahabatnya menyebut nama beliau dengan
kata sayyid. Dengan kata sayyid itu menunjukka n perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan para
Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan dari
semua manusia sejagat.
Semua hadits tersebut diatas menunjukka n dengan jelas, bahwa Rasulullah saw. adalah sayyid anak Adam, sayyid kaum
muslimin, sayyid dua alam (al-‘alama in), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak diragukan
lagi bahwa menggunaka n kata
sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah saw. merupakan suatu yang
dianjurkan bagi setiap muslim yang
mencintai beliau saw.
– Demikian pula soal kata Maula, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam
Musnad nya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah
mengetenga hkan sebuah hadits,
bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun maulahu” artinya :
“Barangsia pa aku menjadi
maula-nya (pemimpinn ya). ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah
maula-nya…”
– Dari hadits semuanya diatas tersebut kita pun
mengetahui dengan jelas bahwa
Rasulullah saw. adalah
sayyidina dan maulana (pemimpin kita). Demikian juga
para ahlu-baitn ya
(keluargan ya), semua adalah
sayyidina.
Al-Bukhori
meriwayatk an bahwa
Rasulullah saw. pernah berkata kepada
puteri beliau, Siti Fathimah ra :
“Yaa Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’minin au
sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau
tidak puas menjadi sayyidah kaum mu’minin (kaum
orang-oran g yang beriman) atau
sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam shohih Muslim hadits tersebut berbunyi: “Yaa Fathimah amaa
tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’mininat au sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya :
“Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah
mu’mininat (kaum wanitanya
orang-oran g yang beriman) atau
sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam hadits yang diriwayatk an oleh Ibnu Sa’ad, Rasulullah saw. berkata kepada puterinya (Siti Fathimah ra) :
“Amaa tardhiina an takuunii sayyidata sayyidata nisaa hadzihil ummati au
nisaail ‘Alamina” artinya : “…Apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum
wanita ummat ini, atau sayyidah kaum wanita sedunia ?”
Demikianla h pula halnya
terhadap dua orang cucu Rasulullah saw. Al-Hasan dan Al-Husain
radhiyalla hu ‘anhuma.
Imam Bukhori dan At-Turmudz i meriwayatk an sebuah hadits yang berisnad shohih bahwa pada
suatu hari Rasulullah saw.
bersabda : “Al-Hasanu wal Husainu
sayyida asybaabi ahlil jannati” artinya : “Al-Hasan dan Al-Husain dua orang
sayyid pemuda ahli surga”.
Berdasarka n
hadits-had its diatas itu kita
menyebut puteri Rasulullah saw. Siti
Fathimah Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatun a. Demikianla h pula terhadap dua orang cucu
Rasulullah saw. Al-Hasan dan
Al-Husain radhiyalla hu ‘anhuma.
– Ketika Sa’ad bin Mu’adz ra. diangkat oleh Rasulullah saw. sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraidah
(setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulullah saw. mengutus seorang memanggil Sa’ad supaya
datang menghadap beliau. Sa’ad datang berkendara an keledai, saat itu Rasulullah saw. berkata kepada orang-oran g yang hadir: “Guumuu ilaa
sayyidikum au ilaa
khoirikum” artinya :
“Berdirila h
menghormat i sayyid (pemimpin)
kalian, atau orang terbaik diantara kalian”.
Rasulullah saw. menyuruh
mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit
sementara fihak menafsirka n mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad
turun dari keledainya , karena
dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu
Rasulullah saw. tidak menyuruh
mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk
berdiri menolong Sa’ad.
Sekalipun –misalnya–
Rasulullah saw. melarang para
sahabatnya berdiri
menghormat i beliau saw., tetapi
beliau sendiri malah memerintah kan mereka supaya berdiri
menghormat i Sa’ad bin Mu’adz, apakah
artinya ? Itulah tatakrama Islam. Kita harus dapat memahami apa
yang dikehendak i oleh
Rasulullah saw. dengan larangan
dan perintahny a
mengenai soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru
yang secara terang-ter angan minta
dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi si anak, si adik dan si murid
harus merasa dirinya wajib menghormat i ayahnya, ibunya, kakaknya dan gurunya. Demikian
juga Rasulullah saw. sekalipun
beliau menyadari kedudukan dan martabatny a yang sedemikian tinggi disisi Allah SWT, beliau tidak
menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung- agungkan beliau. Akan tetapi kita, ummat
Rasulullah saw., harus merasa
wajib menghormat i,
memuliakan dan
mengagungk an beliau saw.
Allah SWT. berfirman dalam Al-Ahzab: 6 : “Bagi
orang-oran g yang beriman, Nabi
(Muhammad saw.) lebih utama daripada diri mereka sendiri, dan para
isterinya adalah ibu-ibu mereka”.
Ibnu ‘Abbas ra. menyatakan : Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua
orang beiman! Ayat suci diatas ini jelas maknanya, tidak
memerlukan
penjelasan apa pun juga, bahwa
Rasulullah saw. lebih utama dari semua
orang beriman dan para isteri beliau wajib dipandang sebagai
ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas ini orang yang menyebut nama beliau dengan
tambahan kata awalan sayyidina atau maulana pantas dituduh
berbuat bid’ah? Semoga Allah SWT. memberi hidayah kepada kita semua. Amin
– Ibnu Mas’ud ra. mengatakan kepada orang-oran g yang menuntut ilmu kepadanya: “Apabila kalian mengucapka n shalawat Nabi hendaklah kalian
mengucapka n shalawat dengan
sebaik-bai knya. Kalian tidak
tahu bahwa sholawat itu akan disampaika n kepada beliau saw., karena itu
ucapkanlah : ‘Ya Allah,
limpahkanl ah
shalawat-M u, rahmat-Mu dan berkah-Mu
kepada Sayyidul-M ursalin (pemimpin para Nabi dan
Rasulullah ) dan
Imamul-Mut taqin
(Panutan orang-oran g bertakwa)”
– Para sahabat Nabi juga menggunaka n kata sayyid untuk saling menyebut nama
masing-mas ing, sebagai tanda
saling hormat-men ghormati dan
harga-meng hargai. Didalam
Al-Mustadr ak
Al-Hakim mengetenga hkan sebuah
hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu Hurairah ra. dalam menjawab ucapan salam
Al-Hasan bin ‘Ali ra. selalu mengatakan “Alaikassa lam ya sayyidi”. Atas
pertanyaan seorang sahabat ia
menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulullah saw. menyebutny a (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.
– Ibnu ‘Athaillah dalam
bukunya Miftahul-F alah
mengenai pembicaraa nnya soal sholawat Nabi
mewanti-wa nti
pembacanya sebagai berikut:
“Hendak- nya anda berhati-ha ti
jangan sampai meninggalk an lafadz
sayyidina dalam bersholawa t, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang
tampak jelas bagi orang yang selalu mengamalka nnya”. Dan masih banyak lagi wejangan para ulama
pakar cara sebaik-bai knya
membaca sholawat pada Rasulullah saw.
yang tidak tercantum disini.
Nah, kiranya cukuplah sudah uraian diatas mengenai
penggunaan kata sayyidina atau
maulana untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah saw. Setelah orang mengetahui banyak hadits Nabi yang
menerangka n persoalan itu yakni
menggunaka n kata awalan
sayyid, apakah masih ada yang bersikeras tidak mau menggunaka n kata sayyidina dalam menyebut nama beliau saw.?, dan
apanya yang salah dalam hal ini ?
Apakah orang yang demikian itu hendak mengingkar i martabat Rasulullah saw. sebagai Sayyidul-M ursalin (penghulu para Rasulullah ) dan Habibu Rabbil-‘al amin (Kesayanga n Allah Rabbul ‘alamin) ?
Bagaimana tercelanya orang
yang berani membid’ahk an penyebutan sayyidina atau maulana dimuka nama beliau saw.?
Yang lebih aneh lagi sekarang banyak diantara golongan
pengingkar ini sendiri yang memanggil
nama satu sama lain diawali dengan sayyid atau minta juga agar mereka dipanggil
sayyid dimuka nama mereka !
10.
Penggunaan Tasbih bukanlah bid’ah sesat.
Sering yang kita dengar dari golongan muslimin
diantarany a dari madzhab
Wahabi/ Salafi dan
pengikutny a yang melarang orang
menggunaka n Tasbih
waktu berdzikir.
Sudah tentu sebagaiman a
kebiasaan golongan ini alasan mereka melarang dan sampai-sam pai berani membid’ahk an sesat karena menurut paham mereka bahwa
Rasulullah saw. para sahabat
tidak ada yang menggunaka n tasbih
waktu berdzikir !
‘Tasbih’ atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan nama
‘Subhah’ adalah butiran-bu tiran yang dirangkai untuk
menghitung jumlah banyaknya
dzikir yang diucapkan oleh seseorang,
dengan lidah atau dengan hati. Dalam bahasa Sanskerta kuno, tasbih disebut
dengan nama Jibmala yang berarti hitungan dzikir.
Orang berbeda pendapat mengenai asal-usul
penggunaan tasbih. Ada yang
mengatakan bahwa tasbih berasal
dari orang Arab, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari India yaitu dari
kebiasaan orang-oran g Hindu. Ada
pula orang yang mengatakan bahwa
pada mulanya kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum Brahmana di India.
Setelah Budhisme lahir, para biksu Budha menggunaka n tasbih menurut hitungan
Wisnuisme, yaitu 108 butir.
Ketika Budhisme menyebar keberbagai negeri, para rahib Nasrani juga
menggunaka n tasbih, meniru
biksu-biks u Budha. Semuanya ini
terjadi pada zaman sebelum islam.
Kemudian datanglah Islam, suatu agama yang memerintah kan para pemeluk nya untuk berdzikir (ingat) juga
kepada Allah SWT. sebagai salah satu bentuk peribadata n untuk mendekatka n diri kepada Allah SWT.. Perintah dzikir bersifat
umum, tanpa pembatasan jumlah
tertentu dan tidak terikat juga oleh keadaan-ke adaan tertentu. Banyak sekali firman Allah SWT.
dalam Al-Qur’an agar orang banyak berdzikir dalam setiap keadaan atau situasi,
umpama berdzikir sambil berdiri, duduk, berbaring dan lain
sebagainya .
Sehubungan dengan itu
terdapat banyak hadits yang menganjurk an jumlah dan waktu berdzikir, misalnya seusai sholat fardhu yaitu tiga puluh tiga
kali dengan ucapan Subhanalla h, tiga puluh tiga kali
Alhamdulil lah dan tiga
puluh tiga kali Allahu Akbar, kemudian
dilengkapi menjadi seratus dengan
ucapan kalimat tauhid ‘Laa ilaaha illallahu wahdahu….’. Kecuali
itu terdapat pula hadits-had its
lain yang menerangka n keutamaan
berbagai ucapan dzikir bila disebut sepuluh atau seratus kali. Dengan adanya
hadits-had its yang
menetapkan jumlah dzikir seperti
itu maka dengan sendirinya orang
yang berdzikir perlu mengetahui
jumlahnya yang pasti.
Hadits-had its yang berkaitan dengan cara
menghitung dzikir
Hadits yang diriwayatk an oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim
berasal dari Ibnu Umar ra. yang mengatakan :
“Rasululla h saw.
menghitung dzikirnya dengan
jari-jari dan menyaranka n para
sahabatnya supaya mengikuti cara
beliau saw.”. Para Imam ahli hadits tersebut juga meriwayatk an sebuah hadits berasal dari Bisrah,
seorang wanita dari kaum Muhajirin, yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah berkata:
“Hendaklah kalian
senantiasa bertasbih
(berdzikir), bertahlil dan bertaqdis (yakni berdzikir dengan
menyebut ke–Esa-an dan ke-Suci-an
Allah SWT.). Janganlah kalian sampai lupa hingga kalian akan melupakan tauhid.
Hitunglah dzikir kalian dengan jari, karena jari-jari kelak akan ditanya oleh
Allah dan akan diminta berbicara” .
Perhatikan lah: Anjuran
menghitung dengan jari dalam hadits
itu tidak berarti melarang orang
menghitung dzikir dengan cara
lain !!!. Untuk mengharamk an
atau memunkarka n suatu amalan
haruslah mendatangk an nash yang khusus
tentang itu, tidak seenaknya sendiri saja!!
Imam Tirmidzi, Al-Hakim dan Thabarani meriwayatk an sebuah hadits berasal dari Shofiyyah
yang mengatakan : “Bahwa pada
suatu saat Rasulullah saw.
datang kerumahnya . Beliau melihat
empat ribu butir biji kurma yang biasa digunakan
oleh Shofiyyah untuk menghitung
dzikir. Beliau saw. bertanya; ‘Hai binti Huyay, apakah itu ?‘
Shofiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunak an untuk menghitung dzikir’. Beliau saw. berkata lagi;
‘Sesungguh nya engkau dapat
berdzikir lebih banyak dari itu’. Shofiyyah menyahut; ‘Ya
Rasulullah , ajarilah aku’.
Rasulullah saw. kemudian berkata;
‘Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Ny a’ ”. (Hadits shohih).
Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatk an sebuah hadits yang dinilai sebagai hadits
hasan/baik oleh An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim
yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. yang
mengatakan :
“Bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. singgah dirumah seorang wanita. Beliau melihat
banyak batu kerikil yang biasa
dipergunak an oleh wanita itu
untuk menghitung dzikir. Beliau
bertanya; ‘Maukah engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih
afdhal/ utama ?’ Sebut
sajalah kalimat-ka limat sebagai
berikut :
‘Subhanall ahi ‘adada
maa kholaga fis samaai, subhanalla hi ‘adada maa kholaga fil ardhi,
subhanalla hi ‘adada maa baina
dzaalika, Allahu akbaru mitslu dzaalika, wal hamdu lillahi mitslu dzaalika, wa
laa ilaaha illallahu mitslu dzaalika wa laa guwwata illaa billahi mitslu
dzaalika’ ”.
Yang artinya : ‘Maha suci Allah sebanyak makhluk-Ny a yang dilangit, Maha suci Allah sebanyak
makhluk-Ny a yang dibumi, Maha
suci Allah sebanyak makhluk ciptaan-Ny a. (sebutkan juga) Allah Maha Besar, seperti tadi, Puji
syukur kepada Allah seperti tadi, Tidak ada Tuhan selain Allah, seperti tadi dan
tidak ada kekuatan kecuali dari Allah, seperti tadi !’ “.
Lihat dua hadits diatas ini, Rasulullah saw. melihat Shofiyyah
menggunaka n biji kurma
untuk menghitung
dzikirnya, beliau saw. tidak
melarangny a
atau tidak mengatakan bahwa dia harus berdzikir dengan
jari-jarin ya, malah beliau saw.
berkata kepadanya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu !!
Begitu juga beliau saw. tidak melarang seorang wanita lainnya yang
menggunaka n batu
kerikil untuk menghitung dzikirnya dengan kata lain beliau saw. tidak
mengatakan kepada wanita itu,
buanglah batu kerikil itu dan hitunglah dzikirmu dengan
jari-jarim u !
Beliau saw. malah mengajarka n kepada mereka berdua bacaan-bac aan yang lebih utama dan lebih mudah dibaca.
Sedangkan berapa jumlah dzikir yang harus dibaca, tidak
ditentukan oleh
Rasulullah saw. jadi terserah
kemampuan mereka.
Banyak riwayat bahwa para sahabat Nabi saw. dan kaum
salaf yang sholeh pun menggunaka n biji kurma, batu-batu kerikil,
bundelan-b undelan benang
dan lain sebagainya untuk
menghitung dzikir yang dibaca.
Ternyata tidak ada orang yang menyalahka n atau membid’ahk an sesat mereka !!
Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya
meriwayatk an bahwa seorang sahabat
Nabi yang bernama Abu Shofiyyah menghitung dzikirnya dengan batu-batu kerikil.
Riwayat ini dikemukaka n juga oleh
Imam Al-Baihaqi dalam
Mu’jamus Shahabah; ”‘bahwa Abu Shofiyyah, maula Rasulullah saw. menghampar kan selembar kulit kemudian mengambil sebuah kantong
berisi batu-batu kerikil, lalu duduk berdzikir hingga tengah hari.
Setelah itu ia menyingkir kannya.
Seusai sholat dhuhur ia mengambiln ya
lagi lalu berdzikir hingga sore hari “.
Abu Dawud meriwayatk an;
‘bahwa Abu Hurairah ra. mempunyai sebuah kantong berisi batu
kerikil. Ia duduk bersimpuh diatas tempat tidurnya ditunggui oleh
seorang hamba sahaya wanita berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan
menghitung nya dengan batu-batu
kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu itu habis
dipergunak an, hamba sahayanya
menyerahka n kembali batu-batu
kerikil itu kepadanya’ .
Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang
mengatakan ; ‘bahwa Abu Hurairah
mempunyai seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur
setelah berdzikir dua belas ribu kali’.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya bab Zuhud
mengemukak an; ‘bahwa Abu Darda ra.
mempunyai sejumlah biji kurma yang disimpan dalam kantong. Usai
sholat shubuh biji kurma itu dikeluarka n satu persatu untuk menghitung dzikir hingga habis’
.
Abu Syaibah juga mengatakan ; ‘bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash ra
menghitung dzikirnya dengan batu
kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri.
Dalam kitab Al-Manahil Al-Musalsa lah Abdulbaqi mengetenga hkan sebuah riwayat yang
mengatakan ; ‘bahwa Fathimah
binti Al-Husain ra mempunyai benang yang banyak bundelanny a untuk menghitung dzikir.
Dalam kitab Al-Kamil , Al-Mubarra d mengatakan ; “bahwa ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas ra (wafat th 110
H) mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia
menghitung
raka’at-ra ka’at sholat sunnahnya
dengan biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya dengan ‘Dzu
Nafatsat’ “.
Abul Qasim At-Thabari dalam
kitab Karamatul- Auliya mengatakan : ‘Banyak sekali orang-oran g keramat yang menggunaka n tasbih untuk
menghitung dzikir, antara lain
Syeikh Abu Muslim Al-Khaulan i
dan lain-lain’ .
Menurut riwayat bentuk tasbih yang kita kenal pada zaman sekarang ini
baru dipergunak an orang mulai
abad ke 2 Hijriah. Ketika itu nama ‘tasbih’ belum digunanaka n untuk menyebut alat penghitung dzikir. Hal itu diperkuat oleh Az-Zabidi
yang mengutip keterangan dari gurunya
didalam kitab Tajul-‘Aru s
. Sejak masa itu tasbih mulai banyak dipergunak an orang dimana-man a. Pada masa itu masih ada beberapa ulama yang
memandang penggunaan tasbih
untuk menghitung dzikir sebagai
hal yang kurang baik. Oleh karena itu tidak aneh kalau ada orang yang pernah
bertanya pada seorang Waliyullah
yang bernama Al-Junaid: ‘Apakah
orang semulia anda mau memegang tasbih ?. Al-Junaid menjawab:
‘Jalan yang mendekatka n diriku kepada Allah SWT. tidak akan
kutinggalk an’.(Ar-Risal ah Al-Qusyari yyah).
Sejak abad ke 5 Hijriah penggunaan tasbih makin meluas dikalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang tekun
beribadah. Tidak ada berita
riwayat, baik yang berasal dari kaum Salaf maupun dari kaum Khalaf
(generasi muslimin berikutnya ) yang menyebutka n adanya larangan
penggunaan tasbih, dan
tidak ada pula yang memandang penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar!!
Pada zaman kita sekarang ini bentuk tasbih terdiri dari seratus buah
butiran atau tiga puluh tiga butir, sesuai dengan jumlah banyaknya dzikir yang
disebut-se but dalam
hadits-had its shohih. Bentuk tasbih
ini malah lebih praktis dan mudah dibandingk an pada masa zaman nya Rasulullah saw. dan masa sebelum abad kedua Hijriah. Begitu
juga untuk menghitung jumlah
dzikir agama Islam tidak
menetapkan cara
tertentu. Hal itu diserahkan kepada masing-mas ing orang yang berdzikir.
Cara apa saja untuk menghitung bacaan dzikir itu asalkan bacaan dan alat
menghitung yang tidak yang
dilarang menurut Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah saw. itu
mustahab/ baik untuk
diamalkan.
Berdasarka n
riwayat-ri wayat hadits yang
telah dikemukaka n diatas
jelaslah, bahwa menghitung dzikir
bukan dengan jari adalah sah/boleh. Begitu juga benda apa
pun yang digunakan sebagai tasbih untuk menghitung dzikir, tidak bisa lain, orang tetap
menggunaka n tangan atau jarinya
juga, bukan menggunaka n kakinya!! Dengan demikian jari-jari ini juga
digunakan untuk kebaikan !! Malah sekarang banyak kita para ulama pakar maupun
kaum muslimin lainnya sering menggunaka n tasbih bila berdzikir.
Jadi masalah menghitung
dengan butiran-bu tiran tasbih
sesungguhn ya tidak perlu
dipersoalk an, apalagi kalau ada
orang yang menganggap nya sebagai
‘bid’ah dholalah’. Yang
perlu kita ketahui ialah : Manakah yang lebih baik,
menghitung dzikir dengan jari
tanpa menggunaka n tasbih ataukah
dengan menggunaka n tasbih
?
Menurut Ibnu ‘Umar ra. menghitung dzikir dengan jari (daripada dengan batu kerikil,
biji kurma dll) lebih afdhal/ utama.
Akan tetapi Ibnu ‘Umar juga mengatakan jika orang yang berdzikir tidak akan salah hitung
dengan menggunaka n jari, itulah yang
afdhal. Jika tidak demikian maka mengguna- kan tasbih lebih afdhal.
Perlu juga diketahui,
bahwa menghitung dzikir dengan
tasbih disunnahka n
menggunaka n tangan
kanan, yaitu sebagaiman a yang dilakukan oleh kaum Salaf. Hal itu disebut
dalam hadits-had its yang
diriwayatk an oleh Abu Dawud dan
lain-lain. Dalam soal dzikir
yang paling penting dan wajib diperhatik an baik-baik ialah kekhusyu’a n, apa yang diucapkan dengan lisan juga dalam hati
mengikutin ya. Maksudnya bila
lisan mengucapka n
Subhanalla h maka dalam hati juga
memantapka n kata-kata yang sama
yaitu Subhanalla h. Allah
SWT. melihat apa yang ada didalam hati orang yang berdzikir, bukan melihat kepada benda (tasbih) yang
digunakan untuk menghitung
dzikir!! Wallahu a’lam.
Insya Allah dengan keterangan singkat ini, para pembaca bisa menilai sendiri
apakah benar yang dikatakan golongan pengingkar bahwa penggunaan Tasbih adalah munkar, bid’ah
dholalah/ sesat dn lain
sebagainya ??? Semoga Allah SWT.
memberi hidayah kepada semua kaum muslimin. Amin.
Semoga dengan keterangan sebelumnya mengenai akidah golongan Wahabi/ Salafi serta pengikutny a dan keterangan bid’ah yang singkat ini
insya-Alla h bisa membuka hati
kita masing-mas ing agar tidak
mudah mensesatka n,
mengkafirk an dan
sebagainya pada saudara muslim
kita sendiri yang sedang melakukan ritual-rit ual Islam begitu juga yang berlainan madzhab dengan
madzhab kita.
11. Bagaimana hukum
menyuguhka n makanan baik kepada
para jamaah yang datang membacakan tahlil bagi si mayit maupun bagi para
pentakziah ?
Ada dua pendapat di kalangan ulama berkaitan dengan hukum
menyuguhka n makanan dari pihak
keluarga si mayit kepada para jamaah tahlilan maupun orang-oran g yang datang bertakziya h.
a. Pendapat yang menyatakan makruh. Hal ini didasarkan pada dua hadits:
Pertama, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali yang
diriwayatk an oleh Ahmad dan Ibn
Majah dengan sanad yang shahih. Jarir bin Abdullah berkata: "Kami
menganggap berkumpul pada
keluarga mayit dan penyuguhan
makanan dari pihak keluarga mayit bagi mereka (yang berkumpul) termasuk niyahah (ratapan). " Berdasarka n hadits ini, para ulama madzhab Hanafi
berpendapa t makruh
memberikan makanan pada hari
pertama, kedua, ketiga dan setelah tujuh hari kepada pentakziya h sebagaiman a ditegaskan oleh al-Imam Ibn Abidin dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar
juz 2 hlm. 240.
Kedua, Hadits riwayat al-Tirmidz i, al-Hakim dan lain-lainn ya, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Buatkan makanan bagi keluarga
Ja'far, karena mereka sekarang sibuk mendengar kematian Ja'far." Para ulama
berpendapa t, bahwa yang
disunnatka n
sebenarnya adalah tetangga
keluarga mayit atau kerabat-ke rabat mereka yang jauh membuatkan makanan bagi keluarga mayit yang sedang berduka,
yang cukup bagi kebutuhan mereka dalam waktu selama sehari semalam. Pendapat ini
diikuti oleh mayoritas fuqaha, dan mayoritas ulama madzahib
al-arba'ah . Dan ini juga
merupakan praktek warga Nahdliyin, saat ada tetangga meninggal, maka para tetangga takziyah dengan membawa beras,
uang serta membantu memasak untuk keluarga musibah dan memasak bagi yang
bertakziah yang mana makanan itu
berasal dari tetangga2 sekitar dan sama sekali tidak mengambil harta dari
keluarga musibah.
b. Ulama yang lain berpendapa t bolehnya menyuguhka n makanan dari pihak keluarga mayit bagi para
jamaah tahlilan maupun para pentakziya h, meskipun pada masa-masa tiga hari hari pertama
pra meninggaln ya si mayit. Hal
ini didasarkan pada beberapa dalil
antara lain:
Pertama, Ahmad bin Mani' meriwayatk an dalam Musnad-nya dari jalur al-Ahnaf bin Qais yang berkata:
"Setelah Khalifah Umar bin al-Khathth ab ditikam, maka beliau
menginstru ksikan agar Shuhaib
yang bertindak sebagai imam shalat selama tiga hari dan
memerintah kan
menyuguhka n makanan bagi
orang-oran g yang datang
bertakziya h." Menurut al-Hafizh
Ibn Hajar, sanad hadits ini bernilai hasan. (Lihat al-Hafizh Ibn Hajar,
al-Mathali b
al-'Aliyah fi Zawaid
al-Masanid
al-Tsamani yah, juz 1, hlm. 199, hadits
no. 709).
Kedua, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatk an dalam kitab al-Zuhd dari al-Imam Thawus (ulama
salaf dari generasi tabi'in), yang berkata: "Sesungguh nya orang-oran g yang meninggal dunia itu diuji oleh di dalam
kubur mereka selama tujuh hari. Mereka (para generasi salaf)
menganjurk an
mengeluark an sedekah makanan
untuk mereka selama tujuh hari tersebut." Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, sanad hadits ini
kuat (shahih). (Lihat, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Mathali b al-'Aliyah , juz 1, hlm. 199, hadits no. 710).
Ketiga, “Kami keluar bersama Rasulullah shallallah u ‘alayhi wa sallam pada sebuah jenazah, maka aku
melihat Rasulullah
shallallah u ‘alayhi wa sallam
berada diatas kubur berpesan kepada penggali kubur : “perluaska nlah olehmu dari bagian kakinya, dan juga
luaskanlah pada bagian
kepalanya” , Maka tatkala telah
kembali dari kubur, seorang wanita (istri mayyit, red)
mengundang
(mengajak)
Rasulullah , maka
Rasulullah datang seraya
didatangka n
(disuguhka n) makanan yang
diletakkan dihadapan
Rasulullah , kemudian
diletakkan juga pada sebuah
perkumpula n
(qaum/ sahabat), kemudian
dimakanlah oleh mereka. Maka
ayah-ayah kami melihat Rasulullah shallallah u ‘alayhi wa sallam makan dengan suapan, dan
bersabda:
“aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin
pemiliknya ”. Kemudian wanita itu
berkata : “wahai Rasulullah ,
sesungguhn ya aku telah mengutus
ke Baqi’ untuk membeli kambing untukku, namun tidak menemukann ya, maka aku mengutus kepada
tetanggaku untuk membeli
kambingnya kemudian agar di
kirim kepadaku, namun ia tidak ada, maka aku mengutus kepada istinya (untuk
membelinya ) dan ia kirim kambing
itu kepadaku, maka Rasulullah
shallallah u ‘alayhi wa sallam
bersabda : “berikanla h makanan
ini untuk tawanan”. (Sunan Abi Daud no. 3332 ; As-Sunanul Kubrra lil-Baihaq i no. 10825 ; hadits ini shahih ;
Misykaatul Mafatih [5942]
At-Tabrizi dan Mirqatul Mafatih
syarh Misykah al-Mashabi h [5942]
karangan al-Mulla ‘Alial-Qar i,
hadits tersebut dikomentar i
shahih. Lebih jauh lagi, didalam kitab tersebut disebutkan dengan lafadz berikut :
(استقبله داعي امرأته) ، أي: زوجة المتوفى
“Rasululla h menerima
ajakan wanitanya, yakni istri dari
yang wafat”.)
12. Hukum Duduk Bersama Untuk
Berdzikir
Alhamdulil lah, di bumi
Sunni Syafi`i, Indonesia ini masih banyak umat Islam yang
mengamalka n ajaran Nabi saw.,
antara lain yang disebutkan
dalam hadits hasan riwayat Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda :
Maa qa`ada qaumun lam yadzkurull aha fiihi walam yushallu `alan nabiyyi
shallallah u alaihi wasallam,
illaa kaana alaihim hasratan yaumal qiyaamah, (tidaklah suatu kaum yang duduk di
suatu tempat, dan tidak berdzikir kepada Allah dan tidak pula
bershalawa t untuk Nabi saw.,
kecuali mereka akan ditimpa penyesalan pada hari kiamat). Yang dinamakan kaum dalam
hadits di atas adalah sekelompok
orang yang duduk bersama dalam suatu majelis. Jika saja yang
dimaksudka n adalah
perorangan , maka Nabi saw. cukup
mengatakan maa qa`ada rajulun
(tidaklah seseorang yang duduk), tetapi Nabi saw. mengatakan qaumun (suatu kaum).
Artinya baik mereka membacanya secara sendiri-se ndiri maupun bersama-sa ma, bahkan pemahaman yang lebih dekat dengan
kebenaran, adalah secara
bersama-sa ma, baik dengan suara
pelan dan lirih, yang hanya dapat didengarka n oleh dirinya sendiri, maupun dengan
mengangkat suara secara wajar
sehingga terdengar suara lantunan-l antunan dzikir yang menentramk an jiwa, hal ini sama seperti yang dilakukan umat
Islam di saat menggemaka n
takbiran di malam Hari Raya secara bersama-sa ma dengan suara keras. Semua cara dalam
menghidupk an majelis dzikir dan
shalawat yang dilakukan oleh suatu kaum secara bersama-sa ma, tidak ada larangan secara spesifik baik dari Alquran
maupun hadits shahih manapun.
Karena itu, kegiatan masyarakat Indonesia yang marak dilakukan di pedesaan,
perkampung an, maupun perkotaan
dalam mengadakan majelis dzikir kepada
Allah, majelis shalawat untuk Nabi saw., maupun majelis ta`lim untuk memahami
ajaran syariat Islam adalah sudah sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw.
Jadi mari kita bersama-sa ma lestarikan majelis dzikir, majelis shalawat dan majelis
ta`lim di wilayah kita masing-mas ing, agar tidak ada penyesalan pada hari Qiyamat nanti.
13. Dalil Nyekar
Bunga Di Kuburan
Barangkali telinga
masyarakat Indonesia tidaklah
asing dengan istilah nyekar. Adapun arti nyekar adalah menabur beberapa jenis
bunga di atas kuburan orang yang diziarahin ya, seperti menabur bunga kamboja, mawar, melati,
dan bunga lainnya yang beraroma harum. Ada kalanya yang diziarahi adalah kuburan
sanak keluarga, namun tak jarang pula kuburan orang lain yang
dikenalnya . Nabi saw. sendiri
pernah berziarah kepada dua kuburan muslim yang sebelumnya tidak dikenal oleh beliau saw.
Sebagaiman a
diriwayatk an oleh Imam Bukhari,
bahwasanny a suatu saat Nabi SAW.
melewati dua kuburan muslim, lantas beliau SAW. bersabda:
Sesungguhn ya kedua orang ini
sedang disiksa, keduanya disiksa bukanlah karena suatu masalah yang besar,
tetapi yang satu terbiasa bernamimah (menfitnah dan mengadu domba), sedangkan yang satu lagi terbiasa
tidak bersesuci (tidak cebok) jika habis kencing. Kemudian beliau
saw. mengambil pelepah kurma yang masih segar dan memotongny a, untuk dibawa saat menziarahi kedua kuburan tersebut, lantas beliau saw.
menancapka n potongan pelepah
kurma itu di atas dua kuburan tersebut pada bagian kepala
masing-mas ing, seraya bersabda :
Semoga Allah meringanka n
siksa dari kedua mayyit ini selagi pelepah korma ini masih segar.
Hadits ini juga diriwayatk an oleh Imam
Muslim pada Kitabut Thaharah (Bab Bersuci).
Berkiblat dari hadits shahih inilah umat Islam melakukan ajaran Nabi
saw. untuk menziarahi kuburan
sanak famili dan orang-oran g
yang dikenalnya untuk mendoakan
penduduk kuburan. Dari hadits ini pula umat Islam belajar
pengamalan nyekar bunga di atas
kuburan.
Tentunya kondisi alam di Makkah dan Madinah saat Nabi saw. masih hidup,
sangat berbeda dengan situasi di Indonesia. Maksudnya, Nabi saw. saat itu melakukan nyekar dengan
menggunaka n pelepah kurma,
karena pohon kurma sangat mudah didapati di sana, dan
sebaliknya sangat sulit menemui
jenis pepohonan yang berbunga. Sedangkan masyarakat Indonesia berdalil bahwa yang
terpenting dalam melakukan
nyekar saat berziarah kubur, bukanlah faktor pelepah kurmanya, yang kebetulan
sangat sulit pula ditemui di Indonesia , namun segala macam jenis pohon,
termasuk juga jenis bunga dan dedaunan, selagi masih segar, maka dapat memberi
dampak positif bagi mayyit yang berada di alam kubur, yaitu dapat
memperinga n siksa kubur sesuai sabda
Nabi saw.
Karena Indonesia adalah negeri yang sangat subur, dan sangat mudah bagi
masyarakat untuk menanam
pepohonan di mana saja berada, ibarat tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Maka
masyarakat
Indonesia- pun menjadi kreatif,
yaitu disamping mereka melakukan nyekar dengan menggunaka n berbagai jenis bunga dan dedaunan yang beraroma
harum, karena memang banyak pilihan dan mudah ditemukan di
Indonesia, maka
masyarakat juga rajin menanam
berbagai jenis pepohonan di tanah kuburan, tujuan mereka hanya satu yaitu
mengamalka n hadits Nabi SAW.,
dan mengharapk an
kelanggeng an
peringanan siksa bagi sanak
keluarga dan handai taulan yang telah terdahulu menghuni tanah
pekuburan. Karena dengan menanam
pohon ini, maka kualitas kesegarann ya
pepohonan bisa bertahan relatif sangat lama.
Memang Nabi SAW. tidak mencontohk an secara langsung penanaman pohon di tanah
kuburan. Seperti halnya Nabi SAW. juga tidak pernah mencontohk an berdakwah lewat media cetak,
elektronik , bahkan lewat dunia
maya, karena situasi dan kondisi saat itu tidak memungkink an Nabi SAW. melakukann ya. Namun para ulama kontempore r dari segala macam aliran
pemahaman, saat ini marak
menggunaka n media cetak,
elektronik , dan internet sebagai
fasilitas penyampaia n ajaran
Islam kepada masyarakat luas,
tujuannya hanya satu yaitu mengikuti langkah dakwah Nabi SAW., namun dengan
asumsi agar dakwah islamiyah yang mereka lakukan lebih menyentuh
masyarakat luas, sehingga
pundi-pund i pahala bagi para
ulama dan da’i akan lebih banyak pula dikumpulka n. Yang demikian ini memang sangat
memungkink an dilakukan pada jaman
modern ini.
Jadi, sama saja dengan kasus nyekar yang dilakukan
masyarakat muslim di
Indonesia, mereka bertujuan
hanya satu, yaitu mengikutij ejak
nyekarnya Nabi SAW., namun mereka mengingink an agar keringanan siksa bagi penghuni kuburan itu bisa lebih
langgeng, maka masyarakt- apun
menanam pepohonaan di tanah
pekuburan, hal ini
dikarenaka n sangat
memungkink an dilakukan di negeri yang
bertanah subur ini, bumi Indonesia dengan penduduk muslim asli Sunny Syafii.
Ternyata dari satu amalan Nabi dalam menziarahi dua kuburan dari orang yang tidak dikenal, dan
memberikan solusi amalan nyekar
dengan penancapan pelepah korma
di atas kuburan mayyit, dengan tujuan demi peringasna n siksa kubur yang tengah mereka hadapi,
menunjukka n bahwa
keberadaan Nabi SAW. adalah
benar-bena r rahmatan lil alamin,
rahmat bagi seluruh alam, termasuk juga alam kehidupan dunia kasat mata, maupun
alam kubur, bahkan bagi alam akhirat di kelak kemudian hari.
(Literatur tunggal:
Kitab Tahqiiqul Aamal fiima yantafiul mayyitu minal a`maal, karangan Abuya
Sayyid Muhammad Alwi Almaliki Alhasani, Imam Ahlussunna h wal Jamaah Abad 21)
14. Dalil Tentang Bolehnya
Bertabaruk
Bertabarru k yang
dimaksud di sini, adalah seseorang yang sengaja mencari (Jawa : ngalap) barakah
dari sesuatu yang diyakini baik, dan tidak bertentang an dengan syariat Islam.Adak alanya dengan mengambi sesuatu, atau mengusap
sesuatu, atau meminum sesuatu, atau sesuatu, bahkan melakukan sesuatu dengan
tujuan mencari barakah.Ad a
seseorang yang menjalanka n
bisnis milik orang lain tanpa meminta sedikitpun bayaran atau keuntungan dari bisnisnya itu, sebab ia hanya ingin mencari
barakah, karena si pemilik modal tiada lain adalah kiai/ ustadz/ guru agama-nya. Ada juga yang sengaja mencium tangan atau bahkan
dada seseorang yang dianggap shaleh maupun `alim dengan tujuan mencari barakah.
Atau mendatangi seorang yang
shaleh dengan membawa air lantas minta dibacakan surat Alfatihah atau doa
kesembuaha n dan
sebagainya , senuanya itu
bertujuan mencari barakah. Demikian dan seterusnya .
Adapun amalan-ama lan
yang tertera di atas adalah menirukan perilaku para shahabat Nabi saw.
sebagaiman a yang ditulis para ulama
salaf dalam buku-buku mereka, antara lain :
(1). Imam Ibnu Hajar Alhaitsami menulis dalam kitab Majma`uz zawaid, 9:349 yang
disebutkan juga dalam kitab
Almathaali bul
\`Aaliyah, 4:90 :
Diriwayatk an dari Ja`far bin
Abdillah bin Alhakam, bahwa shahabat Khalid bin Walid RA, Panglima perang
tentara Islam, pada saat perang Yarmuk kehilangan songkok miliknya, lantas beliau meminta tolong
dengan sangat agar dicarikan sampai ketemu. Tatkala ditemukan, ternyata songkok tersebut bukanlah baru,
melainkan sudah hampir kusam, lantas beliau mengtakan : Tatkala
Rasulullah saw. berumrah, beliau
saw. mencukur rambutnya saat bertahallu l, dan orang-oran g yang mengetahui nya, mereka berebut rambut
Rasulullah saw., kemudian aku
bergegas mengambil rambut bagian ubun-ubun, dan aku selipkan pada songkokku ini, dan sejak
aku memakai songkok yang ada rambut Rasulullah saw. ini, maka tidak pernah aku memimpim
peperangan kecuali selalu diberi
kemenangan oleh Allah.
(2). Imam Bukhari dalam Kitabus syuruuth, babus syuruuthu fil jihaad,
meriwayatk an dari Almasur bin
Makhramah dan Marwan, mengatakan
bahwa Urwah (tokoh kafir Quraisy) memperhati kan perilaku para shahabat Nabi SAW., lantas
mengkhabar kan kepada
kawan-kawa nnya sesama kafir
Quraisy : Wahai kaumku, demi tuhan, aku sering menjadi delegasi kepada para
raja, aku menjadi delegasi menemui Raja Kaisar, Raja Kisra, dan Raja Najasyi,
tetapi demi tuhan belum pernah aku temui para pengikut mereka itu dalam
menghormat i para raja itu,
seperti cara para shahabat dalam menghormat i Muhammad (SAW.), demi tuhan, setiap Muhammad
meludah, pasti telapak tangan mereka dibuka lebar-leba r untuk menampung ludah Muhammad, lantas bagi yang
mendapatka n ludah itu pasti
langsung diusapkan pada wajah dan kulit masing-mas ing (tabarruka n). Jika Muhammad memrintahk an sesuatu, mereka bergegas
menjalanka nnya. Jika Muhammad
berwudlu mereka berebut bahkan hampir berperang hanya untuk
(bertabarr uk)
mendapatka n air bekas wudlunya.
Jika mereka berbicara di depan Muhammad pasti merendahka n suaranya, mereka tidak berani memandang wajah Muhammad
dengan lama-lama karena rasa hormat yang sangat dan lebih daripada umumnya.
(3). Imam Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatk an dari Anas bin Malik RA, bahwa Nabi saw. datang
ke Mina, lantas melaksanak an
lempar Jumrah, kemudian mencukur rambutnya, dan meminta kepada si pencukur untuk
mengumpulk an
rambutnya, dan beliau saw.
membagikan nya kepada
masyarakat muslim.
(2). Riwayat serupa di atas juga terdapat dalam kitab Sunan Tirmidzi,
yang mengatakan bahwa Nabi saw.
menyerahka n potongan rambutnya
kepada Abu Thalhah dan beliau saw. memerintah kan : Bagikanlah kepada orang-oran g.
(3). Imam Muslim meriwayatk an juga dari shahabat Anas RA berkata, bahwa suatu
saat Nabi saw. beristirah at
tidur di rumah kami sehingga beliau saw. berkeringa t, lantas ibu kami mengambil botol dan menampung
tetesan keringat Nabi saw., kemudian Nabi saw. terbangun dan bersabda : Wahai
Ummu Sulaim, apa yang engkau lakukan ? Ummu Sulaim menjawab : Kami jadikan
keringatmu ini sebagai parfum, bahkan
ia lebih harum dari semua jenis parfum.
(4). Sedangkan dalam riwayat Ishaq bin Abi Thalhah, bahwa Ummu Sulaim
istrinya Abu Thalhah menjawab : Kami mengharapk an barakahnya untuk anak-anak kami. Lantas Nabi saw. bersabda :
Engkau benar.
(5). Imam Thabarani meriwayatk an dari Safinah RA, berkata : Tatkala
Rasulullah saw.
berhijamah
(canthuk), beliau saw. bersabda
kepadaku: Ambillah darahku ini, dan tanamlah jangan sampai ketahuan binatang
liar, burung, maupun orang lain..! Lantas aku bawa menjauh dan aku minum,
kemudian aku ceritakan kepada beliau saw., maka beliau tertawa.
(6). Imam Thabarani juga meriwayatk an hadits penguat, Nabi saw. bersabda :
Barangsiap a yang darah
(daging)-n ya bercampur dengan darahku,
maka tidak bakal disentuh api neraka.
(7). Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatk an dari Anas RA, bahwa suatu saat Nabi saw. mampir
ke rumah Ummu Sulaim, yang dalam rumah itu ada qirbah (tempat air minum)
menggantun g, lantas beliau saw.
meminumnya secara langsung dari
bibir qirbah itu dengan berdiri, kemudian Ummu Sulaim menyimpan qirbah tersebut
untuk bertabarru k dari sisa bekas
tempat minum Nabi saw.
(8). Ibnu Hajar Alhaitsami menulis riwayat hadits dari Yahya bin Alharits
Aldzimaari berkata : Aku menemui
Watsilah bin Al-asqa` RA lantas aku tanyakan : Apa engkau membaiat
Rasulullah dengan tanganmu ini ?
Beliau menjawab : Ya.. ! Aku katakan : Sodorkanla h tanganmu untukku, dan aku akan
menciumnya . Kemudian beliau
memberikan tangannya kepadaku,
dan akupun menciumnya . (HR.
Atthabaran i).
(9). Imam Bukhari meriwayatk an dari Abdurrahma n bin Razin, mengatakan ; Kami melintas di Arrabadzah , lantas diinfokan kepada kami : Di situ ada
Shahabat Salamah bin Al-aqwa` RA, lantas kami menjenguk beliau RA, dan kami
ucapkan salam. Lantas beliau RA menjulurka n tangannya seraya berkata : Aku membaiat Nabi
saw. dengan kedua tanganku ini...! Kemudian beliau membuka telapak tangannya
yang gemuk besar, kemudian kami berdiri dan kami menciumnya .
(10). Imam Bukhari meriwayatk an dari Asmaa binti Abu Bakar RA, beliau sedang
mengeluark an baju jubbahnya Nabi
SAW. dan berkata : Ini jubbahnya Rasulullah saw., yang dulunya disimpan oleh `Aisyah, hingga
`aisyah wafat, sekarang aku simpan...! Dulu Nabi saw. mengenakan jubbah ini, sekarang sering kami cuci (dan airnya
khusus kami berikan) kepada orang yang sakit untuk penyembuha n (dengan bertabarru k dari air bekas cucian jubbah tersebut).
(11). Ibnu Taimiyyah dalam kitab karanganny a, Iqtidhaaus shiraathil mustaqiim, hal 367, meriwayatk an dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa beliau
memperbole hkan amalan mengusap
mimbar masjidnya Nabi SAW. dan ukirannya, untuk tabarrukan , karena Shahabat Ibnu Umar RA serta para Tabi`in
seperti Sa`id bin Musayyib dan Yahya bin Sa`id yang tergolong ahli fiqih kota
Madinah juga mengusap mimbar Nabi saw. tersebut.
Masih banyak bukti hadits-had its Nabi saw. tentang bolehnya
bertabarru k kepada
barang-bar ang milik Nabi saw.,
serta milik orang-oran g shalih,
dengan berbagai macam bentuk dan cara termasuk mencium makam kuburan Nabi saw.
dan para wali serta orang-oran g
shalih, selama tidak melanggar syariat Islam. Namun jika sampai menyembah karena
mempertuha nkan
barang-bar ang tersebut, tentunya
diharamkan oleh syariat Islam.
Termasuk diharamkan juga adalah
perilaku orang awwan yang menyembah dan memberi sesajen kepada
tempat-tem pat maupun
kuburan-ku buran angker yang
diyakini ada jin penunggu untuk dimintai banyak hal, padahal
tempat-tem pat tersebut bukanlah
tempat yang berbarakah dalam standar
syariat Islam.
15. Bagaimana hukumnya
membaca manaqib?
Mengertika h saudara arti
kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak
dari mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan
amal dan akhlak perangai terpuji seseorang.
Jadi membaca manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak
terpujinya
seseorang. Oleh sebab itu
kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-oran g baik mulia:mana qib Umar bin Khottob, manaqib Ali bin Abi Tholib,
manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan lain
sebagainya . Tidak boleh dan tidak
benar kalau ada orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib
DN. Aidit dan lain sebagainya .
Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap
menanyakan hukumnya
manaqib?
Betul tetapi cerita di dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu
terlalu berlebih-l ebihan,
sehingga tidak masuk akal. Misalkan umpamanya kantong berisi dinar diperas lalu
keluar menjadi darah, tulang-tul ang ayam yang berserakan , diperintah berdiri lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan.
Kalau saudara melanjutka n cerita-cer ita yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya
berhenti sampai ceritanya Syeikh Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi
teruskanla h. Misanya cerita
tentang sahabat Umar bn Khottob berkirim surat kepada sungai Nil, Sahabat umar
bin Khottob memberi komando dari Madinah kepada prajurut-p rajurit yang sedang bertempur di tempat yang jauh
dari Madinah. Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita tentang tongkat menjadi ular,
cerita gunung yang pecah, kemudian keluar dari unta yang besar dan sedang
bunting tua, cerita tentang nabi Allah Isa menghidupk an orang yang sudah mati. Dan masih banyak lagi yang
semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.
Kalau keluar dari Nabi Allah itu sudah memang mukjizat, padahal Abdul
Qodir al-Jilani itu bukan Nabi, apa bisa menimbulka n hal-hal yang tidak masuk akal?Baik Nabi Allah
maupun Syeikh Abdul Qodir al-Jilani atau sahabat Umar bin Khottob,
kesemuanya itu
masing-mas ing tidak bisa
menimbulka n hal-hal yang tidak
masuk akal. Tetapi kalau Allah Ta’ala membisakan itu, apakah saudara tidak dapat
menghalang -halangi?
Apakah selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?
Hal-hal yang menyimpang
dari adat itu kalau keluar dari Nabi Allah maka namanya mukjizat, dan kalau
timbul dari wali Allah namanya karomah.Ad akah dalil yang menunjukka n bahwa selain nabi Allah dapat dibisakan
menimbulka n hal-hal yang
menyimpang dari adat atau tidak masuk
akal?
Silahkan saudara membaca cerita dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah
Sulaiman yang dapat dibisakan memindah Arsy Balqis (QS An-Naml: 40)
قَالَ اللهُ تَعَالَى : قَالَ الَّذِى عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الكِتَابِ
أَنَا آتِيِكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ. فَلَمَّا رَآهُ
مُسْتَقِرً ّا عِنْدَهُ قَالَ
هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّى لِيَبْلُوَ نِى أَأَشْكُرُ اَمْ أَكْفُرُ. وَمَنْ شَكَرَ
فَإِنَّمَا يَشْكُرُ
لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ
رَبِّى غَنِيٌّ كَرِيْمٌ.
Tetapi di dalam manaqib Abdul Qodir al-Jilani ada juga kata-kata
memanggil kepada para roh yang suci atau kepada wali-wali yang sudah mati untuk
dimintai pertolonga n, apakah itu
tidak menjadikan musyrik?
Memanggil- manggil untuk
dimintai pertolonga n baik kepada
wali yang sudah mati atau kepada bapakc ibu saudara yang masih hidup dengan
penuh i’tikad bahwa pribadi wali atau pribadi bapak ibu saudara itu mempunyai
kekuasaan untuk dapat memberikan
pertolonga n yang terlepas dari
kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya syirik. Akan tetapi kalau dengan i’tikad
bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka itu tidak ada
halanganny a, apalagi sudah jelas
bahwa kita meminta pertolonga n
kepada para wali itu maksudnya adalah bertawassu l minta dimohonkan kepada Allah Ta’ala.
Manakah yang lebih baik, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan langsung
atau dengan perantaraa n
(tawassul)?
Langsung boleh, dengan perantaraa n pun boleh. Sebab Allah Ta’ala itu Maha
Mengetahui dan Maha
Mendengar. Saudara jangan mengira
bahwa tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau wali
itu, sama dengan saudara memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan
perantaraa n Kepala Kantor
saudara. Pengertian
tawassul yang demikian itu tidak benar. Sebab berarti
mengalihka n pandangan terhadap
yang ditujukan (pihak atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga disamping mempunyai
kepercayaa n terhadap kekuasaan
pihak atasan, saudara juga percaya kepada kekuasaan pihak
perantara. Tawassul kepada
Allah Ta’ala tidak seperti itu.
Kalau saudara ingin contoh tawassul kepada Allah Ta’ala melalui
Nabi-Nabi atau Wali-Wali itu, seperti orang yang sedang membaca al Quran dengan
memakai kacamata. Orang itu tetap memandang al Quran dan tidak dapat dikatakan
melihat kaca.
Bukankah Allah ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim
وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Panggillah aku maka akan
Aku sambut kepadamu. (Al Mukmin: 60)
فَادْعُو اللهَ مُخْلِصِيْ نَ
لَهُ الدِّيِنَ
Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan
memurnikan kepadanya akan agama.
(Al Mukmin: 24)
وَالَّذِيْ نَ
لاَيَدْعُو نَ مَعَ اللهِ إِلَهًا
أَخَرَ
Dan orang-oran g yang
tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (Al Furqon: 68)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa itu.
Betul akan tetapi kesemuanya itu sama sekali tidak melarang tawassul dengan
pengertian
sebagaiman a yang telah saya
terangkan tadi. Coba saja perhatikan
contoh di bawah ini:
Saudara mempunyai majikan yang kaya raya mempunyai
perusahaan besar, saudara sudah
kenal baik dengan beliau, bahkan termasuk buruh yang dekat
dengannya. Saya ingin diterima
bekerja di perusahaan nya. Untuk
melamar pekerjaan itu, saudara saya ajak menghadap kepadanya
bersama-sa ma, dan saya berkata,
“Bapak pimpinan perusahaan yang
mulia. Kedatangan saya bersama
guru saya ini, ada maksud yang ingin saya sampaikan, yaitu saya mohon diterima menjadi pekerja di
perusahaan bapak. Saya ajak guru saya
menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini adalah orang yang baik hati
dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak”.
Coba perhatikan ! kepada
siapa saya memohon? Kemudian adakah gunanya saya mengajak saudara menghadap
majikan besar itu?Ada dua orang pengemis. Yang satu sendirian, sedang yang satu lagi dengan membawa kedua
anaknya yang masih kecil-keci l.
Anak yang satu masih menyusu dan yang satu lagi baru bisa berjalan. Di antara
dua orang yang pengemis itu, mana yang lebih mendapat perhatian saudara? Saudara
tentu akan menjawab yang membawa anak yang kecil-keci l itulah yang lebih saya
perhatikan . Kalau begitu adakah
gunanya pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang masih kecil? Kepada
siapakah pengemis itu meminta? Kepada anak yang masih
kecil-keci l jugakah pengemis itu
meminta?
Salah satu budaya mengenang sejarah dan autobiogra phi wali adalah manaqib. Manaqiban atau membaca
manaqib dipercaya sebagai jalinan untuk terus-mene rus menyambung tali silaturahm i dengan Syekh Abdul Qadir al Jailany yang dikenal
dengan sultanul aulia. Bagaimana dan apa seputar manaqib itu. Tulisan ini
sekedar pendapat pribadi.
Ayat di bawah ini bisa dijadikan landasan mengapa kita harus berada di
belakang orang-oran g yang selalu
berada dalam jalan kembali kepada Allah SWT.
واتبع سبيل من أناب إلي ثم إلي مرجعكم فأنبئكم بما كنتم تعملون...
"Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kul ah kembalimu, Maka Kuberitaka n kepadamu apa yang Telah kamu
kerjakan." (QS Luqman: 15)
Bersyukur kepada Allah atas nikmat besar dimana kita masih bisa
mendengar tausiah atau nasehat para ulama yang tidak bosan-bosa nnya mendorong manusia agar
meningkata n kualitas iman
ruhaninya. Bukan sekedar
kata-kata, prilaku dan contoh
kehidupann ya merupakan pelajaran
yang amat berharga yang semestinya dijadikan teladan bagi para
murid-muri dnya atau para
simpatisan nya. Semoga upaya para
ulama ini dapat kita ikuti baik yang mengaku murid-muri dnya atau yang menyukai perjalan ruhani menuju Mahabbah
kepada Allah.
Salah satu tradisi yang dilakukan oleh dunia pesantren adalah
mengamalka n manaqib. Manaqib
yang dibaca adalah seputar prikehidup an Syeikh Abdul Qodir al Jilany q.s.a yang dikenal
dengan Sulthanul Auliya. Karenanya manaqib yang dibaca adalah Manaqib Syeikh
Abdul Qadir al Jilany.
Dalam pembacaan manaqib ini biasanya salah seorang memimpin bacaan yang
terdapat dalam kitab manaqib. Sementara yang lainnya dengan khusu’
mendengark an secara aktif dengan
memuji Allah dengan kalimat-ka limat yang terdapat dalam Asmaul Husna. Bagi yang
mengerti bacaannya dapat menye¬lami lebih dalam maksud dan
pelajaran- pelajaran dari isi
kitab tersebut. Sebab di dalamnya berisi perikehidu pan, kebiasaan dan kelebihan- kelebihan dari Wali Allah. Bagi yang tidak
mengerti akan diterangka n oleh
gurunya.
Pembacaan manaqib ini mempengaru hi tingkat kerohanian para pengamal thareqah. Karena dengan membaca
manaqib diharapkan dapat
menda¬patk an limpahan kebaikan
dari Allah SWT (berkah). Mengapa? Sebab di dalam kitab manaqib Syeikh Abdul
Qadir Al Jilani terdapat autobiogra phi (catatan perjalanan kehidupan) tentu saja di dalamnya terdapat sejarah, nasihat,
prilaku yang bisa dijadikan teladan dari Syeikh Abdul Qoadir q.s.a
Pengertian dan
Manfaat Manaqib
Menurut kamus Munjib dan Kamus Lisanul ‘Arab, Manaqib adalah ungkapan
kata jama’ yang berasal dari kata Manqibah artinya Atthoriqu fi al jabal jalan
menuju gunung atau dapat diartikan dengan sebuah pengetahua n tentang akhlaq yang terpuji, akhlaqul karimah.
Dari pengertian ini manaqib
dapat diartikan sebuah upaya untuk mendapatka n limpahan kebaik¬an dari Allah SWT dengan cara
memahami kebaikan-k ebaikan para
kekasih Allah yaitu para Aulia. Sebab Para wali dicintai oleh Allah dan para
wali sangat cinta kepada Allah. (Yuhibbuun allah wayubibbuh um).
Sebagaiman a ditulis dalam
quran:
"Hai orang-oran g
yang beriman, barangsiap a di
antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan
mendatangk an suatu kaum yang
Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai- Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang
yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-oran g kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang
tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan- Nya kepada siapa yang
dikehendak i-Nya, dan Allah Maha
Luas (pemberian -Nya) lagi Maha
Mengetahui . (Al Maidah (5):
54)
Ensikloped i Islam
mengartika n manakib sebagai
sebuah sejarah dan pengalaman
spiritual seorang wali Allah SWT. yang di dalamnya terdapat
cerita-cer ita, ikhtisar hikayat,
nasihat-na sihat serta
peristiwa- peristiwa ajaib yang
pernah dialami seorang syekh. Semuanya ditulis oleh pengikut tarekat atau para
pengagumny a dan dirangkum dari
cerita yang bersumber dari murid-muri dnya, orang terdekatny a, keluarga dan sahabat-sa habatnya (Ensiklope di Islam: 152).
Jadi, manakib adalah kitab sejarah atau autobiogra phi yang bersifat hagiografi s (menyanjun g) karena manaqib dibaca bertujuan dijadikan
teladan bagi pembacanya
disamping juga tujuan tabarruk (mengharap berkah) dan tawassul (membuat perantara pembaca dengan
Allah).
Manaqib adalah Tawasul
Mengenai masalah tawasul dan tabarruk, Said Ramdhan al-Buthi
menyampaik an bahwa tawassul dan
tabarruk adalah dua kalimat dengan satu arti yang kalau dalam Ushul Fiqh disebut
dengan tanqihul ma¬nath, dengan menjadikan bagian-bag ian kecil (tabarruk) dari satu induk (tawassul) dimasukkan ke dalam induk tersebut. Namun, al-Buthi dengan
tegas mengata¬ka n bahwa tawassul
adalah tindakan sunnah dengan bukti banyaknya dalil nash hadits yang shahih.
Al-Bukhari
meriwayatk an dari Ummu Salamah
bahwa beliau pernah menyimpan beberapa helai rambut Nabi. Rambut tersebut beliau
simpan sebagai obat bagi sahabat yang sakit dengan mengharap barokah Nabi (Fiqh
al-Sirah:1 77-178).
Pada masa Rasulullah
saw. seperti tertulis dalam kitab Al Hikam dimana Rasulullah saw. pernah menyuruh Sahabat Ali kw untuk menemui
Uways al Qarny r.a untuk memintakan
ampunan kepada Allah SWT. Karena uways ini menurut Nabi saw. akan menjadi salah
satu raja di surga.
Tawasul berupa Amal
Hadits tentang wasilah berupa amal yang bersumber dari Ibnu Umar ra. .
bahwa Rasulullah saw. bercerita
dalam hadits ini yang cukup panjang salah satu intinya adalah ada tiga orang
yang tersesat di dalam gua, lalu tiba-tiba sebuah batu besar menutupi mulut gua.
Namun tiada harapan kecuali berdoa kepada Allah agar batu bisa
tersingkir . Ketika satu demi
satu orang berdoa, mereka berwasilah dengan amal sholeh masing-mas ing; orang pertama berwasilah pada amal dimana ia pernah
memberikan susu kepada ibudanya
padahal anaknya sangat membutuhka n; “Aku lebih menguta¬ma kan ibu terlebih dahulu dari pada
anak-anakk u meskipun anaku
merengek meminta.” Adapun wasilah amal orang kedua adalah kemampuan orang kedua
ini menghentik an niat hendak mau
menggauli sepupu perem¬puan nya
padahal sudah memberikan uang
100 dinar, namun tidak jadi karena sepupu perempuan¬ nya meminta menikahkan nya, akhirnya membatal¬k an niat jahat tersebut. Sedangkan orang ketiga
memiliki wasilah amal dima¬na dia memakan hak gaji pegawai. Ketika ditegur
“takutlah kepada Allah dan janganlah mendzalimi aku.” Karena merasa takut kepada Allah, setelah
sekian lama orang ini memberikan
ganti uang hak pegawai itu berupa peternakan lembu dan anak-anakn ya yang telah berkembang biak yang modalnya diambil dari hak pekerja
tersebut. Dari ketiga wasilah orang tersebut Allah mengge¬rak kan batu besar yang menutupi gua sehingga mereka
bertiga bisa lepas dari musibah. (HR. Bukhari-Mu slim)
Dari hadits tersebut di atas, maka sebuah amal adalah wasilah yang
dapat mengantark an kita kepada
Allah SWT. Dengan amal ini juga boleh jadi dapat memberikan pertolonga n terhadap derita seorang hamba karena tertimpa musibah
seperti derita tiga orang yang terjebak di dalam gua.
Dalil Manaqib
Mendekati Allah dengan cara mendekati orang-oran g yang dicintai Allah adalah sesuai dengan firman
Allah SWT dalam Surat Luqman: 15: “.... dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kul ah
kembalimu, maka
Ku-beritak an kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.”
Tafsir al Qurthuby mengartika n “anaba ilayya” kembali kepada-Ku (Allah SWT)
yaitu kembali kepada jalan para Nabi dan orang-oran g sholeh. Dengan demikian maka mengikuti jalan
orang-oran g sholeh apalagi para
ulama dan aulia merupakan anjuran Allah dan Rasul-Nya. “Ingatlah, sesungguhn ya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekha¬wati ran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus: 62)
Jadi dengan mengikuti pembacaan manaqib Insya Allah
meru¬pakan salah satu jalan
tempuh untuk memperoleh rakhmat
dan karunia Allah dengan cepat. Sebab dengan manaqib ini kita dapat mengenal,
memahami, serta menyelami karakter serta sifat-sifa t wali Allah yang tujuan akhirnya dalah untuk
diteladani .
Kalau Uwais ra hidup pada zaman Rasulullah saw. maka para Waliullah yang hidup
setelahnya patut kita contoh.
Salah satu¬nya adalah Syeikh Abdul Qadir al Jilany (Allah telah
mensuci¬ka n sir nya) yang dikenal
dengan sultanul auliaa (Penghulu para wali).
Diantara para pembaca manakib ada yang mengamalka n pembacaan manaqib ini secara berkala mingguan,
bulanan tahunan atau kapan saja jika dikehendak i. Atau dalam moement-mo ment berkumpul seperti dalam acara syukuran lahir
anak atau acara walimahan. Tentu
saja harapannya adalah agar
memperoleh
keberkahan dalam kehidupan jasmani dan
rohani dunia wal akhirat. Jadi tunggu apalagi, makiban yuks! Wallahu ‘alam
(MK)
Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan
ihwanul muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini
bermanfaat .
16. Dalil Bolehnya Bertawasul
Banyak pemahaman saudara-sa udara kita muslimin yang perlu
diluruskan tentang tawassul,
tawassul adalah berdoa kepada Allah dengan perantara amal shalih, orang shalih,
malaikat, atau orang-oran g mukmin.
Tawassul kepada Rasulullah disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, misalnya, firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 64,
“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati
dengan seizin Allah. Sesungguhn ya Jikalau mereka ketika
Menganiaya dirinya datang
kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun
memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang. ” Dalam ayat ini,
dijelaskan bahwa Allah SWT
mengampuni dosa-dosa orang yang
dhalim, disamping do’a mereka tetapi ada juga wasilah (do’anya)
Rasulullah SAW.
Soal tawassul seperti itu, disebutkan pula dalam tafsir Ibnu Katsir, “Berkata Al-Imam
Al-Hafidz As-Syekh Imaduddin Ibnu Katsir, menyebutka n segolongan ulama’ di antaranya As-Syekh Abu Manshur
As-Shibagh dalam kitabnya
As-Syaamil dari Al-Ataby;
berkata: saya duduk di kuburan Nabi SAW. maka datanglah seorang Badui dan ia
berkata: Assalamu’a laika ya
Rasulullah ! Saya telah mendengar Allah
berfirman;
Walaupun sesungguhn ya mereka telah berbuat dhalim terhadap diri
mereka kemudian datang kepadamu dan mereka meminta ampun kepada Allah, dan Rasul
memintakan ampun untuk mereka,
mereka pasti mendapatka n Allah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang; dan saya telah datang kepadamu
(kekuburan
Rssulullah ) dengan meminta ampun
akan dosaku dan memohon syafa’at dengan wasilahmu (Nabi) kepada Allah, kemudian
ia membaca syair memuji Rasulullah , kemudian orang Badui tadi pergi, maka saya
ketiduran dan melihat Rasulullah dalam
tidur saya, beliau bersabda, “Wahai Ataby temuilah orang Badui tadi
sampaikan kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni dosanya.”
Tawassul merupakan hal yang sunnah, dan tak pernah ditentang oleh Rasul
saw., tak pula oleh Ijma Sahabat radhiyalla huanhum, tak pula oleh Tabiin, dan bahkan para
Ulama dan Imam-Imam besar Muhadditsi n, mereka berdoa tanpa perantara atau dengan
perantara, dan tak ada yang
menentangn ya, apalagi
mengharamk annya, atau bahkan
memusyrikk an orang yang
mengamalka nnya.Pengi ngkaran hanya muncul pada abad ke 20 ini, dengan
munculnya sekte Wahabi Salafi sesat yang memusyrikk an orang-oran g yang bertawassu l, padahal Tawassul adalah sunnah Rasul saw.,
sebagaiman a hadits shahih dibawah ini
:
"Wahai Allah, Demi orang-oran g yang berdoa kepada Mu, demi
orang-oran g yang
bersemanga t menuju
(keridhoan ) Mu, dan Demi
langkah-la ngkahku ini kepada
(keridhoan ) Mu, maka aku tak
keluar dengan niat berbuat jahat, dan tidak pula berniat membuat
kerusuhan, tak pula keluarku ini
karena Riya atau sumah.. hingga akhir hadits. (HR Imam Ahmad, Imam Ibn
Khuzaimah, Imam Abu Naiem, Imam
Baihaqy, Imam Thabrani, Imam Ibn Sunni, Imam Ibn Majah dengan sanad Shahih).
Hadits ini kemudian hingga kini digunakan oleh seluruh muslimin untuk doa
menuju masjid dan doa safar.
Tujuh Imam Muhaddits meriwayatk an hadits ini, bahwa Rasul saw. berdoa dengan
Tawassul kepada orang-oran g yang
berdoa kepada Allah, lalu kepada orang-oran g yang bersemanga t kepada keridhoan Allah, dan barulah
bertawassu l kepada Amal shalih
beliau saw. (demi langkah2ku ini
kepada keridhoan Mu). Siapakah Muhaddits? , Muhaddits adalah seorang ahli hadits yang sudah
hafal minimal 40.000 (empat puluh ribu) hadits beserta hukum sanad dan hukum
matannya, betapa jenius dan briliannya
mereka ini dan betapa Luasnya pemahaman mereka tentang hadist Rasul saw.,
sedangkan satu hadits pendek, bisa menjadi dua halaman bila disertai hukum sanad
dan hukum matannya.
Lalu hadits diatas diriwayatk an oleh tujuh Muhaddits, apakah kiranya kita masih memilih pendapat
madzhab sesat yang baru muncul di abad ke 20 ini, dengan ucapan
orang-oran g yang dianggap
muhaddits padahal tak satupun dari mereka mencapai kategori Muhaddits , dan
kategori ulama atau apalagi Imam Madzhab, mereka hanyalah pencaci, apalagi
memusyrikk an
orang-oran g yang beramal dengan
landasan hadits shahih. Masih banyak hadits lain yang menjadi dalil tawassul
adalah sunnah Rasululloh saw.,
sebagaiman a hadits yang
dikeluarka n oleh Abu Nu'aim,
Thabrani dan Ibn Hibban dalam shahihnya, bahwa ketika wafatnya Fathimah binti Asad (Bunda
dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, dalam hadits itu
disebutkan Rasul saw.
rebah/ bersandar
dikuburnya dan berdoa : "Allah
Yang Menghidupk an dan
mematikan, dan Dia Maha Hidup
tak akan mati, ampunilah dosa Ibuku Fathimah binti Asad, dan
bimbinglah hujjah nya
(pertanyaa n di kubur), dan
luaskanlah atasnya kuburnya,
Demi Nabi Mu dan Demi para Nabi sebelum Mu, Sungguh Engkau Maha Pengasih dari
semua pemilik sifat kasih sayang.",M aka jelas sudah dengan hadits ini pula bahwa
Rasululloh saw.
bertawassu l di kubur, kepada para Nabi
yang telah wafat, untuk mendoakan Bibi beliau saw. (Istri Abu Thalib).
Demikian pula tawassul Sayyidina Umar bin Khattab ra. Beliau berdoa
meminta hujan kepada Allah : Wahai Allah.. kami telah
bertawassu l dengan Nabi kami
(saw.) dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassu l dengan Paman beliau (saw.) yang melihat beliau
(saw.), maka turunkanla h hujan".
maka hujanpun turun. (Shahih Bukhari hadits no.963 dan hadits yang sama
pada Shahih Bukhari hadits no.3508).U mar bin Khattab ra melakukann ya, para sahabat tak menentangn ya, demikian pula para Imam-Imam besar itu tak
satupun mengharamk annya, apalagi
mengatakan musyrik bagi yang
mengamalka nnya, hanyalah
pendapat sekte sesat ini yang memusyrikk an orang yang bertawassu l, padahal Rasululloh saw. sendiri bertawassu l.
Apakah mereka memusyrikk an Rasululloh saw.?, dan Sayyidina Umar bin Khattab ra
bertawassu l, apakah mereka
memusyrikk an Umar?,
Naudzubill ah dari pemahaman sesat
ini.
Mengenai pendapat sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa tawassul hanya boleh pada orang yang masih
hidup, maka entah darimana pula mereka mengarang persyarata n tawassul itu, dan mereka
mengatakan bahwa orang yang
sudah mati tak akan dapat memberi manfaat lagi, pendapat yang
jelas-jela s datang dari
pemahaman yang sangat dangkal, dan pemikiran yang sangat buta terhadap kesucian
tauhid. Jelas dan tanpa syak bahwa tak ada satu makhlukpun dapat memberi manfaat dan mudharrat
terkecuali dengan izin Allah
SWT, lalu mereka mengatakan
bahwa makhluk hidup bisa memberi manfaat, dan yang mati
mustahil?, lalu dimana kesucian
tauhid dalam keimanan mereka?Tak ada
perbedaan dari yang hidup dan yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan
izin Allah,
Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah, dan yang mati pun bukan
mustahil memberi manfaat bila dikehendak i Allah. karena penafian kekuasaan Allah SWT atas
orang yang mati adalah kekufuran yang jelas.Keta huilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan
orang mati atau yang hidup, tetapi berperanta ra kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari
manusia, tetapi dari Allah Robbil alamin, yang telah memilih orang tersebut
hingga ia menjadi shalih, hidup atau mati tak membedakan Kudrat ilahi atau membatasi kemampuan Allah,
karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah tetap abadi walau
mereka telah wafat.Cont oh lebih
mudah nya sbb, anda ingin melamar pekerjaan, atau mengemis, lalu anda
mendatangi seorang saudagar kaya, dan
kebetulan mendiang tetangga anda yang telah wafat adalah abdi setianya yang
selalu dipuji oleh si saudagar, lalu anda saat melamar pekerjaan atau mungkin
mengemis pada saudagar itu, anda berkata : "Berilah saya tuan.. (atau) terimalah
lamaran saya tuan, saya mohon.. saya adalah tetangga dekat fulan.
Bukankah ini mengambil manfaat dari orang yang telah mati?, bagaimana
dengan pandangan bodoh yang mengatakan orang mati tak bisa memberi
manfaat??,
jelas-jela s saudagar akan sangat
menghormat i atau menerima
lamaran pekerjaan anda, atau memberi anda uang lebih, karena anda menyebut nama
orang yang ia cintai, walau sudah wafat, tapi kecintaan si saudagar akan terus
selama saudagar itu masih hidup., pun seandainya ia tak memberi,
Namun harapan untuk dikabulkan akan lebih besar, lalu bagaimana dengan Arrahmaan
Arrhiim, Yang Maha Pemurah dan Maha Menyantuni ?? dan tetangga anda yang telah wafat tak bangkit dari
kubur dan tak tahu menahu tentang lamaran anda pada si saudagar,
Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan
ihwanul muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini
bermanfaat .
17. Hukum Maulid Nabi
Tradisi merayakan maulid Nabi SAW. 12 Rabiul Awwal (sebagian ada yang
mengatakan 9 Rabiul Awwal, juga
ada yang mengatakan 17 Rabiul
Awwal) tidak hanya ada di Indonesia,
tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam.
Kalangan awam di antara mereka barangkali tidak tahu asal-usul kegiatan ini. Tetapi mereka
yang sedikit mengerti hukum agama akan tahu bahwa perkara ini tidak termasuk
bid`ah yang sesat karena tidak terkait dengan ibadah mahdhah atau ritual
peribadata n dalam syariat.
Alasan di atas dapat dilihat dari bentuk isi acara maulid Nabi yang
sangat bervariasi tanpa ada
aturan yang baku. Semangatny a
justru pada momentum untuk menyatukan gairah ke-Islaman . Mereka yang melarang peringatan maulid Nabi SAW. sulit
membedakan antara ibadah dengan syi’ar
Islam. Ibadah adalah sesuatu yang baku (given/ tauqifi) yang datang dari Allah SWT, tetapi
syi’ar adalah sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat Islam dan
situasiona l serta mubah. Perlu
dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohka n oleh Rasulullah SAW.
Imam as-Suyuthi
mengatakan dalam
menanangga pi hukum perayaan maulid
Nabi SAW., “Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW., yaitu manusia
berkumpul, membaca al-Qur’an dan
kisah-kisa h teladan Nabi SAW.
sejak kelahirann ya sampai
perjalanan hidupnya. Kemudian
dihidangka n makanan yang
dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang
dilakukan, tidak lebih. Semua
itu tergolong bid’ah hasanah (sesuatu yang baik). Orang yang
melakukann ya diberi pahala
karena mengagungk an derajat Nabi
SAW., menampakka n suka cita dan
kegembiraa n atas kelahiran Nabi
Muhamad saw. yang mulia.” (Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I, h.
251-252)
Terkait dengan bid’ah, Imam Syafi’i menjelaska n, “Sesuatu yang diada-adak an (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang
diada-adak an (dalam agama)
bertentang an dengan
Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW.,
prilakuk sahabat, atau kesepakata n ulama maka termasuk bid’ah yang sesat; adapun
sesuatu yang diada-adak an adalah
sesuatu yang baik dan tidak menyalahi ketentuan (al Qur’an, Hadits, prilaku
sahabat atau Ijma’) maka sesuatu itu tidak tercela (baik).” (Fathul
Bari, juz XVII: 10)
Membaca Sholawat
Membaca shalawat adalah salah satu amalan yang disenangi
orang-oran g NU, disamping
amalan-ama lan lain. Ada shalawat
“Nariyah”, ada sholawat Badr,
ada “Thibbi Qulub”. Ada shalawat “Tunjina”, dan masih banyak lagi. Belum lagi bacaan “hizib”
dan “rawatib” yang tak terhitung banyaknya. Semua itu mendorong semangat keagamaan dan
cita-cita kepada Rasulullah sekaligus
ibadah.
Salah satu hadits yang membuat kita rajin membaca shalawat ialah sabda
Rasulullah , “Siapa membaca
shalawat untukku, Allah akan membalasny a 10 kebaikan, diampuni 10 dosanya, dan ditambah 10
derajat baginya. Makanya, bagi orang-oran g NU, setiap kegiatan keagamaan bisa disisipi bacaan
shalawat dengan segala ragamnya.
Hadits Ibnu Mundah dari Jabir, ia mengatakan Rasulullah SAW. bersabda, “Siapa membaca shalawat
kepadaku 100 kali maka Allah akan mengabulka n 100 kali hajatnya; 70 hajatnya di akhirat, dan 30 di
dunia. Sampai kata-kata … dan hadits Rasulullah yang mengatakan : Perbanyakl ah shalawat kepadaku karena dapat
memecahkan masalah dan
menghilang kan kesedihan. Demikian
seperti tertuang dalam kitab an-Nuzhah.
Rasulullah di alam
barzakh mendengar bacaan shalawat dan salam dan dia akan
menjawabny a sesuai jawaban yang
terkait dari salam dan shalawat tadi. Seperti tersebut dalam hadits.
Rasulullah SAW. bersabda:
Hidupku, juga matiku, lebih baik dari kalian. Kalian
membicarak an dan juga
dibicaraka n, amal-amal kalian
disampaika n kepadaku; jika saya tahu
amal itu baik, aku memuji Allah, tetapi kalau buruk aku mintakan ampun kepada
Allah. (Hadits riwayat Al-hafizh Ismail Al-Qadhi, dalam bab shalawat
‘ala an-Nabi). Imam Haitami dalam kitab Majma’ az-Zawaid
meyakini bahwa hadits di atas adalah shahih. Hal ini jelas bahwa
Rasulullah
memintakan ampun umatnya
(istighfar ) di alam barzakh.
Istighfar adalah doa, dan doa Rasul untuk umatnya pasti
bermanfaat .
18. Dalil Membaca
dzikir dan syair sebelum pelaksanaa n
shalat berjama'ah
Amalan ini adalah baik dan dianjurkan , dengan alasan.
1. Dari sisi dalil, membaca syair di dalam masjid bukan merupakan
sesuatu yang dilarang oleh agama. Diriwayatk an dari Abu Dawud, Nasai, dan Ahmad, pada masa
Rasulullah SAW., para sahabat juga
membaca syair di Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika
Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang
melantunka n syair di masjid.
Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah
melantunka n syair di masjid yang
di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu
Hurairah. Hassan melanjutka n
perkataann ya.‘Bukank ah engkau telah mendengark an sabda Rasulullah saw., jawablah pertanyaan ku, ya Allah mudah-muda han Engkau menguatkan nya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku
telah mendengarn ya). ”
Mengomenta ri hadits ini, Syaikh
Isma’il az-Zain menjelaska n
adanya kebolehan melantunka n
syair yang berisi puji-pujia n,
nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid. (Irsyadul Mu'minin ila Fadha'ili
Dzikri Rabbil 'Alamin, hlm. 16).
2. Dari sisi syiar dan penanaman akidah umat. Selain menambah syiar
agama, amaliah ini merupakan strategi yang sangat jitu untuk
menyebarka n ajaran Islam di
tengah masyarakat .
19. Berzikir dengan pengeras
suara
Dzikir adalah perintah Allah SWT yang harus kita
laksanakan setiap saat,
dimanapun dan kapanpun. Oleh karena itu, dzikir harus
dilaksanak an dengan sepenuh
hati, jiwa yang tulus, dan khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan
hati yang khusyu' itu diperlukan
perjuangan yang tidak ringan,
masing-mas ing orang memiliki
cara tersendiri . Bisa jadi satu
orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat,
sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika wirid dzikir dengan cara
berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraska n dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir
tidak bersuara untuk mendatangk an konsentras i dan ke-khusyu' -an. Maka cara dzikir yang lebih utama adalah
melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat medatangka n ke-khusyu’ -an.
Imam Zainuddin al-Malibar i menegaskan : “Disunnahka n berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat.
Maksudnya, hukumnya sunnah
membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat
sendirian,
berjema’ah , imam yang tidak
bermaksud mengajarka nnya dan
tidak bermaksud pula untuk memperdeng arkan doanya supaya diamini mereka." (Fathul
Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan
membimbing jama’ah maka hukumnya
boleh mengeraska n suara dzikir dan
doa.
Memang ada banyak hadits yang menjelaska n keutamaan mengeraska n bacaan dzikir, sebagaiman a juga banyak sabda Nabi saw. yang
menganjurk an untuk berdzikir
dengan suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak bertentang an, karena masing-mas ing memiliki tempatnya sendiri-se ndiri. Yakni disesuaika n dengan situasi dan kondisi. Contoh hadits yang
menganjurk an untuk
mengeraska n dzikir riwayat Ibnu Abbas
berikut ini, "Aku mengetahui dan mendengarn ya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka
selesai melaksanak an shalat dan
hendak meninggalk an masjid.” (HR
Bukhari dan Muslim). Ibnu Adra’ berkata, "Pernah Saya berjalan bersama
Rasulullah
saw. lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid
yang sedang mengeraska n suaranya
untuk berdzikir. Saya berkata,
wahai Rasulullah mungkin dia
(melakukan itu) dalam keadaan
riya'. Rasulullah
saw. menjawab, "Tidak, tapi dia sedang mencari
ketenangan ." Hadits lainnya
justru menjelaska n keutamaan
berdzikir secara pelan. Sa'd bin Malik meriwayatk an Rasulullah saw. bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang pelan
(sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi." Bagaimana
menyikapi dua hadits yang seakan-aka n kontradikt if itu. berikut penjelasan Imam Nawawi:
Imam Nawawi menkomprom ikan
(al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang
mensunnahk an
mengeraska n suara dzikir dan
hadist yang mensunnahk an
memelankan suara dzikir
tersebut, bahwa memelankan
dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatir an akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan
mengeraska n dzikir lebih utama
jika lebih banyak mendatangk an
manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin
mendengar, dapat
mengingatk an hati orang yang
lalai, terus merenungka n dan
menghayati dzikir,
mengkonsen trasikan
pendengara n jama’ah,
menghilang kan ngantuk serta
menambah semangat." (Ruhul
Bayan, Juz III: h. 306).
20. Hukum
Meng-Hadiah-kan
Fatihah
Di antara tradisi umat Islam adalah membaca surat
al-Fatihah dan
menghadiah kan pahalanya untuk
Rasulullah
sallallahu alaihi
wasallam. Para ulama mengatakan bahwa hukum perbuatan ini adalah boleh.
Ibnu 'Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali
mengatakan ,
"Disunnahka n
menghadiah kan bacaan Al-Qur'an kepada
Nabi saw.”
Bukankah seorang yang kamil (tinggi derajatnya ) memungkink an untuk bertambah ketinggian derajat dan kesempurna annya. Dalil sebagian orang yang melarang bahwa
perbuatan ini adalah tahshilul hashil (percuma) karena semua semua amal umatnya
otomatis masuk dalam timbangan amal Rasulullah , jawabannya adalah bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberitak an dalam Al-Qur'an bahwa Ia
bershalawa t terhadap Nabi saw.
kemudian Allah memerintah kan
kita untuk bershalawa t kepada
Nabi.
Al Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul Muhkam
al-Matin, hhm. 270, mengatakan , "Menurut saya boleh saja seseorang
menghadiah kan bacaan Al-Qu'an
atau yang lain kepada baginda Nabi saw., meskipun beliau selalu
mendapatka n pahala semua
kebaikan yang dilakukan oleh umatnya, karena memang tidak ada yang melarang hal
tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukann ya, hal ini tidak menunjukka n bahwa itu dilarang.”
21. Hukum
Bacaan al-Qur’an, Doa
(Tahlil) dan Jamuan makan untuk orang mati
Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan
Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak
sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut,
“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS
An-Najm 53: 39). Juga hadits Nabi Muhammad SAW., “Jika anak Adam mati,
putuslah segala amal perbuatann ya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu
yang dimanfa’at kan, dan anak
yang sholeh yang mendo’akan
dia.”
Mereka sepertinya ,
hanya secara parsial memahami kedua dalil di atas, tanpa
menghubung kan dengan
dalil-dali l lain. Sehingga
kesimpulan yang mereka ambil,
do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh
dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu
bertentang an dengan banyak ayat
dan hadits Rasulullah SAW.
beberapa di antaranya, “Dan
orang-oran g yang datang setelah
mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah
saudara-sa udara kami yang telah
mendahului kami dengan
beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10) Dalam hadith
dijelaskan , “Bertanya
seorang laki-laki kepada Nabi saw.; Ya Rasulullah sesungguhn ya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya,
seandainya saua
bersedekah untuknya?
Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk
ibumu.” (HR Abu Dawud).
Di dalam Tafsir ath-Thobar i jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa surat Al-Najm ayat 39 di atas
diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah
masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata,
“Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami,
kami yang menanggung siksaanmu di
akhera.t” Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa
menanggung dosa orang lain, bagi
seseorang apa yang telah dikerjakan , bukan berarti menghilang kan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti
do’a kepada orang mati dan lain-lainn ya.
Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang
berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya
tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para
ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh
orang yang hidup.
Dr. Ahmad as-Syarbas hi,
guru besar pada Universita s al-Azhar,
dalam kitabnya, Yas`aluuna ka
fid Diini wal Hayaah juz 1 : 442, sebagai berikut, “Sungguh para ahli
fiqh telah berargumen tasi atas
kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia,
dengan hadist bahwa sesungguhn ya
ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw., seraya berkata: Wahai
Rasulullah ,
sesungguhn ya kami
bersedekah untuk keluarga kami
yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka;
apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka?
Rasulullah saw. bersabda:
Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-bena r akan sampai kepada mereka dan
sesungguhn ya mereka itu
benar-bena r
bergembira dengan kiriman pahala
tersebut, sebagaiman a salah
seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut
dikirimkan
kepadanya! ".
Sedangkan Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang
meninggal, hukumnya boleh
(mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah
yang terpuji dan dianjurkan .
Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang
dianjurkan oleh Islam yang
pahalanya dihadiahka n pada orang
telah meninggal. Dan lebih dari itu,
ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if
(menghorma ti tamu),
bersabar menghadapi musibah dan
tidak menampakka n rasa susah dan
gelisah kepada orang lain.
22. Tahlilan/ Kenduri
Arwah, Mana dalilnya?
Acara tahlilan, biasanya berisikan acara pembacaan ayat-ayat suci
Al-Qur’an,
dzikir(Tas bih, tahmid, takbir,
tahlil, istighfar, dll),
Sholawat dan lain sebagainya yg
bertujuan supaya amalan tsb, selain untuk yang membacanya juga bisa bermanfaan bagi si mayit.
Berikut kami sampaikan beberapa dalil yang menerangka n sampainya amalan tsb (karena
keterbatas an ruang & waktu
maka kami sampaikan sementara dalil yg dianggap urgen saja, Insya Alloh akan
disambung karena masih ada beberapa dalil hadits & pendapat ulama terutama
ulama yang sering dijadikan sandaran sodara kita yg tidak
menyetujui adanya acara tahlilan
diantarany a pendapat Syaikhul
Islam Ibnu Taymiyah, Imam Ibnul Qoyyim, Imam As-Saukani dll..
DALIL SAMPAINYA AMALIYAH BAGI MAYIT
1. Dalil Alqur’an:
Artinya:” Dan orang-oran g yang datang sesudah mereka
(Muhajirin dan Anshor), mereka
berdo’a :” Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-sau dar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami”
(QS Al Hasyr: 10)
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-oran g yang beriman karena mereka
memohonkan ampun
(istighfar ) untuk
orang-oran g beriman sebelum
mereka. Ini menunjukka n bahwa orang
yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
2. Dalil Hadits
a. Dalam hadits banyak disebutkan do’a tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit
dikubur dan do’a ziarah kubur.
Tentang do’a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW. bersabda:
Artinya:” Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar
Rasulullah SAW. – setelah
selesai shalat jenazah-be rsabda:” Ya Allah ampunilah dosanya,
sayangilah dia,
maafkanlah dia,
sehatkanla h dia,
muliakanla h tempat
tinggalnya ,
luaskanlah
kuburannya ,
mandikanla h dia dengan air es
dan air embun, bersihkanl ah dari
segala kesalahan sebagaiman a
kain putih bersih dari kotoran, gantikanla h untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari
tempat tinggalnya , keluarga yang
lebih baik dari keluargany a,
pasangan yang lebih baik dari pasanganny a dan peliharala h dia dari siksa kubur dan siksa neraka” (HR
Muslim).
Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan , Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:” Adalah Nabi SAW. apabila
selesai menguburka n mayyit
beliau beridiri lalu bersabda:”
mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena
sekarang dia sedang ditanya” (HR Abu Dawud)
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain
diriwayatk an oleh ‘Aisyah ra bahwa ia
bertanya kepada Nabi SAW.:
Artinya:” bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW. menjawab,
“Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahka n kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan
semoga Allah memberikan rahmat
kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhn ya –insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
b. Dalam Hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada mayyit
Artinya: Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya
meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW.
unntuk bertanya:” Wahai
Rasulullah SAW.
sesungguhn ya ibuku telah
meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya
bersedekah untuknya
bermanfaat baginya ? Rasul saw.
menjawab: Ya, Saad berkata:” saksikanla h bahwa kebunku yang banyak buahnya aku
sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).
c. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Saum
Artinya: Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW. bersabda:” Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai
kewajiban shaum (puasa) maka keluargany a berpuasa untuknya”( HR Bukhari dan Muslim)
d. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Haji
Artinya: Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang
kepada Nabi saw. dan bertanya:”
Sesungguhn ya ibuku nadzar untuk
hajji, namun belum terlaksana
sampai ia meninggal, apakah saya
melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana
pendapatmu kalau ibumu mempunyai
hutang, apakah kamu membayarny a ?
bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR
Bukhari)
3. Dalil Ijma’
a. Para ulama sepakat bahwa do’a dalam shalat jenazah
bermanfaat bagi mayyit.
b. Bebasnya hutang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini
berdasarka n hadits Abu Qotadah
dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua
dinar. Ketika ia telah membayarny a
nabi saw. bersabda:
Artinya:” Sekarang engkau telah mendingink an kulitnya” (HR Ahmad)
4. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia
menghadiah kan kepada
saudaranya yang muslim, maka hal
itu tidak ada halangan sebagaiman a tidak dilarang menghadiah kan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan
membebaska n utang setelah
wafatnya.
Islam telah memberikan
penjelasan sampainya pahala
ibadah badaniyah seperti membaca Alqur’an dan lainnya
diqiyaskan dengan sampainya
puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang membatalka n disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada
mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur’an yang berupa
perbuatan dan niat.
Adapun dalil yang menerangka n shadaqah untuk mayit pada hari-hari tertentu
seperti hari ke satu, dua sampai dengan ke tujuh bahkan ke-40 yaitu hadits
marfu’ mursal dari tiga orang tabi`ien yaitu Thaus, Ubaid bin Umair dan Mujahid
yang dapat dijadikan qaid kepada hadits-had its mutlak (tidak ada qaid hari-hari untuk
bershadaqa h untuk mayit) di atas:
a. Riwayat Thaus :
Bahwa orang-oran g mati
itu akan mendapat fitnah (ujian) di dalam alam kubur mereka tujuh hari. Maka
mereka (para sahabat) itu menganjurk an
untuk memberi shadaqah makanan atas nama mereka selama hari-hari itu.
b. Sebagai tambahan dari riwayat Ubaid bin Umair:
Terjadi fitnah kubur terhadap dua golongan orang yaitu orang mukmin dan orang
munafiq. Adapun terhadap orang mukmin dilakukan tujuh hari dan terhadap orang
munafiq dilakukan 40 hari.
c. Ada lagi tambahan dalam riwayat Mujahid yaitu
Ruh-ruh itu berada diatas pekuburan selama tujuh hari, sejak
dikuburkan tidak
memisahiny a.
Kemudian dalam beberapa hadits lain menyatakan bahwa kedua malaikat Munkar dan Nakir itu
mengulangi
pertanyaan -pertanyaa n tiga kali dalam satu waktu. Lebih jelas dalam
soal ini dapat dibaca dalam buku “Thulu’ ats-tsurai ya di izhaari makana khafiya” susunan al Imam Suyuty
dalam kitab “ Al-Hawi lil fatawiy” jilid II.
Tambahan:
Sampainya Hadiah Bacaan Al-qur’an untuk mayyit (Orang Mati)
A. Dalil-dali l Hadiah Pahala
Bacaan
1. Hadits tentang wasiat ibnu umar tersebut dalam syarah aqidah
Thahawiyah Hal :458 :
“ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasany a Beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah
pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah dan akhirnya. Dan dari sebagian
muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat albaqarah”
Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padaha imam Ahmad ini
sebelumnya termasuk orang yang
mengingkar i sampainya pahala
dari orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari
orang-oran g
kepercayaa n tentang wasiat ibnu
umar tersebut, beliau mencabut pengingkar annya itu. (mukhtasar tadzkirah qurtubi halaman 25).
Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad bin Hnbal bahwa
beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada
nash-nash yang dating padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan
tabiuttabi ’in) pada berkumpul
disetiap negeri, mereka membaca al-qur’an dan menghadiah kan (pahalanya ) kepada mereka yang sudah
meninggal, maka jadialah ia ijma
. (Yasaluuna ka fid din wal hayat oleh
syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits dalam sunan Baihaqi danan isnad Hasan
“ Bahwasanya Ibnu umar
menyukai agar dibaca keatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat albaqarah dan
akhirnya”
Hadits ini agak semakna dengan hadits pertama, hanya yang pertama itu
adalah wasiat sedangkan ini adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
3. Hadits Riwayat darulqutni
“Barangsia pa masuk
kepekubura n lalu membaca
qulhuwalla hu ahad (surat al
ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiah kan pahalanya kepada orang-oran g yang telah mati (dipekubur an itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang
mati disitu”.
4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi
“ Barangsiap a
melewati pekuburan lalu membaca qulhuwalla hu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian
menghadiah kan pahalanya kepada
orang-oran g yang telah mati
(dipekubur an itu), maka ia akan diberi
pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
(Mukhtasar
Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi
“Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Jika mati salah seorang dari
kamu, maka janganlah menahannya
dan segeralah membawanya ke
kubur dan bacakanlah Fatihatul
kitab disamping kepalanya” .
6. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’I, Ahmad dan ibnu Hibban:
“Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau bersabda:
“Bacakanla h surat yaasin untuk orang
yang telah mati diantara kamu”.
B. Fatwa Ulama Tentang Sampainya Hadiah Pahala Bacaan kepada Mayyit
1. Berkata Muhammad bin ahmad al-marwazi :
“Saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke
pekuburan, maka bacalah
Fatihatul kitab, al-ikhlas, al
falaq dan an-nas dan jadikanlah
pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhn ya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang
lebih baik adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “Ya Allah,
sampaikanl ah pahala ayat yang telah
aku baca ini kepada si fulan…” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
2. Berkata Syaikh aIi bin Muhammad Bin abil lz :
“Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiah kan pahalanya kepada orang yang mati secara
sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya
sebagaiman a sampainya pahala
puasa dan haji”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).
3. Berkata Ibnu taymiyah :
“sesungguh nya mayyit
itu dapat beroleh manfaat dengan ibadah-iba dah kebendaan seperti sedekah dan
seumpamany a”. (yas alunka fiddin wal
hayat jilid I/442).
Di atas adalah kitab ibnu taimiah berjudul majmuk fatawa jilid 24 pada
hal. 324. Ibnu taimiah ditanya mengenai seseorang yang
bertahlil,
bertasbih, bertahmid, bertakbir dan menyampaik an pahala tersebut kepada simayat muslim lantas
ibnu taimiah menjawab amalan tersebut sampai kepada si mayat dan juga tasbih,
takbir dan lain-lain zikir sekiranya disampaika n pahalanya kepada si mayat maka ianya sampai dan bagus
serta baik.
Mengapa Wahhabi menolak dan menyesatka n amalan ini.
Di atas adalah kitab ibnu tamiah berjudul majmuk fatawa juz 24 hal.
324.ibnu taimiah di tanya mengenai seorang yang bertahlil 70000 kali dan
menghadiah kan kepada si mayat
muslim lantas ibnu taimiah mengatakan
amalan itu adalah amat memberi manafaat dan amat baik serta mulia.
4. Berkata Ibnu qayyim al-jauziya h:
“sesuatu yang paling utama dihadiahka n kepada mayyit adalah sedekah,
istighfar, berdoa untuknya dan
berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-qur’an dan menghadiah kan pahalanya kepada mayyit secara sukarela dan
tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaiman a pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya
(yasaaluun aka fiddin wal hayat jilid
I/442)
Berkata Ibnu qayyim al-jauziya h dalam kitabnya Ar-ruh : “Al Khallal dalam
kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas bacaan al-qur’an disamping kubur” berkata :
Menceritak an kepada kami Abbas
bin Muhammad ad-dauri, menceritak an kepada kami yahya bin mu’in,
menceritak an kepada kami
Mubassyar al-halabi,
menceritak an kepada kami
Abdurrahma n bin Ala’ bin
al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di liang lahad dan
ucapkanlah bismillah dan baca
permulaan surat al-baqarah
disamping kepalaku karena seungguhny a
aku mendengar Abdullah bin Umar berkata demikian.
Ibnu qayyim dalam kitab ini pada halaman yang sama :
“Mengabark an kepadaku Hasan bin
Ahmad bin al-warraq,
menceritak an kepadaku Ali-Musa
Al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata : “Pernah aku
bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Qudamah al-juhairi menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit
dimakamkan , seorang lelaki kurus
duduk disamping kubur (sambil membaca al-qur’an) . Melihat ini berkatalah imam Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhn ya membaca al-qur’an disamping kubur adalah
bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam Muhammad bin qudamah kepada imam ahmad bin
Hanbal : “Wahai abu abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-halabi? . Imam Ahmad menjawab : “Beliau adalah orang yang
tsiqah (terpercay a), apakah
engkau meriwayatk an sesuatu
darinya?. Muhammad bin qodamah berkata : Ya, mengabarka n kepadaku Mubasyar dari
Abdurahman bin a’la bin
al-laj-laj dari bapaknya bahwa
dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan disamping kepalanya permulaan
surat al-baqarah dan akhirnya
dan dia berkata : “aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat yang demikian itu”.
Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata : “Kembalila h dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya
diteruskan (Kitab ar-ruh, ibnul qayyim
al jauziyah).
5. Berkata Sayaikh Hasanain Muhammad makhluf, Mantan Mufti negeri mesir
: “ Tokoh-toko h madzab hanafi
berpendapa t bahwa tiap-tiap
orang yang melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-qur’an atau selain
demikian daripada macam-maca m
kebaikan, boleh baginya menghadiah kan
pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya.
6. Imam sya’bi ; “Orang-ora ng anshar jika ada diantara mereka yang
meninggal, maka mereka
berbondong -bondong ke kuburnya
sambil membaca al-qur’an disampingn aya”. (ucapan imam sya’bi ini juga dikutip oleh ibnu
qayyim al jauziyah dalam kitab ar-ruh hal. 13).
7. Berkata Syaikh ali ma’sum : “Dalam madzab maliki tidak ada khilaf
dalam hal sampainya pahala sedekah kepada mayyit. Menurut dasar madzab, hukumnya
makruh. Namun ulama-ulam a
mutakhirin
berpendapa t boleh dan dialah
yang diamalkan. Dengan demikian,
maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayyit dan ibnu farhun menukil bahwa
pendapat inilah yang kuat”. (hujjatu ahlisunnah wal jamaah halaman 13).
8. Berkata Allamah Muhammad al-arobi: Sesungguhn ya membaca al-qur’an untuk
orang-oran g yang sudah meninggak
hukumnya boleh (Malaysia : Harus) dan sampainya pahalanya kepada mereka menurut
jumhur fuqaha islam Ahlusunnah
wal-jamaah walaupun dengan
adanya imbalan berdasarka n pendapat
yang tahqiq . (kitab majmu’ tsalatsi rosail).
9. Berkata imam qurtubi : “telah ijma’ ulama atas sampainya pahala
sedekah untuk orang yang sudah mati, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam
hal bacaan al-qur’an, doa dan
istighfar karena masing-mas ingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh
hadits : “Kullu ma’rufin shadaqah / (setiapkebai kan adalah sedekah)”. (Tadzkirah al-qurtubi halaman 26).
Begitu banyaknya Imam-imam dan ulama ahlussunna h yang menyatakan sampainya pahala bacaan alqur’an yang
dihadiahka n untuk mayyit
(muslim), maka tidak lah kami bisa menuliskan semuanya dalam risalah ini karena khawatir akan terlalu
panjang.
C. Dalam Madzab Imam syafii
Untuk menjelaska n hal
ini marilah kita lihat penuturan imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 :
“Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang
masyhur dari madzab Syafii dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam
ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafii berpendapa t bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah
si pembaca menghaturk an doa :
“Ya Allah sampaikanl ah bacaan yat ini
untuk si fulan…….”
Tersebut dalam al-majmu jilid 15/ 522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj:
“Dalam Madzab syafii menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi
menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar
disampaika n pahala bacaan
tersebut. Dan seyogyanya
memantapka n pendapat ini karena dia
adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak
dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa dengan sesuatu yang dimiliki oleh
si pendoa adalah lebih utama”.
Dengan demikian dapat disimpulka n bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal
pahala bacaan :
1. Qaul yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qaul yang mukhtar yakni pahala bacaan sampai.
Dalam menanggapa i qaul
masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria
Al-anshari
mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19
:
“Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzhab syafii itu
dibawa atas pengertian : “Jika
alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala
bacaan untuknya”.
Dan mengenai syarat-sya rat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman
al-jamal mengatakan dalam kitabnya
Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :
“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat
salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya,
2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni
memohonkan agar pahalanya
disampaika n
kepadanya, 3. Meniatkan
samapainya pahala bacaan itu
kepadanya” .
Hal senada juga diungkapka n
oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74
:
“Kesimpula n Bahwa
jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan
sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia
membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala
bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya ”.
Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika ;
1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan
pahala bacaan itu kepadanya.
2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping
meniatkan untuk si mayyit juga disertai dengan doa penyampaia n pahala sesudah selesai membaca.
Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti dalam kitab
tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut Tahlibin Jilid III/24).
D. Dalil-dali l orang yang
membantah adanya hadiah pahala dan jawabannya
1. Hadis riwayat muslim :
“Jika manusia, maka putuslah amalnya kecuali tiga : sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat atau
anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya”
Jawab : Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist
tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati karena
dalam hadits tersebut tidak dikatakan : “inqata’a
intifa’uhu (terputus
keadaannya untuk
memperoleh manfaat). Hadits
itu hanya mengatakan
“inqatha’a ‘amaluhu
(terputus amalnya)”. Adapun
amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang
mengamalka n itu kepadanya maka
akan sampailah pahala orang yang mengamalka n itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal
ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari
tanggungan hutang. Akan tetapi
bukanlah yang dipakai membayar hutang itu miliknya. Jadi
terbayarla h hutang itu bukan
oleh dia telah memperoleh manfaat
(intifa’) dari orang lain.
2. Firman Allah surat an-najm ayat 39 :
“ Atau belum dikabarkan
kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah
memenuhi kewajibann ya bahwa
seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang
diusahakan nya”.
Jawab : Banyak sekali jawaban para ulama terhadap
digunakann ya ayat tersebut
sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara
jawaban-ja waban itu adalah :
a. Dalam syarah thahawiyah hal. 1455 diterangka n dua jawaban untuk ayat tersebut :
1. Manusia dengan usaha dan pergaulann ya yang santun memperoleh banyak kawan dan sahabat,
melahirkan banyak anak, menikahi
beberapa isteri melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabka n orang-oran g cinta dan suka padanya. Maka banyaklah
orang-oran g itu yang
menyayangi nya.
Merekapun berdoa untuknya dan mengahadia hkan pula pahala dari ketaatan-k etaatan yang sudah dilakukann ya, maka itu adalah bekas dari usahanya sendiri.
Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang lain didalam
ikatan islam adalah merupakan sebab paling besar dalam hal sampainya
kemanfaata n dari
masing-mas ing kaum muslimin kepada
yang lainnya baik didalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa kaum
muslimin yang lain.
Dalam satu penjelasan
disebutkan bahwa Allah SWT
menjadikan iman sebagai sebab
untuk memperoleh
kemanfaata n dengan doa serta
usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman,
maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaik annya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian
pahala ketaatan yang dihadiahka n
kepadanya dan kaum mukminin sebenarnya
bagian dari usahanya sendiri).
2. Ayat al-qur’an itu tidak menafikan adanya
kemanfaata n untuk seseorang
dengan sebab usaha orang lain. Ayat al-qur’an itu hanya menafikan
“kepemilik an seseorang terhadap
usaha orang lain”. Allah SWT hanya mengabarka n bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu tidak
akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri).
Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang
mengusahak annya. Jika dia mau,
maka dia boleh memberikan nya
kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkan nya untuk dirinya sendiri. (jadi huruf “lam” pada
lafadz “lil insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”).
Demikianla h dua jawaban
yang dipilih pengarang kitab syarah thahawiyah .
b. Berkata pengarang tafsir Khazin :
“Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahin dan musa. Adapun ummat islam
(umat Nabi Muhammad SAW.), maka mereka bias mendapat pahala dari usahanya dan
juga dari usaha orang lain”.
Jadi ayat itu menerangka n hokum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan
Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad SAW. Hal ini
dikarenaka n pangkal ayat tersebut
berbunyi :
“ Atau belum dikabarkan
kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah
memenuhi kewajibann ya bahwa
seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang
diusahakan nya”.
c. Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam
menafsirka n ayat tersebut :
“ ayat tersebut telah dinasakh (dibatalka n) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah
SWT : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka
dimasukanl ah anak ke dalam sorga
berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya’ (tafsir khazin juz IV/223).
Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat
an-najm ayat 39 itu adalah surat at-thur ayat 21 yang
lengkapnya sebagai berikut :
“Dan orang-oran g
yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami
hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah
mengurangi
sedikitpun dari amal mereka.
Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakan nya”.
Jadi menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya,
berarti sudah tidak bias dimajukan sebagai dalil.
d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata :
“Tidak ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min
thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi
seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
Demikianla h
penafsiran dari surat An-jam
ayat 39. Banyaknya penafsiran
ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan denganzhah ir ayat semata-mat a karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali
dalil-dali l baik dari al-qur’an
maupun hadits-had its shahih yang
ditentang oleh ayat tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bias dipakai
sebagai dalil.
3. Dalil mereka dengan Surat al-baqarah ayat 286 :
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan
kesanggupa nnya. Baginya apa yang
dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada
kejahatan) ”.
Jawab : Kata-kata “laha maa kasabat” menurut ilmu balaghah
tidak mengandung unsur hasr
(pembatasa n). Oleh karena itu artinya
cukup dengan : “Seseorang mendapatka n apa yang ia usahakan”. Kalaulah artinya
demikian ini, maka kandungann ya
tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatka n dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan :
“Seseorang akan
memperoleh harta dari
usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan bahwa seseorang akan
memperoleh harta dari pusaka
orang tuanya, pemberian orang kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan
para sahabatnya . Lain halnya
kalau susunan ayat tersebut mengandung hasr (pembatasa n) seperti umpamanya :
“laisa laha illa maa kasabat”
“Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya
mendapat apa yang ia usahakan”.
4. Dalil mereka dengan surat yasin ayat 54 :
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka
kerjakan”.
Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena
pangkal ayat tersebut adalah :
“Pada hari dimana seseorang tidak akan didhalimi
sedikitpun dan seseorang tidak akan
diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”
Jadi dengan memperhati kan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa
yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan orang lain, bukan
diberikann ya pahala terhadap
seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain (Lihat syarah
thahawiyah hal. 456).
(ringkasan dari Buku
argumentas i Ulama
syafi’iyah terhadap tuduhan
bid’ah,Al ustadz haji Mujiburahm an,
halaman 142-159, mutiara ilmu)
Semoga menjadi asbab hidayah bagi Ummat
23. Hukum Membaca Al-Barzanj i
Di Indonesia,
peringatan Maulid Nabi (orang
banjar menyebutny a
*Ba-Mulud’ an*)
sudah melembaga bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setiap
memasuki Rabi’ul Awwal, berbagai ormas Islam, masjid, musholla, institusi
pendidikan , dan majelis
taklim bersiap memperinga tinya dengan
beragam cara
dan acara; dari sekadar menggelar pengajian kecil-keci lan hingga seremoni
akbar dan bakti sosial, dari sekadar diskusi hingga
ritual-rit ual yang sarat
tradisi (lokal).
Di antara yang berbasis tradisi adalah:
*Manyangga r Banua,
Mapanretas i di Pagatan, Ba’Ayun
Mulud (Ma’ayun anak) di Kab. Tapin, Kalimantan Selatan
*Sekaten, di Keraton Yogyakarta dan Surakarta,
*Gerebeg Mulud di Demak,
*Panjang Jimat *di Kasultanan
Cirebon,
*Mandi Barokah *di Cikelet Garut, dan sebagainya .
Tradisi lain yang tak kalah populer adalah pembacaan Kitab
al-Barzanj i. Membaca Barzanji
seolah menjadi sesi yang tak boleh ditinggalk an dalam setiap peringatan Maulid Nabi. Pembacaann ya
dapat dilakukan di mana pun, kapan pun dan dengan notasi apa pun, karena memang tidak ada tata cara khusus yang
mengaturny a.
Al-Barzanj i adalah karya
tulis berupa prosa dan sajak yang isinya bertutur tentang biografi Muhammad, mencakup *nasab*-ny a (silsilah) , kehidupann ya dari masa kanak-kana k
hingga menjadi rasul. Selain itu, juga mengisahka n sifat-sifa t mulia yang
dimilikiny a, serta berbagai peristiwa
untuk dijadikan teladan manusia.
Judul aslinya adalah *’Iqd al-Jawahir *(Kalung Permata). Namun, dalam perkembang annya, nama
pengarangn yalah yang lebih masyhur
disebut, yaitu Syekh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad
al-Barzanj i. Dia seorang sufi yang lahir di Madinah pada 1690 M dan meninggal pada 1766 M.
*Relasi Berjanji dan Muludan
*Ada catatan menarik dari Nico Captein, seorang
orientalis dari
Universita s
Leiden, dalam bukunya yang berjudul *Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad
saw. *(INIS, 1994).
Menurutnya , Maulid Nabi pada
mulanya adalah perayaan kaum Syi’ah
Fatimiyah (909-117 M) di Mesir untuk menegaskan kepada publik bahwa dinasti
tersebut benar-bena r
keturunan Nabi. Bisa dibilang, ada nuansa politis di
balik perayaanny a.
Dari kalangan Sunni, pertama kali diselengga rakan di Suriah oleh Nuruddin
pada abad XI. Pada abad itu juga Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan
seluruh penjuru Islam. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menolak
memperinga ti karena
dinilai *bid’ah *(mengada- ada
dalam beribadah) .
Di Indonesia, tradisi
Berjanjen bukan hal baru, terlebih di kalangan Nahdliyyin
*(sebutan untuk warga NU). Berjanjen tidak hanya dilakukan pada
peringatan Maulid Nabi, namun
kerap diselengga rakan pula pada
tiap malam Jumat, pada upacara kelahiran, *akikah *dan potong rambut,
pernikahan , syukuran, dan
upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren, Berjanjen telah menjadi kurikulum wajib.
Selain al-Barzanj i,
terdapat pula kitab-kita b
sejenis yang juga bertutur tentang kehidupan dan kepribadia n Nabi. Misalnya, kitab
*Shimthual -Durar, karya
al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (Syair Maulud Al-Habsy),
*al-Burdah , karya
al-Bushiri dan
*al-Diba, karya Abdurrahma n al-Diba’iy .
Inovasi Baru
Esensi Maulid adalah penghijaua n sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi sebagai
satu-satun ya idola teladan yang
seluruh ajarannya harus dibumikan. Figur idola menjadi miniatur dari
idealisme,
kristalisa si dari berbagai
falsafah hidup yang diyakini. Penghijaua n sejarah dan penyegaran ketokohan itu dapat dilakukan kapan pun, termasuk di
bulan Rabi’ul Awwal.
Kaitannya dengan kebangsaan , identitas dan nasionalis me seseorang akan lahir jika ia membaca sejarah bangsanya. Begitu pula identitas sebagai penganut agama akan ditemukan (di antaranya) melalui sejarah agamanya. Dan, dibacanya Kitab al-Barzanj i merupakan
salah satu sarana untuk mencapai tujuan esensial itu, yakni ‘menghidup kan’
tokoh idola melalui teks-teks sejarah.
Permasalah annya sekarang,
sudahkah pelaku Berjanjen memahami bait-bait indah al-Barzanj i sehingga
menjadikan nya
inspirator dan motivator
keteladana n? Barangkali , bagi kalangan
santri, mereka dapat dengan mudah memahami makna tiap baitnya karena (sedikit banyak) telah mengerti bahasa Arab. Ditambah kajian khusus terhadap referensi penjelas *(syarh) *dari
al-Barzanj i, yaitu kitab *Madarij al-Shu’ud *karya al-Nawawi al-Bantani , menjadikan pemahaman mereka semakin komprehens if.
Bagaimana dengan masyarakat
awam? Tentu mereka tidak bisa seperti itu. Karena mereka memang tidak menguasai bahasa Arab. Yang mereka tahu, kitab itu bertutur tentang sejarah Nabi tanpa mengerti detail isinya.
Akibatnya, penjiwaan dan penghayata n makna al-Barzanj i sebagai inspirator dan motivator hidup menjadi tereduksi oleh rangkaian ritual simbolik yang
tersakralk an.
Barangkali , kita perlu
berinovasi agar
pesan-pesa n profetik di balik bait al-Barzanj i menjadi
tersampaik an kepada pelakunya
(terutama masyarakat awam) secara utuh menyeluruh .
Namun, ini tidaklah mudah. Dibutuhkan penerjemah yang andal dan sastrawan- sastrawan ulung untuk mengemas bahasa
al-Barzanj i ke dalam konteks bahasa kekinian dan kedisinian . Selain itu, juga mempertimb angkan
kesiapan masyarakat menerima inovasi
baru terhadap aktivitas yang kadung tersakralk an itu.
Inovasi dapat diimplemen tasikan dengan menerjemah kan dan menekankan aspek keteladan. Dilakukan
secara gradual pasca-memb aca dan
melantunka n syair al-Barzanj i. Atau
mungkin dengan kemasan baru yang tidak banyak menyertaka n bahasa Arab, kecuali lantunan shalawat dan ayat-ayat suci, seperti dipertunju kkan W.S.
Rendra, Ken Zuraida (istri Rendra), dan kawan-kawa n pada Pentas Shalawat Barzanji pada 12-14 Mei 2003 di Stadion Tennis Indoor, Senayan, Jakarta.
Sebagai pungkasan,
semoga Barzanji tidak hanya menjadi ‘lagu wajib’ dalam upacara, tapi (yang
penting) juga mampu menggerakk an
pikiran, hati, pandangan hidup serta sikap kita untuk menjadi lebih baik
sebagaiman a Nabi. Dan semoga, Maulid dapat mengentask an kita dari keterpuruk an sebagaiman a Shalahuddi n Al-Ayubi sukses membangkit kan semangat tentaranya hingga menang
dalam pertempura n.
Garis Keturunan Syekh al-Barzanj i :
Sayyid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul
ibn Abdul Syed ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Syed ibn Isa ibn Husain
ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz
ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq
ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn
Sayidina Ali r.a. dan Sayidatina
Fatimah binti Rasulullah saw.
Dinamakan Al-Barjanz y
karena dinisbahka n kepada nama
desa pengarang yang terletak di Barjanziya h kawasan Akrad (kurdistan ). Kitab tersebut nama aslinya ‘Iqd
al-Jawahir (Bahasa Arab, artinya
kalung permata) sebagian ulama menyatakan bahwa nama karanganny a adalah “I’qdul Jawhar fi mawlid
anNabiyyil Azhar”. yang disusun
untuk meningkatk an kecintaan
kepada Nabi Muhammad saw., meskipun kemudian lebih terkenal dengan nama
penulisnya .
Beliau dilahirkan di
Madinah Al Munawwarah pada hari
Kamis, awal bulan Zulhijjah tahun 1126 H (1960 M) (1766 beliau menghafal
Al-Quran 30 Juz kepada Syaikh Ismail Alyamany dan Tashih Quran
(mujawwad) kepada syaikh Yusuf
Asho’idy kemudian belajar ilmu naqliyah (quran Dan Haditz) dan ‘Aqliyah kepada
ulama-ulam a masjid nabawi
Madinah Al Munawwarah dan
tokoh-toko h qabilah daerah
Barjanzi kemudian belajar ilmu nahwu, sharaf, mantiq, Ma’ani, Badi’, Faraidh,
Khat, hisab, fiqih, ushul fiqh, falsafah, ilmu hikmah, ilmu teknik, lughah, ilmu
mustalah hadis, tafsir, hadis, ilmu hukum, Sirah Nabawi, ilmu sejarah semua itu
dipelajari selama beliau ikut
duduk belajar bersama ulama-ulam a masjid nabawi. Dan ketika umurnya mencapai 31
tahun atau bertepatan 1159 H barulah
beliau menjadi seorang yang ‘Alim wal ‘Allaamah dan Ulama besar.
Kitab “Mawlid al-Barzanj i” ini telah disyarahka n oleh al-’Allaam ah al-Faqih asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal
dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299H dengan satu syarah yang
memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid
al-Barzanj i” yang telah banyak kali
diulang cetaknya di Mesir.
Di samping itu, kitab Mawlid Sidi Ja’far al-Barzanj i ini telah disyarahka n pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara
yang masyhur mensyarahk annya
ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ar i asy-Syadzi li al-Azhari dengan kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala
Mawlid al-Barzanj i”. Beliau ini
adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar asy-Syarif , bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan
menjalanka n Thoriqah
asy-Syadzi liyyah. Beliau lahir pada
tahun 1217H (1802M) dan wafat pada tahun 1299H (1882M).
Selain itu ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal
sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak
karanganny a, yaitu Sayyidul
‘Ulama-il Hijaz, an-Nawawi ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi
al-Bantani al-Jawi turut menulis
syarah yang lathifah bagi “Mawlid al-Barzanj i” dan karanganny a itu dinamakann ya “Madaariju sh Shu`uud ila Iktisaa-il Buruud”. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid
Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad al-Hadi bin Sayyid Zain
yang merupakan suami kepada satu-satun ya anak Sayyid Ja’far al-Barzanj i, telah juga menulis syarah bagi “Mawlid
al-Barzanj i” tersebut yang
dinamakann ya
“al-Kawkab ul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar
fi Mawlidin Nabiyil Azhar”.
Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar
asy-Syarif . Beliau juga
merupakan seorang Mufti Syafi`iyya h. Karangan-k arangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahid ul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaa-il
Ramadhan”,
“Mashaabii hul Ghurar ‘ala
Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhau-il Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”.
Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritak an perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far
al-Barzanj i dalam kitabnya
“ar-Raudhu l A’thar fi Manaqib
as-Sayyid Ja’far”.
Kembali kepada Sidi Ja’far al-Barzanj i, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga
menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia
tersebut. Beliau terkenal bukan sahaja kerana ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi
juga dengan kekeramata n dan
kemakbulan doanya. Penduduk
Madinah sering meminta beliau berdoa untuk hujan pada
musim-musi m kemarau.
Diceritaka n bahawa satu ketika
di musim kemarau, sedang beliau sedang menyampaik an khutbah Jumaatnya, seseorang telah meminta beliau
beristisqa ` memohon hujan. Maka
dalam khutbahnya itu beliau pun
berdoa memohon hujan, dengan serta merta doanya terkabul dan hujan terus turun
dengan lebatnya sehingga seminggu, persis sebagaiman a yang pernah berlaku pada zaman Junjungan Nabi
s.a.w. dahulu. Menyaksika n
peristiwa tersebut, maka sebahagian
ulama pada zaman itu telah memuji beliau dengan bait-bait syair yang
berbunyi:-
سقى الفروق بالعباس قدما * و نحن بجعفر غيثا سقينا
فذاك و سيلة لهم و هذا * وسيلتنا إمام العارفينا
Dahulu al-Faruuq dengan al-’Abbas beristisqa ` memohon hujan
Dan kami dengan Ja’far pula beristisqa ` memohon hujan
Maka yang demikian itu wasilah mereka kepada Tuhan
Dan ini wasilah kami seorang Imam yang ‘aarifin
Sidi Ja’far al-Barzanj i
wafat di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau
dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi s.a.w.
Karanganny a membawa umat
ingatkan Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat kasihkan Junjungan Nabi s.a.w.,
membawa umat rindukan Junjungan Nabi s.a.w. Setiap kali
karanganny a dibaca, pasti
sholawat dan salam dilantunka n
buat Junjungan Nabi s.a.w. Juga umat tidak lupa mendoakan Sayyid Ja’far yang
telah berjasa menyebarka n keharuman
pribadi dan sirah kehidupan makhluk termulia keturunan Adnan. Allahu …
Allah.
اللهم اغفر لناسج هذه البرود المحبرة المولدية
سيدنا جعفر من إلى البرزنج نسبته و منتماه
و حقق له الفوز بقربك و الرجاء و الأمنية
و اجعل مع المقربين مقيله و سكناه
و استرله عيبه و عجزه و حصره و عيه
و كاتبها و قارئها و من اصاخ إليه سمعه و اصغاه
Ya Allah ampunkan pengarang jalinan mawlid indah nyata
Sayyidina Ja’far kepada Barzanj ternisbah dirinya
Kejayaan berdamping denganMu
hasilkan baginya
Juga kabul segala harapan dan cita-cita
Jadikanlah dia bersama
muqarrabin
berkediama n dalam syurga
Tutupkan segala keaiban dan kelemahann ya
Segala kekurangan dan
kekeliruan nya
Seumpamany a Ya Allah harap
dikurnia juga
Bagi penulis, pembaca serta pendengarn ya
و صلى الله على سيدنا محمد و على اله و صحبه و سلم
و الحمد لله رب العالمين
Dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah:
Penghormat an terhadap Nabi SAW.
dalam Islam (1991), sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel,
menerangka n bahwa teks asli
karangan Ja’far al-Barzanj i,
dalam bahasa Arab, sebetulnya
berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi
untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi.
Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan
Afrika, tak terkecuali
Indonesia. Tidak
tertinggal oleh umat Islam
penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun
dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, semisal hasil
terjemahan HAA Dahlan atau Ahmad
Najieh, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum
sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita
sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far al-Barzanj i merupakan biografi puitis Nabi Muhammad SAW.
Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: “Natsar” dan “Nadhom”. Bagian
“Natsar” terdiri atas 19 subbagian yang memuat 355 untaian syair, dengan
mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad SAW., mulai dari saat-saat
menjelang paduka dilahirkan
hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian.
Sementara, bagian “Nadhom” terdiri
atas 16 subbagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir
“nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya
keterpukau an sang penyair oleh
sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian “Nadhom”, misalnya, antara lain
diungkapka n sapaan kepada Nabi pujaan:
Engkau mentari, engkau bulan/ Engkau cahaya di atas cahaya.
Di antara idiom-idio m
yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti
matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idio m seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawak an dengan shalawat dan doa, sehingga
melahirkan sejumlah besar
metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya,
dilukiskan sebagai “untaian
mutiara”.
Namun, bahasa puisi yang gemerlapan itu, seringkali juga terasa rapuh. Dalam karya Ja’far
al-Barzanj i pun, ada
bagian-bag ian
deskriptif yang mungkin
terlampau meluap. Dalam bagian “Natsar”, misalnya, sebagaiman a yang diterjemah kan oleh HAA Dahlan, kita
mendapatka n lukisan demikian:
Dan setiap binatang yang hidup milik suku Quraisy memperbinc angkan kehamilan Siti Aminah dengan bahasa Arab yang
fasih.
Betapapun, kita dapat
melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari
perspektif penyair.
Pokok-poko k
tuturannya sendiri, terutama
menyangkut riwayat Sang Nabi,
terasa berpegang erat pada Alquran, hadis, dan sirah nabawiyyah . Sang penyair kemudian
mencurahka n kembali rincian kejadian
dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga
pembaca dapat merasakan madah yang indah.
Salah satu hal yang mengagumka n sehubungan dengan karya Ja’far al-Barzanj i adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak
berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala
potensinya , karya ini kiranya
telah ikut membentuk tradisi dan mengembang kan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam di berbagai negeri
menghormat i sosok dan
perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Sifatnya:
Wajahnya tampan, perilakuny a sopan, matanya luas, putih giginya, hidungnya
mancung,je nggotnya yang
tebal,Memp unyai akhlak yang
terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah,
wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakku r, mendahului dalam membuat kebajikan
bersedekah ,dan sangat pemurah.
Seorang ulama besar yang berdedikas i mengajarka n ilmunya di Masjid Kakeknya (Masjid Nabawi) SAW.
sekaligus beliau menjadi seorang mufti Mahzhab Syafiiyah di kota madinah
Munawwarah .
“Al-’Allaa mah
al-Muhaddi ts al-Musnid as-Sayyid
Ja’far bin Hasan al-Barzanj i
adalah MUFTI ASY-SYAFI` IYYAH di
Kota Madinah al-Munawwa rah.
Banyak perbedaan tentang tanggal wafatnya, sebagian menyebut beliau meninggal
pada tahun 1177 H. Imam az-Zubaidi dalam “al-Mu’jam al-Mukhtas h” menulis bahwa beliau wafat tahun 1184 H, dimana
Imam az-Zubaidi pernah berjumpa
dengan beliau dan menghadiri
majelis pengajiann ya di Masjid Nabawi
yang mulia.
Maulid karangan beliau ini adalah kitab maulid yang paling terkenal dan
paling tersebar ke pelosok negeri ‘Arab dan Islam, baik di Timur maupun di
Barat. Bahkan banyak kalangan ‘Arab dan ‘Ajam (luar Arab) yang
menghafaln ya dan mereka
membacanya dalam
waktu-wakt u tertentu.
Kandungann ya merupakan
khulaashah
(ringkasan ) sirah
nabawiyyah yang meliputi kisah
lahir baginda, perutusan baginda sebagai rasul, hijrah, akhlak,
peperangan sehingga kewafatan
baginda.
Wafat:
Beliau telah kembali ke rahmatulla h pada hari Selasa, setelah Asar,4 Sya’ban, tahun
1177 H (1766 M). Jasad beliau makamkan di Baqi’ bersama keluarga
Rasulullah saw.
Kitab maulid Barzanji sendiri telah disyarah
(dijelaska n) oleh
ulama-ulam a besar seperti Syaikh
Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ar i asy-Syadzi li al-Azhari yang mengarang kitab “al-Qawl
al-Munji ‘ala Mawlid al- Barzanji” dan Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz, Syeikh Muhammad
Nawawi al-Bantani al-Jawi
“Madaariju sh Shu`uud ila
Iktisaa-il Buruud”.