Posted in Opini by Abdul Shaheed on the June 26th, 2009
Sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin
“anti-Panc asila”.? Catatan Akhir Pekan
[CAP] Adian Husaini ke-264
Oleh:
Dr. Adian Husaini
Tanggal 22 Juni biasanya dikenang oleh umat Muslim
Indonesia sebagai hari kelahiran Piagam Jakarta. Tetapi,
tampaknya, kaum Kristen di
Indonesia masih tetap menjadikan
Piagam Jakarta sebagai momok yang menakutkan . Padahal, Piagam Jakarta bukanlah barang haram di
negara ini. Bahkan, dalam Dekritnya pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan
tegas mencantumk an, bahwa?
“Piagam Jakarta tertanggal 22
Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan
konstitusi tersebut.”
Tapi, entah kenapa, kaum Kristen di Indonesia begitu alergi dan
ketakutan dengan Piagam Jakarta. Sebagai contoh,? Tabloid Kristen REFORMATA
edisi 103/Tahun VI/ 16-31 Maret?
2009 menurunkan laporan utama berjudul “RUU Halal dan Zakat: Piagam Jakarta
Resmi Diberlakuk an?”? Dalam
pengantar redaksinya , tabloid
Kristen yang terbit di Jakarta ini menulis bahwa dia mengemban tugas mulia untuk
mengamanka n Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang pluralis, sebagaiman a diperjuang kan oleh para pahlawan bangsa.
“Hal ini perlu terus kita? ingatkan sebab akhir-akhi r ini kelihatann ya makin gencar saja upaya
orang-oran g yang ingin
merongrong negara kita yang
berfalsafa h
Pancasila, demi
memaksakan
diberlakuk annya syariat agama
tertentu dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaiman a kita saksikan, sudah banyak produk
perundang- undangan maupun
peraturan daerah (perda) yang diberlakuk an di berbagai tempat, sekalipun banyak rakyat
yang menentangn ya. Para pihak
yang memaksakan
kehendakny a ini, dengan dalih
membawa aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpesta pora di atas kesedihan
kelompok masyarakat lain, karena
ambisi mereka, satu demi satu berhasil dipaksakan . Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang
tahu,” demikian kutipan sikap Redaksi Tabloid Kristen tersebut.
Cornelius D. Ronowidjoj o, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutu an Inteligens ia Kristen Indonesia) , seperti dikutip tabloid Reformata
menyatakan , bahwa Piagam Jakarta
sekarang sudah dilaksanak an
dalam realitas ke-Indones ian
melalui Perda dan UU. “Sekarang tujuh kata yang telah dihapus itu, bukan hanya
tertulis, tapi sungguh nyata sekarang,” tegasnya. Yang menggemask an, demikian Cornelius, yang melakukan hal itu, bukan lagi para pejuang
ekstrim kanan, tapi oknum-oknu m
di pemerintah an dan DPR. “Ini
kecelakaan sejarah. Harusnya
penyelengg ara negara itu
bertobat, dalam arti kembali ke Pancasila secara murni dan
konsekuen, ” kata Cornelius lagi.
Bahkan, tegasnya, “Saya mengatakan bahwa mereka sekarang sedang berpesta di tengah
puing-puin g
keruntuhan NKRI.”
Bagi umat Islam Indonesia, sikap antipati kaum Kristen terhadap syariat
Islam tentulah bukan hal baru. Mereka – sebagaiman a sebagian kaum sekular –
berpendapa t, bahwa penerapan
syariat Islam di Indonesia bertentang an dengan Pancasila. Pada era 1970-1980- an, logika semacam ini sering kita jumpai. Para
siswi yang berjilbab di sekolahnya , dikatakan anti Pancasila. Pegawai negeri yang tidak mau
menghadiri perayaan Natal
Bersama, juga bisa dicap anti Pancasila. Pejabat yang enggan menjawab tes mental, bahwa ia
tidak setuju untuk menikahkan
anaknya dengan orang yang berbeda, juga bisa dicap anti-Panca sila. Kini, di era reformasi, sebagian kalangan juga kembali
menggunaka n senjata Pancasila
untuk membungkam aspirasi keagamaan
kaum Muslim.
Rumusan Pancasila yang sekarang adalah: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2.
Kemanusiaa n yang adil dan
beradab, 3. Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksan aan dalam
permusyawa ratan
perwakilan , dan 5. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan Pancasila tersebut adalah yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan hasil dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang
dengan tegas menyatakan : “Bahwa
kami berkeyakin an? bahwa Piagam
Jakarta tertanggal 22 Juni 1945
menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan
konstitusi tersebut.”
Jadi, Dekrit Presiden Soekarno itulah yang menempatka n Piagam Jakarta sebagai bagian yang sah dan tak
terpisahka n dari
Konstitusi Negara NKRI, UUD
1945. Dekrit itulah yang kembali memberlaku kan Pancasila yang sekarang. Prof. Kasman
Singodimed jo, yang terlibat
dalam lobi-lobi tanggal 18 Agustus 1945 di PPKI, menyatakan , bahwa Dekrit 5 Juli 1959 bersifat
“einmalig” , artinya berlaku
untuk selama-lam anya (tidak
dapat dicabut). “Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup
semati dengan Undang-und ang
Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-und ang Dasar 1945 tersebut,” tulis Kasman dalam bukunya, Hidup Itu Berjuang,
Kasman Singodimed jo 75 Tahun (Jakarta:
Bulan Bintang, 1982).
Karena itu, adalah sangat aneh jika masih saja ada
pihak-piha k tertentu di
Indonesia yang alergi dengan Piagam Jakarta. Dr. Roeslan
Abdulgani, tokoh utama PNI,
selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis:
“Tegas-teg as di dalam Dekrit ini
ditempatka n secara wajar dan
secara histories- jujur posisi
dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubunganny a dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai
menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan
rangkaian? kesatuan dengan UUD
’45.” (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945:
Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia
(1945-1949 ), (Jakarta: GIP, 1997),
hal. 130).
Dalam pidatonya pada hari peringatan Piagam Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung
Pola Jakarta, KHM Dahlan, yang juga Menteri Agama ketika itu
mengatakan : “Bahwa di atas
segala-gal anya, memang syariat
Islam di Indonesia telah berabad-ab ad dilaksanak an secra konsekuen oleh rakyat
Indonesia, sehingga ia bukan
hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia
sehari-har i yang telah menjadi
adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah kolonial Belandalah yang tidak mau menformilk an segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat
kita itu, walaupun ia telah menjadi ikatan-ika tan hukum dalam kehidupan mereka
sehari-har i.” (Ibid, hal. 135).
Meskipun Piagam Jakarta adalah bagian yang sah dan tidak
terpisahka n dari UUD 1945,
tetapi dalam sejarah perjalanan
bangsa, senantiasa ada usaha
keras untuk menutup-nu tupi hal
ini. Di zaman Orde Lama, sebelum G-30S/ PKI, kalangan komunis sangat aktif dalam upaya
memanipula si kedudukan Piagam
Jakarta. Ajip Rosidi, sastrawan terkenal menulis dalam buku, Beberapa Masalah
Umat Islam Indonesia (1970): “Pada zaman pra-Gestap u, PKI beserta antek-ante knyalah yang paling takut kalau mendengar
perkataan Piagam Jakarta… Tetapi agaknya ketakutan akan Piagam Jakarta, terutama
ke-7 patah kata itu bukan hanya monopoli PKI dan antek-ante knya saja. Sekarang pun setelah? PKI beserta
antek-ante knya
dinyatakan bubar, masih ada kita
dengar tanggapan yang aneh terhadapny a.” (Ibid, hal. 138).
Jadi, sikap alergi terhadap Piagam Jakarta jelas-jela s bertentang an dengan Konstitusi Negara RI, UUD 1945. Meskipun secara verbal
“tujuh kata” (dengan kewajiban menjalanka n syariat Islam bagi pemeluk-pe meluknya) telah terhapus dari naskah Pembukaan UUD
1945, tetapi kedudukan Piagam Jakarta sangatlah jelas,
sebagaiman a
ditegaskan dalam Dekrit Presiden
5 Juli 1959. Setelah itu, Piagam Jakarta juga merupakan sumber hukum yang hidup.
Sejumlah peraturan perundang- undangan yang dikeluarka n setelah tahun 1959 merujuk atau
menjadikan Piagam Jakarta
sebagai konsideran .
Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/ 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgu naan
dan/ atau Penodaan Agama, dibuka
dengan ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan
Undang-und ang Dasar 1945 berlaku
lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu
rangkaian kesatuan dengan konstitusi
tersebut.”
Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang
Pembentuka n Institut Agama Islam
Negeri (IAIN), juga dicantumka n
pertimbang an pertama: “bahwa
sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai
Undang-und ang Dasar 1945 dan
merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…” .
Sebuah buku yang cukup komprehens if tentang Piagam Jakarta ditulis oleh sejarawan
Ridwan Saidi, berjudul Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah
(Jakarta: Mahmilub, 2007). Ridwan menulis, bahwa hukum Islam adalah hukum yang
hidup di tengah masyarakat
Muslim. Tanpa UUD atau tanpa negara pun, umat Islam akan
menjalanka n syariat Islam.
Karena itu, Piagam Jakarta, sebenarnya mengakui hak orang Islam untuk
menjalanka n
syariatnya . Dan itu telah diatur
dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dituangkan dalam Keppres No. 150/ tahun 1959 sebagaimana ditempatka n dalam Lembaran Negara No. 75/tahun 1959.
Hukum Islam telah diterapkan di bumi Indonesia ini selama ratusan tahun, jauh
sebelum kauh penjajah Kristen datang ke negeri ini. Selama
beratus-ra tus tahun pula,
penjajah Kristen Belanda berusaha menggusur hukum Islam dari bumi
Indonesia. C. van
Vollenhove n dan Christian Snouck
Hurgronje, misalnya, tercatat
sebagai sarjana Belanda yang sangat gigih dalam menggusur hukum Islam.? Tapi,
usaha mereka tidak berhasil sepenuhnya . Hukum Islam akhirnya tetap diakui sebagai bagian
dari sistem hukum di wilayah Hindia Belanda. Melalui Regeerings Reglement, disingkat RR, biasa diterjemah kan sebagai Atoeran Pemerintah an Hindia Belanda (APH), pasal 173
ditentukan bahwa:
“Tiap-tiap orang boleh mengakui
hukum dan aturan agamanya dengan semerdeka- merdekanya , asal pergaulan umum
(maatschapp ij)
dan anggotanya
diperlindu ngi dari
pelanggara n
undang-und ang umum tentang hukum
hukuman (strafstrec ht).” (Ridwan Saidi, Status Piagam
Jakarta hal. 96).
Jadi, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga,? Belanda akhirnya tidak
berhasil sepenuhnya menggusur
syariat Islam dari bumi Indonesia. Ridwan menulis: “Sampai dengan
berakhirny a masa VOC tahun 1799,
VOC terus berkutat untuk melakukan unifikasi hukum dengan sedapat mungkin
menyingkir kan hukum Islam,
tetapi sampai munculnya Pemerintah
Hindia Belanda usaha itu sia-sia belaka.”? (Ibid, hal. 94).
Kegagalan penjajah Kristen Belanda untuk menggusur syariat Islam,
harusnya menjadi pelajaran berharga bagi kaum Kristen di
Indonesia. Mereka harusnya
menyadari bahwa kedudukan syariat Islam bagi kaum Muslim sangat berbeda dengan
kedudukan hukum Taurat bagi Kristen. Dengan mengikuti ajaran Paulus, kaum
Kristen memang kemudian berlepas diri dari hukum Taurat dengan berbagai
pertimbang an.
Dalam bukunya yang berjudul Syariat Taurat atau
Kemerdekaa n Injil? (Mitra
Pustaka, 2008), Pendeta Herlianto menguraika n bagaimana kedudukan hukum Taurat bagi kaum
Kristen saat ini. Dalam konsep Kristen, menurut Herlianto, keselamata n dan kebenaran bukanlah
tergantung dari melakukan
perbuatan hukum-huku m Taurat,
melainkan karena Iman dan Kasih Karunia dengan menjalanka n hukum Kasih.? Jadi, hukum Kasih itulah yang
kemudian dipegang kaum Kristen. Hukum sunat (khitan), misalnya, meskipun
jelas-jela s
disyariatk an dalam Taurat,
tetapi tidak lagi diwajibkan
bagi kaum Kristen. ‘Sunat’ yang dimaksud, bukan lagi syariat sunat
sebagaiman a dipahami umat-umat
para Nabi sebelumnya , tetapi
ditafsirka n sebagai “sunat rohani”.
(Rm. 2:29). (Herlianto, Syariat Taurat
atau Kemerdekaa n Injil? Hal.
16-17).
Babi, misalnya, juga secara tegas diharamkan dalam Kitab Imamat, 11:7-8.
Tetapi, teks Bibel versi Indonesia tentang babi itu sendiri memang sangat
beragam, meskipun diterbitka n oleh
Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Dalam Alkitab versi LAI, tahun 1968 ditulis:
“dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu?
bersiratan kukunya, tetapi dia
tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula
kamu mendjamah bangkainya , maka
haramlah ia kepadamu.” (Dalam Alkitab versi LAI tahun 2007, kata babi
berubah menjadi babi hutan: “Demikian juga babi hutan, karena memang
berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram
itu bagimu. Daging binatang-b inatang itu janganlah kamu makan dan
bangkainya janganlah kamu sentuh;
haram semuanya itu bagimu.”). Pada tahun yang sama, 2007, LAI juga
menerbitka n Alkitab dalam Bahasa
Indonesia Masa Kini, yang menulis ayat tersebut: “Jangan makan babi. Binatang
itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak. Dagingnya
tak boleh dimakan dan bangkainya pun
tak boleh disentuh karena binatang itu haram.”
Jika dibaca secara literal, maka jelaslah, harusnya babi memang
diharamkan . Tetapi, kaum Kristen
mempunyai cara tersendiri dalam
memahami kitabnya. Menurut Herlianto, Rasul Paulus telah memberikan pengertian hukum Taurat dengan jelas: “Tetapi sekarang
kita telah dibebaskan dari hukum
Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita
sekarang melayani dalam keadaan baru dan bukan dalam keadaan lama menurut
hukum-huku m Taurat.” (Rm.
7:6). (Herlianto , Syariat Taurat atau Kemerdekaa n Injil?? Hal. 20).
Pandangan kaum Kristen terhadap hukum Taurat tentu saja sangat berbeda
dengan pandangan dan sikap umat Islam? terhadap syariat Islam. Sampai kiamat,
umat Islam tetap menyatakan ,
bahwa babi adalah haram. Teks al-Quran yang mengharamk an babi juga tidak pernah berubah sepanjang zaman,
sampai kiamat. Hingga kini, tidak ada satu pun umat Islam yang menolak syariat
khitan, dan menggantik annya
dengan “khitan ruhani”. Sebab, umat Islam bukan hanya menerima ajaran, tetapi
juga mempunyai contoh dalam pelaksanaa n syariat, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena
sifatnya yang final dan universal, maka syariat Islam berlaku sepanjang zaman dan
untuk semua umat manusia. Apa pun latar belakang budayanya, umat Islam pasti mengharamk an babi dan mewajibkan shalat lima waktu. Apalagi, dalam pandangan
Islam, syariat Islam itu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia; mulai tata
cara mandi sampai mengatur perekonomi an.
Pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam semacam ini
harusnya dipahami dan dihormati oleh kaum Kristen. Sangat
disayangka n,
tampaknya, kaum Kristen di
Indonesia masih saja melihat syariat Islam dalam perspektif yang sama dengan penjajah Kristen Belanda,
dahulu. Padahal. sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin yang
melaksanak an ajaran Islam
sebagai “anti-Panc asila”,
“anti-NKRI ”, dan
sebagainya . [Depok, 16 Juni
2009/www.hidaya tullah.com]
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara
Radio Dakta dan www.hidaya tullah.com