Dalam tulisan kami sebelumnya
pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/09/07/ klaim-merek a/ telah disampaika n oleh Fatwa Al-Lajnah
Ad-Da`imah lil Buhuts
Al-’Ilmiyy ah wal Ifta` (Komite
Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) kerajaan dinasti Saudi bahwa Imam Baihaqi,
Imam Nawawi maupun Ibnu Hajar dalam memahami ayat-ayat
mutasyabih at tentang sifat Allah
telah terjatuh/ tergelincir pada penakwilan terhadap sifat-sif at Allah. Pendapat mereka bahwa pemahaman tersebut
tidak sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh. Pada kenyataany a yang dimaksud oleh mereka tidak sesuai dengan
pemahaman Salafush Sholeh adalah tidak sesuai dengan pemahaman ulama Ibnu
Taimiyyah dan para pengikutny a
dalam memahami lafaz/ tulisan perkataan
Salafush Sholeh.
Pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah dan para pengikutny a dengan istilah mereka sebagai "tanpa tahrif
, tanpa tathil, tanpa tamstil/ tasybih
dan tanpa takyif" pada dasarnya adalah memahami ayat-ayat
mutasyabih at tentang sifat Allah
berdasarka n pemahaman secara
dzahir atau secara harfiah yang kami sebut sebagai pemahaman dengan
metodologi
“terjemahk an saja”
sebagaiman a yang telah
disampaika n dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/09/07/ 2011/02/02/ terjemahkan -saja/ Padahal ulama-ulam a terdahulu telah memperinga tkan kita antara lain
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi”
mengatakan “Ia
(ayat-ayat
mutasyabih at) memiliki
makna-makn a khusus yang berbeda
dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa
sebagaiman a makna yang selama
ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu
‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi
Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis
mutasyabih at, karena hal itu
salah satu pangkal kekufuran” .
Begitupula kita
seharusnya
memperhati kan
peringatan yang
disampaika n oleh khataman Khulafaur
Rasyidin, Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat
Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi
orang-oran g kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab
kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena
pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena
pengingkar an. Mereka
mengingkar i Pencipta mereka
(Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.” (Imam Ibn
Al-Mu’alli m
Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam
Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm
Al-Mu’tadi ).
Tulisan kali ini menyoroti kembali fatwa Al-Lajnah
Ad-Da`imah lil Buhuts
Al-’Ilmiyy ah wal Ifta` (Komite
Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) kerajaan dinasti Saudi yang
disampaika n oleh Ustadz Abu
Karimah 'Askari bin Jamal Al Bugisi, Murid Ulama Muqbil bin Hadi Al Wadi'i,
Yaman. Ustadz Abu Karimah ‘Askari adalah yang berselisih pemahaman dengan ustadz Firanda walaupun mereka
berdua sama mengaku-ak u
mengikuti pemahaman Salafush
Sholeh sebagaiman a terurai dalam
tulisan pada http:// www.salafyb pp.com/ categoryblo g/ 97-dusta-fi randa-dite ngah-badai -fitnah-ya ng-sedang- melanda-ba g1.html
Fatwa Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa yang
disampaika n oleh Ustadz Abu Karimah,
kami ambil dari dari situs : http:// www.darussa laf.or.id/ stories.php ?id=33
Berikut kutipannya ,
***** awal kutipan *****
Jawab: "Do'a jama'i setelah Imam mengucapka n salam dengan serempak, tidak ada asalnya yang
menunjukka n bahwa amalan ini
disyari'at kan. Dan Dewan Riset
dan Fatwa memberikan jawaban sebegai
berikut:
"Do'a sesudah shalat fardlu dengan mengangkat kedua tangan baik oleh Imam maupun ma`mum,
sendirian atau bersama-sa ma, bukanlah sunnah. Amalan ini adalah bid'ah yang
tidak ada keterangan nya
sedikitpun dari Nabi
shallallah u 'alaihi wa 'ala
alihi wa sallam dan para sahabatnya radliyalla hu 'anhum. Adapun do'a tanpa hal-hal demikian,
boleh dilakukan karena memang ada keterangan nya dalam beberapa hadits. Wabillahi taufiq.
Semoga shalawat tetap tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan
para sahabatnya . (Lajnah Daimah).
Pada bagian lain, Lajnah menjawab:" Do'a dengan suara keras setelah shalat lima waktu,
ataupun sunnah rawatib. Atau do'a-do'a sesudahnya dengan cara berjama'ah dan terus-mene rus dikerjakan merupakan perbuatan bid'ah yang munkar. Tidak ada
keterangan
sedikitpun dari Nabi
shallallah u 'alaihi wa 'ala
alihi wa sallam tentang hal ini, juga para sahabatnya radliyalla hu 'anhum. Barangsiap a yang berdo'a setelah selesai shalat fardlu atau
sunnah rawatibnya dengan cara
berjama'ah , maka ini adalah
menyelisih i Ahlus Sunnah wal
Jama'ah. Dan apabila mereka menganggap orang yang mengingkar i hal ini atau tidak berbuat
sebagaiman a yang mereka lakukan
sebagai orang kafir atau bukan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, maka ini adalah
kebodohan dan kesesatan serta memutarbal ikkan kenyataan yang ada. (Lajnah Daimah, lihat Fatwa
Islamiyah 1/318-319)
***** akhir kutipan *****
Namun disisi lain kami mendapatka n keterangan dari http:// www.voa-isl am.com/ islamia/ ibadah/ 2011/01/12/ 12739/ menjaharkan -dzikir-se sudah-shal at-fardhu- ternyata-s unnah/ sebagai berikut
***** awal kutipan *****
Fatwa Syaikh Ibnu Bazz
Al-‘Allama h Syaikh
Ibnu Bazz pernah ditanya tentang sunnah dzikir sesudah shalat, mana yang sesuai
sunnah, mengeraska n dzikir atau
melirihkan nya?
Beliau menjawab: Yang sunnah adalah menjaharka n dzikir sesudah shalat lima waktu dan sesudah
shalat Jum’at ba’da salam. Hal itu didasarkan hadits dalam Shahihain, dari Ibnu Abbas radhiyalla hu 'anhuma bahwa mengeraska n suara dzikir sesudah manusia selesai
melaksanak an shalat wajib sudah ada
pada zaman Nabi shallallah u
'alaihi wasallam. Ibnu Abbas berkata, “Aku
mengetahui kalau mereka sudah
selesai shalat apabila aku mendengarn ya.” (Kumpulan pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Ibnu Bazz oleh Muhammad
al-Syayi’)
Dalam Jawaban lain, beliau berkata: “Telah disebutkan dalam kitab shahihain, dari
riwayatnya Ibnu Abbas
radhiyalla hu 'anhuma,
“Sesungguhn ya
mengeraska n dzikir saat selesai
dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallah u 'alaihi wasallam“. Ibnu Abbas juga
mengatakan : “Aku tahu
selesainya shalat mereka itu, saat aku
mendengar (suara dzikir) itu.”
Hadits shahih ini dan hadits-had its semakna lainnya yang berasal dari hadits Ibnu
Zubair, dan Al-Mughira h bin Syu’bah
radhiyalla hu 'anhuma dan
lainnya, semuanya menunjukka n disyariatk annya mengeraska n dzikir ketika orang-oran g selesai shalat wajib, yang kira-kira sampai
terdengar oleh orang-oran g yang
berada di pintu-pint u dan di
sekitar masjid, sehingga mereka tahu selesainya shalat (jama’ah) dengan (kerasnya suara dzikir)
itu. (Tapi) bagi orang yang didekatnya ada orang lain yang sedang
menyelesai kan
shalatnya, maka sebaiknya ia
memelankan sedikit suaranya,
agar tidak mengganggu mereka,
karena adanya dalil-dali l lain
yang menerangka n hal itu.
Dalam tuntunan mengeraska n dzikir ketika para jamaah selesai shalat wajib
ini, ada banyak manfaat, diantarany a:
1. Menampakka n pujian kepada
Allah Ta’ala yang telah memberikan mereka kenikmatan bisa menjalanka n kewajiban yang agung ini.
2. Dan (sebagai sarana untuk) mengajari orang yang jahil dan
mengingatk an orang yang lupa. Jika
saja tidak ada hal itu, tentunya sunnah ini akan jadi samar bagi banyak orang.
Wallahu waliyyut taufiq.
Syaikh Shalih al-Fauzan
Beliau ditanya tentang menjaharka n doa dan dzikir secara umum, dan sesudah shalat secara
khusus? Apakah doa dan dzikir itu dengan keras, lirih, atau di antara
keduanya?
Beliau menjawab, “Doa yang dicontohka n dari Nabi shallallah u 'alaihi wasallam dan yang
disyari’at kan, seseorang diberi
pilihan antara menjaharka nnya
atau melirihkan nya. Allah Ta’ala
berfirman,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا
وَخُفْيَةً
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang
lembut.” (QS. Al-a’raf: 55)
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui yang lirih dan tersembuny i. Engkau boleh berdoa dengan keras dan lirih,
kecuali apabila menjaharka nnya
bisa mengganggu orang
disekitarm u; yang tidur, shalat,
atau yang sedang membaca Al-Qur’an al-Karim, maka engkau harus
melirihkan suaramu. Atau apabila
kamu takut tumbuh riya’ dan sum’ah dalam dirimu, maka engkau lirihkan suaramu
dalam berdoa, karena hal ini lebih bisa menjadikan ikhlas.
Perlu diperhatik an,
bahwa mengeraska n di sini bukan
dengan suara bersama-sa ma
(koor), sebagaiman a yang
dilakukan sebagian orang. Setiap orang berdoa untuk dirinya dengan lirih dan
keras. Adapun berdoa dengan berjama’ah (bersama-s ama), maka termasuk bid’ah.
Sedangkan dzikir sesudah shalat, maka yang sunnah adalah
menjaharka nnya sesuai dengan
hadits-had its shahih yang
menyebutka n bahwa para sahabat
menjaharka n dzikir sesudah shalat;
tahlil dan ihtighfar sesudah salam sebanyak tiga kali, lalu membaca:
اللَّهُمَّ
أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ
السَّلَامُ
تَبَارَكْت َ يَا ذَا
الْجَلَالِ
وَالْإِكْر َامِ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ
وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
sampai akhir dari dzikir-dzi kir yang dicontohka n, maka membacanya dengan keras. Tapi dengan
sendiri-se ndiri, bukan dengan
berjamaah (bersama-s ama)
sebagaiman a yang kami sebutkan
di awal. Dzikir berjama’ah ini
termasuk perkara bid’ah (yang diada-adak an). Setiap orang berdzikir
sendiri-se ndiri dan
mengeraska nnya sesudah shalat.”
(al-Muntaq a’ min Fatawa
al-Fauzan: Juz 3)
***** akhir kutipan *****
Pada kesimpulan
akhirnya penulis tulisan tersebut menuliskan “Pendapat yang menganjurk an untuk mengeraska n dzikir sesudah shalat sesuai dengan dzahir
hadits. Maka, sebagaiman a kaidah
Ushul Fiqih bahwa makna dzahir harus lebih didahuluka n dan diamalkan sehingga ada dalil kuat lainnya yang
me-nasakh-nya, atau men-takhshish-nya atau
men-takwil-nya. Dan tidak
didapatkan adanya dalil kuat
yang menerangka n, bahwa
dikeraskan nya dzikir setelah shalat
wajib itu hanya untuk sementara waktu saja.”
Jadi kesimpulan mereka
dengan cara memaknai hadits secara dzahir (harfiah) atau
sebagaiman a yang tertulis maka
sunnah Rasulullah adalah
mengeraska n dzikir sesudah
shalat secara sendiri-se ndiri dan
tidak secara berjam’ah.
Bagaimana kenyataann ya ?
Apakah mereka ada mengikuti sunnah Rasulullah mengeraska n dzikir secara sendiri-se ndiri ?
Apakah mereka lebih memilih melirihkan dzikir daripada sunnah
Rasulullah
mengeraska n dzikir?
Ataukah mereka ada yang beranggapa n sunnah Rasulullah mengeraska n dzikir bertentang an dengan firman Allah ta’ala yang artinya
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.”
(QS. Al-a’raf: 55)
Dzikir berjamaah
adalah tolong menolong dalam amal kebaikan. Jika salah satu saja peserta atau
pemimpin dzikir dapat menghantar kan dzikir sampai (wushul) kepada Allah Azza wa
Jalla maka seluruh peserta dzikir akan mendapatka n kebaikanny a bahkan orang yang hanya sekedar duduk bergabung
dalam dzikir berjamaah tersebut juga akan mendapatka n kebaikan.
Dalam sebuah hadits qudsi Abu Hurairah ra meriwayatk an bahwa Nabi Shalllahu alaihi wasallam bersabda
“Sesungguh nya Allah SWT
memiliki beberapa malaikat yang seringkali berkelilin g untuk mencari majelis
orang-oran g berzikir.
Maka,ketik a mereka menemukan
sekelompok orang yang berzikir,
para malaikat menghampir i mereka
dan saling mengepakka n sayapnya
sembari berputar-p utar hingga
mereka berada di antara ahli zikir dan langit. Saat orang-oran g yang berzikir itu bubar, para malaikat kembali
dan naik ke langit. Kemudian Allah bertanya kepada para malaikat – sedangkan
Allah lebih mengetahui daripada
mereka,'Ka lian datang dari
mana?' Mereka menjawab, 'Kami datang dari majelis hamba-hamb a-Mu di bumi. Mereka bertasbih, bertahlil, bertakbir, bertahmid, bertahlil dan berdo'a kepada Engkau' Allah
bertanya,' Apa yang mereka minta
kepada-Ku? ' Para malaikat
menjawab, 'Mereka mengharap surga-Mu.' Allah berkata, 'Apakah mereka bisa melihat
surga-Ku?' Para malaikat
menjawab, 'Tidak, wahai Tuhan.' Allah berfirman, 'Bagaimana jika mereka bisa melihat
surga-Ku?' Malaikat menjawab,
'Mereka akan memohon perlindung an kepada Engkau.' Allah bertanya, 'Meminta
perlindung an dari apa?' Mereka
menjawab, 'Dari neraka, wahai Tuhan.' Allah bertanya, 'Apakah mereka melihat
neraka-Ku? ' Para malaikat
menjawab, 'Tidak,wah ai Tuhan.'
Allah bertanya, 'Bagaimana jika
mereka bisa melihatnya ?' Para
malaikat menjawab, 'Mereka akan memohon ampunan-Mu .' Allah berfirman, 'Aku telah mengampuni dosa mereka, mengabulka n permintaan mereka, dan memberikan perlindung an kepada mereka.' Para malaikat berkata, 'Ya
Tuhan,di dalam majelis zikir itu terdapat fulan, ia sering melakukan perbuatan
maksiat. Sebenarnya , ia hanya
kebetulan lewat kemudian duduk bergabung dengan mereka.' Allah
berfirman, 'Aku juga
mengampuni dosanya. Mereka (ahli
zikir) itu tidak tenodai oleh teman duduk mereka.” (HR Muslim)
Cara paling mudah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya yang telah dilakukan oleh
Rasulullah dan para Salafush
Sholeh adalah dengan mengetahui
dzikir yang dilakukan oleh para Habib dan para Sayyid pada umumnya karena para
Habib dan para Sayyid yang merupakan keturunan cucu Rasulullah , mereka mendapatka n pengajaran langsung dari orang tua-orang tua mereka
terdahulu yang mendapatka n
pengajaran langsung dari
keluarga Rasulullah . Bahkan Imam
Sayyidina Ali ra mendapatka n
didikan langsung dari Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam.
Dalam masalah teknis pelaksanaa n ibadah dapat kita analogikan dengan belajar berenang. Mana yang lebih baik
hasilnya, belajar berenang melalui pemahaman tulisan/ buku petunjuk cara berenang atau belajar berenang
melalui didikan langsung oleh pelatih renang.
Begitupula dalam teknis
pelaksanaa n sholat
segelintir umat Islam yang
mengikuti berdasarka n pemahaman
ulama Al Albani yang diperolehn ya dari upaya beliau memahami
lafaz/ tulisan hadits sedangkan
beliau tidak dikenal oleh jumhur ulama mempunyai kompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga
kemungkina n
kesalahpah amannya semakin
besar. Contoh pendapat ulama Al-Albani. (Kitab Sifat Shalat Nabi halaman 140) bahwa
menggerakk an jari dilakukan sepanjang
membaca lafadz Tasyahhud dengan contoh pada http:// www.youtube .com/ watch?v=ze8 j_wX7Guw
Kajian selengkapn ya
tentang perihal berisyarat dengan jari
telunjuk diuraikan dalam tulisan pada http:// albanjari.e ramulti.co m/ berisyarat- dengan-jar i-telunjuk . Terlebih lagi beliaupun ada
mengingkar i hadits
Rasulullah
sebagaiman a contohnya yang diuraikan
dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/22/ tidak-cukup / dan terhadap hadits-had it lain diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2010/04/ inilahahlus sunnahwalj amaah.pdf
Lebih mudah dan selamat mengikuti teknis pelaksanaa n sholat mengikuti apa yang dilakukan oleh para
Habib dan para Sayyid karena mereka mendapatka n pengajaran langsung dari orang tua-orang tua mereka
terdahulu yang mendapatka n
pengajaran langsung dari
keluarga Rasulullah . Bahkan Imam
Sayyidina Ali ra mendapatka n
didikan langsung dari Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam.
Kadang ketakutan umat Islam dalam mengikuti apa yang telah
disampaika n oleh Imam Sayyidina
Ali ra terlampau berlebihan yang
semua itu dikarenaka n fitnah
orang dari kaum (zionis) Yahudi sehingga takut dikatakan sebagai pengikut Syiah
khususnya mereka yang membenci Khulafaur Rasyidin lainnya.
Sebagaiman a yang
ditanyakan oleh Imam ‘Ali رضي
الله عنه berkata: aku bertanya: Wahai Rasulullah ! Apakah ciri-ciri mereka? Baginda صلى الله عليه وآله
وصحبه وسلم bersabda: “Mereka menyanjung imu dengan sesuatu yang tidak ada padamu”
Padahal Imam Sayyidina Ali ra adalah khataman Khulafaur Rasyidin yang
menyampaik an secara mendalam dan rinci
bagaimana cara mencapai muslim yang Ihsan.
Apakah Ihsan ?
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَا نُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ
فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah , apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut
(takhsya / khasyyah) kepada
Allah seakan-akan kamu melihat-Ny a, maka jika kamu tidak
melihat-Ny a maka
sesungguhn ya Dia
melihatmu. ’ (HR Muslim 11) Link: http:// www.indoqur an.com/ index.php?s urano=2&ay atno=3&act ion=displa y&option=c om_muslim
Rasulullah bersabda
“Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaim u dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Ada dua kondisi yang dicapai oleh muslim yang ihsan atau muslim yang
telah berma’rifa t
Kondisi minimal adalah mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa
Jalla
Kondiri terbaik adalah mereka yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan
hati (ain bashiroh)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang
sahabatnya bernama Zi’lib
Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana
saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda
melihat-Ny a?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan
manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau
melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah- Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan,
baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Ny a? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang
memandang, tapi dilihat dengan hati
yang penuh Iman.”
Muslim yang telah mencapai Ihsan atau muslim yang telah
berma'rifa t, minimal mereka yang
selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau yang terbaik mereka yang
dapat melihat Allah dengan hati maka mereka mencegah dirinya dari melakukan
sesuatu yang dibenciNya ,
menghindar i perbuatan maksiat,
menghindar i perbuatan keji dan
mungkar hingga terbentukl ah
muslim yang berakhlaku l karimah
sesuai dengan tujuan Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam diutus
oleh Allah Azza wa Jalla
Rasulullah
menyampaik an yang maknanya
“Sesungguhn ya aku
diutus (Allah) untuk menyempurn akan
Akhlak.” (HR Ahmad).
Jadi pada hakikatnya
ghazwul fikri yang dilakukan oleh kaum Zionis Yahudi melalui
pusat-pusa t kajian Islam yang
mereka dirikan atau melalui orang-oran g yang telah “dibentuk” oleh mereka adalah menjauhkan umat Islam dari apa yang telah
disampaika n oleh Imam Sayyidina
Ali ra atau dengan kata lain menjauhka n umat Islam dari tentang Ihsan. Dari sinilah
sumber terjadinya kerusakan
akhlak pada segelintir kaum
muslim sama bahayanya dengan upaya perusakan akhlak melalui
pornografi , sex bebas, miras,
narkoba, gaya hidup bebas, hedonisme, sekulerism e, pluralisme , liberalism e , dll .
Pengetahua n tentang
Ihsan ada pada Tasawuf dalam Islam. Dalam kurikulum perguruan tinggi Islam,
sejak dahulu kala, tasawuf adalah pendidikan akhlak yakni jalan (thariqat) untuk menjadi muslim yang Ihsan. Hal ini telah
diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/01/16/ 2010/06/07/ pendidikan- akhlak/
Cobalah tanyakan kepada koruptor, apakah mereka takut dengan neraka.
Pastilah mereka akan menjawab bahwa mereka takut akan siksa neraka. Namun mereka
tidak takut bahwa perbuatan korupsi mereka telah dilihat Allah Azza wa Jalla
karena mereka tidak pernah sampai pengetahua n tentang Ihsan sehingga mereka tidak mempunyai
keyakinan bahwa segala sikap dan perbuatan mereka selalu dilihat oleh Allah Azza
wa Jalla, setiap saat, dan Dia tidak tidur sebagaiman a firmanNya yang artinya “Dia yang Maha Hidup,
yang terus menerus mengurus (makhlukNy a), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik Nya apa yang
dilangit dan apa yang di bumi” (Qs Al Baqarah [2]:255)
Begitupula dengan
penguasa negeri kita yang telah diingatkan oleh para ulama bahwa “Negara dinilai tidak
hadir untuk melindungi segenap
kehidupan warganya. Bahkan retorika yang disampaika n pemerintah lebih banyak berbau
kebohongan“. Bohong adalah tidak sesuai perkataan
dengan kenyataann ya. Bohong
adalah termasuk akhlak buruk dan yang melakukann ya pada hakikatnya karena tidak tahu tentang Ihsan atau tidak meyakini
bahwa sikap dan perbuatan mereka dilihat oleh Allah Azza wa Jalla.
Apakah penguasa negeri kita telah dengan nyata
melindungi rakyatnya di Ambon, Papua
maupun rakyatnya yang terkena bencana lumpur Sidoarjo ?
Bandingkan lah dengan
akhlak yang diperlihat kan oleh
Khalfiah Umar ra berikut kutipannya
Khalifah Umar ra menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya
ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih
terbelalak tak percaya, Khalifah
Umar ra berteriak, “Apakah kau memasak
batu?”
Perempuan itu menjawab dengan mengangguk kan kepala.
“Buat apa?”
Dengan suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab
pertanyaan Umar, “Aku memasak
batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar. Ia tidak
mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum.
Lihatlah aku. Aku seorang janda miskin. Sejak dari pagi tadi, aku dan
anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan
ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah petang
tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong.
Aku mengumpulk an batu-batu
kecil, memasukkan nya ke dalam
panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk
membohongi anakku, dengan
harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena
lapar, sebentar-s ebentar ia bangun dan
menangis minta makan.
Ibu itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutka n, “Namun apa dayaku? Sungguh Khalifah Umar tidak
pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan
rakyatnya. ”
Dengan air mata berlinang Khalifah Umar bangkit dan mengajak
Sahabatnya untuk kembali ke
kota. Tanpa istirahat lagi, Umar segera memikul gandum di
punggungny a, untuk diberikan kepada
janda tua yang sengsara itu.
Karena Khalifah Umar terlihat keletihan, Sahabatnya berkata, “Wahai Khalifah Umar, biarlah aku saja yang
memikul karung itu….”
Dengan wajah merah padam, Khalifah Umar menjawab “Jangan
jerumuskan aku ke dalam neraka.
Engkau akan menggantik an aku
memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini
di hari pembalasan kelak?”
Begitu pula yang terjadi dengan pihak eksekutif, yudikatif, legislatif negeri ini. Pada hakikatnya kebijakan dan implementa sinya dalam memenuhi amanat rakyat hanya
berdasarka n
kesepakata n di antara mereka semata.
Mereka tidak menyadari tentang Ihsan, tidak menyadari bahwa Allah Azza wa Jalla
melihat sikap dan perbuatan mereka.
Contohnya mereka telah menyetujui undang-und ang nomor 44 tahun 2008 tentang
pornografi pada tanggal 26
November 2008 namun kenyataann ya
keping-kep ing video porno masih
saja tersebar dengan bebasnya di negeri tercinta ini. Mereka dapat
terjerumus dalam
kemunafika n, berbeda antara yang
dikatakan dengan kenyataann ya.
Begitupula dalam
penegakkan hukum hanya
berdasarka n
interpreta si dan
kesepakata n antar manusia belaka
menyesuaik an dengan
kepentinga n pihak yang akan
“dimenangk an”. Bisa dilakukan
dengan penggiring an “opini”
maupun pencitraan hal ini sesuai
dengan “target kerja” kaum Zionis Yahudi
Protokol Zionis yang kelimabela s
…Dibawah pengaruh kita, pelaksanaa n hukum kaum non_yahudi harus dapat diredusir seminim mungkin.
Penghormat an kepada hukum harus
dirongrong dengan cara
interpreta si sebebas mungkin
sesuai dengan apa yang telah kita perkenalka n pada bidang ini. Pengadilan akan memutuskan apa yang kita dikte, bahkan dalam
kasus-kasu s yang mungkin
mencakup prinsip-pr insip dasar atau
isu-isu politik melalui jalur pendapat surat kabar dan jalur lainnya.
Oleh karenanya para penguasa negeri yang muslim sebaiknya janganlah
menjadikan Amerika maupun
sekutunya yang dibelakang mereka
semua adalah kaum Zionis Yahudi sebagai "teman kepercayaa n", penasehat, pelindung, pemimpin.
Taatilah para ulama yang terhimpun dalam Majelis Ulama, mereka yang
mentaati Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Allah Azza wa Jalla memperinga tkan kita dengan firmanNya yang artinya
“Hai orang-oran g
yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaa nmu orang-oran g yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hent inya (menimbulk an) kemudharat an bagimu. Mereka menyukai apa yang
menyusahka n kamu. Telah nyata
kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyi kan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.
Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu
memahaminy a” , (QS Ali Imran,
118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak
menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kita b semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka
berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri , mereka menggigit ujung jari antaran marah
bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena
kemarahanm u itu”.
Sesungguhn ya Allah
mengetahui segala isi hati“. (QS
Ali Imran, 119)
Ironis yang terjadi di wilayah kerajaan dinasti Saudi, mereka
menjadikan Amerika sebagai teman
kepercayaa n,
pelindung,
penasehat. Contoh paling mudah
untuk diketahui bahwa mereka menyusun kurikulum pendidikan agama bekerjasam a dengan Amerika yang dibelakang nya adalah kaum Zionis Yahudi ,
sebagaiman a yang terurai dalam tulisan
pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/02/07/ muslim-buka nlah-ekstr imis/ Inilah salah satu "pintu masuk"
ghazwul fikri (perang pemahaman)
yang dilancarka n oleh kaum
Zionis Yahudi dan kesalahpah aman-kesal ahpahaman tersebut menyebar luas ke
negeri-neg eri kaum muslim
melalui perantaraa n beasiswa
pendidikan di wilayah kerajaan dinasti
Saudi.
Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani dalam
makalahnya dalam pertemuan
nasional dan dialog pemikiran yang kedua, 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H di Makkah al Mukarromah , menyampaik an bahwa dalam kurikulum tauhid kelas tiga
Tsanawiyah (SLTP) cetakan tahun
1424 Hijriyyah di Arab Saudi berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Sufiyyah
(aliran–al iran tasawuf) adalah
syirik dan keluar dari agama. Kutipan makalah selengkapn ya ada pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2010/08/18/ ekstrem-dal am-pemikir an-agama/
Dalam beberapa tulisan berturut-t urut, kami telah menghimbau untuk menggigit As Sunnah dan sunnah Khulafaur
Rasyidin berdasarka n pemahaman
pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid) / Imam Mazhab dan penjelasan dari para pengikut
Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as
Sunnah. Janganlah memahaminy a
dengan akal pikiran sendiri atau mengikut pemahaman ulama yang tidak dikenal
berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid
Mutlak. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/31/ gigitlah-as -sunnah/
Sebaiknya kita mengambil ilmu dari mulut ulama bermazhab dan sholeh. Hal ini
telah kami uraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/02/ dari-mulut- ulama/
Kita sebaiknya menghindar i
kitab ulama yang belajar sendiri dan tidak bermazhab hal ini telah kami uraikan
dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/03/ kitab-tidak -bermazhab /
Salah satu cara mempertaha nkan sanad ilmu atau sanad guru adalah dengan
mengikuti pendapat/ pemahaman
pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat
dan penjelasan dari para pengikut Imam
Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as
Sunnah.
Permasalah an yang terjadi
pada Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyy ah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan
Fatwa) adalah mereka tidak lagi mengikuti pendapat pemimpin ijtihad kaum muslim
(Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat. Mereka lebih
menyandark an pada pemahaman
ulama Ibnu Taimiyyah, ulama Ibnu
Qoyyim Al Jauziah, ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau bahkan mungkin pemahaman
ulama Al Albani, padahal mereka oleh jumhur ulama tidak dikenal
berkompete nsi sebagai Imam
Mujtahid Mutlak atau Imam Mazhab. Memang ada Imam Mazhab yang lain selain yang
berempat namun pada akhirnya pendapat / pemahaman mereka karena tidak
komprehensiv e atau tidak
menyeluruh sehingga kaum muslim
mencukupka nnya pada Imam Mazhab
yang empat. Contoh ulama yang masih berpegang teguh kepada
pemahaman/ pendapat Imam Mazhab
adalah Mufti Mesir Profesor Doktor Ali Jum`ah sebagaiman a contoh yang terurai dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/30/ hukum-penut up-muka/
Ulama yang tidak mau bermazhab , pada hakikatnya telah memutuskan rantai sanad ilmu atau sanad guru, berhenti pada
akal pikirannya sendiri dimana
didalamnya ada unsur hawa nafsu
atau kepentinga n
Sanad ilmu (sanad guru) sama pentingnya dengan sanad hadits.
Sanad hadits mempertany akan atau menganalis a dari mana matan/ redaksi hadits tersebut diperoleh sampai kepada lisannya
Rasulullah
Sedangkan sanad ilmu (sanad guru) mempertany akan atau menganalis a dari mana penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah tersebut diperoleh sampai
kepada lisannya Rasulullah
Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu
kebanggaan Islam dan umat.
Karena sanad inilah Al-Qur’an dan Sunah Nabawiyah terjaga dari distorsi ataupun
serangan ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilakukan kaum kafir dan munafik atau
tercampurn ya dengan hawa nafsu. Karena
sanad inilah warisan Nabi tak dapat diputar balikkan.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah
bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa
saja yang diinginkan nya.”
(Diriwayat kan oleh Imam Muslim
dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47
no:32 )
Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimulla h mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang
yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustami y , quddisa sirruh (Makna tafsir
QS.Al-Kahf i 60) ;
“Barangsiap a tidak memiliki
susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya
syetan” Tafsir Ruhul-Baya n
Juz 5 hal. 203
Tulisan kali ini kami akhiri dengan nasehat Imam Mazhab tentang
pentingnya tasawuf dalam Islam
atau pentingnya
pendidikan akhlak.
Imam Malik ra menyampaik an
nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa
mempelajar i fikih (perkara
syariat) rusak keimananny a ,
sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalka n Tasawuf rusaklah dia ., hanya dia siapa memadukan
keduanya terjamin benar” .
Imam Syafi’i ra menyampaik an
nasehat (yang artinya) ,”Berusahala h engkau menjadi seorang yang
mempelajar i ilmu fiqih dan juga
menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhn ya demi
Allah saya benar-bena r ingin
memberikan nasehat padamu. Orang
yang hanya mempelajar i ilmu
fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan
kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu
mempelajar i ilmu fiqih, maka bagaimana
bisa dia menjadi baik (ihsan)?”
[Diwan Al-Imam Asy-Syafi' i,
hal. 47]
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830