Dalam tulisan sebelumnya pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/02/13/ pembentuk-a khlakul-ka rimah/ telah disampaika n bahwa amal yang dilakukan berlandask an ilmu yang benar maka akan terwujud akhlakul karimah. Sebagaiman a diperibaha sakan
oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin
merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati
dan tidak sombong. Sesuailah dengan tujuan Rasulullah shallallah u alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla untuk membentuk manusia yang berakhlak baik.
Rasulullah menyampaik an yang maknanya “Sesungguhn ya aku diutus (Allah) untuk menyempurn akan Akhlak.” (HR Ahmad)
Kita kaum muslim beragama adalah merupakan bagian dari upaya meneladani akhlak manusia yang paling mulia, Nabi Muhammad shallallah u alaihi wasallam.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sesungguhn ya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatanga n) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:2 1)
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4 )
Jadi kalau ada seseorang dikenal telah mendalami ilmu agama namun tidak berakhlak baik maka bisa dipastikan ilmu agama yang dipahaminy a telah keliru, tidak disesuai dengan apa yang disampaika n oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Boleh jadi mereka mengambil ilmu dari ulama yang tidak jelas
sanad ilmu atau sanad gurunya sehingga tidak terjaga kemurnian ilmu
karena telah bercampur dengan akal pikiran manusia yang didalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentinga n.
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikan nya (sanad ilmu)”
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama,
kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja
yang mau dengan apa saja yang diinginkan nya.” (Diriwayat kan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda…”Barangsiap a yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediaka n tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmid zi)
Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimulla h mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Boleh jadi pula mereka adalah korban hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarka n oleh kaum Zionis Yahudi yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan akal pikiran sendiri tanpa mempedulik an sanad ilmu atau sanad guru.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Barangsiap a menguraika n Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarka n akal pikiran, sesungguhn ya agama itu dari Tuhan, perintah-N ya dan larangan-N ya.” (Hadits riwayat Ath-Thabar ani)
Salah satu penghasutn ya
adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang
dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens
menyelidik i dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpu lan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab ) dan istiqomah mengikuti tharikat-t harikat tasawuf.
Dalam tulisan sebelumnya pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/02/02/ potongan-pe rkataan-ul ama/ telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh potongan perkataan ulama.
Dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/02/03/ terhasut-pe ngalihan-m akna/ telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh pengalihan makna perkataan ulama.
Dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/02/05/ menyalah-ma knakan-had its/ telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh penyalah makna dari hadits.
Dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/02/08/ terhasut-pe mbatasan-m akna/ telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh pembatasan makna dari firman Allah ta’ala contohnya “sabilil mu’minin” , “jalan orang-oran g mu’min” (QS An Nisaa’ [4] : 115) terbatas hanya pada para Sahabat .
Ditengarai kaum Zionis Yahudi dalam upaya mereka menyebarlu askan paham anti mazhab maka diciptakan lah istilah manhaj salaf atau mazhab salaf.
Manhaj salaf berbeda dengan manhaj (jalan/ cara) Salaf yang sholeh karena kita tahu bahwa ada pula salaf yang tidak sholeh. Imam Mazhab yang empatpun yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf yang sholeh tidak pernah menyampaik an adanya manhaj salaf maupun mazhab salaf.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam, para Salaf yang sholeh ataupun Imam Mazhab yang empat menyampaik an kata salaf tidak lebih dalam makna terdahulu atau pendahulu bukan menyampaik an adanya manhaj salaf atau mazhab salaf.
Kalau mereka memang ingin mengikuti penerapan, perbuatan, contoh nyata atau manhaj, jalan atau cara beribadah dari Salafush Sholeh maka mereka dapat mengikuti apa yang disampaika n oleh Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang empat melihat langsung penerapan, perbuatan, contoh nyata atau manhaj, jalan atau cara beribadah dari Salafush Sholeh.
Sedangkan mazhab salaf itu jelas tidak ada karena penamaan mazhab dinisbatka n kepada nama perorangan yang melakukan ijtihad dan istinbat. Jadi tidak ada nama imam mazhab atau imam mujtahid mutlak yang bernama salaf bin fulan.
Ulama besar Syria, Dr. Said Ramadhan Al-Buthi dengan adanya gerakan paham anti mazhab menuliskan buku berjudul “Al-Laa Mazhabiyah , Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiy ah”. Kalau kita terjemahka n secara bebas, kira-kira makna judul itu adalah : “Paham Anti Mazhab, Bid’ah Paling Gawat Yang Menghancur kan Syariat Islam”. Sekilas ulasan buku tersebut dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/02/13/ 2011/01/18/ paham-anti- mazhab/
Berikut cuplikan dialog antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi bersama Ulama Muhammad Nashiruddi n al-Albani, seorang tokoh Wahhabi dari Yordania, sebelum syaikh al Buthi menuliskan buku tersebut di atas
Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-huku m Allah, apakah Anda mengambiln ya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Aku membanding kan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dali l mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagan gkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya , atau menunggu setahun lagi?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaan nya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”
Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kita b tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”
Ulama Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membanding kan dan meneliti dalil-dali l para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Ya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan
kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad
para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-p endapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”
Ulama Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membanding kan madzhab-ma dzhab
yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’.
Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?”
Ulama al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya .”
Syaikh al-Buthi bertanya; “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?”
Ulama al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamk annya?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ah-ny a siapa di antara qira’ah yang tujuh?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”
Syaikh Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-be da?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wa ta’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang datang dari Nabi shallallah u alaihi wasallam secara mutawatir.”
Ulama Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajar i qira’ah-qi ra’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajar i fiqih madzhab al-Syafi’i , juga tidak sempat mempelajar i madzhab-ma dzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-huku m agamanya kecuali mempelajar i fiqihnya Imam al-Syafi’i. Apabila Anda mengharusk annya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajar i semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukann ya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmam puan muqallid dalam masalah ini.
Bagaimanap un, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapa t bahwa seorang muqallid harus berpindah- pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkan nya. Maksudnya sebagaiman a ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah- pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintah kan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan ,
menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian
lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi
kafir.”
Menghadapi pertanyaan tersebut, ulama al-Albani terdiam.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830