Oleh Timur
Lenk
Firman Allah:
لِما
خَلقتُ بيَديّ (ص: 75) / يَدُ الله فَوقَ أيْديْهمْ (الفتح: 10)، بَلْ يَدَاهُ
مَبْسُوْطَتَان (المائدة: 64)، بيَدهِ مَلكُوْتُ كُلّ شَىء (يس: 83)، بيَدِكَ
الْخَيْر (ءال عمران: 26)، وَالسّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بأيْد (الذاريات: 47)
[Ayat-ayat ini tidak boleh
dipahami dalam makna zahirnya yang mengatakan seakan bahwa Allah memiliki
anggota badan; tangan. Makna zahir ayat-ayat ini seakan mengatakan bahwa Allah
memiliki satu tangan, dua tangan, dan atau tangan yang sangat banyak].
Kata al-yad ”اليد” dalam
bahasa Arab memiliki makna yang sangat banyak, di antaranya dalam makna
an-Ni’mah wa al-Ihsân ”النعمة والإحسان”, artinya; ”Karunia (nikmat) dan
kebaikan”. Adapun makna perkataan orang-orang Yahudi dalam firman Allah:
Yadullâh Maghlûlah ”يد الله مغلولة” adalah dalam makna Mahbûsah ’An an-Nafaqah
”محبوسة عن النفقة”, artinya menurut orang-orang Yahudi Allah tidak memberikan
karunia dan nikmat, [bukan arti ayat tersebut bahwa Allah memiliki tangan yang
terbelenggu].
Makna lainnya, kata al-yad
dalam pengertian ”al-Quwwah”, ”القوة” ; artinya ”Kekuatan atau kekuasaan”.
Orang-orang Arab biasa berkata: ”Lahû Bi Hadzâ al-Amr Yad”, ”له بهذا الأمر يد”,
artinya: ”Orang itu memiliki kekuatan (kekuasaan) dalam urusan ini”. Firman
Allah: ”بل يداه مبسوطتان”; yang dimaksud adalah dalam pengertian ini, artinya
bahwa nikmat dan kekuasaan Allah sangat luas [bukan artinya bahwa Allah memiliki
dua tangan yang sangat lebar].
Demikian pula firman Allah
tentang penciptaan Nabi Adam: ”لما خلقت بيدي”; juga dalam pengertian bahwa Allah
menciptakan Nabi Adam dengan kekuasaan-Nya dan dengan karunia dari-Nya. Kemudian
pula diriwayatkan dari Imam al-Hasan dalam tafsir firman Allah: ”يد الله فوق
أيديهم”; beliau berkata: ”Kata ”يد” di sini yang dimaksud adalah karunia dan
nikmat Allah”. Inilah penafsiran-panafsiran dari para ulama Ahli Tahqîq.
Sementara al-Qâdlî Abu
Ya’la [1] berkata: ”اليدان adalah bagian dari sifat Dzat Allah”. [Artinya ia
menetapkan bahwa Dzat Allah memiliki anggota-anggota badan yang memiliki
bagian-bagian]. Na’ûdzu billâh.
Apa yang diungkapkan oleh
Abu Ya’la ini adalah pendapat sesat yang sama sekali tidak memiliki argumen dan
hanya didasarkan kepada hawa nafsu belaka. Dalam alasannya yang sangat lemah dia
berkata: ”Sendainya Nabi Adam tidak memiliki keistimewaan tentu Allah tidak akan
mengungkapkan dengan kata ”اليد” dalam penciptaannya. Allah mengungkapkan dengan
kata ”Bi Yadayya” ”بيَدَيّ”; jika ini diartikan dalam makna kekuatan atau
kekuasaan maka berarti Nabi Adam tidak memiliki keistimewaan dibanding makhluk
hidup lainnya; oleh karena semua makhluk diciptakan dengan kekuatan dan
kekuasaan Allah, dan tentunya tidak akan diungkapkan dalam redaksi ”mutsannâ”
(bentuk kata untuk menunjukan dua)”. [Dengan argumen ini Abu Ya’la hendak
menetapkan bahwa Allah memiliki dua tangan].
Kita jawab kesesatan Abu
Ya’la ini: ”Tidak demikian wahai Abu Ya’la. Dalam bahasa Arab bentuk kata
mutsannâ biasa dipakai untuk mengungkapkan kekuatan dan kekuasaan, seperti bila
dikatakan: ”ليس لي بهذا الأمر يدان”; artinya ”Saya tidak memiliki kekuatan untuk
mengurus perkara ini”. Dalam sebuah bait sya’ir, Urwah bin Hizam berkata:
فَقَالا
شفَاك اللهُ والله مَا لنَا بِما ضمّت منكَ االضّلوعُ يدَان
[Artinya: ”Mereka berdua
berkata: ”Semoga Allah memudahkannya bagimu, karena demi Allah kami tidak
memiliki kekuatan (kekuasaan) untuk memudahkan segala kesulitan yang tengah
menimpamu”].
Adapun perkataan kaum
Musyabbihah bahwa penggunaan kata ”اليدان” [dalam bentuk mutsannâ] dalam
penciptaan Nabi Adam yang langsung disandarkan kepada Allah [yaitu menjadi ”Bi
Yadayya” ”بيديّ”] adalah untuk mengungkapkan keistimewaan, artinya bahwa
penciptaan Nabi Adam ini berbeda dengan penciptaan Allah terhadap
binatang-binatang yang lain; kita jawab kesesatan mereka ini bahwa dalam
al-Qur’an Allah berfirman:
أنّا
خَلَقْنَا لَهُمْ مِمّا عَمِلَتْ أيْدِيْنَا أنْعَامًا (يس: 71)
Dalam ayat ini dipakai kata
”أيدينا” [bentuk jamak] yang langsung disandarkan kepada Allah. Ayat ini tidak
untuk menunjukan bahwa binatang-binatang ternak memiliki keistimewaan di atas
seluruh binatang lainnya hanya karena redaksi penciptaannya dengan kata ”أيدينا”
yang langsung disandarkan kepada Allah. [Apakah hanya dengan alasan bahwa
penciptaan Nabi Adam dan binatang-binatang ternak disandarkan langsung kepada
Allah lalu kemudian keduanya memiliki keistimewaan yang sama.Kemudian dari pada
itu, Allah berfirman:
وَالسّمَاءَ
بَنيْنَاهَا بأيْد (الذاريات: 47)
[Dalam ayat ini
dipergunakan kata ”أيدٍ”; bentuk jamak dari ”يد”. Ayat ini tidak boleh dipahami
makna zahirnya yang mengatakan seakan Allah memiliki anggota badan; tangan yang
sangat banyak].
Makna “أيدٍ” dalam ayat ini
adalah “القوّة”, artinya “kekuatan”, dengan demikian makna ayat tersebut: ”Dan
langit telah Kami (Allah) membangunnya (menciptakannya) dengan kekuatan”. [Dalam
ayat ini disebutkan penciptaan langit dengan kata “بنيناها بأيد” yang
disandarkan langsung kepada Allah; ini tidak serta-merta bahwa langit memiliki
keistimewaan yang sama dengan Nabi Adam. Dengan demikian menjadi jelas bahwa
redaksi ”بيَدَيّ” (bentuk mutsannâ) dalam penciptaan Nabi Adam bukan untuk
menetapkan bahwa Allah memiliki dua tangan].
Adapun tentang penciptaan
Nabi Adam yang diungkapkan dengan redaksi; ”نفخ فيه من روحه”; adalah untuk
tujuan pemuliaan [artinya penyandaran secara langsung kepada Allah di sini
disebut dengan Idlâfah at-Tasyrîf; bahwa penciptaan Nabi Adam sangat dimuliakan
oleh Allah], ini berbeda dengan penciptaan makhluk lainnya yang diungkapkan
dengan “al-Fi’l wa at-Takwîn”, “الفعل والتكوين” [artinya disebutkan dengan
proses penciptaan; tanpa langsung disandarkan kepada Allah].
Firman Allah tentang
penciptaan Nabi Adam ini (QS. Shad: 75) harus dipahami demikian, tidak boleh
dipahami bahwa Allah memiliki anggota badan; memiliki dua anggota tangan, karena
pemahaman seperti ini jelas tidak sesuai bagi keagungan Allah. Sesungguhnya
Allah dalam perbuatan-Nya tidak membutuhkan kepada peralatan-peralatan, dan
tidak membutuhkan kepada anggota-anggota badan; Allah maha suci dari itu semua.
Sangat tidak layak bagi kita untuk mencari-cari pemahaman tentang kemuliaan
penciptaan Nabi Adam lalu kita melalaikan kesucian Allah dengan menetapkan
anggota tangan bagi-Nya, padahal Allah maha suci dari bagian-bagian dan maha
suci dari alat-alat (anggota-anggota badan) dalam segala perbuatan-Nya, karena
sifat-sifat yang demikian itu adalah sifat-sifat benda
Yang sangat parah dan
mengherankan salah satu dari tiga orang pemuka akidah tasybîh yang kita sebutkan
di atas berkeyakinan bahwa Allah besentuhan; dengan dasar akidah sesat ini ia
mengatakan bahwa Allah dengan tangan-Nya menyentuh tanah yang merupakan bahan
bagi penciptaan Nabi Adam. Lalu orang ini mengatakan bahwa tangan-Nya tersebut
adalah bagian dari Dzat-Nya. Na’ûdzu billâh. Siapapun yang berakidah tasybîh
semacam ini jelas berkeyakinan bahwa Allah sebagai benda (jism); dan itu artinya
--dengan dasar keyakinan buruk seperti ini-- bahwa Allah menyatu (bersentuhan)
dengan tanah yang merupakan bahan bagi penciptaan Nabi Adam, dan setelah
bersentuhan dengan tanah lalu Allah mulai menciptakan Nabi Adam; adakah dapat
diterima akal sehat pemahaman semacam ini padahal jelas merupakan perkara
indrawi?! Adakah dalam keyakinan mereka bahwa Allah memiliki jarak; artinya jauh
dari tanah tersebut, dan lalu Allah butuh untuk mendekat kepadanya?! Na’ûdzu
billâh. Allah sendiri telah membantah orang yang berkeyakinan proses penciptaan
Nabi Adam semacam ini dengan firman-Nya:
إنّ
مثَل عيْسَى عنْد الله كمَثَل ءادَم خَلقَه منْ تُرَاب ثُمّ قالَ لَه كُنْ فَيكُوْن
(ءال عمران: 59)
[Maknanya: “Sesungguhnya
perumpamaan Nabi Isa bagi Allah sebagaimana Nabi Adam; Dia (Allah) menciptakan
Nabi Adam dari tanah kemudian mengatakan bagi tanah: “Jadilah”[1], maka
terjadilah”. (QS. Ali Imran: 59]
Kata “kun” secara literal
berarti; “Jadilah”; bukan artinya Allah berkata-kata dengan huruf-huruf, suara,
dan bahasa. Tetapi kata “kun” adalah untuk mengungkapkan bahwa segala apa yang
dikehendaki oleh Allah pasti terjadi dengan cepat dan tanpa ada siapapun yang
dapat menghalangi-Nya..
---------------
[1] Abu Ya'la yang tersebut
di atas adalah abu ya'la al-mujassim bukan abu ya'la ahli hadits ahlus
sunnah.