Oleh Muhib
Aman Aly
Liberalisasi Pemusnah Islam
Sekularisasi dan liberalisasi sampai saat ini terus belangsung dalam berbagai
sisi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan bahkan pemikiran keagamaan. Kini
setelah 30 Tahun sejak dikampanyekan oleh Nurkholis Madjid, arus besar itu
semakin sulit dekendalikan, dan berjalan semakin liar. Penyebaran paham
“pluralisme agama”, ”dekonstruksi agama”, “dekonstruksi kitab suci” dan
sebagainya, kini justru berpusat dikampus-kampus dan organisasi Islam bahkan
mulai merambah pesantren. Paham ini menusuk jantung dan merobohkan Islam dari
pondasinya yang paling dasar.
Akar
Liberalisme
Untuk menelurusi Islam
Liberal, tidak bisa terlepas dari Sekularisasi Agama. Sekularisasi merupakan
gagasan penting yang berasal dari kelompok Islam Liberal. Jika kita mencermati
tulisan-tulisan mereka, kita akan mengetahui bahwa gagasan ini terus menerus
diperjuangkan secara konsisten. Tidak diragukan lagi bahwa sekularisasi adalah
gagasan yang berasal dari warisan sejarah perkembangan peradaban Barat. Hal ini
dapat ditelusuri mulai abad pertengahan Barat ketika peradaban mereka ditandai
dengan adanya dominasi gereja yang menghambat kemajuan penelitian ilmiah.
Penyebabnya adalah Bible mengandung hal-hal yang bertentangan dengan akal.
Harvey Cox (ahli teologi Kristen dari Harvard) membuka buku terkenalnya, The
Secular City, dengan bab “The Biblical Source of Secularizatioan”, yang diawali
kutipan pendapat teolog Jerman Friedrich Gogarten: ”Bahwa sekularisasi adalah
akibat logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap sejarah”.
Sekularisasi kata Harvey
Cox, mengimplikasikan proses sejarah. Masyarakat perlu dibebaskan dari kontrol
agama. Sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika,
pengalihan perhatiannya dari dunia lain. Jadi, intinya sekularisasi adalah
perkembangan yang membebaskan (liberal). Sekularisasi dibidang agama adalah
penyingkiran nilai-nilai agama. Penganut paham sekuler menyatakan kebenaran
adalah relativ. Tidak ada kebenaran yang mutlak. Manusia sekuler percaya bahwa
"wahyu langit" dapat dipahami karena hal itu terjadi dalam sejarah yang dibentuk
oleh kondisi sosial politik tertentu.
Jadi sebenarnya, semua
sistem nilai terbentuk oleh sejarah yang mengikuti ruang dan waktu tertentu.
Sekularisasi akan menjadikan sejarah dan masa depan cukup terbuka untuk
perubahan dan kemajuan karena manusia akan bebas membuat perubahan secara
proaktif dalam proses evolusi (perubahan secara lambat). Dengan konsep ini
manusia sekuler dapat tidak mengakui kebenaran Islam yang mutlak. Mereka akan
menolak konsep-konsep Islam yang yang tetap (tsawabit) karena semua hal dianggap
relatif. Sumber utama pemikiran ini apabila diurut akan berujung pada aliran
Sufastha'iyyah (kaum sophist). Dalam aqidah annasafi dinyatakan :
حقيقة
الأشياء ثابتة والعلم بها متحقق خلافا لسفسطائية
"Semua hakikat segala
perkara itu tsabit adanya, dan pengetahuan kita akan dia adalah yang sebenarnya
kecuali menurut kaum sufastha'iyyah " .
Salah satu golongan
Sufastha'iyyah itu adalah golongan 'Indiyyah (Subyektifisme) yang menganut faham
bahwa tidak ada kebenaran obyektif dalam ilmu. Semua ilmu adalah subyektif, dan
kebenaran mengenai sesuatu hanyalah semata-mata pendapat seseorang. Maka
kebenaran bagi mereka adalah segala yang berlaku di masyarakat dan bukan yang
dikonsepkan dalam al-Qur'an.
Liberalisasi
Islam
Secara sederhana dapat
disimpulkan bahwa paham Islam liberal adalah paham yang membongkar kemapanan
dalam ajaran Islam yang sudah baku. Setiap manusia mempunyai kewenangan dalam
menilai baik dan buruk tanpa harus ada campur tangan siapapun. Paham ini sejalan
dengan kaum Mu'tazilah. Ulil Abshar Abdallah, tokoh liberal, pimpinan JIL,
secara tegas mengakui bahwa kaum liberalis adalah penerus aliran Mu’tazilah.
Bahkan kalau kita melihat pemikiran-pemikirannya mereka justru melebihi aliran
Mu’tazilah, mereka sudah jauh melampaui ayat-ayat al-Qur'an dan hadits. Isu-isu
yang mereka lemparkan tidak hanya seputar, gender (peran wanita di ruang
publik), pluralisme (kesetaraan semua agama), demokrasi, HAM, bahkan sudah
berani menggugat ke-otentikan al-Qur'an.
Secara umum ada tiga bidang
penting dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi, yaitu; (1)
leberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham pluralisme agama, (2)
liberalisasi bidang syari’ah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan
(3) liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur’an.
Liberalisasi
Akidah Islam
Liberalisasi aqidah islam
dilakukan dengan penyebaran paham “pluralisme agama”. Paham ini pada dasarnya
menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang
sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang
berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau mereka menyatakan, bahwa agama adalah
persepsi relativ terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga – karena kerelativannya –
maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya
sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa
agamanya sendiri yang benar.
Di majalah Gatra edisi 21
Desember 2002. Ulil Abshar mengatakan: "Semua agama sama, semuanya menuju jalan
kebenaran. Jadi Islam bukan yang paling benar ". Nuryamin Aini, dosen Fakultas
Syari’ah UIN Jakarta mengatakan: “Tapi ketika saya mengatakan agama saya benar,
saya tidak punya hak untuk mengatakan bahwa agama orang lain salah, apalagi
kemudian menyalah-nyalahkan atau memaki-maki.
Dalam buku Teologi Inklusif
Cak Nur ditulis : Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur diawali dengan
tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah kehadirat Tuhan. Kepasrahan ini, kata Cak
Nur, menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah World view
al-Qur’an, bahwa semua agama yang benar adalah al-Islam, yakni sikap pasrah diri
kehadirat Tuhan. (QS 29:46). Selanjutnya dikatakan : “Dalam konteks inilah sikap
pasrah menjadi kualifikasi signifikan pemikiran teologi inklusif Cak Nur”. Bukan
saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi “muslim” itu sendiri
(secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi bagi penganut agama lain,
khususnya bagi penganut Kitab Suci baik Yahudi maupun Kristen. Maka konsekuensi
secara teologis bahwa siapapun diantara kita – baik sebagai orang Islam,
Kristen, Yahudi - yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan hari kemudian serta
berbuat kebaikan maka akan mendapat pahala di sisi Tuhan (QS.2:62, 5:69). Dengan
kata lain sesuai firman Tuhan ini, terdapat jaminan teologi bagi umat beragama
apapun “agama”-nya, untuk menerima pahala (surga) dari Tuhan.
Sukidi, alumnus Fakultas
Syari’ah IAIN Ciputat, menulis di koran Jawa Pos (11/1/2004): “Dan
konsekuensinya, ada banyak kebenaran dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche
menegaskan adanya kebenaran tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap
banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua
agama baik Hinduisme, Budhisme, Yahudi, Kristen, Islam maupun lainnya adalah
benar. Dan konsekuensinya kebenaran ada dimana-mana dan ditemukan pada semua
agama. Agama-agama itu diibaratkan dalam nalar pluralisme Gandhi seperti pohon
yang memiliki banyak cabang tapi berasal dari satu akar. Akar yang satu itulah
yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu mari kita
memproklamirkan kembali bahwa pluralisme agama sudah menjadi hukum tuhan
(sunnatullah) yang tidak mungkin berubah, dan karena itu mustahil pula kita
melawan dan menghindar. Sebagai muslim kita tidak punya jalan lain kecuali
bersikap positif dan optimistis dalam menerima pluralisme agama sebagai hukum
Tuhan.
Pada kesempatan lain Ulil
Abshar mengatakan: "Saya ini terlahir sebagai orang NU. Tetapi saya yakin
seyakin-yakinnya bahwa keimanan saya seperti sekarang ini sudah tidak lagi
memadai untuk dibungkus dalam sebuah label. Bahkan kalau mau ditarik lebih jauh
lagi, keimanan saya bisa berinteraksi dengan keimanan orang-orang dari agama
lain; bahkan Islampun sebagai sebuah 'label sosiologi' kerapkali tak memadai
untuk menampung semangat lintas batas ini ".
Prof.Dr. Abdul Munir
Mulkan, dosen UIN Yogyakarta, menulis: “Jika semua agama memang benar sendiri,
penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri dari banyak
pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar
surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari
kelaparan, penderitaan, kekerasan, dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah
jalan universal surga bagi semua agama.
Penting diketahui oleh umat
Islam, khususnya kalangan lembaga pendidikan Islam, bahwa hampir seluruh LSM dan
proyek yang dibiyayai oleh LSM-LSM Barat, seperti The Asia Foundation, Ford
Foundation, adalah mereka yang bergerak menyebarkan paham Pluralisme Agama. Ini
bisa dilihat dalam artikel-ertikel yang diterbitkan oleh jurnal Tashwirul Afkar
yang diterbitkan oleh Lakspedam PBNU (periode lalu) bekerjasama dengan Ford
Foundation, dan Jurnal Tanwir yang diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan
Peradaban Muhammadiyah bekerjasama dengan The Asia Foundation. Mereka tidak
menyebarkan paham ini secara asongan tetapi memiliki program yang sistematis
untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang saat ini masih mereka anggap
belum inklusif-pluralis.
Sebagai contoh, Jurnal
Tashwirul Afkar edisi No 11 tahun 2001, menulis laporan utama berjudul “Menuju
Pendidikan Islam Pluralis”. Ditulis dalam Jurnal ini: “Filosofi pendidikian
Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran
agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep
iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-benar, yang sangat berpengaruh terhadap
cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar agar umat Islam tidak
lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan
keselamatan”.
Pluralisme
dan Pluralitas
Kemajemukan (pluralitas)
adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dinafikan. Itu memang benar. Di
dalamnya ada kaum pria dan wanita, tua dan muda, yang berkulit hitam dan putih,
dengan beragam agama dan kepercayaan. Demikian seterusnya. Akan tetapi, menarik
garis lurus, bahwa kemajemukan itu identik dengan pluralisme, tentu merupakan
kesalahan, kalau tidak mau dianggap penyesatan. Memang, pluralisme adalah paham
yang berangkat dari konteks pluralitas. Akan tetapi, sebagai paham, pluralisme
jelas berbeda dengan pluralitas (kemajemukan) itu sendiri.
Dalam konteks pluralitas
(kemajemukan), al-Quran bahkan telah menyatakannya dengan jelas, sebagai sebuah
keniscayaan : "Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal".(QS al-Hujurat: 49: 13).
Pluralitas ini tidak hanya
terjadi dalam konteks fisik, tetapi juga non-fisik. Banyaknya pandangan, aliran,
paham, agama dan ideologi, misalnya, jelas merupakan kenyataan yang tidak dapat
dilepaskan dari fenomena pluralitas di atas.
Hanya saja, dalam konteks
pluralitas yang pertama, ia umumnya dapat diterima sebagai keniscayaan, seperti
apa adanya. Ini berbeda dengan konteks pluralitas yang kedua karena yang
terakhir ini melibatkan pandangan, aliran, paham, agama, dan ideologi yang
menjadi anutan. Dianut, karena diyakini oleh penganutnya benar. Nah, di sinilah
kemudian muncul persoalan seputar klaim kebenaran, yang sering dilontarkan oleh
kelompok liberal. Sebab, dalam bayangan mereka, kalau masing-masing penganut
paham tersebut mengklaim dirinya benar, dan yang lain salah, pasti akan terjadi
pemaksaan kebenaran yang dianutnya kepada orang lain; sesuatu yang - menurut
bayangan mereka - akan menyebabkan hilangnya pluralitas dan kebebasan. Karena
itu, untuk mencegah terjadinya hal itu, tidak boleh ada klaim kebenaran.
Kebenaran harus direlatifkan. Dengan begitu, masing-masing pihak tidak akan
merasa terancam dengan pihak lain, yang mengklaim benar. Inilah yang
melatarbelakangi lahirnya paham pluralisme, yang intinya menyatakan bahwa semua
pandangan, aliran, paham, agama dan ideologi itu sama-sama benar. Mengapa
semuanya harus disama-dudukkan dan disama-benarkan? Karena, menurut mereka,
hanya dengan cara itulah pandangan, aliran, paham, agama, dan ideologi lain
tidak akan saling merasa terancam. Dengan cara seperti itu pula, kehidupan yang
plural bisa tetap dipertahankan dalam keharmonisan. Akan tetapi, apa memang
demikian?
Paham seperti itu justru
utopis. Ia jelas mengingkari kebenaran yang diyakini oleh masing-masing penganut
pandangan, aliran, paham, agama dan ideologi yang memang plural tersebut. Sebab,
betapapun tolerannya penganut paham tertentu, dia tetap berkeyakinan, bahwa apa
yang dianutnya adalah benar. Baginya, kebenaran yang dianutnya itu bukanlah
klaim. Karena itu, orang Kristen, Hindu, atau yang lain pasti akan marah, kalau
kebenaran yang mereka yakini itu dianggap klaim. Apa lagi kemudian masing-masing
disuruh melakukan kompromi, dengan merelatifkan kebenaran yang mereka yakini,
itu pasti tidak akan mereka terima. Itulah yang ditunjukkan oleh Magnis Suseno.
Karena itu, dengan keras Magnis Suseno menolak pluralisme. Jadi, paham
pluralisme dengan gagasan klaim kebenarannya itu jelas utopis, tidak membumi,
dan justru bertentangan dengan fitrah keyakinan manusia.
Dalam pandangan Islam,
paham Pluralisme Agama ini jelas merupakan paham syirik modern, karena
menganggap semua agama adalah benar. Keyakinan akan kebenaran Dinul Islam
sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridloi Allah swt, adalah konsep yang
sangat mendasar dalam Islam. Iman adalah kata lain dari tashdiq, yakni
kepercayaan yang mengakar kuat. Iman tidak mungkin berkumpul menjadi satu dengan
keragu-raguan.
Jika seorang muslim tidak
boleh meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dan agama lain
adalah salah, maka kita bertanya-tanya, untuk apa ada konsep teologi Islam? Jika
seorang tidak yakin dengan kebenaran yang dibawanya – karena semua kebenaran
dianggapnya relativ – maka untuk apa ia berdakwah atau berada dalam organisasi
dakwah? Untuk apa ia menyeru orang lain mengikuti kebenaran dan menjauhi
kemungkaran, sedangkan ia sendiri tidak meyakini apa yang disebut benar dan apa
yang disebut salah. Pada akhirnya, golongan “ragu-ragu” akan “berdakwah”
mengajak orang untuk bersikap “ragu-ragu” juga. Mereka sejatinya telah memilih
satu jenis “keyakinan” baru, bahwa tidak ada agama yang benar atau semuanya
benar.
Liberalisasi
Al-Qur’an
Salah satu wacana yang
berkembang pesat dalam tema liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah tema
“dekonstruksi Kitab suci”. Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah
berkembang pesat. Kajian Biblical Criticism atau studi tentang kritik Bible dan
kritik teks Bible telah berkembang pesat di Barat.
Pesatnya studi kritis Bible
ini telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk “melirik” al-Qur’an dan
mengarahkan hal yang sama terhadap al-Qur’an. Pada tahun 1972, Alphonse Mingana,
pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Brimingham Inggris,
mengumumkan bahwa, “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks
terhadap al-Qur’an sebagimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang
berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.
Hampir satu abad yang lalu,
para orientalis dalam bidang studi al-Qur’an bekerja keras untuk menunjukkan
bahwa al-Qur’an adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible. Mereka tidak pernah
berhasil. Tapi anehnya, kini imbauan itu diikuti oleh banyak sarjana muslim
sendiri. Sesuai paham pluralisme agama, maka semua agama harus didudukkan pada
posisi yang sejajar, sederajat, tidak boleh ada yang mengklaim lebih tinggi,
lebih benar, atau paling benar sendiri. Begitu juga dengan pemahaman tentang
Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok yang mengklaim hanya kitab suci agamanya
saja yang suci dan benar.
Liberalisasi Islam tidak
akan lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian al-Qur’an. Mereka berusaha
keras meruntuhkan keyakinan kaum muslim, bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah,
bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, bebas dari kesalahan.
Meraka mengabaikan bukti-bukti al-Qur’an yang menjelaskan tentang otentitas
al-Qur’an dan kekeliruan kitab-kitab agama lain.
Ulil Abshar Abdallah,
menulis di Harian Jawa Pos, 11 Januari 2004: ”Tapi bagi saya, semua kitab suci
adalah mukjizat.” . Taufik Adnan Amal, dosen Ulumul Qur’an di IAIN Makasar,
menulis satu makalah berjudul “Edisi Kritis al-Qur’an”, yang isinya menyatakan:
“Uraian dalam pragraf-pragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas
proses pemantapan teks dan bacaan al-Qur’an, sembari menegaskan bahwa proses
tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks
maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini.
Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat
suatau upaya penyuntingan Edisi Kritis al-Qur’an”. Taufik berusaha meyakinkan,
bahwa al-Qur’an saat ini masih bermasalah, tidak kritis, sehingga perlu diedit
lagi. Dosen itupun menulis sebuah buku serius berjudul ”Rekonstruksi sejarah
al-Qur’an” yang meragukan keabsahan dan kesempurnaan Mushaf Utsmani. Penulis
buku ini mencoba meyakinkan bahwa Mushaf Utsmani masih bermasalah, dan tidak
layak disucikan.
Aktivis Islam Liberal,
Dr.Luthfi Assyaukanie juga berusaha membongkar konsep dasar Islam tentang
al-Qur’an, dia menulis: ”Sebagian besar kaum muslim meyakini bahwa al-Qur’an
dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun
maknanya (ma’nan). Kaum muslim juga meyakini bahwa al-Qur’an yang mereka lihat
dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari
seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sungguh lebih merupakan
formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para
ulama sebagi bagian dari formulasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah
penulisan al-Qur’an sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang
delicate (rumit) dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu
daya), dan rekayasa”.
Sumanto al-Qurthubhy,
alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Semarang berkata: “Al-Qur’an adalah perangkap
bangsa Quraisy”. Lebih mengerikan lagi, Sumanto secara terang-terangan
menyatakan, bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad. Dia menulis: “Dengan
demikian, wahyu sebetulnya ada dua: “wahyu verbal” (“wahyu eksplisit” dalam
bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan “wahyu non verbal” (“wahyu implisit”
berupa konteks sosial waktu itu).
Nasr Hamid Abu Zaid, tokoh
senior liberal, menyatakan bahwa, posisi Nabi Muhammad SAW, sebagai semacam
pengarang al-Qur'an. Nabi Muhammad SAW sebagai seorang Ummiy (tidak bisa baca
tullis), bukanlah penerima wahyu pasif, tetapi mengolah redaksi al-Qur'an,
sesuai dengan kondisinya sebagai manusia biasa, setelah al-Qur'an disampaikan
oleh Rasulullah SAW kepada umatnya, maka telah berubah menjadi teks Insani bukan
teks Ilahi yang suci dan sakral. Cara yang lebih halus dan tampak akademis dalam
menyerang al-Qur’an juga dilakukan dengan mengembangkan studi kritik al-Qur’an
dan studi hermeneutika di Perguruan Tinggi Islam. Padahal metode ini jelas
berbeda dengan ilmu tafsir dan bersifat dekonstruktif terhadap al-Qur’an dan
syari’at Islam.
Liberalisasi
Syari’at Islam
Inilah aspek liberalisasi
yang paling banyak muncul dan menjadi pembahasan dalam bidang liberalisasi
Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah pasti, dibongkar dan dibuat hukum baru yang
dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti disebutkan oleh Dr. Greg
Barton, salah satu program liberalisasi Islam di Indonesia adalah
“kontekstualisasi ijtihad”. Para tokoh liberal biasanya memang menggunakan
metode “kontekstualisasi” sebagai salah satu mekanisme dalam hukum Islam. Salah
satu hukum Islam yang banyak dijadikan obyek liberalisasi adalah hukum dalam
bidang keluarga, Misalnya, dalam masalah perkawinan antar agama, khususnya
antara wanita muslimah dan non muslim.
Di harian Kompas, Senin 18
November 2002, di artikel yang berjudul "Meneyegarkan Kembali Pemahaman Islam",
Ulil Abshar menulis : "Kita harus bisa membedakan mana ajaran Islam yang
merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak ". Selanjutnya pada dua
alinea berikutnya ia melanjutkan: " Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan
kebudayaan Arab misalnya, tidak usah diikuti. Contoh soal jilbab, potong tangan,
qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena hanya ekspresi lokal
partikular Islam di Arab " . Pada baigian lain dia menulis: "Larangan kawin beda
agama, dalam hal ini perempuan Muslimah dan lelaki non Muslim, sudah tidak
relevan lagi ".
Dalam buku Fiqh Lintas
agama ditulis: ”Soal pernikahan laki-laki non muslim dengan wanita muslimah
merupakan wilayah ijtihad dan terikat konteks tertentu, diantaranya konteks
dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini,
sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena
kedudukannya sebagai hukum Islam lahir atas proses ijtihad, maka amat
dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita muslimah boleh menikah
dengan laki-laki non muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat
diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.
Nuryamin Aini, dosen
Fakultas Syari’ah UIN Jakarta, menulis: “Maka dari itu, kita perlu meruntuhkan
mitos fiqh yang mendasari larangan bagi perempuan muslimah untuk menikah dengan
laki-laki non muslim. Isu yang paling mendasar dari larangan pernikahan beda
agama adalah masalah sosial politik. Hanya saja, ketika yang berkembang kemudian
adalah logika agama, maka konteks sosial-politik munculnya larangan pernikahan
beda agama itu menjadi tenggelam oleh hegemoni cara berpikir teologis”.
Bahkan lebih dari itu, Dr.
Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta, kini tercatat sebagai "penghulu swasta" yang
menikahkan puluhan bahkan sudah ratusan pasangan beda agama. Apabila hukum-hukum
yang pasti sudah dirombak sedemikian rupa, maka terbukalah pintu membongkar
seluruh sistem nilai dan hukum dalam Islam. Muhidin M. Dahlan misalnya, aktivis
dari IAIN Yogyakarta, pengagum berat Pramudya ini menulis buku memoar berjudul
“Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur” . Dia menulis: “Pernikahan yang dikatakan
sebagai pembirokrasian seks ini, tak lain tak bukan adalah lembaga yang berisi
tong-tong sampah penampung sperma yang secara anarkis telah membelah-belah
manusia dengan klaim-klaim yang sangat menyakitkan. Istilah pelacur anak haram
pun muncul dari rezim ini. Perempuan yang melakukan seks diluar lembaga ini
dengan sangat kejam diposisikan sebagai perempuan yang sangat hina, tuna, lacur,
dan tidak pantas menyandang harga diri. Padahal apa bedanya pelacur dengan
perempuan yang berstatus sebagai istri ? Posisinya sama. Mereka adalah penikmat
dan pelayan seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meski dilakukan dengan
satu atau banyak orang. Tidak, pernikahan adalah konsep aneh, dan menurutku
mengerikan untuk bisa kupercaya.”
Dari Fakultas Syari’ah IAIN
Semarang, bahkan muncul gerakan legalisasi perkawinan homoseksual. Mereka
menerbitkan buku berjudul: Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan
Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual. Buku ini adalah kumpulan artikel di
jurnal justisia Fakultas Syari’ah IAIN Semarang edisi 25, Th Xl, 2004. dalam
buku ini ditulis: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis
sebagi sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi
siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan
pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan
kebablasan.”
Dr.Luthfi Assyaukanie,
petinggi JIL berkata: "Saya pribadi menganggap bahwa konsep syari'at Islam tidak
ada. Itu adalah karangan orang-orang yang datang belakangan yang memiliki
idealisasi yang berlebihan terhadap Islam " .
Penutup
Bahaya ancaman pemikiran
liberal saat ini sudah amat sangat menghawatirkan. Lembaga-lembaga pendidikan
Islam tidak luput dari ancaman bahaya ini. Di fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Gunung Jati Bandung misalnya, pada hari jum'at 27 September 2004, mahasiswa baru
disambut dengan slogan "Selamat bergabung di area bebas Tuhan". Presiden
Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Aqidah Filsafat bahkan mengajak para mahasiswa
baru, sambil mengepalkan tangan, berteriak "Kita dzikir bersama! Anjing-hu
Akbar!".
Yang sedikit
menggembirakan, salah satu keputusan Muktamar NU ke XXXl di Asrama Haji
Donohudan Solo Desember 2004 lalu, telah mengeluarkan tausihiyah (rekomendasi)
membasmi wacana liberalisme di tubuh NU, serta menolak metode tafsir
Hermeneutika. Isi rekomendasi PBNU itu sendiri pada intinya menghimbau seluruh
warga NU agar menolak ide-ide Islam Liberal dengan segala variannya, dan kembali
kepada bangunan akidah NU ala Ahlussunnah wal jama'ah. Wallohul Muwaffiq ila
Aqwamit Thoriq.