Sebenarnya , keyakinan bahwa Tuhan bertempat terimbas oleh cerita-cer ita tradisiona l bahwa ‘alam Tuhan’ itu berada di langit, seiring dengan ‘alam dewa-dewa’ keyakinan non muslim. Alam dewa dan alam Tuhan selalu dikaitkan dengan alam tinggi, yang dipersepsi berada di langit, dalam arti ruang yang sesungguhn ya. Sehingga, kita sering mendengar cerita-cer ita tentang ‘turunnya’ para dewa-dewi, bidadari, atau bahkan ‘Tuhan’ sendiri dari langit nun jauh di sana menuju ke Bumi.
Sebenarnya , konsep seperti ini bukan konsep Islam. Melainkan konsep keyakinan pagan yang justru diluruskan oleh datangnya Islam yang dibawa oleh para Nabi dan keluarga nabi Ibrahim alaihi salam – termasuk keturunan terakhirny a Rasulullah Muhammad Shallallah u Alaihi Wasallam
Keyakinan pagan adalah keyakinan yang menyembah dewa-dewi dan unsur-unsu r alam. Di antaranya adalah keyakinan penyembah Matahari, Bintang, Bulan, penyembah api, penyembah pepohonan, gunung-gun ung, dan lain sebagainya . Tanpa disadari, doktrin-do ktrin keyakinan kuno ini meresap dalam pemahaman segelintir umat Islam dalam konsep keimananny a. Termasuk keimanan kepada Allah ta’ala
Ada di antara kita, yang menganggap
Allah ta’ala adalah Tuhan yang bertempat di dalam Surga atau di alam
akhirat atau di langit yang ke tujuh, di Sidratul Muntaha, atau berada
di alam tinggi, di atas awan sana. Sebuah negeri dongeng jaman dahulu
kala, yang tidak akan pernah anda temui ketika anda naik pesawat
ruang angkasa sekalipun,
baik dengan teknologi pesawat ruang angkasa pada masa kini maupun
nanti. Karena itu, ada di antara umat Islam yang berpendapa t, untuk bertemu Allah kita harus mengarungi jarak ke langit, ke luar angkasa sana. Termasuk ketika Rasulullah shallallah u alaihi wasallam Mi’raj. Beliau datang ke Sidratul Muntaha itu dipersepsi untuk bertemu Allah. Sebab, dalam persepsi mereka, Allah itu di langit, jauh dari kita.
Sungguh ini bukan konsep Al Qur’an. Ini bukan konsep Islam.
Ini adalah konsep keyakinan pagan, karena di dalam Al Qur’an, Allah
digambarka n sebagai Dzat
Maha Besar yang tidak menempati ruang. Justru Dia meliputi ruang,
sebesar apa pun ruang itu. Termasuk ruang alam semesta yang tidak
diketahui tepinya hingga kini.
Termasuk ketika Rasulullah shallallah u
alaihi wasallam melakukan Mi’raj, beliau bukan bertujuan untuk
bertemu Allah di Sidratul Muntaha, karena Allah ta’ala memang bukan
‘tinggal’ di Sidratul Muntaha. Allah adalah Dzat yang digambarka n Al Qur’an ‘sangat dekat’ dengan kita. Bahkan lebih dekat daripada urat leher kita sendiri.
Allah ta’ala sendiri yang menyampaik an tentang diriNya bahwa “Aku adalah dekat”
“Dan apabila hamba-hamb a-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“.( Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] :16 )
“Dan sujudlah dan dekatkanla h (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
Di dalam berbagai ayat, justru Allah ta’ala digambarka n
memenuhi seluruh ruang. Bahkan ruang itu sendiri tidak muat untuk
mewadahi DzatNya yang Maha Besar. Allah ta’ala berfirman dalam hadist
Qudsi yang diriwayatk an oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.: “Sesungguhn ya langit dan bumi tidak akan/ mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimany a.”
Kemana pun kita menghadap kita akan berhadapan dengan Dzat Allah itu. Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhn ya Allah Maha Luas (rahmat-Ny a) lagi Maha Mengetahui” (QS Al Baqarah [2]:115)
Salah satu kepahaman keyakinan pagan yang sangat melekat pada kepahaman segelintir umat Islam adalah tentang keberadaan surga. Kebanyakan kita memperseps i surga sebagai suatu istana yang indah yang berada di atas langit dan jauh dari bumi. Sebagaiman a konsep dewa-dewi dalam keyakinan pagan itu. Sampai-sam pai ada juga yang berpendapa t bahwa Allah ta’ala itu berada di surga. Yang ini adalah konsep keyakinan kaum Nasrani – berpendapa t Tuhannya berada di Surga.
Pemahaman seperti kaum Nasrani tersebut pada hakikatnya dipengaruh i oleh kaum Yahudi yang mengaku-ak u sebagai “murid” Nabi Isa alaihi salam. Kaum Yahudi yang hendak membunuh para Nabi termasuk Nabi Isa alaihi salam.
Kaum Yahudi yang pada saat ini dikenal sebagai kaum Zionis
Yahudi adalah mereka yang mengikuti kembali keyakinan pada masa
kerajaan Sulaiman , peninggala n
mesir kuno yakni kitab thalmud sebuah kitab yang berasal dari para
penyihir di zaman Mesir Kuno yang menganut ajaran Kaballah (menyembah Lucifer). Mereka yang mengikuti ajaran paganisme peninggala n Mesir kuno . Mereka berpaling dari kitab suci Taurat
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarka n apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-oran g yang diberi kitab (Taurat) melemparka n kitab Allah ke belakang (punggung) nya, seolah-ola h mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah).” (QS Al Baqarah [2]: 101 )
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-sy aitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjaka n sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjaka n sihir), hanya syaitan-sy aitan lah yang kafir (mengerjak an sihir).” (QS Al Baqarah [2]:102 )
Dalam Al-Quran Allah Ta’ala menceritak an
Kisah Nabi Musa AS dan Fir’aun yang telah mengaku sebagai Tuhan, ia
tidak percaya dengan adanya Tuhan selain nya, dan otomatis juga tidak
percaya bahwa Nabi Musa as adalah seorang utusan (Rasul) Tuhan,
karenanya Fir’aun berkeyakin an
bahwa setiap yang ada (wujud) pasti punya tempat. Memang sangat
wajar bila seorang Fir’aun menyangka demikian, karena ia telah
mengaku diri nya Tuhan, tentu dipikirann ya
Tuhan Nabi Musa as juga seperti diri nya, harus punya tempat yang
jelas, tapi yang sangat tidak wajar bila keyakinan Fir’aun itu
(setiap yang ada pasti punya tempat) juga diyakini oleh mereka yang
mengaku paling bertauhid. Fir’aun mencoba meraba apa yang disampaika n oleh Nabi Musa as bahwa Nabi Musa as adalah utusan “Tuhan yang memiliki langit dan bumi”, tentu saja Fir’aun mempertany akan di mana keberadaan Tuhan Nabi Musa itu, karena Fir'aun yakin “setiap yang ada pasti punya tempat”
Keberadaan Allah Azza wa Jalla ada sebagaiman a sebelum diciptakan 'Arsy, sebagaiman a sebelum diciptakan langit, sebagaiman a sebelum diciptakan ciptaanNya . Dia tidak berubah dan tidak pula berpindah. Dia sebagaiman a awalnya dan sebagaiman a akhirnya. Allah Azza wa Jalla dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak juga tidak berarah.
Imam Syafi'i ~rahimahul lah menyampaik an, “Sesungguhn ya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptaka n tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifa t-Nya yang Azali sebelum Dia menciptaka n tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifa t-Nya”
Dilain kitab Imam Syafi'i ~rahimahul lah menyampaik an, “Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptaka n tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptaka n tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifa t-Nya.
Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah
bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan
batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan
makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua".
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang akidah
mereka yang semula para pengikut Mazhab Hambali, apakah akidah Imam
Ahmad bin Hambal seperti akidah mereka ?
Beliau menjawab:
فأجاب بقوله : عقيدة إمام السنة أحمد بن حنل رضي الله عنه وأرضاه وجعل
جنان المعارف متقلبه ومأواه وأقاض علينا وعليه من سوابغ امتنانه وبوأه
الفردوس الأعلى من جنانه موافقة لعقيدة أهل السنة والجماعة من المبالغة
التامة في تنزيه الله تعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علوا كبيرا من
الجهة والجسمية وغيرهما من سائر سمات النقص ، بل وعن كل وصف ليس فيه كمال
مطلق ، وما اشتهر به جهلة المنسوبين إلى هذا الإمام الأعظم المجتهد من
أنه قائل بشيء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه ، فلعن الله
من نسب ذلك إليه أو رماه بشيء من هذه المثالب التي برأه الله منها
"Akidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoiny a dan menjadikan nya meridhoi-N ya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya , adalah sesuai dengan akidah Ahlussunna h wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh orang-oran g zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifa t buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang menunjukka n ketidaksem purnaan Allah.
Adapun ungkapan-u ngkapan yang terdengar dari orang-oran g jahil yang mengaku-ng aku sebagai pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat dan semisalnya ,
maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji
terhadap beliau. Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh beliau dengan tuduhan yang Allah telah membersihk an beliau darinya itu".
al-Imam Abu Sa’id al-Mutawal li asy-Syafi’ i (w 478 H) dalam kitab al-Ghunyah Fi Ushuliddin menuliskan sebagai berikut:
“Kaum Karramiyya h, Hasyawiyya h dan Musyabbiha h yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas. Bahkan sebagian dari kelompok-k elompok tersebut mengatakan bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat. Allah Maha Suci dari keyakinan kelompok-k elompok tersebut. Dalil akal bahwa Allah Maha Suci dari tempat adalah karena apabila ia membutuhka n kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah qadim sebagaiman a Allah Qadim. Atau sebaliknya , bila Allah membutuhka n tempat maka berarti Allah baharu sebagaiman a
tempat itu sendiri baharu. Dan kedua pendapat semacam ini adalah
keyakinan kufur. Kemudian bila Allah bertempat di atas arsy, seperti
yang diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa
sama besar dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari
arsy. Dan semua pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah
menetapkan adanya ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah".
Tulisan kali ini kami akhiri dengan uraian dari ulama Ahlussunna h wal Jama'ah, keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam, Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki dalam Wa huwa bi al’ufuq al-a’la dan diterjemah kan oleh Sahara , publisher dengan judul Semalam bersama Jibril ‘alaihissa lam: Rekaman berbagai peristiwa besar sepanjang perjalanan akbar dari Mekkah al-Mukarra mah menuju Sidrah al Muntaha pada halaman 284 dan 286 menyampaik an,
Halaman 284,
"Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turun nya Rasulullah ,
seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya
terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur.
Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahka n kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallah u
alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau
lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam
ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallah u alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissal am,
ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah
sama hal ketiadaan jarak Allah ta’ala dengan ciptaan-Ny a, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakter batasannya dan ketidakter tangkapnya . Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissal am sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallah u walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukka n kedudukan beliau di hadapan penduduk langit dan beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Penegertia n ini dikuatkan dengan dinaikkann ya
beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu
para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat beliau tanpa menggunaka n buraq".
Halaman 286:
"Ketahuila h bahwa bolak-bali knya Nabi Muhammad shallallah u alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissal am
dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak
berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah
dari hal itu dengan sesuci-suc inya.
Ucapan Nabi Musa alaihissal am kepada beliau, “Kembalila h kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalila h ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissal am ke tempat beliau bermunajat
dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang
diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah
Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallah u alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingk an dengan yang lain. Sebagaiman a lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissal am di bumi.
Walaupun beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati
suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau
shallallah u alaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihissal am
ketika ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke
dasarnya adalah sama dalam kedekatan dengan Allah ta’ala. Kaerena
Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari
menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkir ah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki mengatakan , ‘Telah mengabarka n kepadaku banyak dari sahabat-sa habat kami dari Imam al-Haramai n
Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia
ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia
Mahasuci dari hal itu” Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukka n oelh hadits ini?” Ia menjawab, “Sesungguh nya Yunus bin Matta alaihissal am menghempas kan
dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada
di dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada
Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhn ya aku termasuk orang-oran g yang zhalim,” sebagaiman a Allah ta’ala memberitak an tentang dia. Dan ketika Nabi Muhammad shallallah u
alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga
sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan
bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallah u alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingk an Nabi Yunus alaihissal am yang berada dikegelapa n lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembuny i atasNya, keadaan mereka bagaimanap un mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka. Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkakn ya semut hitam di atas batu yang hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaiman a
Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit
yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu".
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830