Seorang wanita terhalang
dari berbagai amal ibadah seperti shalat dan puasa ketika haid. Kemudian apakah
dia bisa mendapat pahala sebagaimana orang yang sakit mendapat pahala shalatnya
ketika sedang udzur sakit ?
An-Nawawi berkata tidak.
Namun al-Qalyubi menambahkan tidak mendapat pahala bila ditinjau dari
perbandingan terhadap udzur sakit, namun dimungkinkan mendapat pahala bila
ditinjau dari tarkul mahzhur, yakni dengan cara wanita itu meniatkan
meninggalkan shalat dan semacamnya karena patuh mengikuti perintah syari'at
(imtitsalan).
وَهَلْ
تُثَابُ عَلَى التَّرْكِ كَمَا يُثَابُ الْمَرِيضُ عَلَى تَرْكِ النَّوَافِلِ
الَّتِي كَانَ يَفْعَلُهَا فِي صِحَّتِهِ وَشَغَلَهُ الْمَرَضُ عَنْهَا
قَالَ
الْمُصَنِّفُ لَا ؛ لِأَنَّ الْمَرِيضَ يَنْوِي أَنَّهُ يَفْعَلُهُ لَوْ كَانَ
سَلِيمًا مَعَ بَقَاءِ أَهْلِيَّتِهِ وَهِيَ غَيْرُ أَهْلٍ فَلَا يُمْكِنُهَا أَنْ
تَفْعَلَ ؛ لِأَنَّهُ حَرَامٌ عَلَيْهَا ا هـ شَرْحِ م ر ا هـ شَوْبَرِيٌّ وَفِي ق
ل عَلَى الْمَحَلِّيِّ وَتُثَابُ الْحَائِضُ عَلَى تَرْكِ مَا حَرُمَ عَلَيْهَا
إذَا قَصَدَتْ امْتِثَالَ الشَّارِعِ فِي تَرْكِهِ لَا عَلَى الْعَزْمِ عَلَى
الْفِعْلِ لَوْلَا الْحَيْضُ بِخِلَافِ الْمَرِيضِ ؛ لِأَنَّهُ أَهْلٌ لِمَا عَزَمَ
عَلَيْهِ حَالَةَ عُذْرِهِ ا هـ
"Dan apakah perempuan yang
sedang haid diberi pahala atas ibadah yang ia tinggalkan seperti diberi
pahalanya orang yang sakit yang meninggalkan kesunnahan-kesunnahan yang dia
lakukan di saat dia masih sehat dan sakit yang membuat dia meninggalkannya
?
Al Mushannif (Imam Nawawi)
berkata : “dia (perempuan yang haid) tidak mendapat-kan pahala, karena orang
sakit berniat akan melakukannya jika dia sembuh beserta orang sakit itu masih
tetap pada sifat ahli-nya. Sementara perempuan yang haid bukanlah orang yang
ahli sehingga tidak bisa dimungkinkan dia melakukannya, karena perkara itu
diharamkan atas dia. Telah selesai dari Syarah MIIM RA` (Imam Muhammad Ramli),
telah selesai Asy Syaubari.
Dan dalam Al-Qalyubi ‘Ala
Al Mahalli diterangkan bahwa perempuan itu akan mendapat pahala karena telah
meningggalkan perkara yang diharamkan untuknya jika memang dia mempunya niat
mengikuti perintah syari’at dalam meninggalkannya itu, tidak karena ada niat
untuk melakukannya seandainya dia tidak haid. Berbeda dengan orang sakit, karena
dia adalah ahli pada apa yang dia niati disaat dia mendapatkan udzur. Telah
selesai ibarot Hasyiyah qalyubi." (Hasyiyah Jamal, 1/239). Sumber kitab :
Hasyiyah Al Jamal, juz I hal 239, cetakan Daar Ihya at Turats al ‘Arabi, Beirut
/ 2/373-374, maktabah syamilah.
وَالْمَحْظُوْرُ
مِنْ حَيْثُ وَصْفُهُ بِالْحَظْرِ أَيْ الْحُرْمَةِ مَا يُثَابُ عَلَى تَرْكِهِ
إِمْتِثَالًا وَيُعَاقَبُ عَلَى فِعْلِهِ قَوْلُهُ إِمْتِثَالًا أَيْ بِأَنْ
يَكُفَّ نَفْسَهُ عَنْهُ لِدَاعِى نَهْىِ الشَّرْعِ
"Haram, ditinjau dari sifat
keharamannya, yaitu perkara yang diberi pahala atas ditinggalkannya keharaman
tersebut karena patuh pada syari'at serta disiksa atas dijalaninya keharaman
itu. Perkataan 'karena patuh pada syari'at': yakni pengekangan dirinya dari hal
yang diharamkan tersebut dikarenakan adanya seruan larangan syariat."
(an-Nafahat 'ala Syarh al-Waraqat: 20-21). Wallaahu A’lamu bishshawaab. [
Ayda
Az-zahra dan
Hakam
Ahmed ElChudrie ].