Dalam tulisan sebelumnya pada
http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/28/ tidak-patut -diikuti/ telah diuraikan bagaimana mereka
mengutip perkataan para Imam Mazhab namun memaknainy a sesuai keinginan mereka bahwa Allah Azza wa Jalla
bertempat atau berada di atas' Arsy atau di atas langit.
Kita harus bisa bedakan kapan para Salafush Sholeh, para Imam Mazhab,
para pengikut Imam Mazhab, para Habib, para Sayyid sedang
menjelaska n ayat-ayat
mutasyabih at tentang sifat Allah
atau kapan mereka tidak mengucapka nnya kecuali ‘ala sabilil hikayah atau
menetapkan lafazhnya (itsbatul
lafzhi) saja; yaitu hanya mengucapka n kembali apa yang diucapkan oleh al Qur’an,
“Ar-Rahman u alal arsy istawa”
atau “A’amintum man fis sama’“.
Tidak lebih dari itu. Namun mereka para pengikut Ibnu Taimiyyah
sebagaiman a ulama Ibnu Taimiyyah
memaknainy a dengan
menterjema hkan secara harfiah bahwa
Allah ta’ala bertempat di atas Arsy atau bertempat di (atas) langit.
Mereka masih saja bersikeras bahwa Allah Azza wa Jalla berada atau bertempat
di atas 'Arsy atau di atas langit. Mereka berkeyakin an bahwa Allah Azza wa Jalla berbatas atau dibatasi
dengan 'Arsy atau dengan langit.
Mereka katakan dengan peristiwa Mi'raj membuktika n bahwa Rasulullah mi'raj ketempat Allah Azza wa Jalla berada dan
mereka mempertany akan kami,
apakah kami mengingkar i mi'raj
Rasulullah dengan tubuhnya
Tentulah tubuh Sayyidina Muhammad Shallallah u alaihi wasallam sampai kepada tempat Beliau
bermunajat kepada Allah ta'ala
ketika peristiwa Mi'raj namun bukan berarti Allah Azza wa Jalla berada atau
bertempat pada tempat Beliau bermunajat .
Begitupula memaknai
hadits Rasulullah berikut
Rasulullah bersabda yang
artinya, "Saat yang paling dekat antara seorang hamba dan Rabb-nya
adalah ketika ia sujud, maka perbanyakl ah doa ketika itu." (HR Muslim dari Abu
Hurairah)
Janganlah dimaknai bahwa Allah Azza wa Jalla berada atau bertempat di tempat
sujud kita
Jadi dalam kisah mi’raj yang kita dengar terdapat
keterangan mengenai
naik-turun nya
Rasulullah , seorang muslim tidak boleh
menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal
itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahka n kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi
shallallah u alaihi wasallam pada
malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi
Beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallah u alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta
alaihissal am, ketika ditelan hiu
dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah
ta’ala dengan ciptaan-Ny a,
ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakter batasannya dan ketidakter tangkapnya .
Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus
alaihissal am sejauh
perjalanan enam ribu tahun. Hal
ini disebutkan oleh al Baghawi dan
yang lainnya.
Apabila kita telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi
Shallallah u walaihi wasallam
naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukka n kedudukan Beliau di hadapan penduduk langit dan Beliau
adalah makhluk Allah yang paling utama.
Pengertian ini
dikuatkan dengan dinaikkann ya
Beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi
dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat Beliau tanpa menggunaka n buraq.
Ketahuilah bahwa
bolak-bali knya Nabi Muhammad
shallallah u alaihi wasallam
antara Nabi Musa alaihissal am
dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti
adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan
sesuci-suc inya.
Ucapan Nabi Musa alaihissal am kepada Beliau, “Kembalila h kepada Tuhanmu,” artinya:
“kembalila h ke tempat engkau
bermunajat kepada Tuhanmu. Maka
kembalinya Beliau adalah dari
tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissal am ke tempat Beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya.
Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau
menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat.
Maka kembalinya Nabi Muhammad
Shallallah u alaihi wasallam
kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu
dibandingk an dengan yang lain.
Sebagaiman a lembah Thursina
adalah tempat permohonan Nabi
Musa alaihissal am di bumi. Kita
pun mengenal tempat yang mulia untuk bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla seperti Makkah Al
Mukarohmah , Masjid Nabawi, multazam,
raudhoh, maqam Ibrahim, hijr Ismal, rukun Yamani, hajar aswad , dll
Walaupun Beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu
tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau
shallallah u alaihi wasallam dan
Nabi Yunus alaihissal am ketika ditelan
oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam
kedekatan dengan Allah ta’ala, karena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci
dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkir ah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin
al-’Arabi al Maliki mengatakan ,
‘Telah mengabarka n kepadaku
banyak dari sahabat-sa habat kami
dari Imam al-Haramai n Abu al Ma’ali
Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah
berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu”
Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukka n oelh hadits ini?” Ia menjawab,
“Sesungguh nya Yunus bin Matta
alaihissal am
menghempas kan dirinya kedalam
lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam
kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci
Engkau, Sesungguhn ya aku
termasuk orang-oran g yang
zhalim,” sebagaiman a Allah
ta’ala memberitak an tentang dia.
Dan ketika Nabi Muhammad shallallah u alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau
dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak
Qalam dan bermunajat kepada
Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan
apa yang Ia wahyukan kepadanya,
tidaklah Beliau shallallah u
alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingk an Nabi Yunus alaihissal am yang berada dikegelapa n lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat
dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang
tersembuny i atasNya, keadaan
mereka bagaimanap un mereka
bertindak, tanpa ada jarak antara Dia
dengan mereka.
Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkakn ya semut hitam di atas batu yang hitam pada malam
yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaiman a Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban
‘Arsy di atas langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang
mengetahui yang gaib dan yang
nyata. Ia mengetahui segala sesuatu
dan dapat membilang segala sesuatu.
Kami (penulis) mengingatk an kembali bahwa Allah Azza wa Jalla adalah dekat,
Dia ada sebagaiman a sebelum
diciptakan 'Arsy,
sebagaiman a sebelum
diciptakan langit,
sebagaiman a sebelum
diciptakan
ciptaanNya . Dia tidak berubah
dan tidak berpindah. Dia
sebagaiman a awalnya dan
sebagaiman a akhirnya. Dia dekat
tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak. Tidak ada atas, bawah, kanan, kiri,
depan, belakang bagiNya karena tidak ada satupun yang sanggup
membatasiN ya. Dia ada tanpa
batas. Yang berubah maupun berpindah adalah ciptaanNya . Setiap yang berpindah mempunyai bentuk dan batas.
Di dalam kitab "Kifayatul "Awam" karya Syeikh Ibrahim
Al-Baijuri halaman 60
diterangka n sebagai berikut:
ู ุงูุฑุงุจุนุฉ ุงูู
ู
ุงุซูุฉ ุถุฏ ุงูู
ุฎุงููุฉ ููุณุชุญูู ุนููู ุชุนุงูู ุฃู ูู
ุงุซู ุงูุญูุงุฏุซ ูู ุดูุก ู
ู
ุง
ุงุชุตููุง ุจู ููุง ูู
ุฑ ุนููู ุชุนุงูู ุฒู
ุงู ู ููุณ ูู ู
ูุงู ู ููุณ ูู ุญุฑูุฉ ู ูุง ุณููู ู ูุง
ูุชุตู ุจุฃููุงู ู ูุง ุจุฌูุฉ ููุง ููุงู ููู ุงูุฌุฑู
ู ูุง ุนู ูู
ูู ุงูุฌุฑู
ู ููุณ ูู ุชุนุงูู ุฌูุฉ
ููุง ููุงู ุงูู ุชุญุช ุงููู ูููู ุงูุนุงู
ุฉ ุงูู ุชุญุช ุฑุจู ู ุงู ุฑุจู ูููู ููุงู
ู
ููุฑ ูุฎุงู ุนูู
ู
ู ูุนุชูุฏู ุงูููุฑ
Artinya:
=====
"Dan sifat mustahil yang keempat bagi Allah swt adalah sifat
"Al-Mumats alah
(ุงูู
ู
ุงุซูุฉ) ". Artnya:
Menyerupai makhluk, lawan dari
sifat yang wajib bagi Allah swt yaitu sifat "Al-Mukhal afah (ุงูู
ุฎุงููุฉ) ". Artinya: Allah swt berbeda dengan makhluk.
Maka mustahil bagi Allah swt menyerupai makhluk pada sesuatu yang
disifatiny a.
Olehkarena itu, Allah tidak
dilewati (diliputi) oleh zaman
(waktu), tempat, gerakan, dan diam, dan tidak pula disifati oleh
warna-warn a dan arah. Maka tidak
boleh dikatakan bahwa Allah itu berada di atas jirim (bentuk makhluk seperti
manusia) dan berada di sebelah kanan jirim. Begitupula , Allah tidak mempunyai arah. Maka tidak boleh
dikatakan bahwa sesungguhn ya aku
berada di bawah Allah.
ِAdapun ucapan 'awam (orang-ora ng yang tidak tahu tentang ilmu tauhid)
mengatakan bawa
sesungguhn ya aku berada di bawah
Tuhanku dan sesungguhn ya Tuhanku
berada di atasku merupakan kalam munkar, yang dikuatirka n dapat menimbulka n kekufuran bagi orang yang
mengi'tiqa dkan atau
meyakininy a".
Tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam
asy-Syafi’ i berkata:
ุฅู ูุฐู ุงูุขูุฉ ู
ู ุงูู
ุชุดุงุจูุงุช ،
ูุงูุฐู ูุฎุชุงุฑ ู
ู ุงูุฌูุงุจ ุนููุง ูุนู ุฃู
ุซุงููุง ูู
ู ูุง ูุฑูุฏ ุงูุชุจุญุฑ ูู ุงูุนูู
ุฃู ูู
ุฑ ุจูุง
ูู
ุง ุฌุงุกุช ููุง ูุจุญุซ ุนููุง ููุง ูุชููู
ูููุง ูุฃูู ูุง ูุฃู
ู ู
ู ุงููููุน ูู ูุฑุทุฉ ุงูุชุดุจูู ุฅุฐุง
ูู
ููู ุฑุงุณุฎุง ูู ุงูุนูู
، ููุฌุจ ุฃู ูุนุชูุฏ ูู ุตูุงุช ุงูุจุงุฑู ุชุนุงูู ู
ุง ุฐูุฑูุงู، ูุฃูู ูุง
ูุญููู ู
ูุงู ููุง ูุฌุฑู ุนููู ุฒู
ุงู، ู
ูุฒู ุนู ุงูุญุฏูุฏ ูุงูููุงูุงุช ู
ุณุชุบู ุนู ุงูู
ูุงู ูุงูุฌูุงุช،
ููุชุฎูุต ู
ู ุงูู
ูุงูู ูุงูุดุจูุงุช (ุงูููู ุงูุฃูุจุฑ، ุต 13)
“Ini termasuk ayat mutasyรขbih รขt. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan
ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki
kompetensi di dalamnya adalah
agar mengimanin ya dan tidak
–secara mendetail–
membahasny a dan
membicarak annya. Sebab bagi
orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam
kesesatan tasybรฎh. Kewajiban atas orang ini –dan semua orang Islam– adalah
meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak
diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari
batasan-ba tasan (bentuk) dan
segala penghabisa n, dan Dia
tidak membutuhka n kepada segala tempat
dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh
al-Akbar, h. 13).
Oleh karenanya kita sebaiknya mengingat peringatan yang disampaika n oleh Rasulullah yang artinya, ” Berfikirla h tentang nikmat-nik mat Allah, dan jangan sekali-kal i engkau berfikir tentang Dzat Allah”
Dalam memahami ayat-ayat mutasyabih at tentang sifat Allah maka
sebaiknyal ah kita berpegang pada
batas-bata s yang
disampaika n oleh para ulama terdahulu
seperti
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi”
mengatakan “Ia
(ayat-ayat
mutasyabih at) memiliki
makna-makn a khusus yang berbeda
dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa
sebagaiman a makna yang selama
ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu
‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi
Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis
mutasyabih at, karena hal itu
salah satu pangkal kekufuran” .
Begitupula kita
seharusnya
memperhati kan
peringatan yang
disampaika n oleh khataman Khulafaur
Rasyidin, Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat
Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi
orang-oran g kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab
kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena
pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena
pengingkar an. Mereka
mengingkar i Pencipta mereka
(Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.” (Imam Ibn
Al-Mu’alli m
Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam
Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm
Al-Mu’tadi ).
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Tambahan bahan note/ tulisan
kali ini dari:
Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki, Wa huwa bi al’ufuq al-a’la dan
diterjemah kan oleh Sahara ,
publisher dengan judul Semalam bersama Jibril ‘alaihissa lam