Mengenai hukum wanita haidh
membaca al-Qur'an, dalam mazhab syafi'iyah terdapat tujuh pembahasan
:
1.Bila membaca al-Qur'an
diniati untuk membaca al-Qur'annya maka haram.
2.Bila membaca al-Qur'an
diniati untuk membaca al-Qur'annya besertaan niat lainnya maka juga dihukumi
haram.
3.Bila membaca al-Qur'an
diniati selain untuk membaca al-Qur'an seperti untuk menjaga hafalan, membaca
zikirnya, kisah-kisah, mauizah, hukum-hukum, maka diperbolehkan.
4.Bila membaca al-Qur'an
karena kelepasan bicara maka diperbolehkan.
5.Bila membaca al-Qur'an
diniati secara mutlak, yakni sekedar ingin membaca tanpa niat tertentu maka
diperbolehkan.
6.Bila membaca al-Qur'an
diniati secara mutlak atau niat selain al-Qur'an, namun yang dibaca adalah
susunan kalimat khas al-Qur'an atau satu surat panjang atau keseluruhan
al-Qur'an maka khilaf. Menurut an-Nawawi, ar-Ramli Kabir, dan Ibnu Hajar
diperbolehkan, sedangkan bagi az-Zarkasyi dan as-Suyuthi diharamkan.
7.Bila membaca al-Qur'an
diniatkan pada salah satunya tanpa dijelaskan yang mana maka khilaf. Menurut
qaul mu'tamad diharamkan sebab adanya kemungkinan niat pada bacaan al-Qur'an.
Sedangkan dalam mazhab
malikiyah boleh bagi wanita haidh membaca al-Qur'an. Lebih jelasnya tentang hal
ini terdapat dua pembahasan:
1.Boleh secara mutlak, yakni
ketika membacanya dalam kondisi darah haidh sedang merembes keluar.
2.Tidak diperbolehkan sebelum
mandi hadats, yakni ketika membacanya dalam kondisi darah haidh sedang mampet.
Kecuali bila khawatir lupa, atau kecuali dengan menengok pada qaul dha'if yang
memperbolehkannya asalkan haidhnya tidak disertai junub.
Berikut uraian selengkapnya
dari kitab Hasyiyah al-Bujairimi 'ala al-Iqna' karya Sulaiman bin Umar bin
Muhammad al-Bujairimi :
(
وَ ) الثَّالِثُ ( قِرَاءَةُ ) شَيْءٍ مِنْ ( الْقُرْآنِ ) بِاللَّفْظِ أَوْ
بِالْإِشَارَةِ مِنْ الْأَخْرَسِ كَمَا قَالَ الْقَاضِي فِي فَتَاوِيهِ ،
فَإِنَّهَا مُنَزَّلَةٌ مَنْزِلَةَ النُّطْقِ هُنَا وَلَوْ بَعْضَ آيَةٍ
لِلْإِخْلَالِ بِالتَّعْظِيمِ ، سَوَاءٌ أَقَصَدَ مَعَ ذَلِكَ غَيْرَهَا أَمْ لَا
لِحَدِيثِ التِّرْمِذِيِّ وَغَيْرِهِ : { لَا يَقْرَأْ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ
شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ }
الشَّرْحُ
قَوْلُهُ : ( وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ ) وَعَنْ مَالِكٍ : يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ
الْقُرْآنِ ، وَعَنْ الطَّحَاوِيِّ يُبَاحُ لَهَا مَا دُونَ الْآيَةِ كَمَا
نَقَلَهُ فِي شَرْحِ الْكَنْزِ مِنْ كُتُبِ الْحَنَفِيَّةِ
"Keharaman sebab haid yang
ketiga adalah membaca sesuatu dari al-Qur’an, dengan diucapkan atau dengan
isyarah dari orang bisu, seperti yang dikatakan Qadhi Husein dalam Fatawinya.
Mengingat konteks isyarah diletakkan pada konteksnya hukum berucap pada
permasalahan ini, meskipun yang dibaca hanyalah sebagian ayat saja dikarenakan
hal itu menunjukkan pada unsur penghinaan. Baik bacaan itu diniati bersama
dengan niat yang lain ataupun tidak, berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi dan
lainnya, “Orang yang sedang junub dan orang yang haid tidak diperbolehkan
membaca sesuatu dari al-Qur’an.
Komentar pensyarah:
[Membaca al-Qur’an] dari Imam Malik dijelaskan bahwa diperbolehkan bagi
perempuan haid membaca al-Qur’an. Dan dari Ath-Thahawi diterangkan bahwa
diperbolehkan bagi dia untuk membaca al-Qur’an namun kurang dari satu ayat,
seperti yang dia kutipkan dalam Syarah Al-Kanzu dari kitabnya mazhab Hanafi."
(Hasyiyah Bujairimi, 3/259-261)
تَنْبِيهٌ
: يَحِلُّ لِمَنْ بِهِ حَدَثٌ أَكْبَرُ أَذْكَارُ الْقُرْآنِ وَغَيْرُهَا
كَمَوَاعِظِهِ وَأَخْبَارِهِ وَأَحْكَامِهِ لَا بِقَصْدِ الْقُرْآنِ كَقَوْلِهِ
عِنْدَ الرُّكُوبِ : { سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ
مُقْرِنِينَ } أَيْ مُطِيقِينَ ، وَعِنْدَ الْمُصِيبَةِ : { إنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا
إلَيْهِ رَاجِعُونَ } وَمَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ فَإِنْ قَصَدَ
الْقُرْآنَ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ الذِّكْرِ حُرِّمَ ، وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا
.
كَمَا
نَبَّهَ عَلَيْهِ النَّوَوِيُّ فِي دَقَائِقِهِ لِعَدَمِ الْإِخْلَالِ بِحُرْمَتِهِ
؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ قُرْآنًا إلَّا بِالْقَصْدِ قَالَهُ النَّوَوِيُّ
وَغَيْرُهُ ، وَظَاهِرُهُ أَنَّ ذَلِكَ جَارٍ فِيمَا يُوجَدُ نَظْمُهُ فِي غَيْرِ
الْقُرْآنِ كَالْآيَتَيْنِ الْمُتَقَدِّمَتَيْنِ وَالْبَسْمَلَةِ وَالْحَمْدَلَةِ ،
وَفِيمَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ إلَّا فِيهِ كَسُورَةِ الْإِخْلَاصِ وَآيَةِ
الْكُرْسِيِّ ، وَهُوَ كَذَلِكَ ، وَإِنْ قَالَ الزَّرْكَشِيّ : لَا شَكَّ فِي
تَحْرِيمِ مَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ ، وَتَبِعَهُ عَلَى
ذَلِكَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ كَمَا شَمِلَ ذَلِكَ قَوْلَ الرَّوْضَةِ ، أَمَّا
إذَا قَرَأَ شَيْئًا مِنْهُ لَا عَلَى قَصْدِ الْقُرْآنِ فَيَجُوزُ .
الشَّرْحُ
قَوْلُهُ
: ( تَنْبِيهٌ إلَخْ ) هَذَا التَّنْبِيهُ بِمَنْزِلَةِ قَوْلِهِ مَحَلُّ حُرْمَةِ
الْقِرَاءَةِ إذَا كَانَتْ بِقَصْدِ الْقُرْآنِ أَوْ بِقَصْدِ الْقُرْآنِ
وَالذِّكْرِ ، و َإِلَّا فَلَا حُرْمَة .
قَوْلُهُ
: ( يَحِلُّ إلَخْ ) كَلَامُهُ فِي الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ فَدُخُولُ
غَيْرِهِمَا مَعَهُمَا اسْتِطْرَادِيٌّ تَأَمَّلْ ق ل .
قَوْلُهُ
: ( كَمَوَاعِظِهِ ) أَيْ مَا فِيهِ تَرْغِيبٌ أَوْ تَرْهِيبٌ .
قَوْلُهُ
: ( وَأَخْبَارِهِ ) أَيْ عَنْ الْأُمَمِ السَّابِقَةِ .
قَوْلُهُ
: ( وَأَحْكَامِهِ ) أَيْ مَا تَعَلَّقَ بِفِعْلِ الْمُكَلَّف .
قَوْلُهُ
: ( وَمَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ ) بِأَنْ سَبَقَ لِسَانُهُ إلَيْهِ
.
قَوْلُهُ
: ( وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا ) كَمَا لَا يَحْرُمُ إذَا قَصَدَ الذِّكْرَ فَقَطْ ،
فَالصُّوَرُ أَرْبَعَةٌ يَحِلُّ فِي ثِنْتَيْنِ ، وَيَحْرُمُ فِي ثِنْتَيْنِ
وَأَمَّا لَوْ قَصَدَ وَاحِدًا لَا بِعَيْنِهِ فَفِيهِ خِلَافٌ ، وَالْمُعْتَمَدُ
الْحُرْمَةُ ؛ لِأَنَّ الْوَاحِدَ الدَّائِرَ صَادِقٌ بِالْقُرْآنِ فَيَحْرُمُ
لِصِدْقِهِ بِهِ . قَوْلُهُ : ( لَا يَكُونُ قُرْآنًا إلَخْ ) أَيْ لَا يَكُونُ
قُرْآنًا تَحْرُمُ قِرَاءَتُهُ عِنْدَ وُجُودِ الصَّارِفِ إلَّا بِالْقَصْدِ ،
وَإِلَّا فَهُوَ قُرْآنٌ مُطْلَقًا ، أَوْ الْمَعْنَى لَا يُعْطَى حُكْمَ
الْقُرْآنِ إلَّا بِالْقَصْدِ ، وَمَحَلُّهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي صَلَاةٍ كَأَنْ
أَجْنَبَ وَفَقَدَ الطَّهُورَيْنِ وَصَلَّى لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ بِلَا طُهْرٍ ،
وَقَرَأَ الْفَاتِحَةَ ، فَلَا يُشْتَرَطُ قَصْدُ الْقُرْآنِ ، بَلْ يَكُونُ
قُرْآنًا عِنْدَ الْإِطْلَاقِ لِوُجُوبِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ فَلَا صَارِفَ
فَاحْفَظْهُ وَاحْذَرْ خِلَافَهُ كَمَا ذَكَرَهُ ابْنُ شَرَفٍ عَلَى التَّحْرِيرِ
.
"(Tanbih): Diperbolehkan
bagi orang yang mempunyai hadats besar untuk membaca dzikir al-Qur’an dan yang
lainnya, seperti mauizhahnya, cerita, dan hukum yang ada di dalam al-Qur’an,
dengan tidak diniatkan pada al-Qur’annya. Seperti perkataanya ketika naik
kendaraan :
(سبحان
الذي سخر لنا هذا و ما كنا له مقرنين)
dan ketika mendapat musibah
dia mengucapkan :
(إنا
لله و إنا اليه راجعون).
Serta pada apa yang tanpa
dikehendaki terucap oleh lisannya. Namun jika dia memaksudkan al-Qur’an saja
atau memaksudkan al-Qur’an beserta dzikirnya, maka diharamkan. Kemudian jika dia
memutlakkannya maka tidak diharamkan, sesuai dengan peringatan an-Nawawi dalam
kitab Daqaiq, sebab tidak ada unsur penghinaan pada kemuliaan al-Qur'an di sini.
Memandang bahwasanya al-Qur'an tidak akan diberlakukan hukum al-Qur'an kecuali
ketika dengan wujudnya niat.
Secara zahir pendapat
tersebut berlaku baik pada ayat yang bisa ditemukan susunan kalimatnya di luar
al-Qur'an semisal dua ayat di atas, juga basmalah dan al-fatihah. Serta pada
ayat yang tidak akan ditemukan susunan kalimatnya selain di al-Qur'an semisal
surat al-Ikhlas dan ayat kursi. Benarlah demikian, meski az-Zarkasyi berpendapat
tidak diragukannya keharaman pada ayat yang tidak akan ditemukan susunan
kalimatnya selain di al-Qur'an. Pendapat az-Zarkasyi ini dianut oleh sebagian
ulama mutaakhirin.
Keterangan an-Nawawi
tentang kemutlakan tersebut juga terkandung dalam kitab ar-Raudhah. Sedangkan
ketika membaca al-Qur'an itu tidak diniatkan pada membaca al-Qur'annya maka
diperbolehkan.
Komentar pensyarah
:
[Tanbih dst.] Tanbih ini
menempati perkataan mushannif, “Tempat keharaman membaca al-Qur’an adalah ketika
dalam pembacaan itu dengan maksud al-Qur’an atau dengan maksud al-Qur’an dan
dzikir. Jika tidak memaksudkan dengan itu semua maka tidak
diharamkan."
[Diperbolehkan dst.]
Pembahasan penulis tentang wanita haidh dan nifas, namun bisa dikonfirmasikan
juga pembahasan selain keduanya. Cermatilah. (al-Qulyubi)
[Seperti mauizhah] Yakni
perkara tentang anjuran dan ancaman.
[Cerita] Yakni dari kisah
umat terdahulu.
[Dan hukum yang ada di
dalam al-Qur'an] Yakni perkara yang berkaitan dengan perbuatan
mukallaf.
[Serta pada apa yang tanpa
dikehendaki terucap oleh lisannya] Dengan kelepasan bicara.
[Kemudian jika dia
memutlakkannya maka tidak diharamkan] Sebagaimana tidak pula diharamkan ketika
diniatkan pada dzikirnya saja. Sehingga bisa disimpulkan ada empat situasi
pembacaan al-Qur'an di sini. Dua diperbolehkan, dan dua lainnya
diharamkan.
Sedangkan ketika dia
meniatkan pada salah satunya namun tanpa dijelaskan yang mana maka hukumnya
khilaf. Menurut qaul Mu'tamad dihukumi haram. Sebab unsur salah satunya bisa
dimungkinkan niat pada al-Qur'annya sehingga diharamkan memandang adanya
kemungkinan tersebut. [Al-Qur'an tidak akan diberlakukan hukum al-Qur'an dst.]
Yakni ketika muncul qarinah pembeda maka tidak dianggap sebagai al-Qur'an yang
haram dibaca kecuali dengan wujudnya niat. Atau bisa juga diartikan tidak
diberlakukan hukum al-Qur'an kecuali dengan wujudnya niat. Konteks ini
mengesampingkan pada kasus shalat, semisal pada orang junub yang tidak bisa
bersuci dengan wudhu dan tayammum, lantas dia shalat li hurmatil waqti, membaca
al-Fatihah, maka tidak berlaku persyaratan niat membaca al-Qur'an. Bahkan tetap
dianggap sebagai hukum bacaan al-Qur'an ketika dimutlakkan sebab tidak ada
qarinah pembeda di sini. Camkanlah dan hati-hati terhadap kesalahpahaman tentang
hal itu, sebagaimana dituturkan oleh an-Nawawi dalam kitab at-Tahrir." (Hasyiyah
al-Bujairimi, 1/259-264).
Elaborasi tentang
khilafiyah Imam Malik dituturkan dalam kitab al-Mausu'ah:
وَذَهَبَ
الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْحَائِضَ يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فِي
حَال اسْتِرْسَال الدَّمِ مُطْلَقًا ، كَانَتْ جُنُبًا أَمْ لاَ ، خَافَتِ
النِّسْيَانَ أَمْ لاَ . وَأَمَّا إِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا ، فَلاَ تَجُوزُ لَهَا
الْقِرَاءَةُ حَتَّى تَغْتَسِل جُنُبًا كَانَتْ أَمْ لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَخَافَ
النِّسْيَانَ .
هَذَا
هُوَ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَهُمْ ، لأَنَّهَا قَادِرَةٌ عَلَى التَّطَهُّرِ فِي
هَذِهِ الْحَالَةِ ، وَهُنَاكَ قَوْلٌ ضَعِيفٌ هُوَ أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا
انْقَطَعَ حَيْضُهَا جَازَ لَهَا الْقِرَاءَةُ إِنْ لَمْ تَكُنْ جُنُبًا قَبْل
الْحَيْضِ . فَإِنْ كَانَتْ جَنْبًا قَبْلَهُ فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ
.
"Kalangan malikiyah
berpendapat bahwa wanita haidh diperbolehkan membaca al-Qur'an di masa sedang
keluarnya darah haidh secara mutlak, baik disertai junub maupun tidak, entah
karena khawatir lupa ataupun tidak. Sedangkan di masa darah haidh sedang
berhenti maka tidak diperbolehkan membaca al-Qur'an sampai dia mandi bersuci,
baik kondisinya disertai junub maupun tidak, kecuali bila khawatir lupa (maka
boleh membaca, pen).
Pendapat di atas adalah
qaul mu'tamad, sebab seorang wanita dipandang mampu bersuci dalam kondisi darah
sedang berhenti tersebut. Namun dalam hal ini ada qaul dha'if yang berpendapat
seorang wanita ketika darahnya sedang berhenti tetap diperbolehkan membaca
al-Qur'an asalkan kondisinya tidak disertai junub sebelum haidh. Ketika sebelum
haidh telah disertai junub maka tidak diperbolehkan membaca al-Qur'an (sampai
dia mandi bersuci, pen)" (al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, 18/322).
Wallahu subhanahu wata'ala a'lam. [ Ayda
Az-zahra dan
Hakam
Ahmed ElChudrie ].