Kami telah sampaikan dalam tulisan sebelumnya pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/01/01/ tegakkan-uk huwah-isla miyah/ bahwa kita umat Islam pada akhir zaman ini sangat membutuhka n bermazhab untuk melaksanak an perkara syariat dengan baik dan benar. Perkara syariat adalah syarat yang harus dipenuhi sebagai hamba Allah yakni menjalanka n segala apa yang telah ditetapkan Nya atau diwajibkan Nya, wajib dijalankan dan wajib dijauhi, meliputi perkara kewajiban yang jika ditinggalk an berdosa, menjauhi segala yang telah dilarangNy a yang jika dilanggar berdosa dan menjauhi segala yang telah diharamkan Nya yang jika dilanggar berdosa. Setelah perkara syariat atau perkara yang diwajibkan Nya kita penuhi maka kita dapat memilih menjalanka n amal kebaikan sebanyak-b anyaknya yang bertujuan untuk memperjala nkan diri kita agar sampai (wushul) kepada Allah , bertemu Allah , menyaksika n Allah atau untuk mencapai muslim yang Ihsan atau muslim yang berma'rifa t sehingga dapat menggapai cintaNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah)
Dalam sebuah haditas Qudsi, Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda “Allah berfirman; Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatka n diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (amal ketaatan/ perkara syariat), jika hamba-Ku terus menerus mendekatka n diri kepadaKu dengan amalan sunnah (amal kebaikan), maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintain ya, maka Akulah pendengara nnya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangann ya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikann ya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku , pasti Kuberi, dan jika meminta perlindung an kepada-KU, pasti Ku-lindung i. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaiman a keragu-rag uan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya. (HR Muslim 6021)
Mereka yang telah berma'rifa t, mereka yang meyaksikan Allah dengan hati, mereka yang disisiNya, mereka yang telah menggapai cintaNya hanyalah 4 golongan manusia yakni para Nabi (yang utama adalah Rasulullah ), para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-oran g sholeh.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
” (yaitu) Jalan orang-oran g yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:7 )
“Dan barangsiap a yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya) , mereka itu akan bersama-sa ma dengan orang-oran g yang dianugerah i ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqii n, orang-oran g yang mati syahid, dan orang-oran g saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-bai knya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Muslim yang terbaik untuk bukan Nabi , menjadi kekasih Allah (wali Allah) dengan mencapai shiddiqin dan bermacam tingkatan shiddiqin sebagaiman a yang diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/01/14/ 2011/09/28/ maqom-wali- allah/
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda “sesungguhn ya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Swt seorang dari shahabatny a berkata, siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah ? Semoga kita dapat mencintai mereka. Nabi Saw menjawab dengan sabdanya: Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluarga an dan bukan karena harta benda, wajah-waja h mereka memancarka n cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mim bar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakann ya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhn ya diantara hamba-hamb aku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatka n maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.”S eorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mu dah-mudaha n kami menyukainy a. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhn ya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatir an terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Yunus [10]:62 )
Ironis sekali, mereka masih bersikeras mengikuti pemahaman ulama-ulam a seperti ulama Ibnu Taimiyyah, ulama Ibnu Qoyyim al Jauziah, Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau bahkan ulama Al Albani. Mereka adalah para ulama yang mengaku-ak u mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun kenyataann ya mereka tentu tidak pernah bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh. Ulama mereka mengikuti pemahaman Salafush Sholeh berdasarka n upaya pemahaman mereka terhadap lafaz/ tulisan perkataan Salafush Sholeh dengan akal pikiran mereka sendiri.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Barangsiap a menguraika n Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarka n akal pikiran, sesungguhn ya agama itu dari Tuhan, perintah-N ya dan larangan-N ya.” (Hadits riwayat Ath-Thabar ani)
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkan nya.” (Diriwayat kan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda…”Barangsiap a yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediaka n tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmid zi)
Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimulla h mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustami y , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahf i 60) ; “Barangsiap a tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Baya n Juz 5 hal. 203
Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits.
Sanad hadits adalah otentifika si atau kebenaran sumber perolehan matan/ redaksi hadits dari lisan Rasulullah .
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifika si atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah .
Kita memahami Al Qur’an dan As Sunnah berdasarka n apa yang kita dengar dari apa yang disampaika n oleh ulama-ulam a terdahulu yang tersambung dengan lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam. Inilah yang dinamakan bertalaqqi (mengaji) dengan ulama bersanad ilmu atau bersanad guru tersambung kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Hal yang harus kita ingat bahwa Al Qur’an pada awalnya tidaklah dibukukan. Ayat-ayat Al Qur’an hanya dibacakan dan dihafal (imla) kemudian dipahami bersama dengan yang menyampaik annya.
Hal yang akan ditanyakan seperti :
Apakah yang kamu pahami telah disampaika n / dikatakan oleh ulama-ulama terdahulu yang tersambung lisannya kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam ?
Siapakah ulama-ulam a terdahulu yang mengatakan hal itu ?
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanl ah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-si aplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaik an satu ayat yang diperoleh dari orang yang disampaika n secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin Abdullah Shallallah u alaihi wasallam.
Kita tidak diperkenan kan menyampaik an apa yang kita pahami dengan akal pikiran sendiri dengan cara membaca dan memahami namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari lisan mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallah u alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya.
Cobalah periksa tingkah / perilaku mereka yang tidak bermazhab, apakah patut kita contoh ?
Rasulullah bersabda,
حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.
“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-c akap dan mendengark an percakapan . Amal perbuatan kalian disampaika n kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatk an oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutka nnya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkatego rikannya sebagai hadits shahih dengan komentarny a : hadits diriwayatk an oleh Al Bazzaar dan para perawinya sesuai dengan kriteria hadits shahih)
Tentulah Rasulullah memohonkan ampunan kepada Allah atas tingkah perilaku mereka seperti itu begitupula dengan karib-kera bat dan keluarga mereka yang telah meninggal dunia akan mendoakan mereka agar Allah Azza wa Jalla tidak mematikan mereka sampai Allah Azza wa Jalla memberikan hidayah
Nabi shallallah u alaihi wasallam bersabda:
إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات فإن كان خيرا استبشروا، وإن كان غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا)
“Sesungguhn ya perbuatan kalian diperlihat kan kepada karib-kera bat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatka n kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya)
Kitapun, kaum muslim pada umumnya mendoakan mereka agar mendapatka n hidayah dan mau bermazhab.
Lebih baik, lebih selamat mengikuti pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat karena mereka bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salafush Sholeh.
Bagaimana dengan mazhab kami ?
Sebagaiman a yang kita ketahui dari pertemuan antara malaikat Jibril dengan Rasulullah dihadapan para Sahabat ada tiga pokok dalam agama Islam yakni
Islam , tentang rukun Islam, perkara syariat, fiqih
Iman , tentang rukun Iman, i'tiqod, ushuluddin
Ihsan , tentang ihsan , akhlak , tasawuf
Secara umum kami berupaya mengikuti mazhab Imam Syafi'i ~ rahimahull ah untuk pelaksanaa n perkara syariat. Mazhab Imam Syafi'i yang dikuti oleh kaum muslim pada umumnya di Indonesia.
Pendalaman i'tiqod , kami berupaya mengikuti Imam Asy'ari (bermazhab Imam Syafi'i ) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) yang diringkas oleh para pengikut Imam Asy'ari dengan “Aqidatul Khomsin / عقيدة الخمسين “. Artinya: Lima puluh Aqidah dimana didalamnya ada 20 sifat wajib bagi Allah sebagai "batasan" untuk mengenal Allah.
Sedangkan tasawuf kami berupaya mengikuti ulama-ulam a Sufi seperti Syaikh Abdul Qadir Jaelani (bermazhab Imam Hambali) , Syaikh Ibnu Athoillah (bermazhab Imam Maliki) dan lain lain
Apa yang kami lakukan dalam perkara agama menyesuaik an dengan nasehat para Imam Mazhab antara lain
Imam Syafi’i ra menyampaik an nasehat (yang artinya) ,”Berusaha lah engkau menjadi seorang yang mempelajar i ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhn ya demi Allah saya benar-bena r ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajar i ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajar i ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi' i, hal. 47]
Begitupula dengan nasehat Imam Malik ra bahwa menjalanka n tasawuf agar manusia tidak rusak dan menjadi manusia berakhlak baik
Imam Malik ra menyampaik an nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajar i fikih (perkara syariat) rusak keimananny a , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalka n Tasawuf rusaklah dia ., hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar” .
Kami mengikuti Imam Mazhab agar kami dapat mencapai muslim yang Ihsan, muslim yang berma'rifa t, muslim yang menyaksika n Allah, muslim yang disisiNya, muslim yang berakhlak baik, berakhlaku l karimah sesuai dengan tujuan Rasulullah diutus oleh Allah Azza wa Jalla
Rasulullah menyampaik an yang maknanya “Sesungguhn ya aku diutus (Allah) untuk menyempurn akan Akhlak.” (HR Ahmad).
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830