Oleh Ustadz Kholil Abou Fateh
1.
Ayat-ayat Mutasyabihat
Mengenai ayat mutasyabih
yang sebenarnya para Imam dan Muhadditsin selalu berusaha menghindari untuk
membahasnya, namun justru sangat digandrungi oleh sebagian kelom pok muslimin
sesat masa kini, mereka selalu mencoba menusuk kepada jantung tauhid yang
sedikit saja salah memahami maka akan terjatuh dalam jurang kemusyrikan, seperti
membahas bahwa Allah ada dilangit, mempunyai tangan, wajah dll yang hanya
membuat kerancuan dalam kesucian Tauhid ilahi pada benak muslimin, akan tetapi
karena semaraknya masalah ini diangkat ke permukaan, maka perlu kita perjelas
mengenai ayat ayat dan hadits tersebut. Sebagaimana makna Istiwa, yang sebagian
kaum muslim in sesat sangat gemar membahasnya dan mengatakan bahwa Allah itu
bersemayam di Arsy, dengan menafsirkan kalimat "ISTIWA" dengan makna "BERSEMAYAM
atau ADA DI SUATU TEMPAT" , entah darimana pula mereka menemukan makna kalimat
Istawa adalah semayam, padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu
bersemayam disuatu tempat, karena bertentangan dengan ayat ayat dan Nash hadits
lain.
Apabila kita mengatakan
Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti Allah
membutuhkan ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam hadits
qudsiy disebutkan Allah swt turun kelangit yang terendah saat sepertiga malam
terakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758, sedangkan
kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir, Maka bila disuatu
tempat adalah tengah malam , maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi terus
berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah
itu selalu bergelantungan mengitari Bumi di langit yang terendah, maka semakin
ranculah pemahaman ini, dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka, jelaslah
bahwa hujjah yang mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan dengan hadits
qudsiy diatas, yang berarti Allah itu tetap di langit yang terendah dan tak
pernah kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy,
dan hadits Qudsiy mengatakan Allah dilangit yang terendah.
Berkata Al hafidh
Almuhaddits Al Imam Malik rahimahullah ketika datang seseorang yang bertanya
makna ayat : "Arrahm aanu 'alal Arsyistawa", Imam Malik menjawab : "Majhul,
Ma'qul, Imaan bihi wajib, wa su'al 'anhu bid'ah (tidak diketahui maknanya, dan
tidak boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini
adalah Bid'ah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan dia..!",
demikian ucapan Imam Malik pada penanya ini, hingga ia mengatakannya : "kulihat
engkau ini orang jahat", lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yang
menjadi Muhaddits Tertinggi di Madinah Almunawwarah di masanya yang beliau itu
Guru Imam Syafii ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu, kecuali
menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang orang yang tidak baik yang
mempermasalahkan masalah ini. Lalu bagaimana dengan firman Nya :
"Mereka yang berbai'at
padamu sungguh mereka telah berbai'at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan
mereka" (QS Al Fath 10), dan disaat Bai'at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada
tangan turun dari langit yang turut berbai'at pada sahabat. Juga sebagaimana
hadits qudsiy yang mana Allah berfirman : "Barangsiapa memusuhi waliku sungguh
kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan hal hal
yang fardhu, dan Hamba-Ku terus mendekat kepada-Ku dengan hal hal yang sunnah
baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka aku menjadi
telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, dan menjadi matanya yang ia gunakan
untuk melihat, dan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memerangi, dan
kakinya yang ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada Ku niscaya kuberi
permintaannya...." (shahih Bukhari hadits no.6137).
Maka hadits Qudsiy diatas
tentunya jelas jelas menunjukkan bahwa pendengaran, penglihatan, dan panca
indera lainnya, bagi mereka yang taat pada Allah akan dilimpahi cahaya kemegahan
Allah, pertolongan Allah, kekuatan Allah, keberkahan Allah, dan sungguh maknanya
bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya. Masalah
ayat/hadist tasybih (tangan/wajah) dalam ilmu tauhid terdapat dua
pendapat/madzhab dalam menafsirkannya, yaitu:
1. Madzhab tafwidh ma'a
tanzih
Madzhab ini mengambil
dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kepada Allah swt, dengan i'tiqad tanzih
(mensucikan Allah dari segala penyerupaan) Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin
Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata "Nu;minu biha wa nushoddiq biha bilaa
kaif wala makna", (Kita percaya dengan hal itu, dan membenarkannya tanpa
menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yang juga di pegang
oleh Imam Abu hanifah. Dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya
memegang madzhab tafwidh tapi menyerupakan Allah dengan mahluk, bukan seperti
para imam yang memegang madzhab tafwidh.
2. Madzhab takwil
Madzab ini menakwilkan
ayat/hadist tasybih sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah swt, dan madzhab
ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan
menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya,
sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari, Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat
Attauhid oleh Imam Baajuri) Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur'an dan
sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah
waljamaah. Seperti ayat : "Nasuullaha fanasiahum" (mereka melupakan Allah maka
Allah pun lupa dengan mereka) (QS Attaubah:67), dan ayat : "Innaa nasiinaakum".
(sungguh kam i telah lupa pada kalian QS Assajdah 14).
Dengan ayat ini kita tidak
bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Alqur'an, dan
kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dengan sifat
lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : "dan tiadalah tuhanmu itu lupa"
(QS Maryam 64) Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt
berfirm an : "Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka
berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan
Engkau Rabbul 'Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan
sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka
akan kau temui Aku disisinya?" (Shahih Muslim hadits no.2569).
Apakah kita bisa
mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita? Berkata Imam
Nawawi berkenaan hadits Qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah Annawawiy alaa
Shahih Muslim bahwa yang dimaksud sakit pada Allah adalah hamba Nya, dan
kemuliaan serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, "wa ma'na wajadtaniy indahu
ya'niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu" dan makna ucapan : akan kau temui
aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan Ku dengan
menjenguknya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal 125) Dan banyak pula
para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yang berpegang pada
pendapat Ta'wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam
Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy'ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat
Daf'ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy). Maka jelaslah bahwa akal tak
akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah swt, sebagaimana firman Nya :
"Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yang mereka
sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas tuhan
sekalian alam" . (QS Asshaffat 180-182).
2. Allah
Ada Tanpa Tempat
ุจุณู
ุงููู ุงูุฑุญู
ู ุงูุฑุญูู
ุงูุญู
ุฏ ููู ูุตูู ุงููู ุนูู ุฑุณูู ุงููู ูุณูู
ูุจุนุฏ ูุงู ุงููู ุชุนุงูู :
(َْูู ุชَุนَْูู
ُ َُูู ุณَูู
ًِّูุง) (ุณูุฑุฉ ู
ุฑูู
: 65)
"Engkau tidaklah menemukan
yang serupa dengan-Nya (Allah)". (QS. Maryam: 65) Sesungguhnya keyakinan bahwa
Allah ada tanpa tempat adalah aqidah Nabi Muhammad, para sahabat dan orang-orang
yang mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama'ah;
kelompok mayoritas ummat yang merupakan al-Firqah an-Najiyah (golongan yang
selamat). Dalil atas keyakinan tersebut selain ayat di atas adalah firman
Allah:
(
َْููุณَ َูู
ِุซِِْูู ุดَูุกٌ ) (ุณูุฑุฉ ุงูุดูุฑู: 11)
"Dia (Allah) tidak
menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatupun yang
menyerupai-Nya". (QS. as-Syura: 11) Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam
al-Qur'an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya.
Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagi kepada dua
bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu
benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para
ulama menyebutnya dengan al-Jawhar al-Fard), dan benda yang dapat terbagi
menjadi bagian-bagian (jism). Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam;
1. Benda Lathif; benda yang
tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan
sebagainya.
2. Benda Katsif; benda yang
dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain
sebagainya. Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah,
bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat
di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta'ala tidak menyerupai makhluk-Nya,
bukan merupakan al-Jawhar al-Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif.
Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut
cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah.
Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa
dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar
dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang
membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.
َูุงَู
ุฑَุณُُْูู ุงِููู: "َูุงَู ุงُููู ََููู
ْ َُْููู ุดَูุกٌ ุบَْููุฑُُู" (ุฑูุงู ุงูุจุฎุงุฑู
ูุงูุจูููู ูุงุจู ุงูุฌุงุฑูุฏ)
Rasulullah Shallallahu
'Alayhi Wa Sallam bersabda: "Allah ada pada azal (Ada tanpa permulaan) dan belum
ada sesuatupun selain-Nya". (H.R. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud) Makna
hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada
sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan,
'arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti
Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada
keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan
arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk). Maka
sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum
terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa
tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian
atas adanya Allah. Sebagaimana ditegaskan juga oleh sayyidina 'Ali ibn Abi
Thalib -semoga Allah meridlainya-:
"َูุงَู
ุงُููู َููุงَ ู
ََูุงَู ََُููู ุงْูุขَู ุนََูู ู
َุง ุนََِْููู َูุงَู"
"Allah ada (pada azal) dan
belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap
seperti semula, ada tanpa tempat" (Dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur
al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333). Al-Imam al-Bayhaqi (w
458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata: "Sebagian
sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda
Rasulullah shalllallahu 'alayhi wa sallam :
ูุงَู
ุฑَุณُُْูู ุงููู: "ุฃْูุชَ ุงูุธّุงِูุฑُ ََْูููุณَ َََْูููู ุดَูุกٌ َูุฃْูุชَ ุงْูุจَุงุทُِู
ََْูููุณَ ุฏََُْููู ุดَูุกٌ" (ุฑََูุงُู ู
ُุณูู
َูุบููุฑُู)
"Engkau Ya Allah azh-Zhahir
(yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu apapun di
atas-Mu, dan Engkau al-Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu
apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu apapun di
atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa
tempat". Al-Imam as-Sajjad Zain al-'Abidin 'Ali ibn al-Husain ibn 'Ali ibn Abi
Thalib (w 94 H) berkata :
"ุฃْูุชَ
ุงُููู ุงّูุฐِْู ูุงَ َูุญَِْْููู ู
ََูุงٌู" (ุฑูุงู ุงูุญุงูุธ ุงูุฒุจูุฏู)
"Engkaulah ya Allah yang
tidak diliputi oleh tempat". (Diriwayatkan oleh al-Hafizh az-Zabidi dalam Ithaf
as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya' 'Ulumiddin dengan rangkaian sanad muttashil
mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al-Bayt; keturunan Rasulullah).
Adapun ketika seseorang menghadapkan kedua telapak tangan ke arah langit ketika
berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi
karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan
barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap
ka'bah, hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena
ka'bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini telah dituturkan oleh para
ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah seperti al-Imam al-Mutawalli (w 478 H) dalam
kitabnya al-Ghun-yah, al-Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam kitabnya Ihya
'Ulumiddin, al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim,
al-Imam Taqiyyuddin as-Subki (w 756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil, dan masih
banyak lagi. Al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi -Semoga Allah meridlainya- (w 321 H)
berkata:
"ุชَุนَุงَููู
(َูุนِْูู ุงَููู) ุนَِู ุงْูุญُุฏُْูุฏِ َูุงْูุบَุงَูุงุชِ َูุงْูุฃุฑَْูุงِู َูุงูุฃุนْุถَุงุกِ
َูุงูุฃุฏََูุงุชِ ูุงَ ุชَุญِِْْููู ุงْูุฌَِูุงุชُ ุงูุณِّุชُّ َูุณَุงุฆِุฑِ ุงْูู
ُุจْุชَุฏَุนَุงุชِ"
"Maha suci Allah dari
batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama
sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan
dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah,
hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah
penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang); tidak seperti
makhluk-Nya yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut". Perkataan al-Imam
Abu Ja'far ath-Thahawi ini merupakan Ijma' (konsensus) para sahabat dan ulama
Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah). Diambil dalil
dari perkataan tersebut bahwasannya bukanlah maksud dari Mi'raj bahwa Allah
berada di arah atas lalu Nabi Muhammad naik ke arah sana untuk bertemu
dengan-Nya. Melainkan maksud Mi'raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dan
memperlihatkan kepadanya keajaiban-keajaiban makhluk Allah sebagaimana
dijelaskan dalam al Qur'an surat al-Isra ayat 1. Dengan demikian tidak boleh
dikatakan bahwa Allah ada di satu tempat, atau disemua tempat, atau ada di
mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu arah atau semua
arah penjuru. Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (w 324 H) -Semoga Allah
meridlainya- berkata:
"ุฅَّู
ุงَููู ูุงَ ู
ََูุงَู َُูู " (ุฑูุงู ุงูุจูููู ูู ุงูุฃุณู
ุงุก ูุงูุตูุงุช)
"Sesungguhnya Allah ada
tanpa tempat" (Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma Wa ash-Shifat).
Al-Imam al-Asy'ari juga berkata: "Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di satu
tempat atau di semua tempat". Perkataan al-Imam al-Asy'ari ini dinukil oleh
al-Imam Ibn Furak (w 406 H) dalam kitab al-Mujarrad. Syekh Abd al-Wahhab
asy-Sya'rani (w 973 H) dalam kitab al-Yawaqit Wa al-Jawahir menukil perkataan
Syekh Ali al-Khawwash: "Tidak boleh dikatakan Allah ada di mana-mana". Maka
aqidah yang wajib diyakini adalah bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.
Perkataan al-Imam ath-Thahawi di atas juga merupakan bantahan terhadap pengikut
paham Wahdah al-Wujud; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan
makhluk-makhluk-Nya, juga sebagai bantahan atas pengikut paham Hulul; mereka
yang berkeyakinan bahwa Allah menempati sebagian makhluk-Nya.
Dua keyakinan ini adalah
kekufuran berdasarkan Ijma' (konsensus) seluruh orang Islam sebagaimana
dikatakan oleh al-Imam as-Suyuthi (w 911 H) dalam kitab al-Hawi Li al-Fatawi,
dan Imam lainnya. Para Imam panutan kita dari ahli tasawuf sejati seperti
al-Imam al-Junaid al-Baghdadi (w 297 H), al-Imam Ahmad ar-Rifa'i (w 578 H),
Syekh Abd al-Qadir al-Jailani (w 561 H) dan semua Imam tasawwuf sejati; mereka
semua selalu mengingatkan orang-orang Islam dari para pendusta yang menjadikan
tarekat dan tasawuf sebagai sebagai wadah untuk meraih dunia, padahal mereka
berkeyakinan Wahdah al-Wujud dan Hulul. Dengan demikian keyakinan ummat Islam
dari kalangan Salaf dan Khalaf telah sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan
arah. Sementara keyakinan sebagian orang yang menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di
atas Arsy, adalah keyakinan sesat. Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah dengan
makhluk-Nya, karena duduk adalah salah satu sifat manusia. Para ulama Salaf
bersepakat bahwa barangsiapa yang menyifati Allah dengan salah satu sifat di
antara sifat-sifat manusia maka ia telah kafir, sebagaimana hal ini ditulis oleh
al-Imam al-Muhaddits as-Salafi Abu Ja'far ath-Thahawi (w 321 H) dalam kitab
aqidahnya yang terkenal dengan nama "al-'Aqidah ath-Thahwiyyah". Beliau berkata
:
"
َูู
َْู َูุตََู ุงَููู ุจِู
َุนًْูู ู
ِْู ู
َุนَุงِูู ุงْูุจَุดَุฑِ ََููุฏْ ََููุฑ "
"Barang siapa mensifati
Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir".
Padahal telah diketahui bahwa beribadah kepada Allah hanya sah dilakukan oleh
orang yang meyakini bahwa Allah dan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu apapun
dari makhluk-Nya. Al-Imam al-Ghazali berkata:
"ูุงَ
ุชَุตِุญُّ ุงْูุนِุจَุงุฏَุฉُ ุฅูุงّ ุจَุนْุฏَ ู
َุนْุฑَِูุฉِ ุงْูู
َุนْุจُْูุฏِ"
"Tidak sah ibadah (seorang
hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah". Hal itu karena
beriman kepada Allah dengan benar adalah syarat diterimanya amal saleh
seseorang, tanpa beriman kepada Allah dengan benar maka segala bentuk amal saleh
tidak akan diterima oleh Allah.
3.
Konsensus Para Sahabat dan Imam : "Allah Ada Tanpa Tempat"
Berikut ini adalah
pernyataan para sahabat Rasulullah dan para ulama dari empat madzhab, serta
ulama lainya dari kalangan Ahlussunnah dalam penjelasan kesucian Allah dari
menyerupai makhluk-Nya dan penjelasan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa
arah. Kutipan berikut ini hanya sebagian kecil saja, karena bila kita hendak
mengutip seluruh perkataan mereka maka akan membutuhkan kepada ratusan lebar
halaman. Namun setidaknya berikut ini sebagai bukti untuk memperkuat akidah
kita, sekaligus sebagai bantahan terhadap keyakinan-keyakinan yang menyalahinya.
1. Al-Imam 'Ali ibn Abi Thalib (w 40 H) berkata:
َูุงَู
ุงُููู َููุงَ ู
ََูุงู ََُููู ุงูุขَู ุนََูู ู
َุง ุนَْููู َูุงَู
"Allah ada tanpa permulaan
dan tanpa tempat, dan Dia Allah sekarang -setelah menciptakan tempat- tetap
sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat" (Diriwayatkan oleh
al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333). Beliau
juga berkata:
ุฅّู
ุงَููู ุฎَََูู ุงูุนَุฑْุดَ ุฅْุธَูุงุฑًุง ُِููุฏْุฑَุชِู ََููู
ْ َูุชّุฎِุฐُْู ู
ََูุงًูุง ِูุฐَุงุชِِู
"Sesungguhnya Allah
menciptakan 'arsy (makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan
kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya" (Diriwayatkan oleh
al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333). 2. Seorang
tabi'in yang agung, Al-Imam Zainal-'Abidin 'Ali ibn al-Husain ibn 'Ali ibn Abi
Thalib (w 94 H) berkata:
ุฃْูุชَ
ุงُููู ุงّูุฐِู ูุงَ َูุญَْْููู ู
ََูุงٌู
"Engkau wahai Allah yang
tidak diliputi oleh tempat" (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam
Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya' 'Ulumiddin, j. 4, h. 380). Juga
berkata:
ุฃْูุชَ
ุงُููู ุงّูุฐِู ูุงَ ุชُุญَุฏُّ َูุชََُْููู ู
َุญْุฏُْูุฏًุง
"Engkau wahai Allah yang
maha suci dari segala bentuk dan ukuran" (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla
az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya' 'Ulumiddin, j. 4, h.
380). 3. Al-Imam Ja'far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal 'Abidin
'Ali ibn al-Husain (w 148 H) berkata:
ู
َْู
ุฒَุนَู
َ ุฃّู ุงَููู ِูู ุดَูุกٍ ุฃْู ู
ِْู ุดَูุกٍ ุฃْู ุนََูู ุดَูุกٍ ََููุฏْ ุฃุดْุฑََู، ุฅุฐْ
َْูู َูุงَู ุนََูู ุดَูุกٍ ََููุงَู ู
َุญْู
ُْููุงً ََْููู َูุงَู ِูู ุดَูุกٍ ََููุงَู
ู
َุญْุตُْูุฑًุง ََْููู َูุงَู ู
ِْู ุดَูุกٍ ََููุงَู ู
ُุญْุฏَุซًุง (ุฃْู ู
َุฎًُْْูููุง)
"Barang siapa berkeyakinan
bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu
maka ia adalah seorang yang musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu
maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia
terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baharu -makhluk-"
(Diriwayatkan oleh al-Imam al-Qusyairi dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h. 6).
4. Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu'man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang
ulama salaf terkemuka, perintis madzhab Hanafi, berkata:
َูุงُููู
ุชَุนَุงูู ُูุฑَู ِูู ุงูุขุฎِุฑَุฉ، ََููุฑَุงُู ุงْูู
ُุคْู
َُِْููู َُููู
ْ ِูู ุงْูุฌَّูุฉِ
ุจِุฃุนُِْูู ุฑُุคُูุณِِูู
ْ ุจูุงَ ุชَุดْุจٍِْูู َููุงَ َูู
َِّّูุฉٍ َููุงَ َُُْูููู ุจََُْููู
َูุจََْูู ุฎَِِْููู ู
َุณَุงَูุฉ.
"Allah ta'ala di akhirat
kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga
dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya,
bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan
Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga,
tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri)"
(Lihat al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah dengan Syarahnya karya Mulla 'Ali
al-Qari, h. 136-137). Juga berkata:
ُْููุชُ:
ุฃุฑَุฃْูุชَ َْูู َِْููู ุฃَْูู ุงُููู؟ َُููุงُู َُูู: َูุงَู ุงُููู ุชَุนَุงَูู َููุงَ
ู
ََูุงَู َูุจَْู ุฃْู َูุฎَُْูู ุงْูุฎََْูู، ََููุงَู ุงُููู ุชَุนَุงَูู ََููู
ْ َُْููู ุฃْูู
َููุงَ ุฎٌَْูู َููุงَ ุดَูุกٌ، ََُููู ุฎَุงُِูู ُّูู ุดَูุกٍ.
"Aku katakan: Tahukah
engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa
permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada
tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu
apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu" (Lihat al-Fiqhul Absath karya
Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid
al-Kautsari, h. 20). Juga berkata:
َُِูููุฑّ
ุจِุฃّู ุงَููู ุณُุจْุญَุงَُูู َูุชَุนَุงَูู ุนََูู ุงูุนَุฑْุดِ ุงุณْุชََูู ู
ِْู ุบَْูุฑِ ุฃْู
ََُْูููู َُูู ุญَุงุฌَุฉٌ ุฅِْููู َูุงุณْุชِْูุฑَุงุฑٌ ุนََِْููู، ََُููู ุญَุงِูุธُ ุงูุนَุฑْุดِ
َูุบَْูุฑِ ุงูุนَุฑْุดِ ู
ِْู ุบَุจْุฑِ ุงุญْุชَِูุงุฌٍ، ََْููู َูุงَู ู
ُุญْุชَุงุฌًุง َูู
َุง َูุฏَุฑَ
ุนََูู ุฅْูุฌَุงุฏِ ุงูุนَุงَูู
ِ َูุชَุฏْุจِْูุฑِِู َูุงْูู
َุฎَُِْْููููู، ََْููู َูุงَู
ู
ُุญْุชَุงุฌًุง ุฅَูู ุงูุฌُُْููุณِ َูุงَููุฑَุงุฑِ ََููุจَْู ุฎَِْูู ุงูุนَุฑْุดِ ุฃَْูู َูุงَู
ุงููู، ุชَุนَุงَูู ุงُููู ุนَْู ุฐََِูู ุนُُّููุง َูุจِْูุฑًุง.
"Dan kita mengimani adanya
ayat "ar-Rahman 'Ala al-'Arsy Istawa" -sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an-
dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada ''arsy tersebut da tidak
bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara ''arsy dan
lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah membutuhkan kepada
sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan
berarti Dia seperti seluruh makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk
dan bertempat, lantas sebelum menciptakan makhluk-Nya -termasuk 'arsy- di
manakah Dia? Allah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung" (Lihat
al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad
Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah 'Ali al-Qari dalam
Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.).
Perkataan Imam Abu Hanifah
ini adalah ungkapan yang sangat jelas dalam bantahan terhadap pendapat kaum
Musyabbihah dan kaum Mujassimah, termasuk kelompok yang bernama Wahhabiyyah
sekarang; mereka yang mengaku sebagai kelompok salafi. Kita katakan kepada
mereka: Para ulama salaf telah sepakat mengatakan bahwa Allah ada tanpa tempat
dan tanpa arah. Salah satunya adalah Imam Abu Hanifah yang merupakan salah
seorang terkemuka di kalangan mereka. Beliau telah mendapatkan pelajaran dari
para ulama tabi'in, dan para ulama tabi'in tersebut telah mengambil pelajaran
dari para sahabat Rasulullah. Adapun ungkapan Imam Abu Hanifah yang menyebutkan
bahwa telah menjadi kafir seorang yang berkata "Aku tidak mengetahui Tuhanku,
apakah ia di langit atau di bumi!?", demikian pula beliau mengkafirkan orang
yang berkata: "Allah di atas 'arsy, dan aku tidak tahu arah 'arsy, apakah ia di
langit atau di bumi!?", hal ini karena kedua ungkapan tersebut menetapkan adanya
tempat dan arah bagi Allah. Karena itu Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang yang
mengatakan demikian. Karena setiap yang membutuhkan kepada tempat dan arah maka
berarti ia adalah pastilah sesuatu yanga baharu.
Maksud ungkapan Imam Abu
Hanifah tersebut bukan seperti yang disalahpahami oleh orang-orang Musyabbihah
bahwa Allah berada di atas langit atau di atas 'arsy. Justru sebaliknya, maksud
ungkapan beliau ialah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, sebagaimana
dalam ungkapan-ungkapan beliau sendiri yang telah kita tulis di atas. Maksud dua
ungkapan Imam Abu Hanifah di atas juga telah dijelaskan oleh Imam al-'Izz ibn
Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz. Beliau berkata: "-Imam Abu Hanifah
mengkafirkan orang mengatakan dua uangkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu
memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakinan
bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang kafir yang
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)" (Dikutip oleh Mulla 'Ali al-Qari dalam
Syarh al-Fiqh al Akbar, h. 198).
Pernyataan Imam al-'Izz ibn
'Abd as-Salam ini juga dikuatkan oleh as-Syekh Mulla 'Ali al-Qari. Ia berkata:
"Tanpa diragukan lagi bahwa al-Izz 'ibn 'Abdissalam adalah orang yang paling
paham terhadap maksud dari perkataan Imam Abu Hanifah tersebut. Karenanya kita
wajib membenarkan apa yang telah beliau nyatakan" (Lihat Mulla 'Ali al-Qari
dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 198). 5. Al-Imam al-Mujtahid Muhammad ibn Idris
as-Syafi'i (w 204 H), perintis madzhab Syafi'i, dalam salah satu kitab karyanya,
al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, menuliskan:
(ูุตู)
َูุงุนَْูู
ُْูุง ุฃّู ุงَููู ุชَุนَุงَูู ูุงَ ู
ََูุงَู َُูู، َูุงูุฏُِّْููู ุนََِْููู َُูู ุฃّู
ุงَููู ุชَุนَุงَูู َูุงَู َููุงَ ู
ََูุงَู َูุฎَََูู ุงْูู
ََูุงَู ََُููู ุนََูู ุตَِูุฉِ
ุงูุฃุฒَِّููุฉِ َูู
َุง َูุงَู َูุจَْู ุฎَِِْููู ุงْูู
ََูุงَู ูุงَ َูุฌُْูุฒُ ุนََِْููู
ุงูุชَّุบَُّูุฑُ ِูู ุฐَุงุชِِِู َููุงَ ุงูุชَّุจَุฏُُّู ِูู ุตَِูุงุชِِู، َููุฃّู ู
َْู َُูู
ู
ََูุงٌู ََُููู ุชَุญْุชٌ، َูู
َْู َُูู ุชَุญْุชٌ َُُْูููู ู
ُุชََูุงِูู ุงูุฐّุงุชِ
ู
َุญْุฏُْูุฏًุง، َูุงْูู
َุญْุฏُْูุฏُ ู
َุฎٌُْْููู، ุชَุนَุงَูู ุงُููู ุนَْู ุฐَِูู ุนُُّููุง
َูุจِْูุฑًุง، ِูููุฐَุง ุงْูู
َุนَْูู ุงุณْุชَุญَุงَู ุนَْููู ุงูุฒّْูุฌَุฉُ َูุงَูููุฏُ، ูุฃّู ุฐِูู
ูุงَ َูุชِู
ّ ุฅูุงّ ุจุงْูู
ُุจَุงุดَุฑَุฉِ ูุงูุงุชّุตَุงِู ูุงูุงِْููุตَุงู.
"Ketahuilah bahwa Allah
tidak bertempat. Argumentasi atas ini ialah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan
tanpa tempat. Maka setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang
azali sebelum Dia menciptakan tempat; yaitu ada tanpa temapt. Tidak boleh pada
hak Allah adanya perubahan, baik perubahan pada Dzat-Nya maupun pad
asifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki
arah bawah. Dan bila demikian maka ia pasti memiliki bentuk tubuh dan batasan.
Dan sesuatu yang memiliki batasan pasti sebagai makhluk, dan Allah maha suci
dari pada itu semua. Karena itu mustahil pada haknya terdapat istri dan anak.
Sebab hal semacam itu tidak akan terjadi kecuali dengan adanya sentuhan,
menempel dan terpisah. Allah mustahil pada-Nya sifat terbagi-bagi dan
terpisah-pisah. Tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan
berpisah. Oleh sebab itu adanya istilah suami, astri dan anak pada hak Allah
adalah sesuatu yang mustahil" (Lihat al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar,
h. 13). Pada bagian lain dalam kitab yang sama dalam pembahasan firman Allah QS.
Thaha: 5, al-Imam as-Syafi'i menuliskan sebagai berikut:
َูุฅْู
ِْููู: ุฃْููุณَ َูุฏْ َูุงَู ุงُููู ุชَุนَุงَูู (ุงูุฑّุญْู
ُู ุนََูู ุงูุนَุฑْุดِ ุงุณْุชََูู)،
َُููุงู: ุฅّู ูุฐِِู ุงูุขَูุฉ ู
َِู ุงْูู
ُุชَุดَุงุจَِูุงุชِ، َูุงّูุฐِْู َูุฎْุชَุงุฑُ ู
َِู
ุงْูุฌََูุงุจِ ุนََْููุง َูุนَْู ุฃู
ْุซَุงَِููุง ِูู
َْู ูุงَ ُูุฑِْูุฏُ ุงูุชّุจَุญُّุฑ ِูู
ุงูุนِْูู
ِ ุฃْู ُูู
ِุฑَّ ุจَِูุง َูู
َุง ุฌَุงุกَุชْ َููุงَ َูุจْุญَุซُ ุนََْููุง َููุงَ َูุชََّููู
ُ
َْูููุง ูุฃُّูู ูุงَ َูุฃู
َُู ู
َِู ุงُُْููููุนِ ِูู َูุฑَุทَุฉِ ุงูุชّุดْุจِِْูู ุฅุฐَุง َูู
ْ
َُْููู ุฑَุงุณِุฎًุง ِูู ุงูุนِْูู
ِ، ََููุฌِุจُ ุฃْู َูุนْุชَِูุฏَ ِูู ุตَِูุงุชِ ุงูุจَุงุฑِู
ุชَุนَุงَูู ู
َุงุฐََูุฑَْูุงُู، َูุฃُّูู ูุงَ َูุญِْْููู ู
ََูุงٌู َููุงَ َูุฌْุฑِู ุนَِْููู
ุฒَู
َุงٌู، ู
َُูุฒٌَّู ุนَِู ุงูุญُุฏُْูุฏِ َูุงَّูููุงَูุงุชِ، ู
ُุณْุชَุบٍْู ุนَِู ุงْูู
ََูุงِู
َูุงْูุฌَِูุงุชِ، ََููุชَุฎََّูุตُ ู
ِู َุงูู
ََูุงِِูู َูุงูุดُّุจَُูุงุชِ.
"Jika dikatakan bukankah
Allah telah berfirman: "ar-Rahman 'Ala al-'Arsy Istawa"? Jawab: Ayat ini
termasuk ayat mutasyabihat. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat
yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki kompetensi
dalam bidang ini agar supaya mngimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya
atau membicarakannya. Sebab seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam hal ini
ia tidak akan aman, ia akan jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang
semacam ini, juga seluruh orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang
telah kita sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku
atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk dan
segala penghabisan. Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah. Dengan
demikian orang ini menjadi selamat danri kehancuran dan kesesatan" (al-Kaukab
al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13). 6. Al-Imam al-Mujtahid Abu 'Abdillah
Ahmad ibn Hanbal (w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang
agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau
adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih. Dalam pada ini as-Syaikh Ibn
Hajar al-Haitami menuliskan:
َูู
َุง
ุงุดْุชُِูุฑَ ุจََْูู ุฌَََููุฉِ ุงْูู
َْูุณُْูุจَِْูู ุฅَูู ูุฐَุง ุงูุฅู
َุงู
ِ ุงูุฃุนْุธَู
ِ
ุงْูู
ُุฌْุชَِูุฏِ ู
ِْู ุฃُّูู َูุงุฆٌِู ุจِุดَูุกٍ ู
َِู ุงْูุฌَِูุฉِ ุฃْู َูุญَِْููุง ََููุฐِุจٌ
َูุจُْูุชَุงٌู َูุงْูุชِุฑَุงุกٌ ุนََِْููู.
"Apa yang tersebar di
kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa
beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal
tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya" (Lihat Ibn
Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144) 7. Imam Bukhari Aqidah
Rasulullah, para sahabatnya, para ulama salaf saleh, dan aqidah mayoritas umat
Islam; Ahlussunnah Wal Jama'ah ialah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa
arah. Kita akan banyak menemukan pernyataan para ulama terkemuka dari generasi
ke generasi dalam menetapkan keyakinan suci ini. Keyakinan bahwa Allah ada tanpa
tempat dan arah juga merupakan keyakinan Syaikhul Muhadditsin al-Imam Abu
'Abdillah Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari (w 256 H), penulis kitab yang sangat
mashur; Shahih al-Bukhari. Para ulama yang datang sesudah beliau yang menuliskan
syarh bagi kitabnya tersebut menyebutkan bahwa al-Imam al-Bukhari adalah seorang
ahli Tauhid, beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Salah seorang penulis
Syarh Shahih al-Bukhari, as-Syekh 'Ali ibn Khalaf al-Maliki yang dikenal dengan
Ibn Baththal (w 449 H) menuliskan sebagai berikut
:
ุบَุฑْุถُ ุงูุจُุฎَุงุฑِّู ِูู ูุฐَุง ุงูุจَุงุจ ุงูุฑّุฏُّ ุนََูู ุงْูุฌَْูู
ِّูุฉِ ุงْูู
ُุฌَุณِّู
َุฉِ
ِูู ุชَุนََُِّูููุง ุจِูุฐِู ุงูุธَّูุงِูุฑ، ََููุฏْ ุชََูุฑّุฑَ ุฃّู ุงَููู َْููุณِ ุจِุฌِุณْู
ٍ
َููุงَ َูุญْุชَุงุฌُ ุฅَูู ู
ََูุงٍู َูุณْุชَِูุฑّ ِِْููู، ََููุฏْ َูุงَู َููุงَ ู
ََูุงู،
ุฅّูู
َุง ุฃุถَุงَู ุงูู
َุนَุงุฑِุฌَ ุฅَْููู ุฅุถَุงَูุฉُ ุชَุดْุฑٍِูู، َูู
َุนَْูู ุงูุงุฑْุชَูุงุนِ
ุฅَِْููู ุงุนْุชِูุงุคُู، ุฃู ุชَุนَุงِِْููู، ู
َุนَ ุชَْูุฒِِِْููู ุนَِู ุงْูู
ََูุงِู.
"Tujuan al-Bukhari dalam
membuat bab ini adalah untuk membantah kaum Jahmiyyah Mujassimah, di mana kaum
tersebut adalah kaum yang hanya berpegang teguh kepada zhahir-zhahir nash.
Padahal telah ditetapkan bahwa Allah bukan benda, Dia tidak membutuhkan kepada
tempat dan arah. Dia Ada tanpa permulaan, tanpa arah dan tanpa tempat. Adapun
penisbatan "al-Ma'arij" adalah penisbatan dalam makna pemuliaan (bukan dalam
pengertian Allah di arah atas). Juga makna "al-Irtifa'" adalah dalam makna bahwa
Allah maha suci, Dia maha suci dari tempat" (Fath al-Bari, j. 13, h. 416).
Pernyataan Ibn Bathal ini dikutip oleh al-hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam
Fath al-Bari dan disepakatinya. Dengan demikian berarti keyakinan Allah ada
tanpa tempat adalah merupakkan keyakinan para ahli hadits secara keseluruhan. 8.
Imam Al-Ghozali Al-Imรขm Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H),
nama yang sangat akrab dengan kita, seorang teolog, sufi besar, seorang yang
ahli dalam banyak disiplin ilmu. Dalam kitab karyanya yang sangat agung; Ihya'
Ulumiddin, pada jilid pertama menuliskan bab khusus tentang penjelasan akidah
mayoritas umat Islam; akidah Ahlussunnah, yaitu pada bagian Qawa'id al-Aqa'id. .
Di antara yang beliau tulis adalah sebagai berikut:
ุชุนุงูู
(ุฃู ุงููู) ุนู ุฃู ูุญููู ู
ูุงู ูู
ุง ุชูุฏุณ ุนู ุฃู ูุญุฏู ุฒู
ุงู، ุจู ูุงู ูุจู ุฃู ุฎูู ุงูุฒู
ุงู
ูุงูู
ูุงู ููู ุงูุขู ุนูู ู
ุง ุนููู ูุงู (ุฅุญูุงุก ุนููู
ุงูุฏูู، ูุชุงุจ ููุงุนุฏ ุงูุนูุงุฆุฏ، ุงููุตู
ุงูุฃูู ุฌ.1 ุต. 108)
"Allah Maha suci dari
diliputi oleh tempat, sebagaimana Dia maha suci untuk dibatasi oleh waktu dan
zaman. Dia ada tanpa permulaan, tanpa tempat, dan tanpa zaman, dan Dia sekarang
(setelah menciptakan tempat dan arah) ada seperti sediakala tanpa tempat dan dan
tanpa arah" (Ihya' 'Ulumiddin, j. 1, h. 108). Pada bagian lain dari kitab
tersebut al-Imรขm al-Ghazali menuliskan: "Pokok ke empat; Adalah mengetahui bahwa
Allah bukan benda yang memiliki tempat. Dia maha suci dari dibatasi oleh tempat.
Arguman atas ini adalah bahwa setiap benda itu pasti memiliki tempat, dengan
demikian ia membutuhkan kepada yang mengkhususkannya dalam tempat tersebut. Juga
sesuatu yang bertempat itu tidak lepas dari dua keadaan; menetap pada tempatnya
tersebut atau bergerak pindah dari satu tempat ke tempat alinnya. Dan kedua
sifat ini jelas merupakan sifat-sifat dari sesuatu yang baharu. Dan sesuatu yang
tidak lepas dari kebaharuan maka berarti sesuatu tersebut adalah sesuatu yang
baharu" (Ihya' 'Ulumiddin, j. 1, h. 127).
Masih dalam kitab Ihya'
al-Imรขm al-Ghazali juga menuliskan:
ุงูุฃุตู
ุงูุณุงุจุน: ุงูุนูู
ุจุฃู ุงููู ุชุนุงูู ู
ููุฒู ุงูุฐุงุช ุนู ุงูุฅุฎุชุตุงุต ุจุงูุฌูุงุช، ูุฅู ุงูุฌูุฉ ุฅู
ุง ููู
ูุฅู
ุง ุฃุณูู ูุฅู
ุง ูู
ูู ูุฅู
ุง ุดู
ุงู ุฃู ูุฏุงู
ุฃู ุฎูู، ููุฐู ุงูุฌูุงุช ูู ุงูุฐู ุฎูููุง ูุฃุญุฏุซูุง
ุจูุงุณุทุฉ ุฎูู ุงูุฅูุณุงู ุฅุฐ ุฎูู ูู ุทุฑููู ุฃุญุฏูู
ุง ูุนุชู
ุฏ ุนูู ุงูุฃุฑุถ ููุณู
ู ุฑุฌูุง، ูุงูุขุฎุฑ
ููุงุจูู ูุณู
ู ุฑุฃุณุง، ูุญุฏุซ ุงุณู
ุงูููู ูู
ุง ููู ุฌูุฉ ุงูุฑุฃุณ ูุงุณู
ุงูุณูู ูู
ุง ููู ุฌูุฉ ุงูุฑุฌู،
ุญุชู ุฅู ุงููู
ูุฉ ุงูุชู ุชุฏุจ ู
ููุณุฉ ุชุญุช ุงูุณูู ุชูููุจ ุฌูุฉ ุงูููู ูู ุญููุง ุชุญุชุง ูุฅู ูุงู ูู
ุญููุง ูููุง.ูุฎูู ููุฅูุณุงู ูุฏูู ูุฅุญุฏุงูู
ุง ุฃููู ู
ู ุงูุฃุฎุฑู ูู ุงูุบุงูุจ ูุญุฏุซ ุงุณู
ุงููู
ูู
ููุฃููู ูุงุณู
ุงูุดู
ุงู ูู
ุง ููุงุจูู، ูุชุณู
ู ุงูุฌูุฉ ุงูุชู ุชูู ุงููู
ูู ูู
ููุง ูุงูุฃุฎุฑู ุดู
ุงูุง،
ูุฎูู ูู ุฌุงูุจูู ูุจุตุฑ ู
ู ุฃุญุฏูู
ุง ููุชุญุฑู ุฅููู ูุญุฏุซ ุงุณู
ุงููุฏุงู
ููุฌูุฉ ุงูุชู ูุชูุฏู
ุฅูููุง
ุจุงูุญุฑูุฉ ูุงุณู
ุงูุฎูู ูู
ุง ููุงุจููุง. (ุฅุญูุงุก ุนููู
ุงูุฏูู، ุฌ.1، ุต. 128)
"Pokok ke tujuh; adalah
berkeyakinan bahwa Dzat Allah suci dari bertempat pada suatu arah. Karena arah
tidak lepas dari salah satu yang enam; atas, bawah, kanan, kiri, depan dan
belakang. Arah-arah tersebut diciptakan oleh Allah denga jalan penciptaan
manusia. Allah menciptakan manusia dengan dua bagian; bagian yang megarah ke
bumi yaitu bagian kakinya, dan bagian yang berlawanan dengannya yaitu bagian
kepalanya. Dengan adanya pembagian ini maka terjadilah arah, bagian ke arah
kakinya disebut bawah dan bagian ke arah kepalanya disebut atas. Demikian pula
seekor semut yang merayap terbalik di atas langit-langit rumah, walaupun dlaam
pandangan kita tubuhnya terbalik, namun baginya arah atasnya adalah bagian yang
ke arah kepalanya dan bagian bawahnya adalah adalah bagian yang ke arah
bawahnya. Pada manusia kemudian Allah menciptakan dua tangan, yang pada umumnya
salah satunya memiliki kekuatan lebih atas lainnya. Maka terjadilah penamaan
bagi tangan yang memiliki kekuatan lebih sebagai tangan kanan. Sementara tangan
bagian lainnya yang yang berlawanan dengannya disebut dengan tangan kiri. Juga
Allah menciptakan bagi manusia tersebut dua bagian bagi arah badanya; bagian
yang ia lihat dan ia tuju dengan bergerak kepadanya, dan bagian yang berada pada
sebaliknya. Bagian yang pertama disebut arah depan semantara yang bagian
sebaliknya disebut dengan arah belakang" (Ihya 'Ulumiddin, j. 1, h. 128).
Kemudian al-Imรขm al-Ghazali
menuliskan:
ูููู
ูุงู ูู ุงูุฃุฒู ู
ุฎุชุตุง ุจุฌูุฉ ูุงูุฌูุฉ ุญุงุฏุซุฉ؟ ุฃู ููู ุตุงุฑ ู
ุฎุชุตุง ุจุฌูุฉ ุจุนุฏ ุฃู ูู
ููู ูู؟
ุฃุจุฃู ุฎูู ุงูุนุงูู
ูููู ููุชุนุงูู ุนู ุฃู ูููู ูู ููู ุฅุฐ ุชุนุงูู ุฃู ูููู ูู ุฑุฃุณ، ูุงูููู
ุนุจุงุฑุฉ ุนู
ุง ูููู ุฌูุฉ ุงูุฑุฃุณ، ุฃู ุฎูู ุงูุนุงูู
ุชุญุชู ูุชุนุงูู ุนู ุฃู ูููู ูู ุชุญุช ุฅุฐ ุชุนุงูู
ุนู ุฃู ูููู ูู ุฑุฌู ูุงูุชุญุช ุนุจุงุฑุฉ ุนู
ุง ููู ุฌูุฉ ุงูุฑุฌู، ููู ุฐูู ู
ู
ุง ูุณุชุญูู ูู ุงูุนูู
(ุฅุญูุงุก ุนููู
ุงูุฏูู، ุฌ.1، ุต. 128)
"Dengan demikian bagaimana
mungkin Allah Yang ada tanpa permulaan (azaly) memiliki tempat dan arah,
sementara tempat dan arah itu sendiri baharu?! Bagaimana mungkin Allah yang ada
tanpa permulaan dan tanpa tempat lalu kemudian berubah menjadi berada pada
tempat tersebut?! Apakah Allah menciptakan alam yang alam tersebut berada di
arah atas-ya?! Sesesungguhnya Allah maha suci dari dikatakan "arah atas"
bagi-Nya. Karena bila dikatakan "arah atas" bagi Allah maka berarti Dia memiliki
kepala. Karena sesungguhnya penyebutan "arah atas" hanya berlaku bagi sesuatu
yang memiliki kepala. Demikian pula Allah maha suci dari dikatakan "arah bawah"
bagi-Nya. Karena bila dikatakan arah bawah bagi Allah maka berarti Dia memiliki
kaki. Karena sesungguhnya penyebutan arah bawah hanya berlaku bagi sesuatu yang
memiliki kaki. Hal itu semua secara akal adalah sesuatu yang mustahil atas
Allah" (Ihya' 'Ulumiddin, j. 1, h. 128). Dalam kitab al-Arba'in fi Ushuliddin,
al-Imam al-Ghazali menuliskan:
ูุฃูู
ูุง ูุญู ูู ุดูุก ููุง ูุญู ููู ุดูุก، ุชุนุงูู ุนู ุฃู ูุญููู ู
ูุงู ูู
ุง ุชูุฏุณ ุนู ุฃู ูุญุฏู ุฒู
ุงู،
ุจู ูุงู ูุจู ุฃู ุฎูู ุงูุฒู
ุงู ูุงูู
ูุงู ููู ุงูุขู ุนูู ู
ุง ุนููู ูุงู (ุงูุฃุฑุจุนูู ูู ุฃุตูู
ุงูุฏูู، ุต 8)
"... dan bahwa Allah tidak
bertempat di dalam sesuatu, dan tidak ada sesuatu apapun yang bertempat
pada-Nya. Allah maha suci dari diliputi oleh tempat, sebagaimana Dia maha suci
dari dibatasi oleh waktu/zaman. Dia Allah ada sebelum terciptanya waktu dan
tempat, dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat dan waktu) ada sebagaimana
pada sifat-Nya azaly; tanpa tempat dan tidak terikat oleh waktu". (al-Arba'in Fi
Ushuliddin, h. 8)
KESIMPULAN :
Akidah Rasulullah, para
sahabat, dan kaum Salaf saleh, serta keyakinan mayoritas umat Islam; Ahlussunnah
Wal Jama'ah ialah "ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH". Sangat tidak masuk
akal, atau tepatnya kita katakan "tidak berakal", bila ada orang yang
berkeyakinan bahwa Allah berada di langit atau di di arsy, seperti keyakinan
orang-orang Wahhabiyah di masa sekarang. Bagaimana mereka berkeyakinan Allah
berada di langit?! Juga berkeyakinan Allah berada di arsy?! Di dua tempat
heh..?! Padahal mereka yakin bahwa langit dan arsy adalah makhluk Allah. Itu
artinya dalam keyakinan mereka Allah bertempat pada makhluk-Nya sendiri. A'udzu
Billah al-'Alyy al-'Azhim.
9. AL-IMAM FAKHR AR-RAZI •
Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imam al-Fakhr ar-Razi ( w 606 H) dalam kitab
tafsirnya menuliskan sebagai berikut: "Jika keagungan Allah disebabkan dengan
tempat atau arah atas maka tentunya tempat dan arah atas tersebut menjadi sifat
bagi Dzat-Nya. Kemudian itu berarti bahwa keagungan Allah terhasilkan dari
sesuatu yang lain; yaitu tempat. Dan jika demikian berarti arah atas lebih
sempurna dan lebih agung dari pada Allah sendiri, karena Allah mengambil
kemuliaan dari arah tersebut. Dan ini berarti Allah tidak memiliki kesempurnaan
sementara selain Allah memiliki kesempurnaan. Tentu saja ini adalah suatu yang
mustahil" .
10. AL-IMAM AZ-ZABIDI •
Al-Hafizh al-Muhaddits al-Imam as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi al-Hanafi
(w 1205 H) dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin menjelaskan panjang lebar
perkataan al-Imam al-Ghazali bahwa Allah mustahil bertempat atau bersemayam di
atas arsy. Dalam kitab Ihya' 'Ulum ad-Din, al-Imam al-Ghazali menuliskan sebagai
berikut: "al-Istiwa' jika diartikan dengan makna bertempat atau bersemayam maka
hal ini mengharuskan bahwa yang berada di atas arsy tersebut adalah benda yang
menempel. Benda tersebut bisa jadi lebih besar atau bisa jadi lebih kecil dari
arsy itu sendiri. Dan ini adalah sesuatu yang mustahil atas Allah".Dalam
penjelasannya al-Imam az-Zabidi menuliskan sebagai berikut: "Penjabarannya ialah
bahwa jika Allah berada pada suatu tempat atau menempel pada suatu tempat maka
berarti Allah sama besar dengan tempat tersebut, atau lebih besar darinya atau
bisa jadi lebih kecil.
Jika Allah sama besar
dengan tempat tersebut maka berarti Dia membentuk sesuai bentuk tempat itu
sendiri. Jika tempat itu segi empat maka Dia juga segi empat. Jika tempat itu
segi tiga maka Dia juga segi tiga. Ini jelas sesuatu yang mustahil. Kemudian
jika Allah lebih besar dari arsy maka berarti sebagian-Nya di atas arsy dan
sebagian yang lainnya tidak berada di atas arsy. Ini berarti memberikan paham
bahwa Allah memiliki bagian-bagian yang satu sama lainnya saling tersusun.
Kemudian kalau arsy lebih besar dari Allah berarti sama saja mengatakan bahwa
besar-Nya hanya seperempat arsy, atau seperlima arsy dan seterusnya. Kemudian
jika Allah lebih kecil dari arsy, -seberapapun ukuran lebih kecilnya-, itu
berarti mengharuskan akan adanya ukuran dan batasan bagi Allah. Tentu ini adalah
kekufuran dan kesesatan. Seandainya Allah -Yang Azali- ada pada tempat yang juga
azali maka berarti tidak akan dapat dibedakan antara keduanya, kecuali jika
dikatakan bahwa Allah ada terkemudian setelah tempat itu. Dan ini jelas sesat
karena berarti bahwa Allah itu baharu, karena ada setelah tempat. Kemudian jika
dikatakan bahwa Allah bertempat dan menempel di atas arsy maka berarti boleh
pula dikatakan bahwa Allah dapat terpisah dan menjauh atau meningalkan arsy itu
sendiri.
Padahal sesuatu yang
menempel dan terpisah pastilah sesuatu yang baharu. Bukankah kita mengetahui
bahwa setiap komponen dari alam ini sebagai sesuatu yang baharu karena semua itu
memiliki sifat menempel dan terpisah?! Hanya orang-orang bodoh dan berpemahaman
pendek saja yang berkata: Bagaimana mungkin sesuatu yang ada tidak memiliki
tempat dan arah? Karena pernyataan semacam itu benar-benar tidak timbul kecuali
dari seorang ahli bid'ah -yang menyerupakan Allah denganmakhluk-Nya-.
Sesungguhnya yang menciptakan sifat-sifat benda (kayf) mustahil Dia disifati
dengan sifat-sifat benda itu sendiri. -Artinya Dia tidak boleh dikatakan
"bagaimana (kayf)" karena "bagaimana (kayf)" adalah sifat benda. Di antara
bantahan yang dapat membungkam mereka, katakan kepada mereka: Sebelum Allah
menciptakan alam ini dan menciptakan tempat apakah Dia ada atau tidak ada? Tentu
mereka akan menjawab: Ada. Kemudian katakan kepada mereka: Jika demikian atas
dasar keyakinan kalian -bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tempat- terdapat
dua kemungkinan kesimpulan. Pertama; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa tempat,
arsy dan seluruh alam ini qadim; ada tanpa permulaan -seperti Allah-. Atau
kesimpulan kedua; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa Allah itu baharu -seperti
makhluk-. Dan jelas keduanya adalah kesesatan, ini tidak lain hanya merupakan
pendapat orang-orang bodoh dari kaum Hasyawiyyah.
Sesungguhnya Yang Maha
Qadim (Allah) itu jelas bukan makhluk. Dan sesuatu yang baharu (makhluk) jelas
bukan yang Maha Qadim (Allah). Kita berlindung kepada Allah dari keyakinan yang
rusak" . Masih dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, al-Imam Murtadla
az-Zabidi juga menuliskan sebagai berikut: "Peringatan: Keyakinan bahwa Allah
ada tanpa tempat dan tanpa arah adalah akidah yang telah disepakati di kalangan
Ahlussunnah. Tidak ada perselisihan antara seorang ahli hadits dengan ahli fiqih
atau dengan lainnya. Dan di dalam syari'at sama sekali tidak ada seorang nabi
sekalipun yang menyebutkan secara jelas adanya arah bagi Allah. Arah dalam
pengertian yang sudah kita jelaskan, secara lafazh maupun secara makna,
benar-benar dinafikan dari Allah. Bagaimana tidak, padahal Allah telah
berfirman: "Dia Allah tidak menyerupai sesuatu apapun" (QS. as-Syura: 11).
Karena jika Dia berada pada suatu tempat maka akan ada banyak yang serupa
dengan-Nya" . Jangan pernah anda berkeyakinan Allah memiliki tempat, karena
tampat adalah makhluk Allah, dan Allah tidak diliputi oleh makhluk-Nya
sendiri.Wallohu a'lam. [ Imron
Rosyadi
]