Dalam tulisan sebelumnya pada
http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/29/ naik-dan-tu run/ telah diuraikan keadaan
bermunajat kepada Allah, ketika
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam di
Sidratil Muntaha pada peristiwa mi'raj, ketika Nabi Yunus a.s di dalam perut
ikan, ketika kita sujud, ketika di Makkah Al Mukaromah, Masjid Nabawi, Multazam, Raudhoh, Maqam Ibrahim, Hijr Ismail, Rukun
Yamani, ataupun ketika di Hajar Aswad, ketika di makam
orang-oran g
disisiNya ataupun ketika
ditempat mulia yang lain, tidak ada hubunganny a dengan jarak (makna dzahir) antara Allah Azza wa Jalla
dengan hambaNya. Allah ta'ala adalah dekat. Dekat tidak bersentuh dan jauh tidak
berjarak. Seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya
terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah
min dzalik.
Mereka tetap bersikeras
bahwa Allah ta’ala bertempat atau berada di atas ‘Arsy karena
Rasulullah sendiri yang bersabda telah
melihat Allah pada peristiwa mi’raj dan Beliau telah melihat cahaya.
Apakah mereka berkeyakin an bahwa Rasulullah melihat cahaya yang timbul dari DzatNya yang bertempat
atau berada di atas ‘Arsy ketika Beliau di Sidratil Muntaha pada peristiwa
mi’raj ?
Berikut hadits terkait dengan “Rasulullah melihat cahaya”
Diriwayatk an oleh Abdullah
bin Syafiq dari Abu Dzar:
ثُمَّ قُلْتُ ِلأَبِي ذَرٍّ لَوْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَسَأَلْتُ هُ.
فَقَالَ: عَنْ أَيِّ شَيْءٍ كُنْتَ تَسْأَلُهُ ؟ قَالَ: كُنْتُ أَسْأَلُهُ : هَلْ رَأَيْتَ رَبُّكَ؟ قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ قَدْ
سَأَلْتُ فَقَالَ: ((رَأَيْتُ
نُوْرًا)). (رواه مسلم)
Dia berkata kepada Abu Dzar: “Kalau aku sempat bertemu
Rasulullah صلى الله عليه وسلم
sungguh aku akan bertanya. Abu Dzar balik bertanya: “Apa yang akan kau
tanyakan?” . Aku akan bertanya:
“Apakah beliau melihat rabb-Nya?” Maka
Abu Dzar pun berkata; “Sungguh aku telah bertanya kepada beliau صلى الله عليه
وسلم. Beliau menjawab: “Aku melihat cahaya”. (HR. Muslim)
Maksud cahaya di sini bukanlah cahaya (makna dzahir) yang timbul dari DzatNya
namun cahaya disini kaitan dengan melihat Allah ta'ala dengan hati (ain
bashiroh).
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiap a yang buta
(hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan
lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai
hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan
itu mereka dapat mendengar?
Karena sesungguhn ya bukanlah mata itu
yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 :
46)
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang
sahabatnya bernama Zi’lib
Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana
saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda
melihat-Ny a?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan
manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau
melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah- Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan,
baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Ny a? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang
memandang, tapi dilihat dengan hati
yang penuh Iman.”
Ibnu Hajar al-Atsqala ni
dalam Fathul Bary jilid 8/ 708,
setelah menyebutkan pendapat-p endapat yang menyatakan Rasulullah صلى الله عليه وسلم melihat Rabb-nya dan pendapat
yang sebaliknya , berkata:
“Hadits-ha dits dari Ibnu Abbas
yang menyatakan bahwa
Rasulullah صلى الله عليه وسلم
melihat Rabb-nya, ada yang diriwayatk an secara muqayyad (terikat), yakni melihat dengan hatinya; dan ada pula yang
diriwayatk an secara mutlak. Oleh
karena itu wajib bagi kita untuk membawa hadits-had its yang mutlak tersebut kepada
hadits-had its yang muqayyad”.
Kemudian Ibnu Hajar رحمه الله mengakurka n (menjama’) antara kedua pendapat yang
kelihatann ya saling
bertentang an tersebut dengan
menyatakan : “Dengan ini kita
bisa mengumpulk an antara
pendapat Ibnu Abbas yang menetapkan (melihatny a Rasulullah صلى الله عليه وسلم terhadap Allah) dengan
pendapat Aisyah yang justru mengingkar inya. Yaitu dengan membawa
pengingkar an Aisyah kepada
penglihata n dengan mata, adapun
penetapan Ibnu Abbas adalah penglihata n dengan hatinya”
Kita harus berpegang kepada firman Allah ta'ala yang artinya, “Dia
tidak dapat dicapai oleh penglihata n
mata” (QS Al An’am [6]:103)
Uraian lebih lanjut tentang melihat dengan hati dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/09/15/ bukanlah-ma ta-yang-bu ta/
Diriwayatk an dari
Aisyah رضي الله عنها, ketika beliau ditanya oleh Masyruq: ”Apakah
Rasulullah صلى الله عليه وسلم
melihat Rabb-Nya?” Aisyah رضي الله
عنها menjawab:
مَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَبَّهُ
فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللَّهِ الْفِرْيَة َ. قَالَ وَكُنْتُ مُتَّكِئًا فَجَلَسْتُ فَقُلْتُ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِن ِينَ أَنْظِرِين ِي وَلاَ تَعْجَلِين ِي أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
]وَلَقَدْ رَآهُ بِاْلأُفُق ِ الْمُبِينِ [ ]وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى[
فَقَالَتْ: أَنَا أَوَّلُ هَذِهِ
اْلأُمَّةِ سَأَلَ عَنْ ذَلِكَ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ: إِنَّمَا هُوَ جِبْرِيلُ لَمْ أَرَهُ
عَلَى صُورَتِهِ الَّتِي خُلِقَ عَلَيْهَا غَيْرَ هَاتَيْنِ
الْمَرَّتَ يْنِ
رَأَيْتُهُ
مُنْهَبِطً ا مِنَ
السَّمَاءِ سَادًّا عِظَمُ
خَلْقِهِ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ
إِلَى اْلأَرْضِ.
فَقَالَتْ: أَوَ لَمْ تَسْمَعْ
أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ ]لاَ تُدْرِكُهُ اْلأَبْصَا رُ وَهُوَ يُدْرِكُ اْلأَبْصَا رَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ [ أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ ]وَمَا
كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَه ُ
اللَّهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً
فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ
إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ[(م تفق
عليه)
Barangsiap a yang menyangka
bahwa Muhammad صلى الله عليه وسلم melihat Rabb-nya, maka dia telah membikin
kedustaan besar kepada Allah.
Aku (Masyruq) yang semula berbaring, kemudian terduduk dan berkata: “Ya Umul mukminin,
sebentar dulu! jangan terburu-bu ru! Bukankah Allah telah
berfirman:
“[وَلَقَدْ رَآهُ
بِاْلأُفُق ِ
الْمُبِينِ ] [ وَلَقَدْ رَآهُ
نَزْلَةً أُخْرَى] (“Dan sesungguhn ya Muhammad itu melihatnya di ufuk yang terang”. (“Dan
sesungguhn ya Muhammad telah
melihatnya pada waktu yang lain,
(yaitu) di Sidratil Muntaha”.
Aisyah رضي الله عنها menjawab: “Aku adalah orang pertama dari umat ini
yang bertanya kepada Rasulullah
صلى الله عليه وسلم tentangnya .
Maka beliau menjawab: “Itu adalah Jibril, aku tidak pernah
melihatnya dalam bentuk aslinya,
yang ia diciptakan atasnya. Aku
melihatnya turun dari langit dan
menutupi antara langit dan bumi karena besarnya (bentuknya )”. Kemudian Aisyah berkata: “Tidakkah engkau mendengar
bahwa Allah berfirman:
[لاَ تُدْرِكُهُ
اْلأَبْصَا رُ وَهُوَ يُدْرِكُ
اْلأَبْصَا رَ وَهُوَ
اللَّطِيفُ
الْخَبِيرُ ]?
(“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihata n mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang
kelihatan; dan Dialah Yang Maha
Halus lagi Maha Mengetahui ”). Bukankah
engkau pernah mendengar
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَه ُ اللَّهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ
أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ.
(“Dan tidak mungkin bagi seorang manusia bahwa Allah berkata dengannya
kecuali dengan perantaraa n wahyu
atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan
(malaikat) lalu
diwahyukan kepadanya dengan
seizinNya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhn ya Dia Maha Tinggi lagi Maha
Bijaksana) . (HR.
Bukhari-Mu slim)
Rasulullah melihat Allah
dengan hati (ain bashiroh) ketika di Sidratil Muntaha bukan berarti Allah Azza
wa Jalla bertempat atau berada di sana.
Imam Sayyidina Ali kw mengatakan “Sesungguh nya Allah menciptaka n ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk
menampakka n
kekuasaan- Nya bukan untuk
menjadikan nya tempat bagi DzatNya”
Imam Sayyidina Ali kw mengatakan yang maknanya: “Sesungguh nya yang menciptaka n ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di
mana (pertanyaa n tentang
tempat), dan yang menciptaka n
kayfa (sifat-sif at makhluk) tidak
boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Pada hakikatnya Arsy
diciptakan adalah agar manusia
tidak menjadikan selain Allah Azza wa
Jalla sebagai “Raja Manusia”
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Katakanlah : “Aku
berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia“,
“Raja Manusia”,
“Sembahan manusia”. (QS An Naas [114]: 1-3 )
Manusia dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh) di
tempat manapun namun bukan juga berarti Allah Azza wa Jalla bertempat di
mana-mana.
Manusia terhalang / terhijab
melihat Rabb adalah karena dosa mereka. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati,
sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati. Ketika bintik hitam
memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang
dinamakan buta mata hati. Bintik hitam maknanya kegelapan atau ketiadaan
cahaya.
Diriwayatk an dari Abu
Musa al-‘Asy’ar i:
قَامَ فِيْنَا رَسُوْلُ اللهِِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخَمْسِ
كَلِمَاتٍ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَنَامُ وَلاَ يَنْبَغِي لَهُ
أَنْ يَنَامَ يَخْفَضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَعُ هُ. يَرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلَ اللَّيْلِ قَبْلَ
عَمَلِ النَّهَارِ وَعَمَلَ
النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ
اللَّيْلِ حِجَابُهُ النُّوْرُ. (رواه
مسلم)
Berdiri Rasulullah صلى
الله عليه وسلم di depan kami dengan menyampaik an lima kalimat. Beliau berkata:
“Sesungguh nya Allah tidak tidur
dan tidak layak bagi-Nya tidur, menurunkan timbangan dan mengangkat nya, diangkat kepadanya amalan malam sebelum amalan
siang, dan amalan siang Sebelum amalan malam, dan hijab-Nya adalah cahaya. (HR.
Muslim)
Terkait dengan cahaya, firman Allah ta’ala yang artinya,
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.
Perumpamaa n cahaya Allah, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita
itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-aka n bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
berkahnya, (yaitu) pohon zaitun
yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya) , yang minyaknya
(saja) hampir-ham pir
menerangi, walaupun tidak
disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis- lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaa n-perumpam aan bagi manusia, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” ( QS
An Nuur [24]:35 )
Dalam memahami Al Qur’an tidak boleh berpegang
sebagaiman a yang tertulis
(tersurat) atau
memahaminy a secara harfiah
(dzahir). Tidak boleh berkeyakin an bahwa Allah Azza wa Jalla adalah cahaya atau
Allah Azza wa Jalla mengeluark an
cahaya sehingga men-cahaya -i langit
dan bumi beserta isinya.
Mereka bersikukuh memahami
secara dzahir berpegang kepada firman Allah ta’ala yang artinya “dengan
bahasa Arab yang jelas”. (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195). Jelas disini
bukan berarti mudah dipahami dan secara dzahir. Firman Allah ta’ala pada ayat
lain yang menerangka n bahwa
walaupun Al-Qur’an diturunkan
dalam bahasa Arab yang jelas namun pemahaman yang dalam haruslah dilakukan oleh
orang-oran g yang
berkompete n
(ahlinya). “Kitab yang
dijelaskan
ayat-ayatn ya, yakni bacaan dalam
bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Ditegaskan bahwa Al
Qur’an dalam bahasa Arab maka dalam memahaminy a wajib mengikuti seluruh alat bahasa dalam bahasa Arab
termasuk di dalamnya makna majaz, ilmu balaghoh.
Dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah untuk
menghindar i makna yang tidak
pantas bagi Allah ta’ala maka perlu dilakukan pentakwila n dengan menggunaka n alat-alat bahasa tersebut
Kita harus dapat membedakan antara “mencari-c ari takwil” dengan mentakwilk an. Mentakwilk an adalah menimbang atau mengambil pelajaran dengan dali
naqli yang muhkamat
Mereka yang dapat mengambil pelajaran terhadap ayat-ayat
mutasyabih at atau mengambil
pelajaran terhadap keseluruha n firman
Allah ta'ala ada Ulil Albab
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah
menganuger ahkan al hikmah
(pemahaman yang dalam tentang Al
Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendak i-Nya. Dan barangsiap a yang dianugerah i hikmah, ia benar-bena r telah dianugerah i karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat
mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
Pemahaman secara hikmah tidak akan dimiliki oleh setiap manusia yang
tidak bersyahada t karena mereka
tidak termasuk orang yang dikehendak iNya bahkan kaum Zionis Yahudi adalah kaum yang dimurkai
oleh Allah Azza wa Jalla.
Hadits yang diriwayatk an Sufyan bin Uyainah dengan sanadnya dari Adi bin
Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatk an dari
Abu Dzar, dia berkata, “Saya bertanya kepada
Rasulullah
Shallallah u alaihi wasallam
tentang orang-oran g yang
dimurkai“, beliau bersabda, ‘Kaum Yahudi.’ Saya bertanya
tentang orang-oran g yang sesat,
beliau bersabda, “Kaum Nasrani.“
Berkata Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam:
“ Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman
tanganNya, tidaklah mendengar
dari hal aku ini seseorangp un dari
ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau
beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”
Pemahaman secara hikmah adalah pemahaman menggunaka n akal qalbu (hati atau lubb)
sebagaiman a ulil albab
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadan ya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Ulil albab dengan ciri utamanya sebagaiman firmanNya yang artinya
“(yaitu) orang-oran g yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptaka n ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharala h kami dari siksa neraka” (QS Ali Imran [3] :
191)
Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan sebelumnya pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/15/ berdiri-dud uk-berbari ng/
Kalimat majaz atau balaghoh hanya dapat dipahami dengan hati.
Terjemahan nya cahaya namun
maknanya sesuatu yang terkait dengan hati (ain bashiroh) seperti petunjuk ,
ilham, mulia (derajat)
Begitupula hakikat “di
langit” “di atas” bukanlah dipahami sebagai tempat bagi Allah Azza wa Jalla
namun sebagai padanan bagi Yang Maha Tinggi (Al ‘Aliy) dan Yang Maha Mulia (Al
Jaliil)
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang
diriwayatk an oleh Imam Ahmad dan Ibnu
’Umar r.a.: “Sesungguhn ya langit dan bumi tidak akan/ mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang
sanggup menerimany a.”
Langit , di atas, tinggi sebagai kemuliaan, kebahagian diperlamba ngkan dengan Nuur (cahaya),
Bumi, di bawah, rendah sebagai kehinaan, kesengsara an diperlamba ngkan dengan Naar (api)
Manusia sebagai makhluk yang mulia dengan dikaruniak an akal (qalbu) dan akan
mendapatka n kemuliaan (An Nuur)
atau “naik” jika manusia memperguna kan akal (qalbu) di jalan Allah ta’ala dan
RasulNya atau memperguna kan akal
(qalbu) untuk mengikuti cahayaNya atau petunjukNy a dan sebaliknya akan mendapatka n kehinaan (An Naar) atau “jatuh” jika manusia
tidak memperguna kan akalnya atau
memperturu tkan hawa nafsu.
Nabi Adam a.s diturunkan dari tempat yang mulia ke bumi karena melanggar
perintah Allah ta’ala atau karena tidak memperguna kan akal untuk mengikuti cahayaNya atau
petunjukNy a atau karena
memperturu tkan hawa nafsu.
Firman Allah ta'ala yang artinya
“…Janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatka n kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )
“Katakanlah : “Aku
tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatla h aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula)
aku termasuk orang-oran g yang mendapat
petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )
Mengikuti atau memperturu tkan hawa nafsu = tidak mengikuti
petunjukNy a atau tersesat dari jalan
Allah, menuju kegelapan atau ketiadaan cahayaNya
Manusia dapat memilih memuliakan dirinya dengan menggunaka n akal mengikuti cahayaNya atau
petunjukNy a atau
menghinaka n dirinya dengan
memperturu tkan hawa nafsu.
Setiap manusia telah diilhamkan pada
jiwa (qalbu) mereka akan pilihan tersebut.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan Kami telah menunjukka n kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil)
(QS Al Balad [90]:10 )
“maka Allah mengilhamk an kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaann ya“. (QS As Syams
[91]:8 )
Apapun pilihan manusia akan dipertangg ungjawabka n di akhirat kelak tanpa dapat
mengingkar inya karena pada
dasarnya semua manusia telah diilhamkan pilihan tersebut.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat- Nya dan merekalah yang akan ditanyai” (QS Anbiyaa’
[21]:23 )
“Dan sesungguhn ya kamu
akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan” (QS An Nahl [16:93 )
Pilihan ini yang dimaksud dengan keimanan yang kadang naik (menuju
kemuliaan) dan kadang turun (menuju
kehinaan).
Rasulullah
shallallah u ‘alaihi wasallam
bersabda
”Iman itu kadang naik kadang turun, maka
perbaharui lah iman kalian dengan la
ilaha illallah.” (HR Ibn Hibban)
Ketidakmam puan manusia
menggunaka n ilham yang telah
dihujamkan kedalam hati mereka
dikarenaka n keadaan hati mereka.
Semakin mereka berlumur dosa maka ketiadaan cahayaNya pada hati mereka , menuju
kegelapan , kehinaan sehingga mereka buta hatinya.
Jalan Allah ta’ala, jalan yang lurus, diperlamba ngkan dengan Alif, lurus naik ke atas.
Bagian paling dasar, kehinaan, naar (Api), 7 lapis bumi terus naik 7 lapis
langit, Nuur (Cahaya), kemuliaan.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Yang telah menciptaka n tujuh langit berlapis-l apis” (QS Al Mulk [67]:3 )
“Allah-lah yang menciptaka n tujuh langit dan seperti itu pula bumi.” (QS Ath
Thalaq [65]: 12 )
“Sesungguhn ya Kami
telah menciptaka n manusia dalam
bentuk yang sebaik-bai knya,
kemudian Kami kembalikan dia ke
tempat yang serendah-r endahnya
(neraka), kecuali orang-oran g
yang beriman dan mengerjaka n
amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putu snya” (QS At Tin [95]: 4-6 )
“Allah membimbing
kepada cahaya-Nya siapa yang dia
kehendaki” ( QS An Nuur [24]:35
)
Manusia yang mendapat kemuliaan atau yang kembali ke sisi Allah yang
Maha Mulia adalah Mereka yang mengikuti cahayaNya atau
petunjukNy a yakni mereka yang
memperguna kan akal (qalbu) di jalan
Allah dan RasulNya atau dengan kata lain adalah manusia yang bertaqwa.
Firman Allah ta'ala yang artinya, “Sesungguhn ya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling taqwa di antara kamu”
(Al-Hujura at [49]: 13 )
Mereka yang mulia dan di sisi Allah Azza wa Jalla, mereka yang
istiqomah di jalan yang lurus, mereka yang telah diberi ni’mat , mereka hanyalah
terdiri dari 4 golongan manusia yakni para Nabi (yang utama adalah
Rasulullah ), para
Shiddiqin, para Syuhada dan
orang-oran g sholeh.
Firman Allah ta'ala yang artinya
“Tunjukilah kami jalan
yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
” (yaitu) Jalan orang-oran g yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….”
(QS Al Fatihah [1]:7 )
“Dan barangsiap a
yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya) , mereka itu akan bersama-sa ma dengan orang-oran g yang dianugerah i ni’mat oleh Allah, yaitu :
Nabi-nabi, para
shiddiiqii n,
orang-oran g yang mati syahid,
dan orang-oran g saleh. Dan
mereka itulah teman yang sebaik-bai knya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Mereka yang dapat memandang Allah ta'ala dengan hati atau mereka yang
telah mencapai muslim yang ihsan atau mereka yang telah
berma'rifa t adalah mereka yang
mengikuti cahayaNya atau petunjukNy a
Syaikh Ibnu Athoillah menyampaik an diawali dengan firman Allah Azza wa Jalla
وَهُوَ القَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الحَكِيْمُ الخَبِيْرُ
Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamb a-Nya
Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui (QS. Al-An’am 18)
الحَقُّ لَيْسَ بِمَحْجُوْ بٍ وَإِنَّماَ المَحْجُوْ بُ أَنْتَ عَنِ النَّظْرِ إِذْ
لَوْحَجَبَ هُ شَيْءٌ
لَسَتَرَهُ
ماَحَجَبَه ُ
وَلَوكاَنَ لَهُ ساَتِرٌ لَكاَنَ
لِوُجُوْدِ هِ حاَصِرٌ وَكُلُّ
حاَصِرٍ
لِشَيْءٍ فَهُوَ لَهُ قاَهِرٌ
Allah tidak terhalang untuk dilihat, akan tetapi yang terhalang adalah
anda untuk dapat melihat Allah, logikanya apabila Allah terhalang sesuatu untuk
dilihat maka penghalang itu
menutupi wujud Allah, apabila wujud Allah terhalang maka
keberadaan Allah itu terbatas,
dan setiap sesuatu yang terbatas niscaya ada sesuatu yang membatasi atau ada
sesuatu yang menguasain ya, ada yang
menguasai Allah itu mustahil.
يَعْنِي أَنَّ الحِجاَبَ لاَ يَتَّصِفُ بِهِ الحَقُّ
سُبْحاَنَه ُ
وَتَعاَلىَ
ِلاسْتِحاَ لَتِهِ فيِ حَقِّهِ
Yakni, bahwa penghalang
tidak akan pernah terjadi menyertai Allah Subhanahu wa ta’ala Al-Haq
Subhanalla h, karena hal itu mustahil
bagi Allah Subhanahu wa ta’ala.
وَإِنَّماَ
المَحْجُوْ بُ أَنْتَ أَيُّهاَ
العَبْدُ بِصِفاَتِك َ
النَّفْساَ نِيَّةِ عَنِ النَّظْرِ
إِلَيْهِ فَإِنْ رُمْتَ الوُصُوْلَ فاَبْحَثْ عَنْ عُيُوْبِ نَفْسِكَ
وَعاَلَجَه اَ
Sesungguhn ya yang
terhalang adalah anda, hai kawan. Karena anda sebagai manusia
menyandang sifat jasad, sehingga
terhalang untuk dapat melihat Allah. Apabila anda ingin sampai melihat Allah,
maka intropeksi ke dalam,
lihatlah dahulu noda dan dosa yang terdapat pada diri anda, serta
bangkitlah untuk mengobati dan
memperbaik inya, karena itu-lah
sebagai penghalang anda.
Mengobatin ya dengan bertaubat
dari dosa serta memperbaik inya dengan
tidak berbuat dosa dan giat melakukan kebaikan.
إِن الحِجاَبَ يَرْتَفِعُ عَنْكَ فَتَصِلُ إِلىَ النَّظْرِ إِلَيْهِ بِعَيْنِ
بَصِيْرَتِ كَ وَهُوَ مَقاَمُ
الإِحْساَن ِ الَّذِي
يُعَبِرُوْ نَ عَنْهُ بِمَقاَمِ
المُشاَهَد َةِ
Pada akhirnya penghalang itu akan sirna, hilang dari anda sehingga sampai
pada “Dapat Melihat Allah” dengan “Ain Bashiroh” (Pandangan mata hati) dan inilah yang disebut “Ihsan” yaitu
beribadah kepada Allah seolah anda melihatNya , apabila anda tidak mampu
melihatNya ,
sesungguhn ya Allah melihat anda.
Para Ulama Sufi menyebutny a
Maqom Musyahadah artinya ruang
kesakisan, “Aku besaksi tiada Tuhan
selain Allah”.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaik an, mereka yang sadar diri
senantiasa memandang Allah Azza
wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang
mengugurka n
hijab-hija b antara diri mereka dengan
DiriNya.
Semua banungan runtuh tinggal maknanya. Seluruh
sendi-send i putus dan segala milik
menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla.
Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada
kesenangan bagi mereka hingga
semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnala h semua perkara baginya.
Pertama yang mereka keluarkan adalah segala
perbudakan duniawi kemudian
mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan
senantiasa terus demikian dalam
menjalani ujian di RumahNya.
Nasehat Syaikh Ibnu Athoillah mengatakan ,
“Seandainy a Anda tidak
dapat sampai / berjumpa
kehadhirat Allah, sebelum Anda menghapusk an dosa-dosa kejahatan dan noda-noda
keangkuhan yang melekat pada
diri anda, tentulah anda tidak mungkin sampai kepada-Nya selamanya.
Tetapi apabila Allah menghendak i agar anda dapat berjumpa denganNya , maka Allah
akan menutupi sifat-sifa tmu
dengan sifat-sifa t
Kemahasuci an-Nya ,
kekurangan mu dengan
Kemahasemp urnaan-Nya .
Allah Ta’ala menerima engkau dengan apa yang Dia (Allah)
karuniakan kepadamu, bukan
karena amal perbuatanm u sendiri yang
engkau hadapkan kepada-Nya.”
Kami akhiri tulisan kali ini dengan doa munajat Syaikh Ibnu Athoillah,
“Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanN ya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan
mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurna an, keindahan dan keagunganN ya, sehingga nyatalah bukti
kebesaranN ya dalam hati dan
perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembuny i padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan
bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah
Allah yang memberikan petunjuk
dan kepadaNya kami mohon pertolonga n“
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830