PERTANYAAN
:
Sebatas mana meniru pola
prilaku dengan orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) yang diharamkan syari'at ?
[Hafa
Zubair].
JAWABAN
:
Batasan sederhana, bahwa
sepanjang kita tidak memakai atau melakukan sesuatu yang merupakan "ciri khusus"
sebagai identitas suatu agama (non islam) atau "golongan" ( NON MUSLIM )
tertentu, maka itu bukan lagi disebut "tasyabbuh", kecuali kita memakai atau
melakukan yang merupakan ciri khusus dari "kelompok" (NON MUSLIM) itu.
Berdasarkan referensi yang ada, dulu di zaman penjajahan, seorang muslim yang
berpakaian lengkap, jas dan dasi, termasuk perbuatan "tasyabbuh", sehingga
diharamkan oleh sebagian ulama', tetapi karena sekarang pakaian jas dan dasi
bukan ciri khusus milik golongan tertentu, maka berpakaian yang oleh sebagan
ulama dulu dianggap "tasyabbuh", sekarang tentu bukan dianggap "tasyabbuh" lagi.
BERIKUT SEDIKIT RINCIAN
TASYABBUH dengan ORANG KAFIR :
§ Bila penyerupaan
(TASYABBUH) nya dengan tujuan meniru orang kafir untuk turut menyemarakkan
kekafirannya maka hukumnya menjadi kafir.
§ Bila penyerupaan
(TASYABBUH) nya dengan tujuan hanya meniru tanpa disertai untuk turut
menyemarakkan kekafirannya hukumnya tidak kafir namun berdosa.
§ Bila TASYABBUH nya tidak
sengaja meniru sama sekali tetapi sekedar menjalani sesuatu yang kebetulan sama
dengan mereka maka tidak haram tetapi makruh.
(مسألة
: ي) : حاصل ما ذكره العلماء في التزيي بزي الكفار أنه إما أن يتزيا بزيهم ميلاً
إلى دينهم وقاصداً التشبه بهم في شعائر الكفر ، أو يمشي معهم إلى متعبداتهم فيكفر
بذلك فيهما ، وإما أن لا يقصد كذلك بل يقصد التشبه بهم في شعائر العيد أو التوصل
إلى معاملة جائزة معهم فيأثم ، وإما أن يتفق له من غير قصد فيكره كشد الرداء في
الصلاة.
Kesimpulan dari pernyataan
ulama tentang berbusana dengan menyerupai orang-orang kafir adalah jika dalam
berbusana dengan mereka itu karena adanya rasa suka kepada agama mereka dan
bertujuan untuk bisa serupa dengan mereka dalam syiar-syiar kafir atau agar bisa
bepergian bersama mereka ketempat-tempat peribadatan mereka maka dalam dua hal
diatas dia menjadi kafir, namun jika tidak bertujuan semacam itu yakni hanya
bisa sekedar menyerupai mereka dalam syiar-syiar hari raya atau sebagai media
agar bisa bermuamalah berhubungan dengan mereka dalam hal-hal yang diperkenankan
maka ia berdosa (tidak sampai kafir, red), atau ia setuju dengan busana orang
kafir tanpa suatu tujuan apapun maka hukumnya makruh seperti mengikat selendang
dalam shalat. [ Bughyah al-Mustarsyidiin I/529 ].
فَالْحَاصِلُ
أَنَّهُ إِنْ فَعَلَ ذَلِكَ بِقَصْدِ التَّشَبُّهِ بِهِمْ فِي شِعَارِ الْكُفْرِ
كَفَرَ قَطْعاً أَوْ فِي شِعَارِ الْعِيْدِ مَعَ قَطْعِ النَّظَرِ عَنِ الْكُفْرِ
لَمْ يَكْفُرْ، وَلَكِنَّهُ يَأْثَمُ وَإِنْ لَمْ يَقْصِدِ التَّشَبُّهَ بِهِمْ
أَصْلاً وَرَأْساً فَلاَ شَيْءَ عَلَيْهِ
"Ketika berpakaian (tingkah
laku) menyerupai orang kafir, untuk syi’ar kekafirannya maka ia kafir dengan
pasti ….s/d … seandainya tidak bertujuan menyerupai mereka sama sekali tidak
apa-apa baginya tetapi itu makruh".
قَالَ
الشَّيْخُ أَبُوْ مُحَمَّدٍ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ نَفَعَ اللهُ مَا مُلَخَّصُهُ
ظَاهِرًا لِلَفْظِ الزَّجْرِ عَنِ التَّشَبُّهِ فِي كُلِّ شَيْئٍ، كَذَا عُرِفَ
مِنَ اْلأَدِلَّةِ اْلأُخْرَى أَنَّ الْمُرَادَ التَّشَبُّهُ فِي الزِّيِّ وَبَعْضِ
الصِّفَاتِ وَنَحْوِهَا لاَ التَّشَبُّهُ فِي أُمُوْرِ الْخَيْرِ.
"Syekh Abu Muhammad bin Abi
Hamzah berkata menurut dhoirnya lafadz adalah melarang menyerupai pada setiap
sesuatu (dari kafir) begitu juga dalil-dalil lain mengatakan. Maksudnya
menyerupai (orang-orang kafir yang dihukumi haram) adalah menyerupai dalam
pakaian, hiasan, sifat-sifatnya dan sesamanya bukan menyerupai dalam urusan
kebaikan". [ Fathul Barri X/ 273 ]. Wallaahu A'lamu Bis Showaab. [Dhimas
Zaki, Masaji Antoro].