PENETAPAN
AWAL RAMADHAN DENGAN RU’YATULHILAL
Sejak dari bulan Rajab kita
sudah melaksanakan doa yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad Sallallahu ’Alaihi
Wasallam melalui puji-pujian menjelang Shalat Fardhu atau pada saat-saat
tertentu yang kita sempatkan untuk membaca-nya. Doa yang dimaksud adalah;
اَللَّهُمَّ
بَارِكْ لَنَا فِىرَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَالِغْنَا رَمَضَانَ
“Ya Allah berilah
keberkahan pada kami dibulan rajab, bulan sya’ban dan sampaikanlah kami di bulan
Ramadhan”
Alhamdulillah, pada
kesempatan ini, doa kita dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita akhrnya
bisa sampai pada Bulan Suci Ramadhan, bulan yang penuh berkah, penuh ampunan dan
bulan di mana pahala dilipatgandakan. Di dalam doa tersebut tersirat makna; 2
(dua) bulan sebelum Ramadhan, Kita sudah mengharap dan mempersiapkan diri untuk
menyambut datangnya Ramadhan bulan yang suci dan mulia. Dengan harapan kita
termasuk golongan orang-orang dalam Hadis Rasulullah SAW dinyatakan;
مَنْ
فَرَحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرَانْ
“Barang siapa yang senang
dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah SWT mengharamkan jasad orang
tersebut atas api neraka”
Lantas kapan saatnya Bulan
Ramadhan tiba? Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan untuk menambah wawasan
keilmuan dan memperkuat keyakinan kita. Seperti dinyatakan oleh Jumhurul Ulama;
mereka sepakat bahwa penetapan awal Ramadhan itu dilakukan dengan salah satu
dari 2 (dua) cara, yaitu;
§Dihitung dengan (melihat)
hilal (tanggal) bulan Ramadhan, bila tidak ada yang menghalangi pandangan
seperti mendung, awan, asap, debu dll.
§Dengan menyempurnakan bulan
Sya’ban 30 hari, bila tanggal 29 sya’ban ada penghalang Ru’yatul hilal.
Hal ini berdasar hadis Nabi
Muhammad SAW :
صُوْمُوْا
لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَاِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاَكْمِلُوْا
عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
“Berpuasalah kalian apabila
melihat bulan, dan berbukalah (berhari raya-lah) kalian, apabila telah melihat
bulan. Namun jika pandanganmu terhalang oleh awan, maka sempurnakan bulan
sya’ban itu sampai dengan 30 hari”. (HR. Bukhori)
Dalam keyakinan kita,
Ru’yah adalah Pegangan dan Pedoman yang diyakini untuk dilaksanakan. Oleh karena
itu, seseorang dilarang memulai puasa ataupun mengakhirinya sebelum ada
keputusan hasil Ru’yah, sebagai mana sabda Rasulullah SAW :
عَنْ
عَبْدِاللهِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوا
الهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ فَاءِنْ غَمَّ عَلَيْكُمْ
فَاقْدُرُوْا لَهُ (صحيح البخارى)
“Dari Abdullah Bin Umar RA.
Bahwa suatu ketika Rosululloh bercerita tentang bulan Ramadhan. Rosul bersabda :
janganlah kalian berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka
(hari raya) sampai kamu melihat bulan, namun jika pandanganmu tertutup mendung,
maka perkirakanlah jumlah harinya” (HR. Bukhari)
Kalaupun ada golongan atau
kelompok lain di negara Kita yang menggunakan selain Ru’yah Al - Hilal dalam
menentukan awal dan akhir Ramadhan, itu lebih dikarenakan kurang tepat dalam
menempatkan dan mempedomani Hujjah/Dalil semisal Hadis Rasulullah SAW :
عَنْ
اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ اَنَّا اُمَّةٌ اُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتَبَ وَلاَ نَحْسُبٌ
اَلشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِى مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ وَمَرَّةً
ثَلاَثِيْنَ
“Dari Ibnu Umar RA. Dari
Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, kami adalah umat yang tidak dapat menulis dan
berhitung satu bulan itu seperti ini. Seperti ini maksudnya : satu saat
berjumlah 29 hari dan pada waktu lain 30 hari”. (HR. Bukhari).
Hadis di atas dijadikan
landasan untuk melemahkan metode Ru’yah al Hilal sebagai mana yang kita yakini.
Dalam pemahaman mereka, Rasulullah SAW menggunakan Ru’yah, karena dizaman Rasul
Muhammad SAW, belum mampu melakukan Hisab / perhitungan. Oleh karenanya, bagi
mereka, metode Ru’yah Al Hilal sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang yang
serba bertehnologi canggih ini di mana Metode Hisab (Penentuan awal Ramadhan
dengan Metode Perhitungan) di dukung oleh dan didasarkan pada hitungan berbasis
Komputer.
Pemahaman tersebut sungguh
belum bisa diterima karena kenyataannya di zaman Rasulullah SAW, telah ada
Sahabat-Sahabat yang mahir Ilmu Hisab terutama seperti sahabat Ibnu Abas RA.
Kita meyakini dan mengikuti; bahwa Ru’yah Al Hilal cara yang diajarkan,
dianjurkan dan yang telah dilaksanakan Rasulullah dalam menentukan awal dan
akhir Ramadhan; bukan dengan Hisab, atau malah dengan mengikuti keputusan Negara
lain yang berbeda Matla’.
Hadis tentang Ru’yah Al
Hilal dikukuhkan oleh para Ulama NU sebagai sebuah Keputusan yang WAJIB diikuti
oleh Warga NU. Maka, Berdasarkan Keputusan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama
Tahun 1987 di PP Al Ihya Ulumaddin Kesugihan, ditetapkan bahwa: warga NU/ Warga
Nahdliyyin mengawali Puasa Romadlon dan Idul Fitri berdasarkan Rukyat bil Fi’li
/ Ru’yah Al Hilal dan atau Istikmal jika proses Ru’yah Al Hilal tidak dicapai
karena terhalang awan/mendung, serta mengikuti Hasil Sidang Itersebutat oleh
Pemerintah RI, juga berdasarkan Rukyatul Hilal.
Jika Pemerintah RI ternyata
menetapkan Awal Ramadhan dan atau Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha berdasarkan
Hisab semata dan bukan berdasarkan Ru’yatul Hilal atas dasar Sumpah terhadap Dua
Orang Saki atau lebih, seperti pernah terjadi beberapa tahun yang lalu, maka
Warga NU tidak Wajib mengikutinya. Artinya, demi menjaga keyakinan yang kita
anut, Warga NU tetap melaksanakan Ibadah Puasa Ramadhan dan Merayakan Idul Fitri
tetap berdasarkan hasil Ru’yatul Hilal. [Irsyad
Rezpector La'nus]