Dengan mereka terhasut oleh hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarka n oleh kaum Zionis Yahudi, agar mereka memahami Al Qur’an dan As sunnah dengan akal pikiran mereka sehingga menimbulka n perselisih an di antara kaum muslim karena perbedaan pemahaman, pada hakikatnya mereka secara tidak langsung telah menjadi perpanjang an tangan kaum Zionis Yahudi untuk meruntuhka n ukhuwah Islamiyah.
Dalam tulisan sebelumnya pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/02/02/ potongan-pe rkataan-ul ama/ telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh potongan perkataan ulama.
Dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/02/03/ terhasut-pe ngalihan-m akna/ telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh pengalihan makna perkataan ulama.
Dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/02/05/ menyalah-ma knakan-had its/ telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh penyalah makna dari hadits.
Dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/02/08/ terhasut-pe mbatasan-m akna/ telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh pembatasan makna dari firman Allah ta’ala contohnya “sabilil mu’minin” , “jalan orang-oran g mu’min” (QS An Nisaa’ [4] : 115) terbatas hanya pada para Sahabat saja atau dengan kata lain mereka ingin mengada-ad a “keharusan ” mengikuti manhaj salaf atau mazhab salaf.
Padahal Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh tidak pernah menyampaik an adanya “keharusan ” mengikuti manhaj salaf atau mazhab salaf. “Keharusan ” hanyalah mentaati Allah ta’ala dan mentaati RasulNya serta mentaati ulil amri yang mentaati Allah ta’ala dan RasulNya.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya “wahai orang-oran g beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu ” (QS An Nisa’ : 59 )
Adapun maksud dari ulil amri dalam ayat tersebut menurut Ibnu Abbas ra, sebagaiman a yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya adalah para pakar fiqih dan para ulama yang komitmen dengan ajaran Islam.
Ketaatan kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam pada hakikatnya telah mengikuti Salafush Sholeh.
Begitupula mengikuti Imam Mazhab yang empat yang melihat langsung penerapan, perbuatan serta contoh nyata jalan atau cara beribadah dari Salafush Sholeh pada hakikatnya telah mengikuti Salafush Sholeh.
Sebaliknya mereka yang merasa mengikuti Salafush Sholeh kenyataany a mereka hanyalah mengikuti para ulama yang mengaku-ak u mengikuti Salafush Sholeh namun tidak bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh dengan kata lain mereka pada hakikatnya tidak mengikuti Salafush Sholeh namun mengikuti akal pikiran para ulama mereka semata.
Contohnya sebagaiman a telah diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/02/08/ mencegah-ke ji-mungkar / bagaimana salah satu ulama panutan mereka tidak dapat “melihat” bagaimana sholat mencegah perbuatan keji dan mungkar termasuk mencegah perbuatan maksiat.
Jikalau telah menjalanka n sholat dan telah memenuhi syarat dan rukun sholat namun tetap melakukan perbuatan keji dan mungkar ataupun perbuatan maksiat ada dua kemungkina n “gagal” sholat mencegah perbuatan keji dan mungkar yakni
1. Ilmu yang dipahami oleh mereka tentang syarat dan rukun sholat adalah keliru dikarenaka n menyelisih i apa yang disampaika n oleh Imam Mazhab yang empat yang telah melihat langsung cara sholat Salafush Sholeh yang mengikuti cara sholat Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Cara sholat mereka mengikuti akal pikiran mereka sendiri hasil belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah , menelaah kitab.
2. Amal sholatnya tidak khusyuk sehingga tidak menjadikan mereka muslim yang berakhlaku l karimah atau muslim yang Ihsan.
Urutannya adalah ilmu -> amal -> akhlak
Berdasarka n ilmu yang didapat kita melaksanak an amal sholat, amal sholat yang selalu dilakukan dengan benar dan khusyuk membentuk muslim yang berakhlak baik atau berakhlaku l karimah. Muslim yang berakhlak baik adalah muslim yang ihsan
Ada dua kondisi yang dicapai oleh muslim yang ihsan atau muslim yang telah berma’rifa t.
Kondisi minimal adalah mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla.
Kondiri terbaik adalah mereka yang berma’rifa t atau mereka yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh)
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَا نُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah , apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Ny a (bermakrif at), maka jika kamu tidak melihat-Ny a maka sesungguhn ya Dia melihatmu. ’ (HR Muslim 11)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Ny a?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati (bermakrif at)”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah- Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Ny a? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman (bermakrif at)”
Rasulullah bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaim u dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Bagi muslim yang sholatnya benar dan khusyuk maka akan mencapai muslim yang Ihsan, minimal akan timbul keyakinan pengawasan Allah Azza wa Jalla terhadap segala sikap dan perbuatan sehingga selalu akan berupaya menghindar i perbuatan maksiat, menghindar i perbuatan keji dan mungkar dan menghindar i segala perbuatan yang dibenci oleh Allah Azza wa Jalla.
Muslim yang Ihsan akan mencapai miminal muslim yang sholeh (sholihin) sebagai bukti nyata dari ketaatan terhadap Allah Azza wa Jalla dan RasulNya sehinga berkumpul dengan 4 golongan manusia yang mendapatka n maqom disisiNya lainnya
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan barangsiap a yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya) , mereka itu akan bersama-sa ma dengan orang-oran g yang dianugerah i ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqii n, orang-oran g yang mati syahid, dan orang-oran g saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-bai knya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Semakin dekat kita kepada Allah sehingga menjadi kekasihNya (Wali Allah). Maqom Shiddiqin atau kedekatan dengan Allah diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/09/09/ 2011/09/28/ maqom-wali- allah/
Muslim yang Ihsan , mereka itu mahfudz (dipelihar a) dengan pemelihara an Allah Azza wa Jalla terhadap orang-oran g sholeh.
Firman Allah ta'ala yang artinya
”...Sekiran ya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya , niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lam anya, tetapi Allah membersihk an siapa saja yang dikehendak i…” (QS An-Nuur [24]:21)
Muslim yang dikehendak i oleh Allah Azza wa Jalla adalah mereka yang meraih maqom disisiNya, minimal adalah muslim yang sholeh.
Menurut Al-Hakim al-Tirmidz i (205-320H/ 820-935M) , muslim yang mendapatka n maqom disisiNya hingga mencapai al-awliya ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka mendapatka n ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewalianny a.
Adanya pemelihara an, cinta kasih, dan pertolonga n Allah kepada al-awliya (wali Allah) sedemikian rupa merupakan manifestas i dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadiranN ya, hudhur ma’ahu wa bihi (merasakan kehadiran- Nya oleh diri-Nya)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sesungguhn ya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganuge rahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatk an (manusia) kepada negeri akhirat”. (QS Shaad [38]:46)
“Dan sesungguhn ya mereka pada sisi Kami benar-bena r termasuk orang-oran g pilihan yang paling baik”. (QS Shaad [38]:47)
Dalam sebuah hadits qudsi Allah ta’ala berfirman, “jika Aku sudah mencintain ya, maka Akulah pendengara nnya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangann ya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikann ya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku , pasti Kuberi, dan jika meminta perlindung an kepada-KU, pasti Ku-lindung i. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaiman a keragu-rag uan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (HR Bukhari 6021)
Sedangkan mereka yang melaksanak an sholat namun tetap melakukan perbuatan maksiat atau tidak menyadari kesalahan yang mereka perbuat adalah bukti ketidak-de katan mereka kepada Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah bersabda, “Barangsiap a yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayat kan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)
Imam Al Baihaqi menyebutka n satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan ,”Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua perkara ini, ”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman , engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhn ya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalang i, maka manusia tidak mampu melakukann ya, hingga terhindar dari maksiat).
Perkataan Imam As Syafi’i ra yang disampaika n Imam Al Baihaqi tersebut sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, ”...Sekirany a kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya , niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lam anya, tetapi Allah membersihk an siapa saja yang dikehendak i…” (QS An-Nuur:21 )
Allah membersihk an siapa saja yang dikehendak iNya , Allah menghalang inya dari perbuatan keji dan mungkar, menghalang inya dari perbuatan maksiat, menghalang inya dari kesalahan. Inilah penjagaan Allah Azza wa Jalla terhadap mereka yang mendapatka n maqom disisiNya. Andaikan mereka membuat kesalahan pun maka Allah Azza wa Jalla menyegerak an teguranNya sehingga memberikan kesempatan untuk bertaubat tidak mengundurk an teguran menjadi balasan di akhirat kelak karena mengetahui kesalahan ketika di akhirat kelak adalah menunjukka n ketidak-de katan dengan Allah Azza wa Jalla
Berikut contoh pemelihara an Allah subhanahu wa ta’ala terhadap orang-oran g sholeh
Imam asy-Syafi’ i berkata: ‘Saya mengadu kepada Waqi’ (guru beliau) buruknya hafalanku, maka dia menasihati ku agar meninggalk an maksiat. Dan ia mengabarka n kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada pelaku maksiat”.
Setelah Imam asy Syafi’i merunut (mencari tahu) kenapa beliau lupa hafalan Al-Qur’an (hafalan Al-Qur`ânn ya terbata-ba ta), ternyata dikarenaka n beliau tanpa sengaja melihat betis seorang wanita bukan muhrim yang tersingkap oleh angin dalam perjalanan beliau ke tempat gurunya.
‘Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatk an dari adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia berkata;”T idak seorangpun yang mempelajar i Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena dosa yang telah dikerjakan nya. Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala : وَمَآأَصَا بَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُم ْ ("Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri" (QS Asy-Syûra [42]: 30)- . Sungguh, lupa terhadap Al-Qur`ân merupakan musibah yang paling besar * (. Fadha`ilul -Qur`ân, karya Ibnu Katsir, hlm. 147)
Itulah contoh mereka yang disayang oleh Allah ta’ala dan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830