Dalam beberapa tulisan berturut-t urut, kami telah menghimbau untuk menggigit As Sunnah dan sunnah Khulafaur
Rasyidin berdasarka n pemahaman
pemimpin ijtihad (Imam Mujtahid) / Imam Mazhab dan penjelasan dari para pengikut
Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as
Sunnah. Janganlah memahaminy a
dengan akal pikiran sendiri atau mengikut pemahaman ulama yang tidak dikenal
berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid
Mutlak. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/31/ gigitlah-as -sunnah/ .
Sebaiknya kita mengambil ilmu dari mulut ulama bermazhab dan sholeh. Hal ini
telah kami uraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/02/ dari-mulut- ulama/
Kita sebaiknya menghindar i
kitab ulama yang belajar sendiri dan tidak bermazhab hal ini telah kami uraikan
dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/03/ kitab-tidak -bermazhab /
Contoh ulama yang belajar sendiri dan tidak lagi bermazhab adalah ulama Ibnu
Taimiyyah
Tentulah ulama Ibnu Taimiyyah tidak belajar tanpa guru sama sekali.
Namun beliau lebih bersandar kepada belajar sendiri (otodidak) dengan muthola’ah (menelaah kitab).
Para ulama menyampaik an
ilmu agama tidak diambil dari “Muthola’a h” (menelaah kitab) semata dengan
mengesampi ngkan “Talaqqi”
(mengaji) kepada Ahl Al Ma’rifah Wa Al Tsiqoh (ahli pengetahua n khushush dan dapat dipercaya) dikarenaka n terkadang dalam beberapa kitab terjadi
“penyusupa n” dan
“pendustaa n” atas nama agama
atau terjadi pemahaman yang berbeda dengan pengertian para “salaf” maupun “kholaf”
sebagaiman a mereka (para ulama)
saling memberi dan menerima ilmu agama dari satu generasi ke generasi lainnya
maka pemahaman yang berbeda dengan ulama salaf maupun kholaf itu dapat berakibat
kepada pelaksanaa n “Ibadah
fasidah” (ibadah yang rusak) atau dapat menjerumus kan kedalam “Tasybihil lah Bikholqihi ” (penyerupa an Allah dengan makhluq Nya) atau implikasi negative
lainnya.
Kita sudah paham bahwa Ibnu Taimiyah pernah terjerumus ke dalam “Tasybihil lah Bikholqihi ” (penyerupa an Allah dengan makhluq Nya) karena menelaah kitab
berdasarka n akal pikiran dia
sendiri. Namun sebelum dia wafat , dia sempat bertobat akan
kesalahpah amannya. http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2010/04/ taimiyahtob at.pdf
Penjelasan
keterjerum usan beliau ke dalam
“Tasybihil lah
Bikholqihi ”
dijelaskan dalam http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2010/02/ ahlussunnah bantahtaim iyah.pdf
Contoh keterjerum usan
mereka ke dalam “Tasybihil lah
Bikholqihi ”
(penyerupa an Allah dengan makhluq
Nya)
Berikut dua ulama yang memahami hadits Rasulullah yang artinya, “Tidak ada bayangan kecuali
bayangan yang diciptakan oleh
Allah”
Ulama pertama berpendapa t,
“Benar (Allah punya bayangan), sebagaiman a itu disebutkan dalam hadits. tetapi kita tidak tahu tata cara
dari seluruh sifat-sifa t Allah
lainnya, pintunya jelas satu bagi Ahlussunna h Wal Jama’ah (yaitu itsbat/ menetapkan saja)”. Sumber: http:// ww.binbaz.o rg.sa/mat/ 4234
Kesimpulan ulama ini adalah
“Allah memiliki bayangan yang sesuai bagi-Nya”
Ulama kedua berpendapa t, “Sabda Rasulullah “La Zhilla Illa Zhilluh” artinya
“Tidak ada bayangan kecuali bayangan yang diciptakan oleh Allah”. “Makna hadits ini bukan
seperti yang disangka oleh sebagian orang bahwa bayangan tersebut adalah
bayangan Dzat Allah, ini adalah pendapat batil (sesat), karena dengan begitu
maka berarti matahari berada di atas Allah. Di dunia ini kita membuat bayangan
bagi diri kita, tetapi di hari kiamat tidak akan ada bayangan kecuali bayangan
yang diciptakan oleh Allah
supaya berteduh di bawahnya orang-oran g yang dikehendak i oleh-Nya dari para hamba-Nya”.
Ulama kedua telah membedakan antara terjemahan dengan makna yang lebih sesuai bagi Allah Azza wa
Jalla, daripada ulama pertama yang berpendapa t bahwa Allah memliki bayangan yang sesuai bagi-Nya.
Metodologi pemahaman
yang dipergunak an oleh ulama
pertama yang kami sebut dengan metodologi “terjemahk an saja” atau memahami secara
harfiah/ dzahir nya
nash/ lafazh/ tulisan.
Metodologi
“terjemahk an saja” akan
menemukan kesulitan pula dalam memahami contohnya perkataan
Rasulullah yang artinya
“Sesungguhn ya
pintu-pint u surga terletak di bawah
bayangan pedang” (HR Muslim 3521) Sumber: http:// www.indoqur an.com/ index.php?s urano=34&a yatno=133& action=dis play&optio n=com_musl im
Apa yang dialami oleh ulama yang pertama terjadi juga dengan ulama yang
lainnya ketika mereka memahami
Allah berfirman yang artinya : “Hai iblis, apakah yang
menghalang i kamu sujud kepada
yang telah Ku-ciptaka n dengan
kedua tangan-Ku. Apakah kamu
menyombong kan diri ataukah kamu
(merasa) termasuk orang-oran g yang
(lebih) tinggi?”. (Surat Shaad: 75)
Sesungguhn ya abu
Hurairoh ra telah berkata telah bersabda Rasulullah shallallah u alaihi wasallam “Allah Azza wa Jalla
menggengga m bumi pada hari
kiamat dan melipat (menggulun g)
langit (dalam riwayat lain: langit-lan git) dengan tangan kanan-Nya”, kemudian Allah Azza
wa Jalla berkata: “Akulah raja! Manakah raja-raja bumi (dunia)?”.
(Hadits shahih riwayat. Bukhari no. 4812,6519, 7382 & 7413 dan muslim no. 2787 )
Dari Abdullah bin ‘Amr r.a ia berkata: Rasulullah shallallah u alaihi wasallam telah bersabda:
“Sesungguhn ya
orang-oran g yang adil di sisi
Allah Azza wa Jalla (pada hari kiamat) di atas mimbar-mim bar dari nur (cahaya) di sebelah kanan Ar Rahman
dan kedua tangan-Nya adalah
kanan. Yaitu orang-oran g yang berlaku
adil di dalam hukum mereka, dan pada kelaurga mereka, dan pada apa yang mereka
pimpin”. (Hadits shahih riwayat. Muslim no 1827 dan Nasaa-i no 5379
Kesimpulan mereka adalah
“Allah ta’ala mempunyai kedua tangan dan kedua tangan Allah ta’ala adalah
kanan“ Hal ini disampaika n
contohnya pada http:// moslemsunna h.wordpres s.com/ 2010/03/29/ benarkah-ke dua-tangan -allah-azz a-wa-jalla -adalah-ka nan/
Silahkan saksikan video pada http:// www.youtube .com/ watch?v=CaT 4wldRLF0 mulai pada menit ke 03 detik 15
I’tiqod mereka bahwa Allah ta’ala punya tangan namun mereka tambahkan bahwa
tangan Allah ta’ala tidak serupa dengan tangan makhluk.
Berikut transkript nya,
“Ya sudah kalau kita apa, misalkan tangan Allah, ya sudah itu tangan
Allah
Allah punya tangan akan tetapi apakah tangan Allah seperti tangan makhluk
? tidak.
Sedangkan sama sama makhluknya Allah subhanahu wa ta’ala, kaki gajah dengan kaki semut
ndak sama. Sama-sama kaki namanya. Kaki meja dengan kaki kamera ini yang untuk
tahan sandaran ini, ndak sama.
Apalagi tangan Allah subhanahu wa ta’ala dengan tangan
makhluknya ndak sama karena
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman “Laisa kamitslihi syai’un wahuwa samii’u bashiir” tidak ada yang sama
dengan Allah subhanahu wa ta’ala, apapun di dunia ini, adapun kalau sama namanya
ndak sama bentuknya dan rupanya.”
Begitupula seorang
ustadz mengatasna makan
pemahamann ya terhadap
lafaz/ tulisan ulama salaf
sebagai ijmak para ulama tentang keberadaan Allah di atas langit
Beliau adalah pengikut ulama Ibnu Taimiyyah dimana tesis S2 beliau berjudul
“Jawaban Ibnu Taimiyyah terhadap syubhat-sy ubhat terperinci yang berkaitan dengan sifat-sifa t Allah dzatiyah yang dilontarka n oleh para penolak sifat”
Bandingkan pendapat
mereka dengan pendapat pemimpin ijtihad kaum muslim (imam mujtahid
/ imam mazhab) seperti Imam
Syafi’i ~rahimahulla h
Imam asy-Syafi’ i berkata:
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه
المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين
بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
“Sesungguhn ya Allah
ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptaka n tempat, dan Dia tetap dengan
sifat-sifa t-Nya yang Azali
sebelum Dia menciptaka n tempat
tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada
sifat-sifa t-Nya” (LIhat
az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah
al-Muttaqî n…, j. 2, h. 24).
Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar[s elain Imam Abu Hanifah; Imam
asy-Syafi' i juga
menuliskan Risalah Aqidah
Ahlussunna h dengan judul al-Fiqh
al-Akbar], Imam
asy-Syafi’ i berkata:
واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان
له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه
التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون
متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى
استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه
الأكبر، ص13)
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa
permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptaka n tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali
sebelum menciptaka n tempat, ada
tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada
sifat-sifa t-Nya. Karena sesuatu
yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka
mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan
mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu
pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak
terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah
mustahil bagi-Nya terbagi-ba gi
dan terpisah-p isah. Karenanya
tidak boleh dibayangka n dari Allah
adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak
pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha:
5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy
Istawa), Imam asy-Syafi’ i berkata:
إن هذه الآية من المتشابهات ،
والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها
كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا
لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا
يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات،
ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)
“Ini termasuk ayat mutasyâbih ât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan
ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki
kompetensi di dalamnya adalah
agar mengimanin ya dan tidak
–secara mendetail–
membahasny a dan
membicarak annya. Sebab bagi
orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam
kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini –dan semua orang Islam– adalah
meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak
diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari
batasan-ba tasan (bentuk) dan
segala penghabisa n, dan Dia
tidak membutuhka n kepada segala tempat
dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh
al-Akbar, h. 13).
Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam
asy-Syafi’ i membahas bahwa
adanya batasan (bentuk) dan penghabisa n adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena
pengertian batasan (al-hadd;
bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisa nnya. Dalil bagi kemustahil an hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa
permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa
penghabisa n dan tanpa bentuk.
Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisa n secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan
penguranga n, juga dapat
dibenarkan adanya sesuatu yang
lain yang serupa dengannya.
Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus
membutuhka n kepada yang
menjadikan nya dalam bentuk dan
batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tand a makhluk yang nyata mustahil bagi Allah.
Begitu pula pendapat para pengikut Imam Mazhab
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu
‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi
Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis
mutasyabih at, karena hal itu
salah satu pangkal kekufuran” .
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi”
mengatakan “Ia
(ayat-ayat
mutasyabih at) memiliki
makna-makn a khusus yang berbeda
dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa
sebagaiman a makna yang selama
ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir secara pasti.”
Perhatikan pula
peringatan yang
disampaika n Imam Sayyidina Ali ra
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari
umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi
orang-oran g kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab
kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena
pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir
karena pengingkar an. Mereka
mengingkar i Pencipta mereka
(Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.” (Imam Ibn
Al-Mu’alli m
Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam
Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm
Al-Mu’tadi )
Ulama Ibnu Taimiyyah,
ulama Ibnu Qoyyim Al Jauziah (pengikut Ibnu Taimiyyah) , ulama Muhammad bin Abdul Wahhab (pengikut Ibnu
Taimyyah) , juga termasuk ulama Al Albani (pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab
adalah termasuk ulama- ulama yang tidak lagi mentaati pemimpin ijtihad kaum
muslim (imam mujtahid / imam mazhab), mereka lebih bersandar kepada akal
pikiran mereka sendiri.
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiap a
menguraika n Al Qur’an dengan
akal pikirannya sendiri dan
benar, maka sesungguhn ya dia telah
berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
bersabda…”barangsiap a
yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediaka n tempatnya sendiri di dalam neraka”
(HR.Tirmid zi)
Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimulla h mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang
yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustami y , quddisa sirruh (Makna tafsir
QS.Al-Kahf i 60) ;
“Barangsiap a tidak memiliki
susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya
syetan” Tafsir Ruhul-Baya n
Juz 5 hal. 203
Mereka yang tidak mentaati pemimpin ijtihad kaum muslim (imam mujtahid
/ imam mazhab) pada hakikatnya
tidak mentaati Sunnah Rasulullah
bahwa jika terjadi perselisih an
karena perbedaan pemahaman maka kita di-sunnah- kan berpegang kepada kesepakata n jumhur ulama
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam
bersabda
“Sesungguh nya umatku
tidak akan bersepakat pada
kesesatan. Oleh karena itu,
apabila kalian melihat terjadi perselisih an maka ikutilah as-sawad al a’zham
(kesepakat an jumhur ulama).” (HR. Ibnu
Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al
Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam
bersabda “Barangsia pa
menyendiri
(memisahka n diri), maka dia akan
menyendiri (masuk) ke dalam
neraka”
Atsar Umar bin Khaththab R.A, berkata: “Hendaknya kalian berpegang teguh kepada jama’ah dan tidak
bercerai berai. Sesungguhn ya
syaithan bersama satu orang, dan jarang bersama dengan dua orang.
Barangsiap a
menghendak i
kenikmatan hidup di sorga, maka
hendaknya dia berpegang teguh kepada jama’ah”.
Mereka yang memisahkan
diri dari pendapat / pemahaman
jumhur ulama adalah yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai
“orang-ora ng muda”, mereka
bagaikan “meluncurn ya anak panah
dari busurnya”. Silahkan baca uraian
kami pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/15/ orang-orang -muda/
Oleh karenanya setelah kita melihat terjadi perselisih an dikarenaka n perbedaan pemahaman maka kita sebaiknya kembali
berpegang kepada pemahaman pemimpin itjihad kaum muslim (Imam Mujtahid / Imam
Mazhab)
Sejak dahulu kala sampai saat ini, jumhur ulama telah sepakat bahwa
pemahaman terbaik terhadap Al Qur'an dan Hadits dan pemahaman terbaik terhadap
perkataan Salafush Sholeh adalah Imam Mazhab yang empat. Dahulu memang ada
imam-imam mazhab yang lain, namun pendapat/ pemahaman mereka tidak dipakai lagi oleh kaum muslim
Memang Imam Mazhab yang empat tidak maksum namun mereka tetapi mereka
itu mahfuzh (dipelihar a) dengan
pemelihara an Allah subhanahu wa
ta’ala terhadap orang-oran g
sholeh. Mereka disegeraka n
teguranNya jika mereka berbuat
kesalahan dan merekapun mempunyai kesempatan bertaubat atas kesalahann ya. Sungguh sebuah petunjuk
ketidak-de katan denganNya jika
berbuat kesalahan namun tidak disegeraka n teguran dariNya. Sebuah
malapetaka besar jika seseorang
mengetahui
kesalahann ya ketika di akhirat
kelak karena pada hakikatnya mereka
tidak lagi diberi kesempatan
untuk bertaubat atas kesalahann ya.
Berikut contoh pemelihara an Allah subhanahu wa ta’ala terhadap
orang-oran g sholeh
Imam asy-Syafi’ i berkata:
شكوت إلى وكيع سوء حفظي
فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخبرني بأن العلم نور
ونور الله لا يؤتى لعاصى”
شَكَوْتُ إِلىَ وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ # فَأَرْشَدَ نِيْ إِلىَ تَرْكِ الْمَعَاصِ ي
وَأَخْــبَ رَنِيْ
بِأَنَّ الْعِلْـمَ نُوْرٌ # وَنُوْرُ
اللهِ لَا يُـؤْتىَ لِعَاصِى
Saya mengadu kepada Waqi’ (guru beliau) buruknya hafalanku,
maka dia menasihati ku
agar meninggalk an maksiat.
Dan ia mengabarka n kepadaku
bahwa ilmu adalah cahaya,
dan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada pelaku
maksiat.
Setelah Imam asy Syafi'i merunut (mencari tahu) kenapa beliau lupa
hafalan Al-Qur'an (hafalan Al-Qur`ânn ya terbata-ba ta) dikarenaka n beliau tanpa sengaja melihat betis seorang
wanita bukan muhrim yang tersingkap oleh angin dalam perjalanan beliau ke tempat gurunya
‘Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatk an dari adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia berkata;”T idak seorangpun yang mempelajar i Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena
dosa yang telah dikerjakan nya.
Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala : وَمَآأَصَا بَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُم ْ (Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka
adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri) –Qs asy-Syûra/ 42 ayat 30- . Sungguh, lupa terhadap Al-Qur`ân
merupakan musibah yang paling besar * (. Fadha`ilul -Qur`ân, karya Ibnu Katsir, hlm. 147)
Itulah contoh mereka yang disayang oleh Allah ta'ala dan diberi
kesempatan untuk menyadari kesalahan
mereka ketika masih di dunia.
Oleh karenanyal ah
sebaiknya jangan mengikuti pemahaman ulama yang banyak
kesalahann ya yang
dibuktikan dengan banyak ulama
lain yang menyanggah atau
membantah pendapat ulama tersebut. Jangan beralasan dengan "ambil yang baik dan
buang yang buruk" karenapada
hakikatnya mereka tidak dalam
pemelihara an Allah subhanahu wa
ta’ala terhadap orang-oran g
sholeh. Ikutilah pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid
/ Imam Mazhab) dan penjelasan para
pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan
as Sunnah
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830