Sejarah pembentuka n
hukum Islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai zaman modern Dalam menyusun sejarah
pembentuka n dan pembinaan hukum
(fiqh) Islam, di kalangan ulama fiqh kontempore r terdapat beberapa macam cara. Dua
diantarany a yang terkenal adalah
cara menurut Syekh Muhammad Khudari Bek (mantan dosen
Universita s Cairo) dan cara
Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fiqh Islam Universita s Amman, Yordania).
Cara pertama, periodisas i pembentuka n hukum (fiqh) Islam oleh Syekh Muhammad Khudari Bek
dalam bukunya, Tarikh at-Tasyri' al-Islamy (Sejarah
Pembentuka n Hukum Islam). Ia
membagi masa pembentuka n hukum (fiqh)
Islam dalam enam periode, yaitu:
1.Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi
rasul;2.Pe riode para sahabat
besar;3.Pe riode sahabat kecil
danthabi’i n; 4.Periode awal abad
ke-2 H sampai pertengaha n abad
ke-4 H; 5.Periode berkembang nya
mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan6.Perio de jatuhnya Baghdad (pertengah an abad ke-7 H oleh Hulagu Khan
[1217-1265 ]) sampai sekarang.
Cara kedua, pembentuka n hukum (fiqh) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa dalam
bukunya, al-Madkhal al-Fiqhi
al-'Amm (Pengantar
Umum fiqh Islam). Ia membagi periodisas i pembentuka n dan pembinaan hukum Islam dalam tujuh periode. Ia
setuju dengan pembagian Syekh Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia
membagi periode keenam menjadi dua bagian, yaitu:
1.Periode sejak pertengaha n
abad ke-7 H sampai munculnya Majalah al-Ahkam
al-'Adliyy ah (Hukum Perdata
Kerajaan Turki Usmani) pada tahun 1286 H; dan 2.Periode sejak munculnya Majalah
al-Al-Akam
al-'Adliyy ah sampai
sekarang. Secara lengkap periodisas i sejarah pembentuka n hukum Islam menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa adalah
sebagai berikut.
Periode Pertama
Masa Rasulullah SAW.
Pada periode ini, kekuasaan pembentuka n hukum berada di tangan
Rasulullah SAW. Sumber hukum
Islam ketika itu adalah Al-Qur’an. Apabila ayat Al-Qur’an tidak turun ketika ia
menghadapi suatu masalah, maka
ia, dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini
dinamakan sunnah Rasulullah SAW.
Istilah fiqh dalam pengertian
yang dikemukaka n ulama fiqh klasik
maupun modern belum dikenal ketika itu. ilmu dan fiqh
pada masa Rasulullah
SAW mengandung
pengertian yang sama, yaitu
mengetahui dan memahami dalil
berupa Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
SAW.
Pengertian fiqh
di zaman Rasulullah SAW
adalah seluruh yang dapat dipahami dari nash (ayat atau hadits),
baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum, maupun
kebudayaan . Disamping itu, fiqh
pada periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori.
Penentuan hukum terhadap suatu masalah baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang
ditentukan hanya
menyangkut kasus itu. Dengan
demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada periode
Rasulullah SAW belum muncul
teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa periode
sesudahnya . Sekalipun demikian,
Rasulullah SAW telah
mengemukak an
kaidah-kai dah umum dalam
pembentuka n hukum Islam, baik yang
berasal dari Al-Qur’an maupun dari sunnahnya sendiri.
Periode Kedua
Masa al-Khulafa ’
ar-Rasyidi n (Empat Khalifah
Besar) sampai pertengaha n abad
ke-l H. Pada zaman Rasulullah
SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah yang menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat, rujukan untuk tempat
bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar melihat bahwa perlu
dilakukan ijtihad apabila hukum untuk suatu persoalan yang muncul dalam
masyara’at tidak ditemukan di
dalam Al-Qur’an atau sunnah Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah
kekuasaan Islam membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan budaya di
masing-mas ing daerah.
Dalam keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk melakukan
ijtihad dan menjawab persoalan yang dipertanya kan tersebut dengan hasil ijtihad mereka. Ketika
itu para sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul dan
memusyawar ahkan persoalan itu.
Apabila sahabat yang menghadapi persoalan itu tidak memiliki teman
musyawarah atau sendiri, maka ia
melakukan ijtihad sesuai dengan prinsip-pr insip umum yang telah ditinggalk an Rasulullah SAW. Pengertian fiqh dalam periode ini masih sama dengan
fiqh di zaman Rasulullah SAW, yaitu bersifat aktual, bukan teori. Artinya,
ketentuan hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu saja, tidak merambat
kepada kasus lain secara teoretis.
Periode Ketiga
Pertengaha n abad ke-1 H
sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal pembentuka n fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan
(576-656), khalifah ketiga,
parasahaba t sudah banyak yang
bertebaran di berbagai daerah
yang ditaklukka n Islam.
Masing-mas ing sahabat
mengajarka n Al-Qur’an dan hadits
Rasulullah SAW kepada penduduk
setempat. Di Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas’ud (Ibnu
Mas’ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/ 665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) di
Madinah dan Ibnu Abbas di Makkah. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan
masyara’at setempat.
Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader
masing-mas ing yang dikenal
dengan para thabi’in. Para thabi’in yang terkenal itu adalah Sa’id bin Musayyab
(15-94 H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27-114H) di Makkah,
Ibrahiman- Nakha’i (w. 76 H) di
Kufah, al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/ 728M) di Basra, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus
di Yaman. Mereka ini kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah
masing-mas ing dan menjadi
panutan untuk masyara’at
setempat. Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-mas ing berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang
berbeda pula. Masing-mas ing ulama di
daerah tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah
mereka, sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut.
Dari perbedaan metode yang dikembangk an para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqh Islam
Madrasah al-hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra'yu.
Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz
dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-ra’yu dikenal
dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah.
Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad.
Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak
mengetahui
hadits-had its
Rasulullah SAW, di samping
kasus-kasu s yang mereka hadapi
bersifat sederhana dan pemecahann ya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad . Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab
permasalah an hukum lebih banyak
menggunaka n logika dalam
berijtihad .
Hal ini mereka lakukan karena hadits-had its Rasulullah SAW yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan
kasus-kasu s yang mereka hadapi
jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas maupun
kuantitas,
dibandingk an dengan yang
dihadapi Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz (Hedzjaz) berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya homogen,
sedangkan ulama Irak berhadapan
dengan masyara’at yang relatif
majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak
mengherank an jika ulama Irak
banyak menggunaka n logika dalam
berijtihad .
Pada periode ini, pengertian
fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan
pengertian ilmu,
sebagaiman a yang dipahami pada
periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang
ilmu keislaman yang mengandung
pengertian
mengetahui
hukum-huku m syara' yang bersifat amali
(praktis) dari dalil-dali lnya yang terperinci. Di samping fiqh, pada
periode ketiga ini pun usul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu
keislaman. Berbagai metode
ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangk an oleh ulama fiqh. Dalam
perkembang annya, fiqh tidak saja
membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi,
sehingga bermuncula nlah fiqh
iftiradi (fiqh berdasarka n pengandaia n tentang persoalan yang akan terjadi di masa
datang).
Pada periode ketiga ini pengaruh ra’yu (ar-ra'yu; pemikiran
tanpa berpedoman kepada
Al-Qur’an dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin
berkembang karena ulama Madrasah
al-hadits juga memperguna kan ra’yu dalam fiqh mereka. Di samping itu, di Irak
muncul pula fiqh Syiah yang dalam beberapa hal berbeda dari fiqh
Ahlusunnah wal Jama'ah
(imam yang empat).
Periode Keempat
Pertengaha n abad ke-2
sampai pertengaha n abad ke-4 H.
Periode ini disebut sebagai periode gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama
semakin berkembang . Pada periode
inilah muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu Mazhab Hanafi,
Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali. Pertentang an antara Madrasah al-hadits dengan
Madrasah ar-ra'yu semakin menipis sehingga
masing-mas ing pihak mengakui
peranan ra’yu dalam berijtihad ,
seperti yang diungkapka n oleh
Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di Universita s al-Azhar, Mesir, bahwa
pertentang an ini tidak
berlangsun g lama, karena
ternyata kemudian masing-mas ing
kelompok saling mempelajar i kitab fiqh
kelompok lain.
Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaiba ni, ulama dari Mazhab Hanafi yang dikenal sebagai
Ahlurra'yu
(Ahlulhadi ts dan
Ahlurra’yu ), datang ke Madinah
berguru kepada Imam Malik dan mempelajar i kitabnya, al-Muwatht ha' (buku hadits dan fiqh). Imam
asy-Syafi’ i, salah seorang tokoh
ahlulhadit s, datang belajar
kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaiba ni. Imam Abu Yusuf, tokoh
ahlurra’yu , banyak mendukung
pendapat ahli hadits dengan memperguna kan hadits-had its Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu
Zahrah. kitab-kita b fiqh banyak
berisi ra’yu dan hadits. Hal ini menunjukka n adanya titik temu antara
masing-mas ing kelompok.
Kitab-kita b fiqh pun
mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai menganut salah satu mazhab fiqh resmi
negara, seperti dalam pemerintah an Daulah Abbasiyah yang
menjadikan fiqh Mazhab Hanafi
sebagai pegangan para hakim di pengadilan . Di samping sempurnany a penyusunan kitab-kita b fiqh dalam berbagai mazhab, dalam periode ini
juga disusun kitab-kita b usul fiqh,
seperti kitab ar-Risalah
yang disusun oleh Imam asy-Syafi’ i. Sebagaiman a pada periode ketiga, pada periode ini fiqh
iftiradi semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi
pendekatan aktual di kala itu,
tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoretis. Oleh sebab itu, hukum untuk
permasalah an yang mungkin akan
terjadi pun sudah ditentukan .
Periode Kelima
Pertengaha n abad ke-4
sampai pertengaha n abad ke-7 H.
Periode ini ditandai dengan menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan
mereka cukup puas dengan fiqh yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama
lebih banyak mencurahka n
perhatian dalam mengomenta ri,
memperluas atau meringkas
masalah yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-mas ing. Lebih jauh, Mustafa Ahmad az-Zarqa
menyatakan bahwa pada periode
ini muncullah anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu
Zahrah menyatakan beberapa
penyebab yang menjadikan
tertutupny a pintu ijtihad pada periode
ini, yaitu sebagai berikut:
1.Munculny a sikap
ta'assub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan pengikut mazhab.
Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab
daripada mengikuti metode yang dikembangk an imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad;
2.Dipilihn ya para hakim
yang hanya bertaqlid kepada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk
menyelesai kan
persoalan, sehingga hukum fiqh
yang diterapkan hanyalah hukum
fiqh mazhabnya; sedangkan sebelum
periode ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang
tidak terikat sama sekali pada suatu mazhab; dan
3.Munculny a buku-buku
fiqh yang disusun oleh masing-mas ing mazhab; hal ini pun, menurut Imam Muhammad Abu
Zahrah, membuat umat Islam mencukupka n diri mengikuti yang tertulis dalam buku-buku
tersebut. Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu,
ijtihadnya hanya terbatas pada mazhab
yang dianutnya.
Di samping itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah,
perkembang an pemikiran fiqh
serta metode ijtihad menyebabka n
banyaknya upaya tarjadi (menguatka n satu pendapat) dari ulama dan munculnya
perdebatan
antarmazha b di seluruh daerah.
Hal ini pun menyebabka n
masing-mas ing
pihak/ mazhab menyadari kembali
kekuatan dan kelemahan masingmasi ng.
Akan tetapi, sebagaiman a dituturkan Imam Muhammad Abu Zahrah,
perdebatan ini
kadang-kad ang jauh dari
sikap-sika p ilmiah.
Periode Keenam
Pertengaha n abad ke-7 H
sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyy ah pada tahun 1286 H. Periode ini diawali
dengan kelemahan semangat ijtihad dan berkembang nya taklid serta ta'assub
(fanatisme ) mazhab.
Penyelesai an masalah fiqh tidak
lagi mengacu pada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW serta pertimbang an tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada sikap
mempertaha nkan pendapat mazhab secara
jumud (konservat if).
Upaya mentakhrij
(mengemban gkan fiqh
melalui metode yang dikembangk an imam
mazhab) dan mentarjih pun sudah mulai memudar.
Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajar i sebuah kitab fiqh dari kalangan
mazhabnya, sehingga
penyusunan kitab fiqh pada
periode ini pun hanya terbatas pada meringkas dan mengomenta ri kitab fiqh tertentu. Di akhir periode ini
pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan
penguasa pun sudah masuk ke dalam masalah-ma salah fiqh. Pada akhir periode ini dimulai upaya
kodifikasi fiqh (hukum) Islam
yang seluruhnya
diambilkan dari mazhab resmi
pemerintah Turki Usmani
(Kerajaan Ottoman; 1300-1922) , yaitu
Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan Majalah al-Ahkam
al-'Adliyy ah.
Periode Ketujuh
Sejak munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah sampai
sekarang. Ada tiga ciri pembentuka n
fiqh Islam pada periode ini, yaitu:
1. Munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyy ah sebagai hukum perdata umum yang
diambilkan dari fiqh Mazhab
Hanafi;
2. Berkembang nya upaya
kodifikasi hukum Islam; dan
3. Munculnya pemikiran untuk memanfaatk an berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai
dengan kebutuhan zaman.
Munculnya kodifikasi hukum
Islam dalam bentuk Majalah al-Ahkam al-'Adliyy ah dilatarbel akangi oleh kesulitan para hakim dalam
menentukan hukum yang akan
diterapkan di
pengadilan , sementara
kitab-kita b fiqh muncul dari
berbagai mazhab dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat.
Memilih pendapat terkuat dari berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para
hakim di pengadilan , di samping
memerlukan waktu yang lama. Oleh
sebab itu, pemerintah Turki
Usmani berpendapa t bahwa harus
ada satu kitab fiqh/ hukum yang
bisa dirujuk dan diterapkan di
pengadilan .
Untuk mencapai tujuan ini dibentukla h sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil
menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majalah
al-Ahkam al-'Adliyy ah
yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan
penyusunan Majalah al-Ahkam
al-'Adliyy ah, para penguasa
di negeri-neg eri Islam yang
tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula menyusun
kodifikasi hukum secara
terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun ketatanega raan.
Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari
berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-p endapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil
yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambila n pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat,
tetapi juga dari para sahabat dan thabi’in, dengan syarat bahwa pendapat itu
lebih tepat dan sesuai.
Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari berbagai
mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga
(al-Ahwal asy-Syakhs iyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai
pendapat mazhab.
Di dalam al-Ahwal asy-Syakhs iyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab
yang dianggap lebih sesuai diterapkan . Sejak saat itu bermuncula nlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada
tahun 1920 dan 1925 pemerintah
Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari
pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan demikian, seluruh pendapat
dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk
diterapkan di berbagai daerah sesuai
dengan kebutuhan.
Semangat kodifikasi
hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh pengaruh hukum
Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini
menyadarka n ulama untuk merujuk
kembali khazanah intelektua l
mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad
az-Zarqa, di daerah yang berpendudu k mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam
dengan beberapa penyesuaia n
dengan kondisi setempat mulai berkembang . Di banyak negara Islam telah
bermuncula n hukum keluarga yang
diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan,
Maroko, Afghanista n, Turki, Iran,
Pakistan, Malaysia dan Indonesia.
Ali Hasaballah , ahli
fiqh dari Mesir, mengatakan
bahwa upaya penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan
tetapi, pembentuka n dan
pengembang an hukum Islam
tersebut, menurutnya , tidak
harus mengacu kepada kitab-kita b
fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu
Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
SAW. Menurutnya , ijtihad jama'i
(kolektif) harus
dikembangk an dengan
melibatkan berbagai ulama dari
berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin
ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih
akomodatif jika
dibandingk an dengan hukum fiqh dalam
kitab berbagai mazhab.