Dalam keadaan tertentu,
syariah membolehkan seseorang tidak berpuasa. Hal ini adalah bentuk keringanan
yang Allah berikan kepada umat Muhammad SAW. Bila salah satu dari keadaan
tertentu itu terjadi, maka bolehlah seseorang meninggalkan kewajiban
puasa.
1. Safar
(perjalanan)
Seorang yang sedang dalam
perjalanan, dibolehkan untuk tidak berpuasa. Keringanan ini didasari oleh Firman
Allah SWT : Dan
siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan maka menggantinya di hari
lain (QS Al-Baqarah: 85).
Sedangkan batasan jarak
minimal untuk safar yang dibolehkan berbuka adalah jarak dibolehkannya qashar
dalam shalat, yaitu 47 mil
atau
89
km. Sebagian
ulama mensyaratkan bahwa perjalanan itu telah dimulai sebelum mulai berpuasa
(waktu shubuh). Jadi bila melakukan perjalanan mulai lepas Maghrib hingga
keesokan harinya, bolehlah dia tidak puasa pada esok harinya itu.
Namun ketentuan ini tidak
secara ijma‘ disepakati, karena ada sebagian pendapat lainnya yang tidak
mensyaratkan jarak sejauh itu untuk membolehkan berbuka. Misalnya Abu Hanifah
yang mengatakan bahwa jaraknya selama perjalanan tiga hari tiga malam. Sebagian
mengatakan jarak perjhalan dua hari. Bahkan ada yang juga mengatakan tidak perlu
jarak minimal seperti apa yang dikatakan Ibnul Qayyim.
Meski berbuka dibolehkan,
tetapi harus dilihat kondisi berat ringannya. Bila perjalanan itu tidak
memberatkan, maka meneruskan puasa lebih utama. Dan sebaliknya, bila perjalanan
itu memang sangat berat, maka berbuka lebih utama. Demikian pendapat Abu
Hanifah, Asy-Syafi`i dan Malik.
Sedangkan Ahmad mengatakan
bahwa berbuka dalam perjalanan lebih utama. Berbeda dengan keringanan dalam
menjama‘ atau mengqashar shalat di mana menjama‘ dan mengqashar lebih utama,
maka dalam puasa harus dilihat kondisinya. Meski dibolehkan berbuka,
sesungguhnya seseorang tetap wajib menggantinya di hari lain. Jadi bila tidak
terlalu terpaksa, sebaiknya tidak berbuka. Hal ini ditegaskan dalam hadits
Rasulullah SAW : Dari
Abi Said al-Khudri RA. Berkata, ”Dulu kami beperang bersama Rasulullah SAW di
bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang tetap berpuasa dan ada yang berbuka.
Mereka memandang bahwa siapa yang kuat untuk tetap berpuasa, maka lebih baik.”
(HR Muslim: 1117, Ahmad: 3/12 dan Tirmizy: 713) .
2. Sakit
Orang yang sakit dan
khawatir bila berpuasa akan menyebabkan bertambah sakit atau kesembuhannya akan
terhambat, maka dibolehkan berbuka puasa. Bagi orang yang sakit dan masih punya
harapan sembuh dan sehat, maka puasa yang hilang harus diganti setelah sembuhnya
nanti. Sedangkan orang yang sakit tapi tidak sembuh-sembuh atau kecil
kemungkinannya untuk sembuh, maka cukup dengan membayar fidyah, yaitu memberi
makan fakir miskin sejumlah hari yang ditinggalkannya.
3. Hamil
dan Menyusui
Wanita yang hamil atau
menyusui di bulan Ramadhan boleh tidak berpuasa, namun wajib menggantinya di
hari lain. Ada beberapa pendapat berkaitan dengan hukum wanita yang haidh dan
menyusui dalam kewajiban mengganti puasa yang ditnggalkan.
·Pertama, mereka digolongkan kepada
orang sakit. Sehingga boleh tidak puasa dengan kewajiban menggadha‘ (mengganti)
di hari lain.
·Kedua, mereka digolongkan kepada
orang yang tidak kuat/mampu. Sehingga mereka dibolehkan tidak puasa dengan
kewajiban membayar fidyah.
·Ketiga, mereka digolongkan kepada
keduanya sekaligus yaitu sebagai orang sakit dan orang yang tidak mampu, karena
itu selain wajib mengqadha‘, mereka wajib membayar fidyah.
Pendapat terahir ini
didukung oleh Imam As-Syafi‘i RA. Namun ada juga para ulama yang memilah sesuai
dengan motivasi berbukanya. Bila motivasi tidak puasanya karena khawatir akan
kesehatan/ kekuatan dirinya sendiri, bukan bayinya, maka cukup mengganti dengan
puasa saja. Tetapi bila kekhawatirannya juga berkait dengan anak yang
dikandungnya atau bayi yang disusuinya, maka selain mengganti dengan puasa, juga
membayar fidyah.
4.
Lanjut Usia
Orang yang sudah lanjut
usia dan tidak kuat lagi untuk berpuasa, maka tidak wajib lagi berpuasa. Hanya
saja dia wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin sejumlah hari
yang ditinggalkannya itu. Firman Allah SWT : “Dan
bagi orang yang tidak kuat/mampu, wajib bagi mereka membayar fidyah yaitu
memberi makan orang miskin.” (QS Al-Baqarah)
5. Lapar
dan Haus yang sangat
Islam memberikan keringanan
bagi mereka yang ditimpa kondisi yang mengharuskan makan atau minum untuk tidak
berpuasa. Namun kondisi ini memang secara nyata membahayakan keselamatan jiwa
sehingga makan dan minum menjadi wajib. Seperti dalam kemarau yang sangat terik
dan paceklik berkepanjangan, kekeringan dan hal lainnya yang mewajibkan
seseorang untuk makan atau minum.
Namun kondisi ini sangat
situasional dan tidak bisa digeneralisir secara umum. Karena keringanan itu
diberikan sesuai dengan tingkat kesulitan. Semakin besar kesulitan maka semakin
besar pula keringanan yang diberikan. Sebaliknya, semakin ringan tingkat
kesulitan, maka semakin kecil pula keringanan yang diberikan.
Allah SWT telah berfirman :
Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah:
173).
Ini mengacu pada kaidah
fiqih yang berbunyi : Bila
tingkat kesulitan suatu masalah itu luas (ringan), maka hukumnya menjadi sempit
(lebih berat). Dan bila tingkat kesulitan suatu masalah itu sempit (sulit), maka
hukumnya menjadi luas (ringan). Kedaruratan itu harus
diukur sesuai dengan kadarnya (ukuran berat ringannya).
6.
Dipaksa atau Terpaksa
Orang yang mengerjakan
perbuatan karena dipaksa di mana dia tidak mampu untuk menolaknya, maka tidak
akan dikenakan sanksi oleh Allah. Karena semua itu diluar niat dan keinginannya
sendiri. Termasuk di dalamnya adalah orang puasa yang dipaksa makan atau minum
atau hal lain yang membuat puasanya batal. Sedangkan pemaksaan itu beresiko pada
hal-hal yang mencelakakannya seperti akan dibunuh atau disiksa dan sejenisnya.
Ada juga kondisi di mana seseorang terpaksa berbuka puasa, misalnya dalam
kondisi darurat seperti menolong ketika ada kebakaran, wabah, kebanjiran, atau
menolong orang yang tenggelam.
Dalam upaya seperti itu,
dia terpaksa harus membatalkan puasa, maka hal itu dibolehkan selama tingkat
kesulitan puasa itu sampai pada batas yang membolehkan berbuka. Namun tetap ada
kewajiban untuk mengganti puasa di hari lain.
7.
Pekerja Berat
Orang yang karena keadaan
harus menjalani profesi sebagai pekerja berat yang membutuhkan tenaga ekstra
terkadang tidak sanggup bila harus menahan lapar dalam waktu yang lama. Seperti
para kuli angkut di pelabuhan, pandai besi, pembuat roti dan pekerja kasar
lainnya. Bila memang dalam kondisi yang membahayakan jiwanya, maka kepada mereka
diberi keringanan untuk berbuka puasa dengan kewajiban menggantinya di hari
lain. Tetapi mereka harus berniat dahulu untuk puasa serta makan sahur seperti
biasanya. Pada siang hari bila ternyata masih kuat untuk meneruskan puasa, wajib
untuk meneruskan puasa.
Sedangkan bila tidak kuat
dalam arti yang sesungguhnya, maka boleh berbuka. Namun wajib menngganti di hari
lain serta tetap menjaga kehormatan bulan puasa dengan tidak makan di tempat
umum. Selain itu yang bersangkutan harus mengupayakan untuk menyiapkan diri agar
bisa berpuasa Ramadhan sejak setahun sebelumnya. Misalnya dengan menabung
sedikit demi sedikit agar terkumpul uang demi nafkahnya selama bulan Ramadhan di
mana dia tidak bekerja. Sehingga dia bisa ikut berpuasa bersama-sama dengan umat
Islam di bulan Ramadhan dengan libur bekerja dan hidup dari uang yang
ditabungnya. Wallahu
a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, [Ahmad
Sarwat, Lc via
rumahfiqih.com].