PERTANYAAN
:
Adakah ada hadits yang
menerangkan, bahwa melaksanakan sholat lebih sempurna pakai topi daripada gak
pakai topi? [Smel
Mel].
JAWABAN
:
Ulama Fiqh sepakat akan
kesunahan menutup kepala bagi laki-laki dalam shalat dengan memakai sorban dan
sejenisnya karena nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan
memakai sorban, sedang bagi wanita wajib menutup kepalanya. Kalangan Hanafiyyah
menilai makruh bagi laki-laki shalat dengan terbuka kepalanya karena malas sebab
dapat mengurangi kewibawaan bukan karena unsure merendahkan diri dihadapan
Allah. Lihat kitab Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah XXX/304 :
الصَّلاَةُ
بِالْعِمَامَةِ : 11 - اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى اسْتِحْبَابِ سَتْرِ الرَّأْسِ
فِي الصَّلاَةِ لِلرَّجُل بِعِمَامَةٍ وَمَا فِي مَعْنَاهَا ؛ لأَِنَّهُ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي بِالْعِمَامَةِ . أَمَّا الْمَرْأَةُ
فَوَاجِبٌ سَتْرُ رَأْسِهَا . وَنَصَّ الْحَنَفِيَّةُ عَلَى كَرَاهَةِ صَلاَةِ
الرَّجُل مَكْشُوفَ الرَّأْسِ إِذَا كَانَ تَكَاسُلاً لِتَرْكِ الْوَقَارِ ، لاَ
لِلتَّذَلُّل وَالتَّضَرُّعِ (1) انْظُرْ مُصْطَلَحَ : ( رَأْس ف 5 )
__________
(1)
انظر مراقي الفلاح وحاشية الطحطاوي عليه ( 197 ) ط . الثانية ببولاق مصر 1318هـ
.
Diriwayatkan dalam sebuah
hadits :
(
لا يصلي أحدكم في الثوب الواحد ليس على عاتقه منه شيء ) رواه البخاري 1/498 ومسلم
رقم 516 ، والله أعلم .
Janganlah salah seorang
kalian shalat dalam satu pakaian yang di atas bahunya tidak terdapat sesuatupun
(HR Bukhari I/498, Muslim hadits No 516).
قال
امام الحرمين والغزالي والبغوى وآخرون يستحب أن لايدخل الخلاء مكشوف الرأس قال بعض
أصحابنا فان لم يجد شيئا وضع كمه علي رأسه ويستحب أن لايدخل الخلاء حافيا ذكره
جماعة منهم أبو العباس بن سريج في كتاب الاقسام وروى البيهقى باسناده حديثا مرسلا
أن النبي صلى الله عليه وسلم (كان إذا دخل الخلاء لبس حذاءه وغطى رأسه)
Berkata Imam Haramain,
al-Ghozali, al-Baghowy dan ulama-ulama lainnya “Disunahkan bagi seseorang untuk
tidak memasuki kamar kecil (WC) tanpa penutup kepala, berkata pengikut
as-Syafi’i bila tidak menjumpai sesuatu maka letakkan lengan bajunya diatas
kepalanya, juga disunahkan untuk tidak memasuki kamar kecil dengan tidak memakai
alas kaki (seperti yang dituturkan oleh segolongan ulama diantaranya Abu
al-Abbas Bin Suraij dalam kitab al-Aqsaam. “Adalah Rasulullah shallallaahu
alaihi wa sallam saat memasuki kamar kecil memakai sepatunya dan menutup
kepalanya” (HR Baehaqy). [ Al-majmuu’ alaa Syarh al-Muhaddzab II/92
].
(فصل)
ولا تقبل شهادة من لا مروءة له كالقوال والرقاص ومن يأكل في الاسواق ويمشى مكشوف
الرأس في موضع لا عادة له في كشف الرأس فيه لان المروءة هي الانسانية، وهى مشتقة من
المرء، ومن ترك الانسانية لم يؤمن أن يشهد بالزور، ولان من لا يستحيى من الناس في
ترك المروءة لم يبال بما يصنع، والدليل عليه ما روى أبو مسعود البدرى رضى الله عنه
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال (ان مما أدرك الناس من كلام النبوة الاولى إذا لم
تستحى فاصنع ما شئت)
[ FASAL ] Dan tidak
diterima persaksian seseorang yang tidak memiliki keperwiraan (wibawa) seperti
orang yang banyak bicara, para penari, orang yang suka makan dipasar, jalan
ditempat yang kebiasaan masyarakatnya tertutup kepalanya sebab keperwiraan
bersifat manusiawy dan barangsiapa meninggalkan sesuatu yang bersifat manusiawy
pemberian saksi palsunya tidak dirasa aman (sangat mungkin bersaksi palsu) dan
karena seseorang yang sudah hilang rasa malunya pada orang lain tidak lagi
memerdulikan apa yang telah ia perbuat dalil yang dibuat sandaran dalam masalah
ini adalah riwayat dari Abu Mas’ud al-Badry bahwa Nabi Muhammad bersabda
“Sesungguhnya sebagian yang ditemukan dari kalam nubuwwat yang paling utama oleh
orang adalah : Bila tidak ada rasa malu, maka berbuatlah semaumu..!!”. [
Al-majmuu’ alaa Syarh al-Muhaddzab XX/227 ].
وَالْمُرُوءَةُ
تَخَلُّقٌ بِخُلُقِ أَمْثَالِهِ فِي زَمَانِهِ وَمَكَانِهِ، فَالْأَكْلُ فِي سُوقٍ،
وَالْمَشْيُ مَكْشُوفَ الرَّأْسِ، وَقُبْلَةُ زَوْجَةٍ وَأَمَةٍ بِحَضْرَةِ
النَّاسِ، وَإِكْثَارُ حِكَايَاتٍ مُضْحِكَةٍ، وَلُبْسُ فَقِيهٍ قُبَاءَ
وَقَلَنْسُوَةٍ حَيْثُ لَا يُعْتَادُ، وَإِكْبَابٌ عَلَى لَعِبِ الشِّطْرَنْجِ أَوْ
غِنَاءٍ أَوْ سَمَاعِهِ، وَإِدَامَةُ رَقْصٍ يُسْقِطُهَا، وَالْأَمْرُ فِيهِ
يَخْتَلِفُ بِالْأَشْخَاصِ وَالْأَحْوَالِ وَالْأَمَاكِنِ،
Keperwiraan (wibawa) adalah
beretika sesuai dengan kalangan, waktu dan tempatnya. Karenanya seperti makan
dipasar, berjalan dengan kepala terbuka, mencium istri atau amat (sahaya wanita)
dihadapan orang, banyak bercerita yang membuat tertawa, memakai pakaian laksana
orang ahli fiqh Qubba, memakai peci yang tidak menjadi kebiasaan (setempat),
hobby bermain catur, bernyanyi atau mendengarkannya, dan hobi berjoget dapat
meruntuhkan keperwiraan. Dan segalanya memang berbeda-beda sesuai karakter,
situasi dan kondisinya. [ Al-Manhaj li an-Nawaawy I/497 ]. Wallaahu A'lamu Bis
Showaab. [Masaji
Antoro].