PERTANYAAN
:
Bagaimana hukumnya ikut SMS
Premiun semisal Ketik RAMAL spasi nama dan tetek bengek, kirim sekian sekian,
dapet balasan ini itu, dan percaya, apa termasuk MUSYRIK ? [Bijanka
Dustin].
JAWABAN
:
Pada masa sebelum kehadiran
Islam ramalan yang berkembang dan dikenal di kalangan masyarakat ada beberapa
macam ;
1. Ramalan yang dihasilkan
dari informasi jin yang mencuri dengar dari suara langit yang kemudian
dibisikkan ke tukang ramal.
2. Ramalan yang dihasilkan
dari informasi jin yang bekerja sama dengan manusia dari hal-hal di luar
pengetahuan manusia.
3. Ramalan yang dihasilkan
dari dugaan dan firasat.
4. Ramalan yang dihasilkan
dari eksperimen dan kebiasaan.
5. Ramalan yang mengacu
pada petunjuk bintang.
Dalam masa Pra-Islam para
tukang sihir memiliki prediksi ramalan yang lumayan akurat, namun pasca
kedatangan Islam, validitas ramalan mereka relatif menurun dan mengalami
kekacauan. Hal ini memang ditegaskan dalam aL-Qur’an surat Ash-Shooffaat ayat
10, bahwa setelah Islam datang dan aL-Qur’an diturunkan, langit dijaga oleh para
Malaikat dan menjadi zona yang tidak bisa jangkau oleh syaitan.
Sikap
Islam terhadap Praktek Ramalan Astrologi (ramalan yang mengacu pada petunjuk
bintang)
Astrologi dikelompokkan
menjadi dua bagian :
1.Astrologi Hisaabiyyah ialah
ilmu untuk menentukan permulaan bulan melalui teori perhitungan perjalan
bintang. Ulama sepakat akan legalitas ilmu ini guna kepentingan penentuan
waktu-waktu shalat serta penentuan arah kiblat. Bahkan mayoritas Ulama
menyatakan kewajibannya sebagai kewajiban kolektif (fardhu kifaayah).
2.Astrologi Istidlaaliyyah
ialah ilmu ramalan peristiwa-peristiwa dibumi yang mengacu pada gerakan angkasa,
jenis astrologi yang kedua inilah yang dilarang dalam Islam apabila meyakini
bahwa tanda-tanda simbolis angkasa atau zodiac bisa menunjukkan pengetahuan gaib
atau bahkan yang mengendalikan nasib dan peristiwa bumi.
Apabila ramalannya
didasarkan hanya pada kebiasaan kondisi alam tertentu, dan semuanya tetap
dikembalikan pada kehendak dan kekuasaan Allah, seperti prakiraan cuaca, arah
angin, musim dan lain-lain maka hukumnya diperbolehkan hal ini sesuai dengan
Sabda Nabi Muhammad SAW
إذا
نشأت بحرية ثم تشاءمت فتلك عين غديقة
“Ketika laut menguap lalu
menyebar maka (itu) pertanda musim hujan”(Syeikh ‘Athiyyah Bulugh al-Maraam
73/3).
Nabi bersabda: Allah
berfirman: Pada pagi hari ini ada di antara hamba-Ku yang beriman kepada-Ku dan
ada pula yang kafir, adapun orang-orang yang mengatakan: Kami diberi hujan
dengan sebab keutamaan dari Allah dan rahmat-Nya, maka dia telah berman
kepada-Ku dan kufur terhadap bintang-bintang. Dan adapun orang yang mengatakan:
Kami diberikan hujan dengan sebab bintang ini dan bintang itu, maka dia telah
kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Astrologi Istidlaaliyyah
yang dilarang dalam islam lantaran ia merupakan sebuah pengetahuan yang
berpotensi menyesatkan jiwa manusia, bahaya yang melekat dalam astrologi dapat
menyebabkan manusia dalam kondisi bayang-bayang (ilusi) atau fitnah, sekalipun
pada dasarnya ia hanya didasarkan pada pengetahuan simbolis kosmologis. Jika
suatu peramalan didukung kebenaran fakta maka jiwa akan terpedaya oleh
pengaruhnya dalam ketidaknyataan, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sebuah
Hadits,
Aisyah r.a. berkata,
“Rasulullah saw ditanya tentang para kahin, lalu beliau menjawab, ‘Mereka tidak
bernilai apa-apa!’ Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka
terkadang memberitakan sesuatu dengan benar.’ Beliau bersabda, ‘Kalimat yang
benar itu berasal dari pencurian jin, lalu jin menyuarakannya di telinga walinya
(dukun) seperti suara ayam betina yang berkokok (sehingga menggugah
teman-temannya), lalu para setan (yang mendengarnya) mencampurinya dengan
seratus kedustaan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Lebih dari itu, Islam
mengajarkan untuk berserah diri pada ketentuan nasib (takdir) dan sikap ini
sangat penting untuk membebaskan diri dari segala bentuk peramalan. Doktrin
Islam tidak mengenal praktek peramalan astrologis karena hal itu secara tidak
langsung berarti menghapuskan kedudukan Tuhan dalam kekuasaan pada diri manusia
seperti yang dinyatakan Allah dalam Al-Quran
Katakanlah: "Tidak ada
seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali
Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS. 27:65).
Wallaahu A'lamu bi As-Shawaabi. [Masaji
Antoro].
[ REFERENSI : Minah
al-Jaliil Syarh Mukhtashar Khaliil 2/113, Wuzaarah al-Auqaaf wa as-Syu"uun
al-Islaamiyyah 24/54 ].