Kami mengingatk an
kembali kembali akan adanya ghazwul fikri (perang pemaham) oleh kaum Zionis
Yahudi yang dilancarka n melalui
pusat-pusa t kajian Islam yang mereka
dirikan.
Empat gerakan yang dilancarka n oleh kaum Zionis Yahudi yakni
1. Paham anti mazhab, umat muslim diarahkan untuk tidak lagi mentaati
pimpinan ijtihad atau imam mujtahid alias Imam Mazhab
2. Pemahaman secara ilmiah, umat muslim diarahkan untuk memahami Al
Qur’an dan As Sunnah dengan akal pikiran masing-mas ing dengan metodologi “terjemahk an saja” hanya memandang dari sudut bahasa
(lughat) dan istilah (terminolo gis) namun kurang memperhati kan nahwu, shorof, balaghoh, makna majaz, dll
3. Paham anti tasawuf untuk merusak akhlak kaum muslim karena tasawuf
adalah tentang Ihsan atau jalan menuju muslim yang Ihsan atau muslim yang
berakhlaku l karimah.
4. Paham Sekulerism e,
Pluralisme ,
Liberalism e (SEPILIS)
disusupkan kepada umat muslim
yang mengikuti pendidikan di “barat”
.
Protokol Zionis yang ketujuhbel as
“…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya
mendiskred itkan para
rohaniawan
non-Yahudi
(contohnya para Imam Mazhab yang
empat) dalam rangka menghancur kan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara
serius menghalang i misi kita.
Pengaruh mereka atas masyarakat
mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham
agama telah dikumandan gkan
diman-mana . Tinggal masalah
waktu maka agama-agam a itu akan
bertumbang an..“
Salah satunya adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence
Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian.
Laurens menyelidik i dimana letak
kekuatan umat Islam dan berkesimpu lan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada
ketaatan dengan mazhab (bermazhab ) dan istiqomah mengikuti
tharikat-t harikat tasawuf.
Laurens mengupah ulama-ulam a
yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis sebuah buku yang menyerang
tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemah kan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh
pihak orientalis .
Ditengarai kaum Zionis
Yahudi mengangkat kembali
pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah yang sudah lama terkubur untuk
menimbulka n
perselihan pada kaum muslim dan
menjerumus kan mereka yang
terpengaru h kedalam kekufuran
baik kekufuran karena kesalahpah aman dalam i’tiqod atau karena
kesalahpah aman yang lain seperti
kesalahpah aman tentang bid’ah.
Kesalahpah aman dalam
i’tiqod (akidah) dapat menjerumus kan pada kekufuran sebagaiman a peringatan yang disampaika n oleh ulama-ulam a terdahulu seperti
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi”
mengatakan “Ia
(ayat-ayat
mutasyabih at) memiliki
makna-makn a khusus yang berbeda
dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa
sebagaiman a makna yang selama
ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu
‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi
Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis
mutasyabih at, karena hal itu
salah satu pangkal kekufuran” .
Begitupula
peringatan yang
disampaika n oleh khataman Khulafaur
Rasyidin, Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat
Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi
orang-oran g kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab
kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena
pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena
pengingkar an. Mereka
mengingkar i Pencipta mereka
(Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.” (Imam Ibn
Al-Mu’alli m
Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam
Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm
Al-Mu’tadi ).
Kesalahpah aman tentang
bid’ah pun dapat menjerumus kan
kedalam kekufuran sebagaiman a yang
telah diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/24/ korban-pera ng-pemaham an/
Mereka membenci kaum sufi karena mereka terkena pengaruh ghazwul fikri
(perang pemahaman) yang
dilakukan oleh kaum Zionis Yahudi. Mereka bersandark an atas pengamatan kepada mereka yang mengaku aku sebagai sufi atau
mereka yang mengaku-ak u telah
menjalanka n tasawuf.
Mereka membenci kaum sufi karena mereka mengikuti pendapat dukhala ilmi
yakni ulama namun bukan ahlinya atau ulama namun yang tidak
menjalanka n tasawuf atau ulama
namun yang tidak memperjala nkan
dirinya kepada Allah Azza wa Jalla.
Ulama tasawuf, Syekh Abu al-Abbas r.a mengatakan bahwa orang-oran g berbeda pendapat tentang asal kata sufi. Ada
yang berpendapa t bahwa kata itu
berkaitan dengan kata shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian
orang-oran g shaleh terbuat dari
wol. Ada pula yang berpendapa t
bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid
Rasulullah saw. yang didiami
para ahli shuffah. Menurutnya kedua
definisi ini tidak tepat.
Syekh mengatakan bahwa
kata sufi dinisbatka n
kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah
menyucikan nya sehingga ia menjadi
seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.
Lebih lanjut Syekh Abu al Abbas r.a. mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi) terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya.
Huruf shad berarti shabruhu (kebesaran nya), shidquhu (kejujuran ), dan shafa’uhu( kesucianny a)
Huruf waw berarti wajduhu (kerinduan nya), wudduhu (cintanya) , dan wafa’uhu(k esetiaanny a)
Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilanga nnya), faqruhu (kepapaann ya), dan fana’uhu(k efanaannya ).
Huruf ya’ adalah huruf nisbat.
Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri
seseorang, ia layak untuk menghadap ke
hadirat Tuhannya.
Kaum sufi telah menyerahka n kendali mereka pada Allah. Mereka
mempersemb ahkan diri mereka di
hadapanNya . Mereka tidak mau
membela diri karena malu terhadap rububiyah- Nya dan merasa cukup dengan sifat
qayyum-Nya .
Karenanya, Allah memberi mereka
sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka
sendiri.
Firman Allah ta’ala yang artinya: ”...Sekirany a kalau bukan karena karunia Allah dan
rahmat-Nya , niscaya tidak ada
seorangpun dari kamu yang bersih
(dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lam anya, tetapi Allah
membersihk an siapa saja yang
dikehendak i…” (QS
An-Nuur:21 )
Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhn ya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganuge rahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu
selalu mengingatk an (manusia) kepada
negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhn ya mereka pada sisi Kami
benar-bena r termasuk
orang-oran g pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47 )
Kaum Sufi adalah mereka yang telah berma’rifa t atau mereka yang telah mencapai muslim yang
Ihsan (muhsin/ muhsinin) atau
muslim yuang sholeh (sholihin) .
Mereka bermaqom di sisi Allah Azza wa Jalla. Mereka adalah para kekasih Allah
(Wali Allah). Tentang derajat/ tingkatan para Wali Allah telah diuraikan dalam tulisan
pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/05/ 2011/09/28/ maqom-wali- allah/
Manusia yang disisi Allah Azza wa Jalla hanylah 4 golongan yakni, para
Nabi (Rasululla h yang utama),
para Shiddiqin, para Syuhada dan
orang-oran g sholeh
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Tunjukilah kami jalan
yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
” (yaitu) Jalan orang-oran g yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….”
(QS Al Fatihah [1]:7 )
“Dan barangsiap a
yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya) , mereka itu akan bersama-sa ma dengan orang-oran g yang dianugerah i ni’mat oleh Allah, yaitu :
Nabi-nabi, para
shiddiiqii n, para syuhada, dan
orang-oran g saleh. Dan mereka
itulah teman yang sebaik-bai knya
.” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Para Wali Allah, mereka saling mengenal sebagaiman a yang diuraikan dalam tulisan
sebelumnya pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/22/ saling-meng enal/
Jadi sufi adalah shafahu Allah, yakni Allah menyucikan nya sehingga ia menjadi seorang sufi. Mereka telah
disucikanN ya sehingga mereka
telah berma’rifa t atau mereka telah
mencapai muslim yang Ihsan.
Apakah Ihsan ?
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَا نُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ
فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah , apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut
(takhsya / khasyyah) kepada
Allah seakan-akan kamu melihat-Ny a, maka jika kamu tidak
melihat-Ny a maka
sesungguhn ya Dia
melihatmu. ’ (HR Muslim 11) Link: http:// www.indoqur an.com/ index.php?s urano=2&ay atno=3&act ion=displa y&option=c om_muslim
Rasulullah bersabda
“Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaim u dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Ada dua kondisi yang dicapai oleh muslim yang ihsan atau muslim yang
telah berma'rifa t
Kondisi minimal adalah mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa
Jalla
Kondiri terbaik adalah mereka yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan
hati (ain bashiroh)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang
sahabatnya bernama Zi’lib
Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana
saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda
melihat-Ny a?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan
manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Kaum Sufi (shafahu Allah), mereka telah disucikanN ya sehingga mereka dapat mencapai muslim yang terbaik
yakni muslim yang Ihsan, muslim yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan
hati (ain bashiroh).
Manusia terhalang / terhijab
melihat Rabb adalah karena dosa mereka. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati,
sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati. Ketika bintik hitam
memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang
dinamakan buta mata hati.
Sebagaiman a firman Allah
ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiap a yang
buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta
(pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 :
72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang
dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhn ya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah
hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Setiap manusia pernah dapat melihat Allah Azza wa Jalla dalam keadaan
fitri (suci) ketika jasmani belum dapat digunakan, ketika setelah ditupkan ruhNya atau ketika
setelah keberadaan ruhani.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Dan
(ingatlah) , ketika Tuhanmu
mengeluark an keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.
(QS- Al A’raf 7:172)
Penduduk surga, baik mereka yang melalui hisab maupun tanpa dihisab
akan dapat melihat Rabb karena mereka kembali fitri (suci) atau mereka telah
disucikan kembali (telah dibukakan hijab pembatas) sehingga tidak lagi terhalang
akan dosa. Mereka melihat bagaikan “melihat bulan di kala purnama yang tidak ada
awan” (HR Muslim 267) yang maknanya melihat jelas tidak terhalang atau melihat
tanpa kesulitan. Uraian
selengkapn ya tentang melihat Rabb
dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/09/12/ melihat-rab b/
Seorang muslim mencapai Ihsan atau menjadi Sufi adalah karena perbuatan
Allah Azza wa Jalla menyucikan nya, jadi tidaklah boleh seorang muslim
mengaku-ak u sebagai seorang sufi atau
seorang sholeh atau seorang Wali Allah.
Hal ini dicontohka n
oleh Imam Asy Syafi’i ra ketika beliau ditanya apakah beliau termasuk orang
sufi. Beliau menjawabny a dengan sikap
tawadhu (rendah hati) dengan ungkapan sebagai berikut, “Uhibbu
asShalihii na wa lastu minhum La’alli
an anaala bihim syafa’ah”. Suatu jawaban yang harus dipahami dengan
balaghoh.
Uhibbu as Shalihiina = Aku
mencintai orang shalih (sufi)
walastu minhum = Walaupun..
aku tidak seperti mereka
La’ali an anaala bihim syafa’ah = Beliau berharap / semoga memperoleh Syafa’at
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam (agar
termasuk orang yang Sholeh)
Ini tauladan yang disampaika n Imam Asy Syafi’i ra bahwa kita tidak boleh
mengatakan / mengakui sebagai saya serupa dengan mereka
termasuk orang sholeh, atau saya seorang sholeh atau saya seorang sufi atau saya
seorang muhsin, karena orang sholeh, orang sufi, orang muhsin adalah dinisbatkan
kepada perbuatan Allah pada manusia. Bagi kita manusia berharap
pertolonga n Allah dan berupaya
untuk mencapainy a dengan
memperjala nkan diri kita kepada
Allah Azza wa Jalla mengikuti jalan (tharikat) sebagaiman a Rasulullah shallallah u alaihi wasallam telah
menjalanin ya dan
ulama-ulam a yang telah
mengikuti nya sehingga dikenal
adanya tharikat-t harikat
mutakbaroh .
Imam Asy Syafi’i ra juga mencela mereka yang
mengaku-ak u sufi namun mereka
malas, tidak mau berusaha, bergantung kepada orang lain, berdzikir saja sampai ada pula
yang meninggalk an perkara syariat
seperti sholat lima waktu.
Imam As Syafi’i juga menyatakan ,”Seorang sufi tidak menjadi sufi hingga ada pada
dirinya 4 perkara, malas, suka makan, suka tidur dan berlebih-l ebihan.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam
Al Baihaqi, 2/ 207)Perkata an Imam As Syafi'i inilah yang
disalahgun akan oleh mereka.
Selengkapn ya telah diuraikan dalam
tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/07/29/ pemutarbali kan-perkat aan-ulama/
Imam Al Baihaqi menjelaska n
maksud perkataan Imam As Syafi’i tersebut,”Sesunggu hnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari
mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih
kesufianny a dengan
benar-bena r tawakkal kepada
Allah Azza wa Jalla, dan menggunaka n adab syari’ah dalam muamalahny a kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta
mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul
dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka. (Al Manaqib Al Imam As
Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Kemudian Imam Al Baihaqi menyebutka n satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah
mengatakan ,”Aku telah
bersahabat dengan para sufi
selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua perkara ini, ”Waktu
adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman , engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhn ya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun
Allah menghalang i, maka manusia
tidak mampu melakukann ya, hingga
terhindar dari maksiat).
Perkataan Imam As Syafi’i ra yang disampaika n Imam Al Baihaqi tersebut sesuai dengan firman Allah
Azza wa Jalla yang artinya, ”...Sekirany a kalau bukan karena karunia Allah dan
rahmat-Nya , niscaya tidak ada
seorangpun dari kamu yang bersih
(dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lam anya, tetapi Allah
membersihk an siapa saja yang
dikehendak i…” (QS
An-Nuur:21 )
Allah membersihk an
siapa saja yang dikehendak iNya ,
Allah menghalang inya dari
perbuatan keji dan mungkar,
menghalang inya dari perbuatan
maksiat, menghalang inya dari
kesalahan.
Inilah penjagaan Allah Azza wa Jalla terhadap kaum sufi atau penjagaan
terhadap orang-oran g sholeh atau
penjagaan terhadap para Wali Allah. Andaikan mereka membuat kesalahan pun maka
Allah Azza wa Jalla menyegerak an
teguranNya sehingga
memberikan
kesempatan untuk bertaubat tidak
mengundurk an teguran menjadi
balasan di akhirat kelak karena mengetahui kesalahan ketika di akhirat kelak adalah
menunjukka n
ketidak-de katan dengan Allah Azza wa
Jalla
Berikut contoh pemelihara an Allah subhanahu wa ta’ala terhadap
orang-oran g sholeh
Imam asy-Syafi’ i
berkata: ‘Saya mengadu kepada Waqi’ (guru beliau) buruknya
hafalanku, maka dia
menasihati ku agar
meninggalk an maksiat. Dan ia
mengabarka n kepadaku bahwa ilmu adalah
cahaya, dan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada pelaku
maksiat”.
Setelah Imam asy Syafi’i merunut (mencari tahu) kenapa beliau lupa
hafalan Al-Qur’an (hafalan Al-Qur`ânn ya terbata-ba ta), ternyata dikarenaka n beliau tanpa sengaja melihat betis seorang
wanita bukan muhrim yang tersingkap oleh angin dalam perjalanan beliau ke tempat gurunya.
‘Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatk an dari adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia berkata;”T idak seorangpun yang mempelajar i Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena
dosa yang telah dikerjakan nya.
Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala : وَمَآأَصَا بَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُم ْ (Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka
adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri) –Qs asy-Syûra/ 42 ayat 30- . Sungguh, lupa terhadap Al-Qur`ân
merupakan musibah yang paling besar * (. Fadha`ilul -Qur`ân, karya Ibnu Katsir, hlm. 147)
Itulah contoh mereka yang disayang oleh Allah ta’ala dan diberi
kesempatan untuk menyadari kesalahan
mereka ketika masih di dunia.
Oleh karenanya Imam Mazhab yang empat, walaupun mereka tidak maksum
tetapi mereka itu mahfuzh (dipelihar a) dengan pemelihara an Allah subhanahu wa ta’ala terhadap
orang-oran g sholeh. Mereka
disegeraka n
teguranNya jika mereka membuat
kesalahan dan merekapun segera mengetahui kesalahann ya dan bertaubat atas kesalahann ya. Sungguh merugi ulama yang tidak menyadari
kesalahan yang telah dilakukann ya atau kesalahpah amannya dan ulama seperti itu tidak patut diikuti
pemahaman dan pendapatny a serta
pastilah tidak diakui oleh jumhur ulama sebagai pemimpin ijtihad kaum muslim
(Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab.
Dari dahulu sampai sekarang , jumhur ulama telah sepakat bahwa ulama
yang berkompete nsi sebagai
pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) atau ulama yang terbaik
memahami Al Qur'an dan As Sunnah serta terbaik memahami perkataan Salafush
Sholeh adalah para Imam Mazhab yang empat. Memang ada Imam Mazhab yang lain
selain yang berempat namun pada akhirnya pendapat / pemahaman mereka karena tidak
komprehensiv e atau tidak
menyeluruh sehingga kaum muslim
mencukupka nnya pada Imam Mazhab yang
empat.
Kesimpulan nya seorang
sufi atau muslim yang telah berma'rifa t adalah muslim yang merasa diawasi Allah -Maha
Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb atau muslim yang Ihsan maka
ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , Sehingga terwujud dalam
berakhlaku l karimah. Inilah
tujuan Rasulullah diutus oleh Allah
ta’ala
Rasulullah
menyampaik an yang maknanya
“Sesungguhn ya aku
diutus (Allah) untuk menyempurn akan
Akhlak.” (HR Ahmad).
Jadi kalau ada yang mengaku-ak u telah menjalanka n tasawuf atau mengikuti tharikat atau
mengaku-ak u telah
berma’rifa t namun tidak
menjalanka n perkara syari’at
seperti sholat lima waktu maka bisa dipastikan dia telah berdusta atau tharikat yang diikuti adalah
thariqat palsu.
Berkata Imam Abu Yazid al Busthami yang artinya, “Kalau kamu
melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu
tertarik kepadanya, kecuali
kalau ia melaksanak an suruhan
agama dan menghentik an larangan
agama dan membayarka n sekalian
kewajiban syari’at”
Pendapat syaikh Abu Al Hasan Asy-Syadzi li, ” Jika pendapat atau temuanmu
bertentang an dengan Al-Qur’an
dan Hadits, maka tetaplah berpegang dengan hal-hal yang ada pada Al-Qur’an dan
Hadits. Dengan demikian engkau tidak akan menerima resiko dalam
penemuanmu , sebab dalam masalah
seperti itu tidak ada ilham atau musyahadah , kecuali setelah bersesuaia n dengan Al-Qur’an dan Hadits“.
Nasihat Imam Syafi’i ra, "Berusahal ah engkau menjadi seorang yang
mempelajar i ilmu fiqih (perkara
syariat) dan juga menjalani tasawuf (thariqat, hakikat dan ma’rifat) , dan janganlah kau hanya
mengambil salah satunya. Sesungguhn ya demi Allah saya benar-bena r ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya
mempelajar i ilmu fiqih tapi
tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan
takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau
mempelajar i ilmu fiqih, maka bagaimana
bisa dia menjadi baik (muslim yang ihsan) ? [Diwan Al-Imam
Asy-Syafi' i, hal. 47]
Nasehat Imam Malik ra, “Dia yang sedang Tasawuf tanpa
mempelajar i fikih rusak
keimananny a , sementara dia yang
belajar fikih tanpa mengamalka n
Tasawuf rusaklah dia . Hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin
benar”
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830