BAB I
SEJARAH ULUMUL QUR’AN
A. Pengertian Sejarah
Sejarah secara etimologi dapat ditelusuri dari asal kata sejarah yang sering dikatakan berasal dari Arab syajarah, artinya “pohon”. Untuk menyebut sejarah dalam ilmu pengetahua n sebetulnya berasal dari bahasa Yunani (istoria) yang berarti pengetahua n tentang gejala-gej ala alam, khususnya manusia yang bersifat kronologis . Makna sejarah bisa mengacu kepada dua konsep yaitu : Pertama, sejarah memberikan pemahaman akan arti objektif tentang masa lampau, dan hendaknya dipahami sebagai aktualitas atau peristiwa itu sendiri. Kedua, sejarah menunjukka n maknanya yang subjektif, sebab masa lampau itu telah menjadi sebuah kisah atau cerita tentang suatu hal yang di dalam proses pengkisaha n itu terdapat kesan yang dirasakan oleh sejarahwan berdasarka n pengalaman dan lingkungan pergaulann ya.
B. Pengertian Qur’an
Ulumul Qur’an adalah susunan idhafah yang terdiri dari kata Ulum dan kata Al- Qur’an. Hal ini menuntut kita agar mengetahui dua kata di atas masing-mas ing, baik dari segi bahasa (leksikal) maupun dari segi istilah (gramatika l), kemudian perlu dijelaskan pengretian yang dimaksud dengan rangkaian kata-kata yang tesusun secara idhafi.
Al-Ulum
Al-ulum merupakan bentuk jamak dari Al-ilm (ilmu), yang
mempunyai arti lawan dari al-jahl (bodoh). Al-‘ilm semakna dengan kata
al-fahm dan kata al-ma’rifa h. Makna yang dikehendak i disini adalah “pengetahu an terhadap sesuatu dengan sebenar-be narnya atau dengan dilandasi keyakinan, yakni adanya an-Nur yang datangnya dari Allah untuk menyinari hati sanubari.” 1
Kemudian kata ilmu secara mutlak diartikan mempunyai fungsi yang membahas suatu permasalah an dan pokok-poko knya yang berkaitan dengan satu bidang tertentu, seperti ilmu nahwu, ilmu kedokteran , ilmu kimia, dan sebagainya .
Al-Qur’an
Pada saat Allah SWT menciptaka n hamba-hamb anya, Dia memberikan pertolonga n dan bimbingan ke jalan yang lurus dan berpegang teguh ke jalan yang benar. Dan dalam jiwa hamba-hamb a Nya tertanam fitrah yang berfungsi sebagai pembimbing yang menunjukka n ke jalan yang selalu benar.
“Dan (ingatlah) , ketika Tuhanmu mengeluark an keturunan Adam dari sulbi mereke dan Allah mengambil kesaksian kepada jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “betul (Engkaulah Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : Sesungguhn ya kami (Bani Adam) adalah orang-oran g yang lengah terhadap kesaksian ini.” (Q.S Al-A’raf:1 72).
Dan Allah mengutus rasul-rasu l-Nya kepada mereka, yang berfungsi untuk meluruskan keyakinan, membimbing
mereka kepada hal-hal yang baik, baik yang berkaitan dengan kehidupan
dunia maupun akhirat. Secara Etimologi ada terdapat perbedaan pendapat
dari sebagian para ulama tenteng lafal Al-Qur’an, tetapi setelah dilakukan kajian mereka sepakat bahwa lafal Al-Qur’an adalah ism (isim/ kata benda), bukan fi’il (fi’il / kata kerja) atau harf (huruf). Isim yang dimaksud dalam[1] bahasa Arab sama dengan keberadaan isim-isim yang lain, kadang berupa isim jamid atau disebut isim musytaq. Sebagian ulama juga ada yang berpendapa t, bahwa Al-Qur’an tersebut adalah ismu jamid ghairu mahmuz, yaitu sebuah isim yang bersangkut an
dengan nama yang khusus diberikan kepada Taurat dan Injil. Pendapat ini
diwakili oleh Ibnu Katsir dari mazhab Syafi’i. Sebagian ulama lain
berpendapa t, bahwa lafal Al-Qur’an adalah ismu musytaq, namun mereka masih terbagi ke dalam dua golongan:
- Golongan pertama diwakili, antara lain oleh Al-Asy’ari
(Zarkasyi, 1, 1400:278). Yang berpendapa t kata Al-Qur’an diambil dari kalimat “Qaranat asy-syai’u bis-sya’i idza dhammamatu h ilaihi.” Ada juga berpendapa t, diambil dari kalimat “Qarana baina al-ba’irai n, idza jama’a bainahuma” . Dari kalimat terakhir ini muncul sebutan Qiran terhadap pengumpula n pelaksanaa n ibadah haji dan umrah dengan hanya satu ihram. - Golongan kedua diwakili, antara lain oleh al-Farra (Suyuthi,1
,1343:87). Berpendapa t bahwa lafal Al-Qur’an musytaq dari kata qara’un, jamak dari kata qarinah, karena ayat-ayat al-Qur’an (lafalnya) banyak yang sama antara yang satu dengan yang lain. - F. Sejarah Al-Qur’an
- 1. Masa Rasulullah
Dalam sejarah kehidupan Rasulullah SAW. Kita temui pribadi yang seluruh kehidupann ya menyerupai lembaran buku terbuka dari kulit ke kulit, dari saat lahir yang yatim hingga masa kanak-kana k,
masa remaja, masa kerasulan dan saat-saat menjadi pengusaha seluruh
Arabia, hingga akhrinya ke saat wafatnya. Beliau dicatat sebagai seorang
yang tidak mampu membaca tulisan, seorang yang ummi. Karena itu, ayat yang pertama kali turun kepada Rasulullah SAW. Perintah membaca ini turun pada saat ia sedang dalam perenungan nya di Gua Hira dekat Jabal Nur. Allah Maha Pengasih memanggiln ya, dan Allah mengutus malaikat Jibril untuk menyampaik an wahyu kepada Rasulullah S.A.W. “ Baca! Atas nama Tuhan Yang Mencipatka n segalanya; Mencipatak an manusia dari segumpal darah; Baca! Tuhanmu Maha Mukya; Yang telah mengajar menggunaka n pena; mengajar manusia segala yang belum diketahui” . (QS. Al-‘Alaq: 1-5). Kejadian yang baru dialami beliau tersebut diceritaka n kepada isteri beliau yaitu Siti Khadijah. Dan juga beliau membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang dihafalnya kepada Siti Khadijah.
Ketika Allah SWT. memerintah kan kepada Nabi Muhammad SAW agar melaksanak an secara terang-ter angan terhadap apa yang diperintah kan, agar mempublika sikan dakwah Islam, maka Nabi melaksanak an perintah tersebut. Dalam hal ini beliau tidak sendirian dalam menyebarka n
agama Islam, beliau juga dapat dukungan dari kakek Abu Mutholib, Zaid
bin Tsabit, Abu Bakar Ashidiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali
bin Abu Tholib, dan beberapa sahabat lainnya. Dengan merekalah
perjuangan Nabi
Muhammad SAW dalam mengajak umat manusia untuk masuk Islam, yakni
menerima Islam sebagai agamanya dan juga menerima Al-Qur’an. mereka (yang mendapat hidayah dengan memeluk Islam) membacanya dengan benar, dan mereka selalu berkumpul dirumah Arqam bin Abi al-Arqam. untuk menghafal al-Qur’an dan mempelajar i ayat-ayat secara detail. mereka adalah orang-oran g Arab asli. Hal inilah yang memudahkan mereka memahami al-Qur’an,
karena bahasa al-Qur’an merupakan bahasa yang sudah menjadi satu jiwa
mereka. Jika[2] mereka menemukan kesulitan makna yang trekandung dalam al-Qur’an ataupun ada yang terasa kurang jelas tujuannya, mereka bias saling bertanya. Hal ini disebabkan , diantara mereka ada yang lebih tahu dari yang lain dan kadar pengetahua nnya berbeda. Apabila belum mendapatka n jawaban yang memuaskan, mereka langsung bertanya kepada Nabi, dan beliau memberikan penjelasan secara detail.
Sejak agama Islam mulai di dakawahkan oleh Nabi Muhammad SAW bisa dikatakan mulai saat itu juga Ulum al-Qur’an telah tumbuh. Hal ini dikarenaka n adanya penghafal, penyalinan , dan penafsiran , yang kesemuanya termasuk ilmu-ilmu al-Qur’an yang sangat penting. Akan tetapi istilah disiplin ilmu Ulum al-Qur’an belum dikenal pada masa ini.
- 2. Masa Sahabat
Pada masa sahabat memperhati kan situasi dan kondisi pembelajar an al-Qur’an (Ulum al-Qur’an) sangat baik secara lisan. Walaupun pada masa itu istilah kodifikasi masih belum dikenal. Ada beberapa factor yang melatar belakangi para sahabat untuk tidak melakukan kodifikasi
pada saat itu, yaitu: pertama, karena para sahabat pada umumnya adalah
ummi (tidak bisa baca), bahkan kurang mengenal adanya bacaan dari
tulisan; kedua, keterbatas an alat-alat tulis di kalangan mereka; ketiga, apabila ada masalah dalam memahami al-Qur’an mereka langsung menanyakan kepada Rasul; keempat Rasulullah melarang para sahabat menulis selain al-Qur’an, lewat sabdanya yang terkenal: “Jangan kamu menulis selain apa yang kusampaiak an (Hadits). Barang siapa yang menulis sesuatu dariku selain al-Qur’an, hendaknya menghapusn ya”. (H.R. Muslim). Sebagian orang mempunyai asumsi bahwa Rasulullah SAW melarang para sahabat menulis apapun selain al-Qur’an, disebabkan kekhawatir an beliau akan bercampurn ya al-Qur’an dengan yang bukan al-Qur’an. Menurut pendapat saya, bahwa asumsi tersebut tidak benar dan terkesan kurang menghargai kecendikia wan para sahabat. Padahal larangan tersebut menunjukka n bahwa para sahabat adalah orang-oran g yang mempunyai kecerdasan dalam bersikap, dan mampu merasakan nikmatnya gaya penjelasan al-Qur’an. Mereka juga mempunyai kemampuan menilai gaya bahasa dan wazan kalimatnya . Mereka juga bisa mengetahui kemukjizat an al-Qur’an secara sempurna meskipun hanya melalui proses mendengark an, sementara sebagian yang lain menguasain ya dengan hati. Jadi, bagaimana baik dengan sesuatu yang bukan bersumber dari al- Qur’an, semisal hadits-had its Nabi, apalagi dengan ungkapan yang dibikin manusia. Alasan peperangan itu dlatarbela kangi oleh Rasulullah SAW. yang mengingink an adanya tanggnug jawab seluruh sahabat tanpa pandang bulu dalam menyampaik an dan meneruskan dakwah beliau. Seaindainy a
upaya penulisan selain al-Qur’an diberi izin, maka mereka yang tidak
bisa membaca dan menulis akan mempunyai asumsi bahwa tanggung jawab
dalam menyampaik an dakwah hanya terbatas bagi para penulis saja. Sebab para penulis bisa memelihara nash-nash hukum lewat tulisan-tu lisan mereka, dan tanggung jawab benar-bena r dibebankan ke pundak mereka. Maka ketika Rasulullah SAW. jadikan para sahabat menerima segala sesuatu dari Rasulullah SAW. untk disampaika n kepada yang belum mendengark an,
dan tidak terdapat perbedaan antara orang yang pandai menulis dengan
yang buta huruf. Karena itu da’wah Islam merupakan kewajiban seluruh
para sahabat, dan hal ini sangat penting mengingat bahwa dakwah yang
baik adalah menyebarka nnya dengan melibatkan [3] seluruh sahabat, tidak terbatas pada mereka yang pandai menulis saja. Jika anda mengatakan , “seandainy a yang terjadi adalah seperti hipotesa di atas, mengapa Rasulullah SAW. mengizinka n mereka menulis al-Qur’an? ”. Saya berpendapa t, bahwa upaya menyampaik an al-Qur’an tidak sama dengan saya menyampaik an sesuatu yang bukan al-Qur’an. sebagian dari para sahabat yang ummi tidak mempunyai asumsi bahwa menyampaik an pesan moral al-Qur’an hanya diwajibkan kepada para sahabat membacda al-Qur’an, baik dengan suara yang lirih maupun dengan suarau yaring-di rumah-ruma h mereka dan masjid. Mereka juga membacanya saat sendirian maupun bersama-sa ma bahkan dalam shalat. Oleh karena itu, bahwa menyampaik an pesan moral al-Qur’an mempunyai berbagai media yang tidak dimiliki oleh selain al-Qur’an. juga tidak terbatas pad para sahabat yang menulis saja, sebab semua para sahabat senantiasa membaca al-Qur’an malam dan siang, maka tidak mungkin mereka yang mungkin mereka yang ummi mewakilkan kepada yang mampu membacda dan menulis dalam menyampaik an da’wah islam. Oleh karena itu, para sahabat mempunyai kemampuan akan sebab-seba b dilarangny a upaya kondifikas i ilmu-ilmu al-Qur’an sesuai dengan keyakinan dan kemampuan mereka terhadap al-Qur’an. para sahabat dalam penguasaan nya terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an sama dengan kekuatan hafalan mereka terhadap ayat-ayat al-Qur’an imam at-Thabari meriwayatk an dari Ibnu Mas’ud : Jika para sahabat mempelajar i ayat al-Qur’an, mereka pasti mengetahui betul makna-makn anya dan mengamalka nnya. dalam riwayat lain Abu ‘Abdurrahm an as-Salami berkata: orang-oran g yang selalu membacakan hadits kepada kami, mengabarka n bahwa mereka selalu meminta Nabi
untuk membaca al-Qur’an. Apabila mempelajar i ayat dari al-Qur’an, mereka tidak akan menyikapin ya secara berbeda (menyalahi nya), sebelum mereka mengetahui amalan yang terdapat pada bacaaan tersebut, sehingga kami mempelajar i sekaligus mengamalka nnya al-Qur’an (Thabari, I, 1328:80). Abdullah berkata: “Demi Allah tidak ada Tuhan selain Dia, sesungguhn ya setiap surat Al-Qur’an yang turun, pasti aku mengetahui dimana turunnya. Setiap ayat Al-Qur’an yang turun pasti aku mengetahui tentang hal apa yang ia turunkan. seandianya aku mengetahui ada seseorang yang pengetahua nnya tentang Al-Qur’an melebihi pengetahua nku, sementara untuk menemuinya harus mengendara i unta, maka aku pastilah kesana untuk menemuinya ” (Bukhari,V I, 1979: 102). Oleh karena larangan tersebut, para sahabat mempunyai kemampuan yang luar biasa didalam mengahafal kan Al-Qur’an dan menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an, bahkan bisa dikatakan seimbang penguasaan nya. Sebagaiman a pendapat Al-tabari, “Jika para sahabat mempelajar i sepuluh ayat Al-Qur’an mereka pasti mengetahui betul maknanya dan mengamalka nnya” (Abdurrahm an Rumi, 1996 : 56). Kondisi ini berlangsun g selama kepemimpin jan Nabi, Abu Bakar dan Umar. Pada kepemimpin an
Utsman, karena wilayah kekuasaan Islam telah tersebar luas di beberapa
negeri dengan dialek, adat dan budaya yang berbeda. mak untuk menjaga
kemurnian al-Qur’an, tidak bisa hanya dengan hafalan saja. oleh karena itu, khalifah Utsman mempelopor i pengumpula n Al-Qur’an dalam satu mushaf, yang kemudian terkenal dengan mushaf Utsamani. Setelah dikumpulka n dalam satu mushaf, maka khalifah Utsman juga memerintah kan untuk membuat salianan beberapa naskah lagi yang dikirimkan ke semua Negara-neg ara Islam.
- 3. Masa Tabi’in
dan Atha’ bin Abu Rabah (murid Ibnu Abbas), Zaid bin Aslam, Abu al-aliyah, Muhammad bin Ka’ab dan sebagainya . Pada tabi’in tersebut, merupakan tokoh-toko h yang meletakkan dasar-dasa r ilmu tafsir seperti ; Ilmu Gharib, Al-Qur’an, Ilmu Asbab Al-Nuzul, Nasikh Mansukh, Ilmu Makkiyah dan Madaniyah dan lain-lain. Sistem dan metodologi penafsiran yang dikaji para tabi’in pada masa ini, tidak hanyaterba tasa pada penafsiran dengan pengertian nya yang secara khusus, tetapi system dan metodologi nya telah meliputi berebagai segi keilmuan dalam penafsiran seperti Ilmu Gharib Al-Qur’an, Ilmu Asbab Al-Nuzul, dan lain sebagainya . Proses penyampaia n ilmu pada masa ini seperti Al-Qur’an melalui periwayata n dan belum dikodifika sikan.
4. Masa Kodifikasi
5. Munculnya Istilah Ulumul-Qur ’an
seperti ilmu Tafsir, ilmu rasm al-Qur’an, ilmu Qira’at ilmu Gharib al-Qur’an, dan seterusnya (Ramli Abdul Wahid, 2002:22). Ilmu-ilmu ini kemudian membentuk kesatuan yang mempunyai hubungan dengan al-Qur’an, baik dari segi keberadaan al-Qur’an maupun dari segi pemahamann ya.
Karena itu ilmu-ilmu ini disenut dengan ilmu-ilmu al-Qur’an yang dalam
bahasa Arab disebut ‘ulum al-Qur’an (baca: ulumul Qur’an). Akan tetapi
pengertian ‘ulumul-Qu r’an dalam konteks sebagai sebuah istilah, baru dikenal pada periode-pe riode
akhir, yaitu pada akhir abad ketiga atau menjelang awal abad keeempat
Hijri, ketika seorang ulama bernama Muhammad bin Khalaf bin al-Muazban (w. 309 H) menyusun sebuah kitab berjudul Al-Hawi fi Tafsir al-Qur’an (Nadim, t.t.:214; dan Daudi,t.t. :141). Sedangkan sebagian ahli meyakini bahwa permulaan periode dikenalnya
istilah ‘ulumul –Qur’an adalah pada permulaan abad V Hijri, yaitu
ketika Ali bin Ibrahim al-Haufi (w.430 H) menulis sebuah kitab bertajuk Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. Asumsi ini kurang valid, sebab nama kitab yang dikarang al-Haufi adalah Al-Burhan fi Tafsir al-Qur’an (Zadah, t.t.:108; Humawi, XII, t.t.:222, dan Khulaifah, I, t.t.: 241). Disamping itu, banyak bermuncula n kitab-kita b yang ditulis para ulama pada kurun sebelumnya , yang secara tersirat menunjukka n adanya istilah Ulumul-Qur ’an dalam konteks kodifikati f. hal ini diperjelas oleh kitab yang disusun Ibnu al-Murazba n dan ulama lain. [5]
6. Kesimpulan
a) Nabi menerima wahyu dari Allah berupa Al-Qur’an, lalu beliau dapat perintah dari Allah untuk menyampaik an kepada umat manusia. Pada zaman ini belum ada kajian tentang ulum al-Qur’an, pengikut beliau hanya menghafal dan kalau ada masalah langsung menanyakan pada beliau.
b) Khulafa’ur Rasyidin, setelah kejadian 70 pengahfal al-Qur’an tewas dalam peperangan . Adanya kekhawatir an tentang hilangnya orang-oran g pengahafal al-Qur’an, dan beberapa sahabat mengusulka n disusun menjadi sebuah mushaf. setelah mengalami kodifikasi dan juga adanya kekhawatir an pemahaman tentang al-Qur’an.
c) Pada zaman Tabi’in mulai adanya kajian-kaj ian tentang al-Qur’an dan beberapa ilmu yang termasuk dalam al-Qur’an, Tetapi belum begitu mengkajiny a secara mendalam. Pada jaman tabi’in kecil baru mengkaji secara mendalam pembagian tentang ilmu-ilmu yang ada dalamnya.
d) Dalam perkembang annya ilmu ini disebut ulumul Qur’an. Serta kajian detail dan ulama-ulam a sudah banyak membahas tentang ulumul Qur’an.
Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta , 2002
Saifullah dkk, Ulumul Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2 004
Dr.Fadh bin Abdurrahma n Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksit as Al-Qur’an, Titian Ilahi Press; Yogyakarta
Kamaluddin , Ulumul Qur’an, Pt. Remaja Rosdakarya ; Bandung, 1992
1 Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta , 2002
Dr.Fadh bin Abdurrahma n Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksit as Al-Qur’an, Yogyakarta : Titian Ilahi Press
[1] Saifullah dkk, Ulumul Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2 004
Dr.Fadh bin Abdurrahma n Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksit as Al-Qur’an, Titian Ilahi Press; Yogyakarta
[2] [2] Saifullah dkk, Ulumul Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2 004
Dr.Fadh bin Abdurrahma n Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksit as Al-Qur’an, Titian Ilahi Press; Yogyakarta Kamaluddin , Ulumul Qur’an, Pt. Remaja Rosdakarya ; Bandung, 1992
[3] Saifullah dkk, Ulumul Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2 004
Dr.Fadh bin Abdurrahma n Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksit as Al-Qur’an, Titian Ilahi Press; Yogyakarta
[4] Saifullah dkk, Ulumul Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2 004
Dr.Fadh bin Abdurrahma n Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksit as Al-Qur’an, Titian Ilahi Press; Yogyakarta
[5] [5] Saifullah dkk, Ulumul Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2 004
Dr.Fadh bin Abdurrahma n Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksit as Al-Qur’an, Titian Ilahi Press; Yogyakarta