بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. الْحَمْدُ للهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ،
وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ
اْلأَنْبِيَاءِ وَ
الْمُرْسَلِيْنَ
سَيِّدِنَا
وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ
الصَّادِقِ
اْلأَمِيْنَ، وَعَلَى آلِهِ
الطَّاهِرِيْنَ،
وَصَحْبِهِ
الرَّاشِدِيْنَ،
وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوٍمِ
الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ :
A. Pengertian Bid’ah
مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ .( فتح الباري لابن حجر 6 /292(
Bid’ah dalam pengertian
bahasa adalah:
“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”. (Fath al-Bari 6/292)
Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh
al-Qur’an,
menuliskan sebagai berikut:
اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ
صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ
وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا
اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى
فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ
مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ
السّمَاوَاتِ وَالأرْض)
البقرة:117، وَيُقَالُ
لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ-
نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا
جَمِيْعًا، بِمَعْنَى
الْفَاعِلِ
وَالْمَفْعُوْلِ.
وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا
كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا
أَقُوْلُهُ.اهـ
“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan
mencontoh sesuatu sebelumnya.
Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah
penciptaan terhadap sesuatu
tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini
hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya
yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’
as-Samawat Wa al-Ardl), artinya:
“Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’
(artinya sesuatu yang dirintis).
Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model
baru)”.
Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan
berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma
Kuntu Bid’an Min ar-Rusul),
menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul
pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna
ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama
kali menyampaikan apa yang aku
katakan” (artinya penggunaan
dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).
Dalam pengertian syari’at,
bid’ah adalah:
اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ
لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun
dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, 1/278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi
menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ
وَالْمُحْدَثُ
مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ
وَمُحْدَثٍ وَلاَ
مَعْنَيَيْهِمَا،
وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ
البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ
السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ
الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى
الضَّلاَلَةِ.
Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya
karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam
pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah
yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang
tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan
B. Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau
Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan
as-Sunnah. Kedua: Bid’ah Huda
atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru
yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Al-Imam asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ
اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ :
أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ
ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ
سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلاَلـَةِ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ
فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ(
“Perkara-perkara baru
itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi
al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau
menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di
antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang
sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi
al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’,
maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib
asy-Syafi’i) (Manaqib
asy-Syafi’i, 1/469).
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ
بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ
مَحْمُوْدَةٌ
وَبِدْعَةٌ
مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ
السُّـنَّةَ فَهُوَ
مَحْمُوْدٌ وَمَا
خَالَفَهَا فَهُوَ
مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.
Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang
menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari
20/330)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini
disepakati oleh para ulama
setelahnya dari seluruh kalangan
ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai
disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam,
an-Nawawi, Ibn ‘Arafah,
al-Haththab
al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan
lain-lain. Dari kalangan ahli
hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih
as-Sakhawi, al-Hafzih
as-Suyuthi dan
lain-lain. Termasuk dari
kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah
Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela). Pembagian
bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia
berkata: Rasulullah Shallahu ‘Alaihi
Wa Sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه
البخاريّ ومسلم(
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang
tidak sesuai dengannya, maka ia
tertolak”. (HR.
al-Bukhari: 2499 [9/201] dan Muslim :
3242 [9/118])
Dapat dipahami dari sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Ma Laisa Minhu”,
artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang
bertentangan dan menyalahi
syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak
tertolak.
Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam
pokok-pokok agama
(Ushuluddin) dan bid’ah dalam
cabang-cabang agama, yaitu
bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi
akidah Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya.
C. Dalil-Dalil Bid’ah
Hasanah
Al-Muhaddits
al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah
ibn ash-Shiddiq
al-Ghumari al-Hasani dalam kitab
Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq
Ma’na al-Bid’ah,
menuliskan bahwa di antara
dalil-dalil yang
menunjukkan adanya bid’ah
hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):
1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ
الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً
وَرَحْمَةً
وَرَهْبَانِيَّةً
ابْتَدَعُوهَا مَا
كَتَبْنَاهَا
عَلَيْهِمْ إِلَّا
ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد:
27(
“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan
mereka mengada-adakan
rahbaniyyah, padahal Kami tidak
mewajibkannya kepada mereka,
tetapi (mereka sendirilah yang
mengada-adakannya) untuk mencari
keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)
Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini
Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa
berkeyakinan bahwa hanya Allah
yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan
penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi,
hingga mereka meninggalkan
nikah, karena ingin berkonsentrasi
dalam beribadah kepada Allah.
Dalam ayat di atas Allah mengatakan “مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ”, artinya: “Kami (Allah) tidak
mewajibkan
Rahbaniyyah tersebut atas
mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis
Rahbaniyyah itu untuk tujuan
mendekatkan diri kepada Allah”.
dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang
tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah
dinyatakan oleh Nabi ‘Isa
al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya
semaksimal mungkin untuk taat
kepada Allah, dan berkonsentrasi
penuh untuk beribadah kepada-Nya
dengan tidak menyibukkan diri
dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun
rumah-rumah kecil dan sederhana
dari tanah atau semacamnya di
tempat-tempat sepi dan jauh dari
orang untuk beribadah sepenuhnya
kepada Allah.
2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ
الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ
أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ
شَىْءٌ (رواه مسلم(
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah
(perbuatan) yang baik maka
baginya pahala dari perbuatannya
tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis
dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang
melakukannya
(mengikutinya)
setelahnya tanpa berkurang dari
dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR.
Muslim: 1691 [5/198])
Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam
mengatakan:
“Barangsiapa merintis sunnah
hasanah…”.
Pernyataan
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk
berpegangteguh dengan sunnah
atau menghidupkan sunnah ada
hadits-hadits
tersendiri yang
menjelaskan tentang itu.
Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang
baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain
adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh
dengannya.
3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه
البخاريّ ومسلم(
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang
tidak sesuai dengannya, maka ia
tertolak”. (HR.
al-Bukhari: 2499 [9/201] dan Muslim :
3242 [9/118])
Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena
seandainya semua bid’ah pasti
sesat tanpa terkecuali, niscaya
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam akan mengatakan
“Barangsiapa merintis hal baru
dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam
mengatakan,
sebagaimana hadits di atas:
Barangsiapa merintis
hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua
bagian: Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi
kaedah-kaedah dan
dalil-dalil syara’, perkara baru
semacam ini digolongkan sebagai
bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan
dalil-dalil syara’, perkara baru
semacam ini digolongkan sebagai
perkara baru yang dibenarkan dan
diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.
4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam
al-Bukhari : 1871
[7/135] dalam kitab Shahih-nya
disebutkan bahwa sahabat ‘Umar
ibn al-Khaththab secara tegas
mengatakan tentang adanya bid’ah
hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai
bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan:
“نِعْمَ الْبِدْعَةُ
هَذِهِ”. Artinya, sebaik-baiknya
bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah.
5. Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim :
2029- 2030[6/121]
disebutkan bahwa sahabat
Abdullah bin Umar ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang
telah diajarkan oleh Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Tambahan Abdullah bin Umar dalam talbiyah
adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
6. Dalam hadits riwayat Abu Dawud : 826 [3/156] disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn
al-Khaththab
menambahkan kalimat Tasyahhud
terhadap kalimat-kalimat
Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dalam
Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn
‘Umar mengatakan:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.
Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata:
“زِدْتُ فِيهَا وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ...”, artinya: “Saya sendiri
yang menambahkannya dengan kalimat
“Wahdahu La Syarika Lah”.
7. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam tidak pernah melakukannya.
Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:
إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ
وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا
أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد
صحيح(
“Sesungguhnya shalat
Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari
apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih). Dalam
riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar
mengatakan:
بِدْعَةٌ وَنِعْمَتِ
البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة(
“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah: [2/296] dan Ath
Thabrani : 13387 dalam al-Mu’jam al-Kabir 11/54)
Riwayat-riwayat ini
dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar
dalam Fath al-Bari [4/173] dengan sanad yang shahih.
8. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari: 757 [3/277] meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi’,
bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat
berjama’ah di belakang
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam. Ketika beliau mengangkat
kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum
berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا
مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bertanya: “Siapakah
tadi yang mengatakan
kalimat-kalimat itu?”. Orang
yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam...”. Lalu Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang
pertama mencatatnya”.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang
menunjukkan akan kebolehan menyusun
bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak
menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari 2/ 287).
D. Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah
Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah, di antaranya :
1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali
melakukannya adalah Khubaib ibn
‘Adiyy al-Anshari; salah seorang
sahabat Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam. Tentang ini Abu Hurairah berkata:
فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ(
“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan
dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam
kitab al-Maghazi, Ibn Abi
Syaibah : 133 [8/340] dalam kitab
al-Mushannaf)
Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada
sebelumnya. Jelas, makna “sanna”
di sini bukan dalam pengertian
berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang. Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama,
yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika
seorang akan dibunuh, beliau menjawab:
صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ
وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.
“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh
Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah
orang-orang (sahabat Nabi) yang
mulia”. Diriwayatkan oleh Ibn
Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab 1/ 358)
2. Penambahan Adzan
Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan. (HR.
al-Bukhari dalam Kitab Shahih
al-Bukhari pada bagian Kitab
al-Jum'ah).
3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn
Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang
yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan
lainnya. Mereka semua menganggap
baik pembuatan titik-titik dalam
beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam
mendiktekan
bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut
kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.
Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan
menggandakan mush-haf menjadi
lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan
titik-titik pada sebagian
huruf-hurufnya. Namun demikian,
sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua
umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan
huruf-huruf
al-Qur’an. Apakah mungkin hal
ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah
melakukannya?! Jika demikian
halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman. Abu Bakar ibn Abu
Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya
al-Mashahif berkata:
“Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mushhaf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya
bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan
lainnya. Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat
al-Qur’an, pemberian lingkaran
di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan
hizb, Nishf (pertengahan Juz),
Rubu' (setiap seperempat juz)
dalam setiap juz dan semacamnya,
semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para
sahabatnya. Apakah dengan alasan
semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!
4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang
pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid
Nabawi. Perbuatan al-Khalifah
ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka
membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir
seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal
Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!
5. Peringatan Maulid
Nabi adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh
al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh
as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh
as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn
Hajar al-Haitami (W 974 H),
al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan
Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa
Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.
6. Membaca shalawat atas Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam setelah adzan adalah
bid’ah hasanah sebagaimana
dijelaskan oleh al-Hafizh
as-Suyuthi dalam kitab Musamarah
al-Awa-il, al-Hafizh
as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul
al-Badi’, al-Haththab al-Maliki dalam
kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.
7. Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam
surat-surat yang beliau kirimkan
kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis
kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam hanya
menuliskan: “Min Muhammad
Rasulillah Ila Fulan…”, artinya:
“Dari Muhammad Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam kepada Si Fulan…”.
8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan
orang-orang saleh. Seperti
tarekat ar-Rifa'iyyah,
al-Qadiriyyah,
an-Naqsyabandiyyah dan lainnya
yang kesemuanya berjumlah
sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian
sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak
lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.
Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi’ah, di antaranya sebagai
berikut:
1. Bid’ah-bid’ah dalam
masalah pokok-pokok agama
(Ushuluddin), di antaranya
seperti:
a. Bid’ah Pengingkaran
terhadap ketentuan (Qadar) Allah. Yaitu keyakinan sesat yang
mengatakan bahwa Allah tidak
mentaqdirkan dan tidak
menciptakan suatu apapun dari
segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan
ini-, terjadi dengan penciptaan
manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak
menciptakan
keburukan. Menurut mereka, Allah
hanya menciptakan kebaikan saja,
sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga
berkeyakinan bahwa pelaku dosa
besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada
posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga
mengingkari syafa'at Nabi.
Golongan yang berkeyakinan
seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali
mengingkari Qadar Allah adalah
Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.
b. Bid’ah Jahmiyyah.
Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka
berkeyakinan bahwa seorang hamba
itu majbur (dipaksa); artinya
setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala
perbuatannya. Menurut mereka, manusia
bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke
arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki
ikhtiar dan kehendak.
c. Bid’ah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.
d. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan
orang-orang saleh setelah para
nabi atau orang-orang saleh
tersebut meninggal. Atau
pengkafiran terhadap orang yang
tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang
bertawassul ini tidak berada di
hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim
ibn Taimiyah al-Harrani (W 728
H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para
pengikutnya yang dikenal dengan
kelompok Wahhabiyyah.
2. Bid’ah-bid’ah
'Amaliyyah yang buruk. Contohnya
menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” setelah
menuliskan nama
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah
menegaskan dalam
kitab-kitab
Mushthalah al-Hadits bahwa
menuliskan huruf “shad” saja
setelah penulisan nama Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah makruh. Artinya
meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai
mengharamkannya. Kemudian
termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan
panjang) dari kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.
E. Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah
1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata: “Bukankah
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:
وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ
الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود(
Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak
disebutkan dalam al-Qur’an dan
hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan atau
al-Khulafa'
ar-Rasyidun maka perkara tersebut
dianggap sebagai bid’ah sesat .
Jawab:
Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud
oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi
Wa Sallam dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara
baru yang menyalahi al-Qur’an,
sunnah, ijma' atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
menuliskan: “Sabda
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah
dikhususkan kepada sebagian
maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan
mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn
al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).
Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau
berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui
bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa
yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn
al-Khaththab tentang shalat
Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”. Dalam penegasan al-Imam
an-Nawawi, meski hadits riwayat
Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan
berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat
di-takhshish. Contoh semacam ini,
dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25(
Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad
telah menghancurkan kaum
tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa angin
tersebut menghancurkan segala
sesuatu secara keseluruhan,
karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat
ini menggunakan kata “Kull”.
Adapun dalil-dalil yang
men-takhshish hadits “Wa Kullu
Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.
2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata: “Hadits “Man
Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam masih hidup. Adapun setelah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam meninggal maka hal tersebut
menjadi tidak berlaku lagi”.
Jawab:
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ
إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
“Pengkhususan -terhadap
suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”. Kita katakan kepada mereka: “Mana
dalil yang menunjukan
kekhususan
tersebut?! Justru
sebaliknya, lafazh hadits
riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak
mengatakan “Man Sanna Fi Hayati
Sunnatan Hasanatan…”
(Barangsiapa merintis perkara
baru yang baik di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…”
(Barangsiapa
mengamalkan amal yang telah aku
lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam
mengatakan secara umum: “Man
Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak
hanya yang ada pada masa Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja”.
Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian
mengatakan hadits ini tidak
berlaku lagi setelah Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits
tersebut harus di-takhshish,
atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa
kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.
3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata: “Hadits
riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang
sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu
dipakaikan dengan cara
memasukkan kepala melalui lubang
tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam berubah dan bersedih.
Lalu para sahabat bersedekah
dengan harta masing-masing dan
mengumpulkannya hingga menjadi
cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu
mengucapkan hadits di atas.
Artinya, Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum
keutamaannya dalam agama”.
Jawab:
Dalam kaedah Ushuliyyah
disebutkan:
اَلْعِبْرَةُ
بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ
بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman
lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”. Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya
khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah
keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bermaksud khusus
dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat
orang-orang anti bid’ah hasanah
yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih
mengetahui agama ini dari pada
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam
sendiri?!
4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang
di-takhshish oleh hadits “Man
Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang
di-takhshish oleh hadits hadits yang
pertama”.
Jawab:
Ini adalah penafsiran
“ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai
dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Orang semacam ini
sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi
ketika menjelaskan hadits “Man
Sanna Fi al-Islam…”,
menuliskan sebagai berikut:
فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ"
وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ
الْمُحْدَثَاتُ
الْبَاطِلَةُ
وَالْبِدَعُ
الْمَذْمُوْمَةُ.
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis
perkara-perkara baru yang baik,
serta memperingatkan
masyarakat dari
perkara-perkara yang batil dan
buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap
hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah
perkara-perkara baru yang batil
dan perkara-perkara baru yang
dicela”.
As-Sindi mengatakan dalam
kitab Hasyiyah Ibn Majah:
قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.
“Sabda Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan
diikuti. Cara membedakan antara
bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan
dalil-dalil syara’ atau tidak”.
Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari
menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ
أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ
مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ
مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ
فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.
“Cara mengetahui bid’ah yang
hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru
tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk
bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk
bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Dengan demikian para ulama sendiri yang telah
mengatakan mana hadits yang umum
dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka
memahami betul hadits-hadits
mana yang mengkhususkannya.
Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri
yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.
Dari penjelasan ini
juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah
ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama.
Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk
kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.
5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi
bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam
urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat
bahkan mendekati syirik”.
Jawab:
Subhanallah
al-'Azhim. Apakah
berjama'ah di belakang satu imam
dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan
menambahkan atas apa yang telah
diajarkan Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn
al-Khaththab, membaca tahmid
ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban
Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh
sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam
masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam tidak sedang beribadah?!
Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak
sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut
hanya “bercanda” dan “iseng”
saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik
dan harakat i'rab-nya?! Sahabat
‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam
tasyahhud-nya
menambahkan “Wahdahu La Syarika
Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.
Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah
Lughawiyyah) dan bid’ah secara
syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene
sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan
dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar
mengetahui makna bid’ah dalam
syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan
mengatakannya sebagai bid’ah
hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?!
Siapa berani mengatakan bahwa
kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah
Dlalalah”?! Ataukah siapa yang
berani mengatakan bahwa dua sahabat
agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!
Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah:
“Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn
al-Khaththab dan sahabat
‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut.
Hanya saja orang-orang yang
mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman
orang-orang
Wahhabiyyah yang sempit
pemahamannya ini. Para ulama
kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak
dikompromikan maka satu dengan
lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan
hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini
di-takhshish dengan hadits yang kedua.
Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap
bid’ah itu sesat”.
Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam:
مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ لاَ تُرْضِي اللهَ
وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ
مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ (
“Barangsiapa merintis
suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan
Rasul-Nya, maka ia terkena dosa
orang-orang yang
mengamalkannya, tanpa
mengurangi dosa-dosa mereka
sedikitpun”. (HR.
at-Tirmidzi : 2601
[9/288]) Inilah pemahaman yang
telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah
al-Anbiya’.
6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah
mengatakan:
“Perkara-perkara baru tersebut
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan para sahabat
tidak pernah melakukannya pula.
Seandainya
perkara-perkara baru tersebut
sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab:
Baik, Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata:
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah
Dlalalah”. Kita jawab:
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam
juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa
Ajru Man ‘Amila Biha…”.
Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang
mengatakan bahwa apa yang tidak
dilakukan oleh Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.
Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru
dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri yang langsung
melakukannya?! Apakah kalian
mengira bahwa Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian
halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat
i'rab-nya?! Padahal jelas hal
itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam, atau para
sahabatnya! Apakah kalian tidak
tahu kaedah Ushuliyyah
mengatakan:
التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم
“Sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah ShallaLlahu 'Alaihi Wa Sallam tidak berarti
menunjukkan sesuatu itu dilarang”.
Artinya, ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam atau para
sahabatnya tidak melakukan suatu
perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram.
Sudah maklum, bahwa Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam berasal dari bangsa
manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan
melakukannya semua perkara
mubah, menghitung semua hal-hal
yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam
disibukkan dalam
menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk berdakwah,
mendebat orang-orang musyrik dan
ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat,
menjelaskan
hukum-hukum dan lainnya.
Bahkan dengan sengaja Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam kadang
meninggalkan beberapa perkara
sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau kadang
meninggalkan beberapa perkara
sunnah hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara
sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena perkara
tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah pendapat orang
yang tidak mengerti ahwal Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan tidak memahami
kaedah-kaedah agama.
F. Kesimpulan
Dari penjelasan yang
cukup panjang ini kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa para sahabat
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam,
para tabi'in, para ulama Salaf dan para ulama Khalaf, mereka semuanya memahami
pembagian bid’ah kepada dua bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Yang
kita sebutkan dalam tulisan ini bukan hanya pendapat dari satu atau dua orang
ulama saja, melainkan sekian banyak ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf di atas
keyakinan ini. Lembaran buku ini tidak akan cukup bila harus semua nama mereka
kita kutip di sini.
Dengan demikian bila ada orang yang menyesatkan pembagian bid’ah kepada dua bagian ini, maka
berarti ia telah menyesatkan
seluruh ulama dari masa para sahabat Nabi hingga sekarang ini. Dari sini kita
bertanya, apakah kemudian hanya dia sendiri yang benar, sementara semua ulama
tersebut adalah orang-orang
sesat?! Tentu terbalik, dia sendiri yang sesat, dan para ulama tersebut di atas
kebenaran. Orang atau kelompok yang
“keras kepala” seperti ini hendaklah menyadari bahwa mereka telah menyempal dari
para ulama dan mayoritas ummat Islam. Adakah mereka merasa lebih memahami
al-Qur’an dan Sunnah dari pada para Sahabat, para Tabi’in, para ulama Salaf,
para ulama Hadits, Fikih dan lainnya?!
Wallahu A'lam Bish Shawab