Beberapa hari yang lalu, saya di ajak jalan seorang teman lama yang
baru datang dari Jakarta. Kami terakhir bertemu semasa masih kuliah. Sewaktu dia
tahu saya bertugas di Manado, maka sms pun masuk ke handpone saya. "Broer, saya
sudah di Manado, ada waktu lowong? Temanin ke tempat makan yang terkenal dengan
ikan bakarnya ya" Setelah mengatur waktu yang cocok, akhirnya saya
mengajakny a ke salah satu
restoran seafood di pinggir pantai Manado. Tempatnya cukup sederhana dengan
aroma ikan bakar yang sudah mengundang rasa lapar kami. Jadilah siang itu kami berwisata
kuliner mendadak. Makan ikan bakar khas Manado , di tambah es kelapa muda memang
nikmat sambil menikmati suasana sunset di pantai Manado. Sementara menikmati
makanan, tiba-tiba datanglah seorang anak perempuan yang dalam kondisi buta
menghampir meja kami. Ia tidak
sendirian, karena di dampingi
seorang ibu yang cukup berumur. Saya tak tahu, apakah itu salah satu orangtua
anak itu atau bukan. Sepertinya
dia menjadi pendamping dan
penunjuk jalan bagi anak perempuan itu. Si ibu kemudian mengambil sesuatu dari
tas keranjangn ya. "kacang oom!
Kacang oom" sambil tangannya di sodorkan di samping tempat duduk saya. Karena
sudah terbiasa dengan situasi seperti ini di Manado, saya kemudian mengambil dua
lembar uang seribu. "kacangnya
biar saja ibu, ambil saja uangnya" begitu kata saya. Dengan
tersenyum, ibu dan anak
perempuan yang buta tadi mengucapka n terima kasih sambil berlalu
meninggalk an kami yang kembali
melanjutka n makan. Teman saya kemudian
bertanya pada saya.
"Broer, emangnya di sini kalo kasih duit ke orang-oran g yang kek tadi ngga apa-apa ya?"
Dengan sedikit bingung, saya bertanya balik lagi padanya.
"Maksudnya ?’’
"Iya, maksudnya kalian ngga di kenakan denda sama
pemerintah di sini kalo ngasih
duit ke pengemis?" Jawab teman
saya.
"Ya ngga mungkinlah bro,
berbuat baik kok di denda" Jawab saya tegas.
"Di Jakarta mungkinlah
broer, pemda di sana buat perda penjatuhan sanksi bagi yang ngasih sedekah buat pengemis,
akhirnya sampai sekarang masih jadi pembicaraa n. Saya rasa, ngga benar juga tuh pemda buat peraturan
begitu" Jawab teman saya.
"Bagimu ngga benar, tapi kalau bagi pemerintah itu benar yah ngga nyambungla h bro! Akhirnya, masyarakat korban lagi. Ya sudah, lanjut makan lagi mumpung
kita di sini ngga kena denda, yang penting dah berbuat baik, urusannya nanti
sama Tuhan belakangan " Lanjut
saya.
Pembicaraa n singkat
dengan teman saya itu cukup membuat tangan saya usil membuat tulisan ini. Rasa
penasaran dengan Perda yang di buat oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta itu membuat saya
mencari-ca ri
informasi. Setelah membuka
internet, saya mendapatka n juga
beritanya. Dari berita yang di
dapat, Dinas Sosial DKI Jakarta menangkap 12 warga Jakarta yang
memberikan sedekah kepada
pengemis. Mereka kemudian dijatuhi hukuman denda Rp.150.000 hingga Rp.300.000 . Pejabat Dinas Sosial DKI Jakarta
berpendapa t, sanksi denda itu di
harapkan bisa memberikan efek
jera kepada orang yang akan memberikan sedekah di jalan (kompas.co m). Dalam salah satu pasal Peraturan Daerah Nomor
8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum
di katakan "setiap orang atau badan dilarang menjadi pengemis, pengamen,
pedagang asongan dan pengelap mobil".
Salah siapa?
Kalau di tanya, mungkin tidak ada satu orang pun yang
bercita-ci ta menjadi pengemis.
Tapi kenapa pengemis bisa ada? jawaban paling mendasar adalah faktor ekonomi.
Ada orang yang memang karena kebutuhan ekonomi, menjadi pengemis. Tekanan
kebutuhan hidup yang tinggi, dengan standar pendapatan yang jauh di bawah penghasila n sehari-har i menjadikan pengemis sebagai cara mendapatka n uang yang paling mudah. Cukup dengan
meminta-mi nta. Nah, kalau ada
yang meminta, maka ada yang memberi. Tetapi kalau yang meminta dan yang memberi
di kenakan sanksi, urusannya jadi lain lagi. Yang membuat peraturan
seharusnya jeli melihat, bahwa
pengemis adalah gejala sosial. Memberi sedekah adalah perbuatan baik, dan agak
aneh kalau perbuatan baik harus mendapat sanksi. Perbuatan memberi sedekah itu
dalam konteks dan ranah moral, etika. Agama apapun pasti
mengajarka n untuk berbuat baik,
menolong orang yang lemah dan berkekuran gan. Okelah, kalau tiap tahun sudah menjadi
pemandanga n dan fenomena
menjelang Lebaran, kota Jakarta menjadi penuh dengan para pengemis yang datang
secara teroganisi r. Kalau memang
Pemda DKI Jakarta punya semangat dan niat baik menjadikan kotanya menjadi lebih aman, tentram dan nyaman
bagi warganya, yah bisa-bisa saja. Tetapi memberikan efek jera itu bukan solusi yang tepat. Ingat,
bahwa pengemis lahir juga karena korban kebijakan pemerintah . Tak perlu saya katakan, ada berapa banyak
kebijakan pemerintah yang kurang
berpihak pada mereka para pengemis? Dulu kita mengenal yang namanya program
Transmigra si di jaman Orde Baru,
setelah reformasi, saya tidak
tahu kalau program itu masih jalan atau tidak. Pengemis itu tidak salah, yang
memberi sedekah juga tidak salah. Yang salah adalah sistem yang perlu di benahi.
Kalau ada yang datang di Jakarta, berarti terjadi arus
urbanisasi dari daerah asal.
Maka solusi terbaik, adalah bekerja sama dengan daerah-dae rah sekitar Jakarta, yang selalu menjadi tempat
asal para pendatang. DPRD kan
sering buat studi banding dengan daerah-dae rah lainnya. Tunjukanla h hasilnya, jangan jadikan alasan
desentrali sasi sebagai kendala
untuk kerja sama. Air mengalir karena ada sumbernya. Nah, sumber mata air itu yang harus di tutup.
Pemda dari daerah asal pengemis itu yang harus bekerja keras. Balai latihan
kerja di fungsikan. Sekolah
gratis untuk orang kurang mampu juga di galakan pembuktian nya, mengingat orang yang menjadi pengemis juga
karena tingkat pendidikan yang
rendah. Jika demikian, pemerintah lah yang punya andil besar dalam gejala sosial
ini. Coba kita baca lagi Pasal 34 (1) UUD 1945 "Fakir miskin dan anak-anak
terlantar di pelihara oleh negara". Terserah anda mau
menafsirka n kalimat "di
pelihara" dalam konstitusi
tertinggi di negara kita ini. Tetapi bagi saya, kalau cuma di pelihara tanpa di
urus, di rawat, di berikan jaminan kesejahter aan sama saja tidak ada gunanya.
Budaya minta-mint a
Kita tidak usah berpura-pu ra dan seharusnya sadar bahwa sebenarnya kita hidup dalam budaya
minta-mint a dalam negara ini.
Negara ini juga hidup sekarang dengan pinjaman sana-sini. Istilahnya hutang untuk tutup hutang. Kalau kita
benar-bena r
sejahtera, tak perlu lagi harus
ke IMF, Bank Dunia atau pinjaman ke negara-neg ara maju. Apa yang di lakukan pengemis dengan cara
meminta-mi nta
sebenarnya adalah cermin untuk
bangsa ini. kalau pengemis meminta-mi nta, kita akan mengatakan wajarlah, karena mereka memang tidak punya
pekerjaan. Tapi kalau ada
pegawai pemerintah buat pungli,
pejabat yang kena suap, korupsi dan nepotisme serta kolusi jabatan, itu masuk
kategori minta-mint a ngga sih?
Wah, berarti ada dua pengemis dong! Pengemis jalanan dan pengemis berdasi.
Hampir semua kasus korupsi yang di alami para pejabat di negeri ini karena sogok
dan suap dari pengusaha. Menjadi
pertanyaan , apa kurang miskin
dengan gaji begitu sampai harus minta-mint a ke pengusaha segala? Atau juga, main jalan
pintas pake calo-calo segala untuk tes masuk PNS. Contoh lainnya adalah pungli
ataukah biaya tidak wajar pengurusan administra tif di kantor-kan tor pemerintah an yang selama ini sudah menjadi penyakit
birokratif . Coba anda
bayangkan, seperti kasus di
atas, misalnya cuma mau memberi sedekah Rp.1000 saya kena denda
Rp.300.000 . Uang dendanya terus
di kemanakan? Untuk apa? Secara
kasarnya saya di "palak" secara legal oleh pemerintah . Seharusnya ada transparan si. Kalau misalnya untuk
pembenahan
kesejahter aan fakir miskin,
Insya Allah, Puji Tuhan, upahku besar di surga. Yah, kita semua tentu saja
berharap, negara memberikan kepastian
buat warga negaranya.
Idealnya begitu kan?
MENTAL PENGEMIS
Beberapa orang anak kecil terlihat berjaga-ja ga di sekitar parkiran mobil dan motor di halaman
sebuah masjid. Ketika sang empunya kendaraan datang, mereka pun beraksi.
"Parkir, Om." Sembari menengadah kan tangan berharap ada uang tanda terima kasih
yang mereka terima. Kadang-kad ang pemilik kendaraan jengkel, bahkan ada yang
mencemooh. "Lho, di sini kan tidak
pakai biaya parkir. Kalau ada yang hilang, mau tanggung jawab?"
Sering terlintas rasa iba kepada anak-anak kecil itu. Tetapi, kalau
mental pengemis sudah bersarang di kepalanya, harus dicegah sedini mungkin. Bayangkan saja,
orang yang memarkir kendaraan walau sebentar saja, diminta bayar parkiran.
Padahal, jangankan tarif, bukti tanda parkir saja tidak ada. Masih kecil sudah
mentalnya peminta-mi nta. Bagaimana
kalau berlanjut sampai dewasa?
Hampir setiap hari, bila melintas di jalan raya
perkotaan, kita akan melihat
banyaknya pengemis di jalanan. Dari yang tua sampai yang bocah. Bahkan yang
cacat pun tidak mau ketinggala n.
Pemerintah
setidaknya sudah melakukan
langkah-la ngkah untuk
memberanta s para pengemis
jalanan. Dirazia sampai kucing-kuc ingan dengan aparat pemerintah kota. Setelah ditangkap dan dibina, mereka
dilepas untuk mencari pekerjaan yang lebih layak dan beradab. Tapi tak jarang
yang sudah dibina kembali menjadi pengemis. Mungkin sudah mental
pengemisny a warisan sejak lahir.
Wajib, ada langkah yang lebih konkret yang semestinya dilakukan oleh pemerintah . Dirazia, dibina, dan dilepas kembali
sepertinya tidak
menimbulka n efek jera.
Ujung-ujun gnya kembali ke
jalanan. Mengemis harta orang. Bahkan yang paling miris, ada salah satu
perkampung an mewah di salah satu
kota di negeri ini (saya tonton di televisi) yang warganya
berprofesi sebagai pengemis. Ada
musimnya mereka ke kota menjadi pengemis, dan ada musimnya mereka pulang
kampung. Ya.. mental pengemis, mental para pemalas.
Hemat saya, ditangkap saja. Dikeluarka n Undang-Und ang tentang pengemis dan
sekutu-sek utunya. Ada pasal yang
mengaturny a yang tidak hanya
merazia dan membina dan dilepas. Biar kapok dan 'tobat' perlu didenda dan
dimasukkan jeruji. Kalau
aturannya begitu, siapa yang berani jadi pengemis? Asalkan aparat tidak gampang
'iba' oleh permohonan mereka "Kasihan
Pak, kami hanya pegemis" Apa kata dunia?
BERKACA PADA FATWA HARAM MUI TERHADAP PENGEMIS
Majelis Ulama Indonesia Sumenep mengeluark an fatwa haram mengemis. Langkah MUI Sumenep ini
pun mendapatka n dukungan dari
MUI Pusat. Sejurus dengan langkah tersebut, MUI mengimbau kepada kaum Muslim
untuk menyampaik an infak, zakat
dan shadaqoh melalui lembaga atau saluran yang sudah disediakan secara Islam.
Cobalah kita melihat persoalan ini dengan kacamata dan hati nurani yang
lebih bening, jauh dari sikap emosional. Mari melihat kemiskinan dan fenomena pengemis bukan hanya masalah di
Sumenep saja, malainkan masalah krusial bangsa Indonesia, karena di seluruh sudut tanah air, menurut saya,
pasti ada lorong-lor ong
kemiskinan dan fenomena pengemis
tak berkesudah an.
Sebagai sebuah fenomena sosial dan ekonomi, pengemis, mengemis dan
kemiskinan merupakan tiga
pilar yang hampir pasti ada tak terkecuali di negara kita, selagi
ketidakadi lan ekonomi tak
kunjung tercapai. Selama itu pula, budaya mengemis dan pilihan hidup menjadi
pengemis tanpa disadari terbangun dalam kehidupan sehari-har i. Menjadi pengemis bukan karena
keterpaksa an akibat himpitan ekonomi,
ketidak berdayaan sosial, misalnya. Tapi, menjadi pengemis karena struktur
sosial dan ekonomi yang timpang.
Menurut Saya, MUI Sumenep sedang mencoba "membangun kan" pemerintah dari tidurnya. Namun, usaha ini juga tidak akan
selesai ketika ditangani oleh Satpol PP, misalnya. MUI Sumenep, meski bersifat
lokal di sana, sedang mengingatk an kepada umat Islam untuk tidak
memanipula si Ramadhan Sebagai Bulan
Penuh Berkah dengan menyulap diri dan keluarga menjadi pengemis secara massal,
menyerbu perkotaan dan menjadi pengemis musiman selama Ramadhan.
Saya lalu memiliki pendapat bahwa persoalan kemiskinan dan fenomena pengemis adalah efek langsung dari
kegagalan negara dalam merealisas ikan amanat UUD 1945 Pasal 34: Fakir Miskin dan
Anak-anak Terlantar Dipelihara
oleh negara. Pasal tersebut sudah berumur lama, dan selama itu pula negara sudah
"memelihar a" fakir miskin dan
anak-anak terlantar dengan hasil: ternyata masih banyak sekali warga dan rakyat
yang miskin, meski setiap pergantian kepemimpin an nasional hampir pasti
mengagenda kan
pemberanta san
kemiskinan .
Tak dapat dipungkiri ,
persoalann ya adalah ketika
mengemis dan menjadi pengemis sudah dijadikan sebagai mata
pencaharia n, sebagai sumber
penghasila n tetap, maka, ia
tidak akan mudah lari dari pekerjaann ya yang tetap itu. Sebagai sebuah mata
pencaharia n, mengemis dan
menjadi pengemis dimanfaatk an
oleh oknum tertentu untuk menjadikan nya lebih profesiona l. Maka muncul istilah pengemis
profesiona l. Fenomena
"pengemis profesiona l" inilah yang kemudian patut dicurigai
sebagai telah memanipula si
orang-oran g miskin untuk
dipekerjak an sebagai pengemis
dengan sistem kontrak dan potong penghasila n, misalnya.
Kegiatan mengemis ini mereka ambil karena tidak lagi punya pekerjaan
untuk menghidupi
keluargany a. Namun hal itu tidak
bisa dijadikan pembenaran ,
karena pengemispu n bisa
diberdayak an untuk
meningkatk an
perekonomi an
keluargany a tanpa kembali ke
jalanan. Masalahnya yang terjadi
saat ini pengemis tak hanya dewasa tapi anak kecil, itu
mengganggu jalan dan berbahaya bagi
mereka.
Lalu, apakah Fatwa MUI Sumenep tersebut di atas bermakna membatasi atau
sampai dengan melarang bagi orang-oran g yang mau bersedekah kepada fakir miskin dan pengemis? Bagaimana pula
efektifita s Fatwa Haram Mengemis
tersebut ketika diimplemen tasikan di tengah-ten gah masyarakat ? Lalu apakah persoalan pengemis harus
difatwakan ? Sudah
seharusnya
Pemerintah dalam hal ini
bersikap tegas. Penylesaia nnya
dengan Peraturan Pemerintah .
Pengemis adalah kenyataan hidup yg tidak bisa diberantas .
SAYA PENGEMIS, BUKAN KORUPTOR
Jangan salah! Sekarang di Indonesia, bukan hanya koruptor yang akan diuber pihak
berwajib dan dikenai hukuman. Pengemis pun bakal tidak akan bisa bergerak bebas
lagi di Indonesia. Dengan kalimat
lain, pengemis itu pelaku kriminal.
Alangkah mirisnya jika ada pengemis, saat diamankan petugas, mereka
berusaha membela diri sembari mengatakan , "Jangan tangkap saya, Pak Polisi. Saya ini cuma
pengemis. Bukan koruptor. Bukan maling. Bukan jambret atau copet. Bukan
pemerkosa. Bukan pembunuh
berantai".
Sementara sang petugas menyahutin ya, "Ah, sama saja. Itu sudah ada
peraturann ya !".
Pengemis memang unik. Adakalanya punya persamaan, sekaligus perbedaan, dengan koruptor. Satu sisi, pengemis itu sejenis
manusia tidak produktif.
mengemis itu pekerjaann ya.
Meminta-mi nta uang, dari satu
rumah ke rumah lain. Atau, diam di satu tempat umum sembari
menengadah kan tangan ke setiap pejalan
kaki.
Sisi lainnya, untuk "Jadi Pengemis", dituntut memiliki otak yang cerdas ditunjang
jasad yang kuat dan sehat, kecuali mereka yang cacat.
Logikanya, mereka harus berpikir
cerdas menentukan lokasi "basah"
dan bergegas menuju ke sana, untuk bekerja. Siang hari, mereka
berhadapan dengan terik
matahari. Di musim hujan, mereka berhadapan dengan air. Jika malam, mereka
berhadapan dengan dingin yang menusuk
tulang.
Persamaan pengemis dengan koruptor terletak pada kemauan untuk bekerja
mengeluark an tenaga minimal yang
bisa menghasilk an uang maksimal.
Tidak dibutuhkan keahlian,
selain nyali menahan malu dibilang "pengemis" atau koruptor. Keduanya pun sekarang sama-sama
menduduki posisi berkatagor i
kriminal.
Bedanya, menangkap pengemis itu mudah dibanding menangkap koruptor.
Selain itu, pakaian pengemis biasanya lusuh sedangkan pakaian koruptor
senantiasa bersih, rapi, dan
necis.
Permasalah annya, ada
indikasi adanya tranformas i
budaya. Pengemis bukan melulu seorang berkondisi miskin dan tidak mampu bekerja, melainkan seorang yang
mampu ada juga yang bekerja sebagai pengemis. Awalnya karena kondisi, berubah
menjadi tradisi dan kebutuhan.
Seperti terjadi di Desa Pragaan Daja, Sumenep, dan Desa Tianyar Barat
dan Desa Tianyar Tengah, Karangasem ,
Bali. Dari beberapa sumber, ketiga nama desa tersebut diketahui sebagai daerah
asal para pengemis. Bahkan secara ekstrem dijuluki DESA PENGEMIS.
Nah, dalam skala Indonesia, keberadaan tiga Desa Pengemis boleh jadi
bukan aib. Tapi, mestinya itu menjadi perhatian kita bersama, karena ketiganya
bukan pula kebanggaan .
Sentilan Sentilun