Kata syari'ah telah beredar luas di kalangan umat muslim. Bahkan,
dalam al-Qur'an sendiri, kata tersebut telah dipakai antara lain pada Surah
al-Jatsiya h: 18.
Pemakaian kata tersebut
mengacu kepada makna ajaran dan norma agama itu sendiri. Dalam
perkembang an Islam
munculnya tiga kata
thariqah, haqiqah dan
ma'rifah, telah
mengakibat kan
terbatasny a
pengertian syari'ah
sehingga lebih banyak
mengacu pada norma hukum. Sedangkan tiga kata lainnya menjadi terma yang terkenal
dalam tasawuf. Karena itu ada baiknya kita lebih dahulu
berbicara tentang tasawuf itu
sendiri.
Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama, mereka adalah
kelompok spiritual dalam umat
Islam yang berada di tengah-ten gah dua kelompok lainnya yang disebut kelompok
formal dan kelompok Intelektua l. Kelompok intelektua l ini terdiri dari ulama-ulam a mutakallim (ahli teologi), sedangkan kelompok formal terdiri
dari ulama-ulam a muhaddits dan
fuqaha. Kedua, bahwa tasawuf itu hanyalah suatu kecenderun gan spiritual yang membentuk etika moral dan lingkungan sosial khusus. Sehingga
seharusnya kita katakan
seorang muhadditsi n
sekaligus juga ulama sufiyah,
begitu pula seorang mutakallim in
sekaligus juga ulama sufiyah.
Ajaran Tasawuf pada dasarnya merupakan bagian dari prinsip-pr insip Islam sejak awal. Ajaran ini tak ubahnya
merupakan upaya mendidik diri dan keluarga untuk hidup bersih dan
sederhana, serta patuh
melaksanak an
ajaran-aja ran agama dalam
kehidupann ya
sehari-har i. Ibnu Khaldun
mengungkap kan, pola dasar
tasawuf adalah kedisiplin an
beribadah,
konsentras i tujuan hidup
menuju Allah (untuk mendapatka n ridla-Nya) , dan upaya membebaska n diri dari keterikata n mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak
diperbudak harta atau
tahta, atau kesenangan
duniawi lainnya. Kecenderun gan
seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama. Pada angkatan
berikutnya (abad 2 H)
dan seterusnya , secara
berangsur- angsur terjadi
pergeseran nilai sehingga
orientasi kehidupan duniawi
menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang
mempertaha nkan pola hidup
sederhanan ya lebih dikenal sebagai
kaum sufiyah.
Keadaan tersebut berkelanju tan hingga mencapai puncak perkembang annya pada akhir abad 4 H. Dalam masa tiga abad
itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat
pola kehidupan mewah, seperti kita dapat simak dalam karya sastra "cerita
seribu satu malam" dimasa kejayaan kekhalifah an Abbasiyah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga
mengalami
perkembang an yang tidak
terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi mulai ditandai juga
dengan berkembang nya suatu
cara penjelasan teoritis yang kelak
menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut ilmu Tasawuf.
Pada tingkat perkembang an inilah muncul beberapa terma yang dulunya
tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman. Upaya penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha
dalam menjabarka n
prinsip-pr insip ajaran Islam
mengenai penataan kehidupan pribadi dan masyarakat yang sudah berkembang selama tiga abad -dengan
munculnya disiplin ilmu
Tasawuf- terjadilah pemisahan
antara dua pola penalaran, yaitu
produk penalaran ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari'ah, dan produk
penalaran ulama tasawuf yang disebut haqiqah. Selanjutny a para fuqaha pun disebut ahli syari'ah dan para ulama
tasawuf disebut ahli haqiqah.
Pada tahap perkembang annya, secara berangsur- angsur pola pikir dan pola hubungan antara
ahli syari'ah dan ahli haqiqah makin berbeda. Dan ini menimbulka n banyak pertentang an antara kedua kelompok
tersebut. Perbedaan tersebut ditandai
dengan beberapa hal berikut:
1. Ahli syari'ah menonjolka n -kadang-ka dang secara berlebih-l ebihan- soal pengalaman agama dalam bentuk yang
formalisti k
(syi'ar-sy i'ar
lahiriah). Sedang dilain pihak,
para ahli haqiqah menonjolka n
aspek-aspe k batiniah ajaran Islam.
2. Adanya teori-teor i ahli haqiqah yang menggusark an para ahli syari'ah, misalnya teori al-fana fi
'l-Lah (peleburan diri dalam
Allah) yang dikemukaka n Abu
Yazid al-Bustham i dan teori Hub
al-Lah (cinta Allah) hasil pemikiran Rabi'ah al-'Adawiy ah serta teori Maqamat-Ah wal (terminal- terminal dan situasi-si tuasi) ciptaan Dzunn-un
al-Mishri. Semua itu dianggap sebagai
ajaran aneh oleh para ahli syari'ah.
3. Sebagian ahli haqigah tidak merasa terikat dengan
syi'ar-syi 'ar agama yang
ritual-for malistis. Mereka
berkata, kalau seseorang sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas dari
ikatan-ika tan formal. Padahal,
para pendahulu mereka sangat disiplin dalam pengalaman syari'ah.
4. Ahli haqiqah mengklaim, siapa yang telah sampai
perjalanan
rohaniahny a kepada Allah dan
sudah terlebur dirinya dalam diri Allah, maka dia akan mampu
menaklukka n alam dan melakukan
hal-hal yang luar biasa (keramat).
Jurang pemisah yang makin hari makin melebar antara ahli syari'ah
dan ahli haqiqah makin menjadi-ja di pada sekitar akhir abad kelima Hijrah, dan
Imam Ghazali berupaya memulihkan nya. Dalam kaitan inilah beliau tampil dengan
karya besarnya Ihya 'Ulum al-Din. Dalam buku ini beliau
mempertemu kan
teori-teor i
syari'ah dengan
teori-teor i haqiqah Ternyata
upaya al-Ghazali ini sangat
membantu dalam merukunkan kembali
antara para ahli syari'ah dengan ahli haqiqah.
Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga
keagamaan
non-formal yang namanya
"tarekat" asal kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai Tarekat
Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Tarekat Naqsyaband iyah, Syadziliya h, Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya langkah
lebih maju dalam perkembang an tarekat-ta rekat tersebut dengan adanya
koordinasi antara berbagai macam
tarekat itu lewat ikatan yang dikenal dengan nama
Jam'iyah Ahl
al-Thariqa h
al-Mu'taba rah. Pada tahun
lima puluhan, pemerintah
Mesir menempatka n
pembinaan dan
koordinasi
tarekat-te rekat tersebut di
bawah Departemen Bimbingan
Nasional (Wizarah al-Irsyad
al-Qaumi).
Pertimbang annya ialah,
bagaimanap un
keberadaan
penganut-p enganut tarekat itu
merupakan bagian dari
potensi bangsa/ umat, yang
berhak mendapatka n
perlindung an dalam rangka tertib
kemasyarak atan suatu negara.
Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu, ada baiknya kita
mempertany akan kapankah
munculnya tarekat (al-thuruq
al-shufiya h) itu dalam sejarah
perkembang an gerakan tasawuf
Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan
syi'ah mengungkap kan, tokoh
pertama yang memperkena lkan
sistem thariqah (tarekat) itu
Syekh Abdul Qadir al-Jilani
(w. 561 H/ 1166 M) di
Baghdad. Ajaran tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yang
mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghinia dan Jawa. Sedangkan di Mesir, tarekat yang banyak
pengikutny a Tarekat
Rifa'iyyah yang dibangun Sayid
Ahmad al-Rifa'i. Dan tempat
ketiga diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi (w.
672 H/ 1273 M). Beliau
membuat tradisi baru dengan menggunakan alat-alat musik sebagai sarana dzikir. Kemudian sistem
ini berkembang terus dan
meluas. Dalam periode berikutnya
muncul tarekat al-Syadzil iyah
yang mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan dunia Islam bagian Timur pada umumnya.
Yang juga perlu dicatat di sini ialah munculnya Tarekat Sanusiyah
yang mempunyai disiplin
tinggi mirip disiplin militer. Di bawah syeikhnya yang terakhir, Sayyid Ahmad
al-Syarif
al-Sanusi berhasil
menggalang satu kekuatan
perlawanan rakyat yang mampu
memerangi kolonialis Italia,
Perancis dan Inggris secara berturut-t urut, dan akhirnya membebaska n wilayah Libya. Mungkin sifat keras dari iklim
yang dibentuk Tarekat Sanusiyah inilah yang mewarnai Mu'ammar
al-Qadafi
mengambil alih kekuasaan dan
berkuasa sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.
Nicholson mengungkap kan
hasil penelitian nya, bahwa
system hidup bersih dan bersahaja (zuhd) adalah dasar semua tarekat yang
berbeda-be da itu. Semua
pengikutny a dididik dalam
disiplin itu, dan pada umumnya tarekat-ta rekat tersebut walaupun beragam namanya dan
metodenya, tapi ada beberapa
ciri yang menyamakan :
1. Ada upacara khusus ketika seseorang diterima menjadi penganut
(murid). Adakalanya sebelum yang
bersangkut an diterima menjadi
penganut, dia harus terlebih dahulu menjalani masa persiapan yang berat.
2. Memakai pakaian khusus (sedikitny a ada tanda pengenal)
3. Menjalani riyadlah (latihan dasar)
berkhalwat . Menyepi dan
berkonsent rasi dengan shalat dan
puasa selama beberapa hari (kadang-ka dang sampai 40 hari).
4. Menekuni pembacaan dzikir tertentu (awrad) dalam
waktu-wakt u tertentu setiap
hari, ada kalanya dengan alat-alat bantu seperti musik dan gerak badan yang
dapat membina konsentras i ingatan.
5. Mempercaya i
adanya kekuatan gaib/ tenaga dalam pada
mereka yang sudah terlatih, sehingga dapat berbuat hal-hal yang berlaku di luar
kebiasaan.
6. Penghormat an
dan penyerahan total kepada
Syeikh atau pembantuny a yang tidak
bisa dibantah
Dari sistem dan metode tersebut Nicholson menyimpulk an, bahwa tarekat-ta rekat sufi merupakan bentuk
kelembagaa n yang
terorganis asi untuk membina
suatu pendidikan moral dan
solidarita s sosial. Sasaran
akhir dari pembinaan pribadi dalam pola hidup bertasawuf adalah hidup bersih, bersahaja, tekun beribadah kepada Allah,
membimbing
masyarakat ke arah yang diridlai
Allah, dengan jalan pengamalan
syari'ah dan penghayata n
haqiqah dalam sistem/ metode
thariqah untuk mencapai ma'rifah.
Apa yang dimaksud dengan kata ma'rifah dalam terma mereka ialah
penghayata n puncak
pengenalan keesaan Allah dalam
wujud semesta dan wujud dirinya sendiri. Pada titik pengenalan ini akan terpadu makna tawakkal dalam tawhid,
yang melahirkan sikap pasrah
total kepada Allah, dan melepaskan dirinya dari ketergantu ngan mutlak kepada sesuatu selain Allah.
Daftar Kepustakaa n
Abu 'l-Hasan al-Nadawi,
Rijal al-fikri wa 'l-Da'wah fi
'l-lslam.
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam dan Zhuhur al-Islam
Imam al Ghazali, Ihya 'Ulum al-Din
Irnam Ibn Khaldun, al-Muqaddi mah.
Kamil Mushthafa al-Syibli, al-Shilah bain al-Tashaww uf wa 'l-Tasyayy u'.