Saat ini, telah terjadi
fenomena di tengah masyarakat, adanya pemahaman baru yang dilontar oleh
sekelompok orang, agar umat Islam meninggalkan tradisi berziarah ke
tempat-tempat peninggalan Islam bersejarah, karena tradisi itu dianggap bukan
termasuk amalan yang disyariatkan oleh agama Islam. Hal semacam itu, kini mulai
marak terjadi, sebagaimana yang berkembang di negara Saudi Arabiah.
Sebagai ilustrasi, adalah
tradisi berziarah ke lembah Uhud, yang mana di tempat itu terdapat makam para
syuhada yang meninggal pada saat perang Uhud di jaman Rasulullah SAW. Berziarah
ke lembah Uhud ini adalah tradisi turun temurun yang telah ratusan tahun
dilakukan oleh hampir seluruh jamaah haji dan umrah, khususnya yang berasal dari
Indonesia.
Namun, kini di lembah Uhud,
tepatnya di depan pintu halaman makam Sayyidina Hamzah bin Abdil Mutthalib,
salah seorang panglima Islam dalam perang Uhud tersebut, terdapat beberapa
muthawwi\` asal Indonesia, yang ditugaskan oleh tokoh-tokoh beraliran Wahhaby
untuk menghadang serta menghalau jamaah haji dan Umrah yang berdatangan ke
tempat itu.
Muthawwi\` adalah sebutan
untuk polisi swasta di negara Saudi Arabiah. Di depan pintu makam Sayyidina
Hamzah, sang muthawwi\` berpidato dengan berapi-api seraya mengatakan, bahwa
kedatangan jamaah haji dan umrah ke lembah Uhud untuk berziarah ke makam
Sayyidina Hamzah tidaklah disyariatkan oleh Islam. karena itu, para jamaah haji
dan umrah yang datang ke lembah Uhud adalah sia-sia, dan tidak mendapatkan
pahala sedikitpun\", demikianlah kira-kira cuplikan pidato yang disampaikan oleh
sang muthawwi’. Dengan digalakkan pidato semacam itu, tentunya sebagian jama\`ah
haji dan umrah yang datang dari kalangan awam, menjadi terpengaruh dan
terpedaya.
Demikian itu, lantaran
mayoritas jamaah haji dan umrah adalah tergolong awam dalam memahami hakikat
syariat Islam, terlebih yang berkaitan dengan sejarah. Jika saja umat Islam mau
mempelajari sedikit lebih mendalam tentang hakikat ziarah ke lembah Uhud,
niscaya tidak akan mudah terpedaya oleh slogan-slogan pembodohan terhadap umat
semacam itu.
Mayoritas umat Islam
Indonesia adalah bermadzhab Sunni Syafi\`i. Madzhab ini salah satunya
mengajarkan betapa pentingnya upaya melestarikan budaya dan peninggalan para
leluhur yang telah berjuang menegakkan agama Allah. Salah satu ajarannya adalah
menganjurkan umat untuk menziarahi tempat-tempat bersejarah yang kental
kaitannya dengan pelestarian syariat Islam.
Demi menangkal pengaruh
negatif dari upaya pendangkalan aqidah, maka sudah selayaknya umat Islam membuka
ulang ajaran syariat Islam yang berstandar pemahaman para ulama salaf.
Di dalam kitab shahih
Muslim pada urutan hadits nomer 1393, diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa
Rasulullah SAW tatkala melihat gunung Uhud, beliau SAW bersabda yang artinya:
\"Sesungguhnya Uhud adalah gunung yang mencintai kita, dan kita juga
mencintainya \". Sedangkan dalam kitab shahih Bukhari pada urutan hadits nomer
3675, diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah SAW bersama shahabat
Abu Bakar Asshiddiq, Umar bin Khatthab, dan Utsman bin Affan ra, suatu saat
berziarah dan naik ke gunung Uhud, tiba-tiba gunung Uhud itu bergoncang dengan
sendirinya, lantas Rasulullah SAW bersabda yang artinya : \"Tenanglah wahai
Uhud, sesungguhnya di atasmu ada Nabi, Asshiddiq, dan dua orang (yang bakal)
mati syahid\" .
Jika diteliti dengan
seksama, maka masih banyak riwayat yang menerangkan keistimewaan ziarah ke
lembah Uhud. Kedatangan Rasulullah SAW bersama ketiga orang shahabat setianya ke
atas lembah Uhud, adalah sebagai bukti betapa mulianya amalan berziarah ke
lembah Uhud ini. Jadi mengikuti perilaku Rasulullah SAW untuk berziarah ke
gunung lembah adalah termasuk sunnah Nabi SAW.
Allah berfirman dalam surat
Al-ahzab ayat 21 yang artinya: \"Sungguh di dalam diri pribadi Rasulullah itu,
terdapat teladan yang baik bagi kalian \". Ayat ini bersifat umum, bahwa yang
dimaksud keteladanan pada diri Rasulullah SAW adalah meneladani setiap
gerak-gerik beliau SAW, termasuk yang bersifat manusiawi, seperti tata cara
makan, tata cara bepergian, kesenangan beliau SAW dalam memilih warna pakaian,
termasuk juga kedatangan beliau SAW ke gunung Uhud.
Pada ayat di atas, Allah
tidak membatasi misalnya \"fi ibadati rasulillahi uswatun hasanah\" (di dalam
ibadah Rasulullah, terdapat teladan yang baik), tetapi secara umum Allah
menyebutkan \"fi rasulillahi uswatun hasanah\" (pada diri pribadi Rasulullah
terdapat teladan yang baik).
Ayat ini menunjukkan bahwa
segala amalan umat Islam yang diniati mengikuti dan meneladani perilaku
Rasulullah SAW, adalah termasuk amalan sunnah yang diperintahkan oleh Allah.
Sedangkan umat Islam yang mengamalkan salah satu dari ayat suci Alquran, serta
mencontoh perilaku Rasulullah SAW, pasti tidak akan sia-sia baik di dunia
apalagi di akhirat, dan pasti mendapatkan pahala yang besar dari Allah. Karena
mengamalkan isi Alquran dan Hadits Nabi SAW inilah hakikat dari bersyariat
Islam.
Dari peristiwa ini, maka
semakin jelas bagi umat Islam adanya upaya pembodohan terhadap umat Islam, yang
dlakukan oleh para muthawwi\` yang kini gencar menghalangi-halangi para jamaah
haji dan umrah agar tidak berziarah ke lembah Uhud.
Padahal Rasulullah SAW
justru mengajak tiga orang shahabatnya untuk berziarah ke lembah Uhud, bukan
sekedar mendatangi lembahnya, melainkan mendaki gunung tersebut. Hal ini beliau
SAW lakukan, karena beliau SAW sangat mencintai gunung Uhud yang bersejarah itu.
Perlu diingat pula, bahwa Beliau SAW mendatangi lembah Uhud ini, karena tidak
lepas dari keberadaan makam pamanda Beliau SAW yang juga sangat dicintainya,
yaitu Sayyidina Hamzah bin Abdil Mutthalib ra. Untuk membuktikan argumentasi
ini, perlu kiranya membuka ulang peristiwa perang Uhud, yang terjadi pada
awal-awal tahun hijrah Rasulullah SAW ke kota Madinah. Karena disitulah Ummat
islam dapat mengenang Sayyidina Hamzah bin Abdil Mutthalib ra.
(Penulis adalah alumni
Makkah-Madinah 1983-1991, merangkap sebagai Pengasuh Ribath Almurtadla
Al-islami, Singosari Malang)
SAYYIDINA HAMZAH BIN ABDIL
MUTTHALIB,
PAMANDA RASULULLAH SAW
Rasulullah SAW memandang
dengan penuh duka dan kesedihan, tatkala menyaksikan penderitaan yang dialami
oleh Sayyidina Hamzah bin Abdil Mutthalib, sang pahlawan sekaligus sebagai
panglima perang Uhud, akibat tancapan tombak dan perbuatan mutilasi yang
dilakukan oleh Wahsyi si budak milik Hindun di saat perang Uhud berkecamuk.
Penderitaan itu pula yang
mengantarkan Sayyidina Hamzah ra menjadi syahid hingga mendapat predikat sebagai
pemimpin syuhada yang mati di medan peperangan. Beliau adalah pemimpin syuhada
di dunia maupun di akhirat.
Di saat Rasulullah SAW
berada dalam suasana duka dan kesedihan itu, beliau SAW bersumpah : \"Jikalau
ada kesempatan bagiku, maka akan aku cincang tujuh puluh orang dari mereka
orang-orang kafir Quraisy\". Namun, pada akhirnya Allah mengingatkan beliau SAW
dengan menurunkan firman-Nya agar membatalkan sumpahnya itu, sebagaimana yang
telah diterangkan dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, yang artinya : \"Jika kalian
akan membalas, maka balaslah senada dengan penyiksaan yang mereka lakukan
terhadap kalian, tetapi jika kalian bersabar maka hal itu lebih baik bagi
orang-orng yang sabar\" (surat An-nahl ayat 126).
Dengan turunnya ayat ini,
maka Rasulullah SAW lebih memilih bersabar dengan tidak membalas perilaku kaum
kafir Quraisy, sekalipun hati beliau dalam kedukaan yang sangat mendalam,
mengingat Sayyidina Hamzah, adalah satu-satunya pamanda beliau SAW yang
menyatakan masuk Islam secara terang-terangan, sekaligus ikut berjuang dan
berperang bersama Rasulullah SAW.
Demikianlah, sejak
peristiwa itu terjadi, maka setiap kali Rasulullah SAW berziarah ke makam
Sayyidina Hamzah ra, di lembah gunung Uhud, beliau SAW selalu mengucapkan salam
khusus : \"Assalamu \`alaikum bimaa shabartum fa ni\`ma \`uqbad daar\" (Selamat
atas dirimu dengan kesabaran yang engkau jalani, sesungguhnya balasan di akhirat
adalah kenikmatan yang terbaik).
Lihatlah, Rasulullah SAW
telah mengajarkan kepada umat Islam tentang bagaimana tata cara berziarah khusus
ke makam Sayyidina Hamzah sang pemimpin para syuhada, yaitu dengan cara
mengucapkan salam khusus yang disesuaikan dengan isi ayat Alquran, karena
turunnya ayat itu juga khusus untuk pamanda beliau SAW.
Bukankah ajaran Rasulullah
SAW tentang ziarah ke makam Sayyidina Hamzah ini, teramat istimewa dalam
pandangan syariat Islam? Tidakkah sangat naif jika para muthawwi\` yang
bertebaran di sekitar lembah Uhud, tiba-tiba mengkampanyekan keyakinan mereka
dengan mengatakan bahwa berziarah ke makam Sayyidina Hamzah tidaklah
disyariatkan di dalam Islam? Memang demikianlah ajaran yang selalu mereka
lontarkan di depan jamaah haji dan umrah asal Indonesia.
Permasalahan yang timbul,
jika keteladanan Rasulullah SAW dalam berziarah, baik ke gunung Uhud maupun ke
makam Sayyidina Hamzah, sudah tidak dianggap lagi sebagai amalan sunnah yang
disyariatkan di dalam Islam, maka apakah mereka akan mengatakan bahwa syariat
Islam yang benar adalah berteladan kepada pribadi pendiri aliran Wahhaby? Atau
mengikuti keyakinan para tokoh kontemporer beraliran Wahhaby Saudi Arabiah
lainnya?
Sebut saja misalnya
perilaku pelarangan kepada jamaah haji dan umrah, agar tidak berziarah ke lembah
Uhud, tidak berziarah ke makam Sayyidina Hamzah, tidak berziarah ke pemakaman
Baqi’, pemakaman Ma’la, tidak berziarah ke Masjid Quba, dan
pelarangan-pelarangan lainnya yang menjadi trade mark kaum Wahhaby. Kira-kira
yang semacam inikah ajaran syariat Islam yang sebenarnya?
Tentu, umat Islam dapat
menyimpulkan, serta mengambil sikap antara meneladani perilaku Rasulullah SAW,
yang beliau SAW sendiri melakukan ziarah ke lembah Uhud, atau mengikuti ajaran
Wahhaby yang justru melarang umat Islam berziarah ke tempat-tempat peninggalan
Islam bersejarah. Antara mengikuti ajaran Rasulullah SAW berziarah ke makam para
shalihin seperti Sayyidina Hamzah, yang mana beliau SAW juga memberi contoh bagi
umat, untuk mengucapkan salam khusus saat berziarah ke makam Sayyidina Hamzah
ra, atau meneladani tokoh-tokoh Wahhaby yang melarang umat Islam berziarah ke
makam Sayyidina Hamzah ra tersebut, dan yang mengatakan bahwa ziarah ke makam
para shalihin bukan termasuk amalan sunnah yang disyariatkan Islam.
Untuk selanjutnya, semoga
Allah selalu memberi petunjuk kepada seluruh umat Islam Indonesia, yang tetap
teguh memegang madzhab Sunni Syafi’i, sehingga keutuhan dan persatuannya sebagai
penghuni mayoritas di negeri ini, akan tetap lestari untuk selamanya. Allahumma
amiin. (PejuangIslam via Ganjar Aja Setiawan).
Sumber :
http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=33