649. MAKALAH: Cara mengetahui dan mengikuti pemahaman Salafush Sholeh
Cara mengetahui dan mengikuti pemahaman Salafush Sholeh
Mereka bertanya mana yang lebih baik kita ikuti pemahaman para Sahabat atau pemahaman Imam Mazhab ?
Tentulah kita tidak bisa bertemu dengan para Sahabat untuk mengetahui pemahaman mereka. Yang tertinggal pada saat ini adalah lafaz / tulisan perkataan para Sahabat
Tentulah permasalah an bukan pada perkataan para Sahabat namun letak permasalah an adalah siapakah yang berupaya memahami lafaz / tulisan perkataan para Sahabat
Apakah mengikuti pemahaman dengan akal pikiran sendiri ?
Apakah mengikuti pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziah, Muhammad bin Abdul Wahhab ?
Apakah mereka berkompete nsi untuk berijtihad dan beristinba t atau berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid ?
Kesepakata n jumhur ulama dari dahulu sampai saat ini bahwa ulama yang berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid Mutlak adalah para Imam Mazhab yang empat.
Para Imam Mazhab mengetahui hadits lebih banyak daripada yang telah dibukukan. Hadits yang telah dibukukan hanya sebagian saja, sebagian lagi dalam hafalan. Boleh dikatakan sudah semakin sukar untuk menjadi Imam Mujtahid Mutlak
Para ahli hadits terdahulu walaupun mereka berkompete nsi memvalidas i sanad hadits, menganalis a matan/reda ksi hadits namun mereka tetap mengikuti pendapat Imam Mazhab.
Lebih baik kita mengikuti pemahaman pemimpin ijtihad (imam mujtahid mutlak) dalam memahami perkataan Sahabat. Para Imam Mazhab mengetahui pemahaman para Sahabat melalui (minimal) Tabi'ut tabi'in
Berikut rantai sanad guru Imam Syafi'i ~rahimahul lah
1. Baginda Nabi Muhammad Shallallah u alaihi wasallam
2. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
3. Al-Imam Nafi’,Tabi ’ Abdullah bin Umar ra
4. Al-Imam Malik bin Anas ra
5. Al-Imam Syafi'i’ Muhammad bin Idris ra
Baginda Nabi Muhammad Shallallah u alaihi wasallam menyampaik an pemahaman beliau kepada baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra selanjutny a pemahaman disampaika n kepada Al-Imam Nafi’,Tabi ’ Abdullah bin Umar ra selanjutny a pemahaman disampaika n kepada Al-Imam Malik bin Anas ra selanjutny a pemahaman disampaika n kepada Al-Imam Syafi'i Muhammad bin Idris ra selanjutny a pemahaman disampaika n kepada murid-muri d beliau terus berlanjut melalui lisan ke lisan para pengikut Imam Syafi'i ~rahimahul lah
Lebih baik mengikuti pemahaman Imam Mazhab, pemahaman yang dihantarka n melalui lisan ke lisan atau sanad ilmu atau sanad guru. Bukan pemahaman melalui memahami lafaz/tuli san yang kemungkina n besar bercampur dengan akal pikiran sendiri serta kemungkina n terkena ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi. Sebagaiman a yang telah kami sampaikan dalam tulisan pada http://mut iarazuhud. wordpress. com/2011/1 0/26/bukti -korban/ dan http://mut iarazuhud. wordpress. com/2011/1 0/24/korba n-perang-p emahaman/
Coba kita perhatikan mereka yang memahami tidak melalui pemahaman Imam Mazhab
Berikut dua ulama yang memahami hadits Rasulullah yang artinya, “Tidak ada bayangan kecuali bayangan yang diciptakan oleh Allah”
Ulama pertama berpendapa t, “Benar (Allah punya bayangan), sebagaiman a itu disebutkan dalam hadits. tetapi kita tidak tahu tata cara dari seluruh sifat-sifa t Allah lainnya, pintunya jelas satu bagi Ahlussunna h Wal Jama’ah (yaitu itsbat/men etapkan saja)”. Sumber: http://ww. binbaz.org .sa/mat/42 34
Kesimpulan ulama ini adalah “Allah memiliki bayangan yang sesuai bagi-Nya”
Ulama kedua berpendapa t, “Sabda Rasulullah “La Zhilla Illa Zhilluh” artinya “Tidak ada bayangan kecuali bayangan yang diciptakan oleh Allah”. “Makna hadits ini bukan seperti yang disangka oleh sebagian orang bahwa bayangan tersebut adalah bayangan Dzat Allah, ini adalah pendapat batil (sesat), karena dengan begitu maka berarti matahari berada di atas Allah. Di dunia ini kita membuat bayangan bagi diri kita, tetapi di hari kiamat tidak akan ada bayangan kecuali bayangan yang diciptakan oleh Allah supaya berteduh di bawahnya orang-oran g yang dikehendak i oleh-Nya dari para hamba-Nya”.
Ulama kedua telah membedakan antara terjemahan dengan makna yang lebih sesuai bagi Allah Azza wa Jalla, daripada ulama pertama yang berpendapa t bahwa Allah memliki bayangan yang sesuai bagi-Nya.
Metodologi pemahaman yang dipergunak an oleh ulama pertama yang kami sebut dengan metodologi “terjemahk an saja” atau memahami secara harfiah/dz ahir nya nash/lafaz h/tulisan.
Metodologi “terjemahk an saja” akan menemukan kesulitan pula dalam memahami contohnya perkataan Rasulullah yang artinya “Sesungguhn ya pintu-pint u surga terletak di bawah bayangan pedang” (HR Muslim 3521)
Apa yang dialami oleh ulama yang pertama terjadi juga dengan ulama yang lainnya ketika mereka memahami
Allah berfirman yang artinya : “Hai iblis, apakah yang menghalang i kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptaka n dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombong kan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-oran g yang (lebih) tinggi?”. (Surat Shaad: 75)
Sesungguhn ya abu Hurairoh ra telah berkata telah bersabda Rasulullah shallallah u alaihi wasallam “Allah Azza wa Jalla menggengga m bumi pada hari kiamat dan melipat (menggulun g) langit (dalam riwayat lain: langit-lan git) dengan tangan kanan-Nya”, kemudian Allah Azza wa Jalla berkata: “Akulah raja! Manakah raja-raja bumi (dunia)?”. (Hadits shahih riwayat. Bukhari no. 4812,6519, 7382 & 7413 dan muslim no. 2787 )
Dari Abdullah bin ‘Amr r.a ia berkata: Rasulullah shallallah u alaihi wasallam telah bersabda: “Sesungguhn ya orang-oran g yang adil di sisi Allah Azza wa Jalla (pada hari kiamat) di atas mimbar-mim bar dari nur (cahaya) di sebelah kanan Ar Rahman dan kedua tangan-Nya adalah kanan. Yaitu orang-oran g yang berlaku adil di dalam hukum mereka, dan pada kelaurga mereka, dan pada apa yang mereka pimpin”. (Hadits shahih riwayat. Muslim no 1827 dan Nasaa-i no 5379
Kesimpulan mereka adalah “Allah ta’ala mempunyai kedua tangan dan kedua tangan Allah ta’ala adalah kanan“
Hal ini disampaika n contohnya pada http://mos lemsunnah. wordpress. com/2010/0 3/29/benar kah-kedua- tangan-all ah-azza-wa -jalla-ada lah-kanan/
Silahkan saksikan video pada http://www .youtube.c om/watch?v =CaT4wldRL F0 mulai pada menit ke 03 detik 15
I’tiqod mereka bahwa Allah ta’ala punya tangan namun mereka tambahkan bahwa tangan Allah ta’ala tidak serupa dengan tangan makhluk.
Berikut transkript nya,
“Ya sudah kalau kita apa, misalkan tangan Allah, ya sudah itu tangan Allah
Allah punya tangan akan tetapi apakah tangan Allah seperti tangan makhluk ? tidak.
Sedangkan sama sama makhluknya Allah subhanahu wa ta’ala, kaki gajah dengan kaki semut ndak sama. Sama-sama kaki namanya. Kaki meja dengan kaki kamera ini yang untuk tahan sandaran ini, ndak sama.
Apalagi tangan Allah subhanahu wa ta’ala dengan tangan makhluknya ndak sama karena Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman “Laisa kamitslihi syai’un wahuwa samii’u bashiir” tidak ada yang sama dengan Allah subhanahu wa ta’ala, apapun di dunia ini, adapun kalau sama namanya ndak sama bentuknya dan rupanya.”
Begitupula seorang ustadz mengatasna makan pemahamann ya terhadap lafaz/tuli san ulama salaf sebagai ijmak para ulama tentang keberadaan Allah di atas langit
Beliau adalah pengikut ulama Ibnu Taimiyyah dimana tesis S2 beliau berjudul “Jawaban Ibnu Taimiyyah terhadap syubhat-sy ubhat terperinci yang berkaitan dengan sifat-sifa t Allah dzatiyah yang dilontarka n oleh para penolak sifat”
Bandingkan pendapat mereka dengan pendapat Imam Syafi’i ~rahimahul lah
Imam asy-Syafi’ i berkata:
ุฅูู ุชุนุงูู ูุงู ููุง ู
ูุงู ูุฎูู ุงูู
ูุงู ููู ุนูู ุตูุฉ ุงูุฃุฒููุฉ ูู
ุง ูุงู ูุจู ุฎููู ุงูู
ูุงู ููุง ูุฌูุฒ ุนููู ุงูุชุบูุฑ ูู ุฐุงุชู ููุง ุงูุชุจุฏูู ูู ุตูุงุชู (ุฅุชุญุงู ุงูุณุงุฏุฉ ุงูู
ุชููู ุจุดุฑุญ ุฅุญูุงุก ุนููู
ุงูุฏูู, ุฌ 2، ุต 24)
“Sesungguhn ya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptaka n tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifa t-Nya yang Azali sebelum Dia menciptaka n tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifa t-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithรขf as-Sรขdah al-Muttaqรฎ n…, j. 2, h. 24).
Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar[s elain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi' i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunna h dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’ i berkata:
ูุงุนูู
ูุง ุฃู ุงููู ุชุนุงูู ูุง ู
ูุงู ูู، ูุงูุฏููู ุนููู ูู ุฃู ุงููู ุชุนุงูู ูุงู ููุง ู
ูุงู ูู ูุฎูู ุงูู
ูุงู ููู ุนูู ุตูุชู ุงูุฃุฒููุฉ ูู
ุง ูุงู ูุจู ุฎููู ุงูู
ูุงู، ุฅุฐ ูุง ูุฌูุฒ ุนููู ุงูุชุบูุฑ ูู ุฐุงุชู ููุง ุงูุชุจุฏูู ูู ุตูุงุชู، ููุฃู ู
ู ูู ู
ูุงู ููู ุชุญุช، ูู
ู ูู ุชุญุช ูููู ู
ุชูุงูู ุงูุฐุงุช ู
ุญุฏูุฏุง ูุงูุญุฏูุฏ ู
ุฎููู، ุชุนุงูู ุงููู ุนู ุฐูู ุนููุง ูุจูุฑุง، ูููุฐุง ุงูู
ุนูู ุงุณุชุญุงู ุนููู ุงูุฒูุฌุฉ ูุงูููุฏ ูุฃู ุฐูู ูุง ูุชู
ุฅูุง ุจุงูู
ุจุงุดุฑุฉ ูุงูุงุชุตุงู ูุงูุงููุตุงู (ุงูููู ุงูุฃูุจุฑ، ุต13)
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptaka n tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptaka n tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifa t-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-ba gi dan terpisah-p isah. Karenanya tidak boleh dibayangka n dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’ i berkata:
ุฅู ูุฐู ุงูุขูุฉ ู
ู ุงูู
ุชุดุงุจูุงุช ، ูุงูุฐู ูุฎุชุงุฑ ู
ู ุงูุฌูุงุจ ุนููุง ูุนู ุฃู
ุซุงููุง ูู
ู ูุง ูุฑูุฏ ุงูุชุจุญุฑ ูู ุงูุนูู
ุฃู ูู
ุฑ ุจูุง ูู
ุง ุฌุงุกุช ููุง ูุจุญุซ ุนููุง ููุง ูุชููู
ูููุง ูุฃูู ูุง ูุฃู
ู ู
ู ุงููููุน ูู ูุฑุทุฉ ุงูุชุดุจูู ุฅุฐุง ูู
ููู ุฑุงุณุฎุง ูู ุงูุนูู
، ููุฌุจ ุฃู ูุนุชูุฏ ูู ุตูุงุช ุงูุจุงุฑู ุชุนุงูู ู
ุง ุฐูุฑูุงู، ูุฃูู ูุง ูุญููู ู
ูุงู ููุง ูุฌุฑู ุนููู ุฒู
ุงู، ู
ูุฒู ุนู ุงูุญุฏูุฏ ูุงูููุงูุงุช ู
ุณุชุบู ุนู ุงูู
ูุงู ูุงูุฌูุงุช، ููุชุฎูุต ู
ู ุงูู
ูุงูู ูุงูุดุจูุงุช (ุงูููู ุงูุฃูุจุฑ، ุต 13)
“Ini termasuk ayat mutasyรขbih รขt. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimanin ya dan tidak –secara mendetail– membahasny a dan membicarak annya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybรฎh. Kewajiban atas orang ini –dan semua orang Islam– adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-ba tasan (bentuk) dan segala penghabisa n, dan Dia tidak membutuhka n kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’ i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisa n adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisa nnya. Dalil bagi kemustahil an hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisa n dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisa n secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan penguranga n, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhka n kepada yang menjadikan nya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tand a makhluk yang nyata mustahil bagi Allah.
Begitu pula pendapat para pengikut Imam Mazhab
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad , “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabih at, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran” .
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabih at) memiliki makna-makn a khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaiman a makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir secara pasti.”
Perhatikan pula peringatan yang disampaika n Imam Sayyidina Ali ra
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-oran g kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar an. Mereka mengingkar i Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’alli m Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi )
Oleh karenanya agar tidak terjerumus pada kekufuran dalam i'tiqod, kesesatan atau menjadi kafir tanpa disadari sebagaiman a yang diperingat kan oleh Imam Sayyidina Ali ra, marilah kita kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan mengikuti sunnah Rasulullah yakni mengikuti pendapat jumhur ulama (as-sawad al a’zham) dengan mengikuti dan mentaati pemahaman pemimpin ijtihad (imam mujtahid mutlak) atau para Imam Mazhab dan penejelasa n dari pengikutny a terdahulu sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-oran g yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan lah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya ), jika kamu benar-bena r beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya“. (QS An Nisaa [4]:59 )
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhn ya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisih an (perbedaan pemahaman / berlainan pendapat) maka ikutilah as-sawad al a’zham (pendapat jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830