Mereka mengaku-ak u
mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun pada kenyataann ya mereka tidak lebih dari mengikuti pemahaman
ulama-ulam a seperti ulama Ibnu
Taimiyyah, ulama Ibnu Qoyyim al
Jauziah (pengikut Ibnu Taimiyyah) , ulama Muhammad bin Abdul Wahhab (pengikut Ibnu
Taimiyyah) , atau bahkan
mengikuti pemahaman ulama Al Albani (pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab) yang
dikenal mereka sebagai ahli hadits pada zaman ini. Padahal
kenyataann ya beliau tidak
diketahui sanad atau isnad yang merupakan hal yang terpenting dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits).
Pendapat ulama-ulam a lain terhadap
mereka termuat dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/09/07/ pendapat-ul ama/
Ulama Ibnu Taimiyah memang membaca Al Qur’an , Tafsir bil Matsur,
Hadits Shohih, Sunan, Musnad, lalu Beliau pun berjtihad dengan
pendapatny a. Apa yang Ibnu
Taimiyyah katakan tentang kitab-kita b tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu dia sendiri.
Sumbernya memang Quran dan Sunnah, tapi apa yang Ibnu Taimiyyah sampaikan
semata-mat a lahir dari kepala
dia sendiri. Setiap upaya pemahaman bisa benar dan bisa pula salah.
Kemungkina n salahnya semakin
besar jika yang melakukan upaya pemahaman (ijtihad dan istinbat) tidak dikenal
berkompete nsi sebagai pemimpin ijtihad
(Imam Mujtahid Mutlak)
Kesalahpah aman besar
telah terjadi ketika Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa apa yang dia pahami dan sampaikan adalah
pemahaman Salafush Sholeh. Jika apa yang Ibnu Taimiyyah pahami dan sampaikan
sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh tentu tidaklah masalah namun ketika apa
yang Ibnu Taimiyyah pahami dan sampaikan tidak sesuai dengan pemahaman
sebenarnya Salafush Sholeh maka
pada hakikatnya ini termasuk
fitnah terhadap para Salafush Sholeh. Fitnah akhir zaman. Bagaimana sunnah
Rasulullah untuk
menghadapi jika telah terjadi fitnah
telah diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/12/ bila-terjad i-fitnah/
Mereka para pengikut Ibnu Taimiyyah, salah satu dasar aqidah mereka adalah
menterjema hkan hadits budak
jariyah atas pertanyaan
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam, “di
mana Allah” sebagai pertanyaan tentang tempat atau keberadaan bagiNya.
Pertanyaan
Rasulullah
shallallah u ‘alaihi wasallam “di
mana Allah” kepada seorang budak Jariyah yang
diriwayatk an oleh Mu`awiyah bin
Hakam, janganlah dimaknai sebagai pertanyaan tentang tempat namun maknailah dengan hakikat
keimanan.
Pertanyaan
Rasulullah “di mana
Allah” adalah untuk menguji keimanan seorang Budak, mustahil
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam bertanya
“di mana Allah” adalah tentang keberadaan dzatNya karena Rasulullah shallallah u alaihi wasallam sendiri telah bersabda, ”
Berfikirla h tentang
nikmat-nik mat Allah, dan jangan
sekali-kal i engkau berfikir tentang
Dzat Allah”.
Ketika itu orang-oran g tidak
beriman karena menyembah berhala sehingga dengan jawaban “di
langit” maka dapat dipastikan bahwa budak Jariyah tidak menyembah tuhan berhala
walaupun di langit itu ada matahari, bintang dan bulan. Jawaban budak jariyah
dipertegas dengan jawaban atas
pertanyaan
Rasulullah
shallallah u
berikutnya yang artinya, “Siapa
aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah” Lalu beliau bersabda:
“Bebaskanla h ia, karena ia
seorang yang beriman” (HR. Muslim).
Hadits ini diriwayatk an oleh
Imam Muslim pada bab “Haram berbicara di dalam shalat”. Beliau
tidak meriwayatk an pada bab
“iman” artinya hadits ini beliau kelompokka n ke dalam masalah-ma salah `amaliyah, bukan bersifat masalah akidah. Karena hadits ini
tidak cukup kuat untuk berdalil di dalam masalah akidah. Inti dari hadits
tersebut terletak pada perkataan Rasulullah yang artinya, “Sesungguh nya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada
percakapan manusia, karena
shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an. ” dan salah satu perawinya adalah orang yang baru
masuk Islam seperti kita ketahui pada awal hadits dengan
pernyataan “ketika aku sedang
shalat bersama-sa ma
Rasulullah
shallallah u’alaihiwa sallam, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari suatu
kaum bersin. Lalu aku mengucapka n, ‘Yarhamuka llah (semoga Allah memberi Anda rahmat) ‘. Maka
seluruh jamaah menujukan pandangann ya
kepadaku”.
Imam Nawawi (w. 676 H/ 1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal.
24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahah i Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus
syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina
Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah,
karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan maqam (tempat) dan juga bisa digunakan untuk
menanyakan makanah
(kedudukan / derajat). Jadi maknanya; “Seberapa besar
pengagunga nmu kepada Allah?”.
Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah
sangat tinggi)
Al-hafidz al-Haitsam i
(w. 807 h) dalam kitabnya Majma’ az-Zawaid (Juz. 1, Hal. 23) maka yang
diunggulka n adalah hadis riwayat
Imam Malik rahimahull ah (w. 179
h) dalam al-Muwatha ’ dari
Ubaidillah bin Abdillah bin
‘Utbah bin Mas’ud: “A-tasyhad ina
an la ilaha illallah? Qalat “Na’am” (“Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan
yang berhak disembah selain Allah? jariyah menjawab: Ya”). Karena riwayat Imam
Malik (w. 179 h) sesuai dengan atau tidak menyalahi Ushulus Syariah
(prinsip-p rinsip ajaran
Islam/ Rukun Islam). Yakni
diantara prinsip ajaran Islam adalah seseorang yang hendak masuk Islam, ia harus
mengucapka n dua kalimat syahadat bukan
yang lain.
Adapun bagi ulama yang mendhaifka n seperti al-Imam Al-Baihaqi (W. 458 H) dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra (Juz.
7, Hal. 378-388) dan al-Asma’ wa as-Shifat (Hal. 422, ditahqiq oleh
al-Muhaddi s Syekh Muhammad Zahid
al-Kautsar i
al-Hanafi) ,
al-Muhaddi s Syekh Abdullah
al-Ghumari (W. 1413
H/ 1993 M) dan al-Muhaddis Syekh
Abdullah Al-Harori dan al-Muhaddi s Syekh Muhammad Zahid al-Kautsar i dalam kitabnya Takmilah ar-radd ‘ala nuniyah
ibnil qayyim (hal. 94). Mereka berpendapa t hadis riwayat Muslim di atas
Mudhtharib baik sanad maupun
matannya dan disebabkan hadisnya
ma’lul (cacat) karena menyalahi Ushulus Syari’ah. Yaitu orang dikatakan Muslim
(beriman) ketika ia telah mengucapka n dua kalimat syahadat bukan dengan
mengucapka n Allah fis Sama’ (Allah di
langit).
Berkenaan dengan hadits Muslim ini, Imam Baihaqi
berkomenta r di dalam kitabnya Al Asma`
Wa Al Shifat.
وهذا صحيح ، قد أخرجه مسلم مقطعا من حديث الأوزاعي وحجاج الصواف عن يحيى بن أبي
كثير دون قصة الجارية ، وأظنه إنما تركها من الحديث لاختلاف الرواة في لفظه . وقد
ذكرت في كتاب الظهار من السنن مخالفة من خالف معاوية بن الحكم في لفظ الحديث
“Hadits ini adalah shahih yang diriwayatk an oleh Imam Muslim secara terpotong dari hadits
yang bersumber dari Auza`ie dan Hajjaj al Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir
tanpa menyebutka n tentang kisah
budak wanita. Saya mengira ia meninggalk an kisah budak wanita tersebut karena
terjadinya perbedaan riwayat
pada redaksinya dan saya juga
menyebutka n hadits ini pada bab
zhihar di dalam kitab sunan (al kubra). Riwayat yang ada berbeda dengan riwayat
para periwayat yang bertentang an
dengan riwayat Muawiyah Bin Hakam dari segi redaksi hadits.”
Dari pernyataan Imam Baihaqi
ini dipahami secara jelas bahwa pemaparan kisah budak wanita yang merupakan
bagian dari hadits.
1. Tidak terdapat di dalam sahih Muslim menurut versi Imam Baihaqi.
2. Bahwa kisah ini terjadi perbedaan riwayat dari segi redaksi hadits.
Penjelasan lebih lanjut
dari pernyataan Imam Baihaqi;
1. Naskah Sahih Muslim tidak sama antara satu naskah dengan naskah yang
lain tentang kisah budak wanita ini. Boleh jadi Imam Muslim menarik kembali
hadits ini dan merevisiny a pada
periode selanjutny a serta
menghapusn ya atau redaksi hadits
yang ada tidak ditemui pada naskah Sahih Muslim yang dimiliki oleh Imam Baihaqi.
Sebagaiman a juga dilakukan oleh
imam Malik di dalam kitab Muwatha` riwayat Laits, yang tidak
menyebutka n redaksi
“sesungguh nya ia adalah seorang
yang beriman”. Sama halnya dengan Imam Bukhari yang menyebutka n potongan hadits ini pada bab af`al al `ibad, dan
hanya mengambil potongan yang berhubunga n dengan masalah mendo`akan orang yang bersin, tanpa
mengisyara tkan sedikit pun
tentang masalah “Allah berada di langit”. Imam Bukhari meringkas hadits tanpa
menyebutka n sebab beliau
meringkasn ya. Namun beliau tidak
berpegang kepada kesahihan hadits tentang budak wanita ini, karena melihat
perbedaan riwayat tentang kisah ini yang menunjukka n bahwa periwayat hadits tidak kuat hafalan
(dhabit) dalam periwayata n.
2. Terjadinya perbedaan
riwayat antara riwayat yang bersumber dari Mu`awiyah Bin Hakam dengan riwayat
yang lain.
Dapat kita simpulkan dari pendapat para ahli hadits di atas bahwa
hadits budak jariyah dalam sahih muslim tidak dapat dipergunak an sebagai landasan dalam i’tiqod atau akidah atau
keimananan namun
dipergunak an bagi
pengetahua n kita bahwa terlarang
berbicara di dalam shalat
Kesalahpah aman
lainnya, mereka (para pengikut Ibnu Taimiyyah) dalam bidang i’tiqod telah diuraikan dalam
tulisan-tu lisan
sebelumnya pada
Jangan sampaikan terjemahan nya saja
Makna istiwa yang pantas bagiNya
Tidak ada perumpamaa n
bagiNya
Mustahil dibatasi atau berbatas dengan Arsy
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830