PERTANYAAN
:
Apakah wajib bagi seorang
anak memenuhi wasiat orang tua nya yang melanggar hukum agama ? [Ahmad
Riandy].
JAWABAN
:
Tidak boleh melakukan
wasiyat yang justru melanggar syariat, siapapun pemberi wasiyat itu. Tidak ada
ketaatan untuk bermaksiyat / mendurhakai Alloh.
SEKEDAR BUAT PERHATIAN BAGI
KITA SAAT KELAK MENJADI ORANG TUA DARI ANAK-ANAK KITA
قال
تعالى: { أَطِيعُوا اللَّهَ } أي: اتبعوا كتابه { وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ } أي:
خذوا بسنته { وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ } أي: فيما أمروكم به من طاعة الله لا في
معصية الله، فإنه لا طاعة لمخلوق في معصية الله، كما تقدم في الحديث الصحيح: "إنما
الطاعة في المعروف". وقال الإمام أحمد: حدثنا عبد الرحمن، حدثنا همام، حدثنا قتادة،
عن أبي مرابة، عن عمران بن حصين، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "لا طاعة في
معصية الله" (6) . (6) المسند (4/426).
Allah Ta’ala berfirman “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu” (QS. 4:59) dalam apa yang mereka perintahkan pada kalian dalam
ketaatan pada Allah bukan dalam maksiat pada Allah karena tidak ada ketaan pada
makhluk dalam menjalani maksiat pada Allah seperti dalam keterangan hadits
shahih lalu “Sesungguhnya ketaatan hanya pada kebaikan”. Imam Ahmad berkata
“Bercerita padaku Abdur rahman dari Hammam dari Abu Muraabah Imran Bin Husein
dari Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam “Tidak ada ketaatan dalam
maksiat pada Allah” (HR. Ahmad dalam Musnadnya IV/426). [ Tafsiir Ibn Katsiir
II/345 ].
وَمَذْهَبُ
الْحَنَابِلَةِ فِي ذَلِكَ كَمَذْهَبِ الشَّافِعِيَّةِ حَيْثُ صَرَّحُوا بِأَنَّهُ
لاَ طَاعَةَ لِلْوَالِدَيْنِ فِي تَرْكِ تَعَلُّمِ عِلْمٍ وَاجِبٍ يَقُومُ بِهِ
دِينُهُ مِنْ طَهَارَةٍ وَصَلاَةٍ وَصِيَامٍ ، وَإِنْ لَمْ يَحْصُل مَا وَجَبَ
عَلَيْهِ مِنَ الْعِلْمِ بِبَلَدِهِ فَلَهُ السَّفَرُ لِطَلَبِهِ بِلاَ إِذْنِ
أَبَوَيْهِ (1) .
(1)
الفتاوى الهندية 2 / 189 ، 5 / 365 ، 366 ط . الأميرية 1310 هـ حاشية الدسوقي 2 /
175 ، 176 ، حاشية العدوي على شرح الخرشي 3 / 111 حاشية الجمل 5 / 190 ، 191 ، كشاف
القناع 3 / 45 ، الإنصاف 4 / 123 .
Dan kalangan madzhab
Hanabilah sama dengan kalangan Syafi’iyyah mengenai hal tersebut, mereka
menjelaskan tidak ada ketaatan pada kedua orang tua dalam perintah meninggalkan
mencari ilmu yang wajib ia kuasai untuk menegakkan agamanya seperti masalah
bersuci, shalat, dan puasa. Bila pengetahuan mengenai hal-hal tersebut tidak
mampu ia dapatkan didaerahnya maka wajib baginya pergi keluar daerah untuk
menguasainya meskipun tanpa restu kedua orang tuanya. [ Al-Mausuu’ah
al-Fiqhiyyah XXVIIII/84 ].
قَال
الأَْوْزَاعِيُّ : لاَ طَاعَةَ لِلْوَالِدَيْنِ فِي تَرْكِ الْفَرَائِضِ ،
وَالْجُمَعِ ، وَالْحَجِّ ، وَالْقِتَال ؛ لأَِنَّهَا عِبَادَةٌ تَعَيَّنَتْ
عَلَيْهِ فَلَمْ يُعْتَبَرْ إِذْنُ الأَْبَوَيْنِ فِيهَا كَالصَّلاَةِ (1)
.
Berkata al-Auzaa’i “Tidak
ada ketaatan pada kedua orang tua dalam perintah meninggalkan aneka kewajiban,
perkumpulan islami, haji dan berperang (jihad) karena kesemuanya adalah ibadah
yang menjadi keharusan baginya maka tidak menjadi bahan pertimbangan izin kedua
orang tua sebagaimana shalat”. [ Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah XVI/134 ].
وقال
يوسف بن أسباط وسفيان الثوري رحمهما اللّه : لا طاعة للوالدين في الشبهة
،
Yusuuf Bin Asbaath dan
Sufyan ats-Tsauri berkata “Tidak ada ketaatan pada perintah kedua orang tua
dalam menjalankan hal-hal yang syubhat (hal yang antara haram dan halalnya tidak
jelas). [ Quwwah al-Quluub Fii Mu’aamalah al-Mahbuub II/473 ]. Wallaahu A'lamu
Bis Showaab. [Masaji
Antoro, Alif Jum'an Azend].