PERTANYAAN
:
Assalammua'alaikum,
sepengetahuan saya penambahan nama suami dibelakang nama istri itu tidak
diperbolehkan? tetapi mengapa masih banyak saudara muslim yang melakukannya ?
Seperti: nama suami Ari Rahman, sehingga nama istri menjadi Yana rahman. Apa Ada
hadist, atau dalil yang melarangnya ? Jazakallahu Khairon. [Acris
Vienistra Daisy].
JAWABAN
:
Wa'alaikum salam, tidak ada
larangannya, semua perbuatan pada asalnya mubah hingga ada benturan dengan
ketentuan larangan syariat, yang tidak boleh adalah menisbatkan / menasabkan
(diri sendiri atau diri orang lain) pada selain ayah, sedang penambahan nama
suami di belakang nama istri bukan yang dimaksud dalam pelarangan
ini.
Nasab dalam doktrinal dan
hukum Islam merupakan sesuatu yang sangat urgen, nasab merupakan nikmat yang
paling besar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya, sebagaimana firman
dalam surat al-Furqan ayat 54 yang berbunyi : “Dan dia pula yang menciptakan
manusia dari air, lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah
(hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan adalah tuhanmu yang
maha kuasa.”[1]
Dalam ayat di atas
dijelaskan bahwa nasab merupakan suatu nikmat yang berasal dari Allah. Hal ini
dipahami dari lafaz “fa ja‘alahu nasabaa.” Dan perlu diketahui bahwasanya nasab
juga merupakan salah satu dari lima maqasid al-syariah.[2]
Nasab adalah legalitas
hubungan kekeluargaan yang berdasarkan pertalian darah, sebagai salah satu
akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama syubhat (zina).
Nasab merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis
keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang
anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian anak itu berhak
mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab. Seperti hukum
waris[3], pernikahan, perwalian dan lain sebagainya.
Seseorang boleh menasabkan
dirinya kepada seseorang atau ayahnya apabila sudah terpenuhi syarat-syaratnya,
adapun syarat-syaratnya adalah sebagaimana berikut ; Seorang anak yang lahir
dari seorang perempuan memang benar hasil perbuatannya dengan suaminya. Ketika
perempuan hamil, waktunya tidak kurang dari waktu kehamilan pada umumnya. Suami
tidak mengingkari anak yang lahir dari istrinya.[4]
Salah satu bukti bahwa
nasab adalah hal yang sangat penting bisa dilihat dalam sejarah Islam, ketika
Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang anak yang bernama Zaid bin Haritsah sebelum
kenabian. Kemudian anak tersebut oleh orang-orang dinasabkan kepada Nabi
Muhammad saw, sehingga mereka mendapatkan teguran dari Allah SWT. Dalam
al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 4 -5 yang berbunyi :
مَا
جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ
اللَّائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ
أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ
وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ
قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Allah sekali-sekali tidak
menjadikan bagi seseorang dua buah hatidalam rongganya; dan dia tidak menjadikan
isteri-isterimu yang kamu dzibar itu sebagai ibumu, dan dia t[i]idak menjadikan
anak-anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmua (sendiri). Yang demikian itu
hanyalah perkataanmu dimulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya. Dan dia
menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah, dan
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka sebagai)
saudara-sauadaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja
oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.[5]
Dalam ayat di atas
dijelaskan bahwa anak angkat tidak dapat menjadi anak kandung, ini dipahami dari
lafaz “wa maja‘ala ad‘iya-akum abna-akum”. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu
Katsir dalam tafsirnya Tafsir Qura’n Al-Adzim, di sana dijelaskan bahwasanya
yang dimaksud dalam kalimat “Wa ma Ja’ala Ad’iyaakum Abnaukum” adalah bahwasanya
anak angkat tidak bisa dinasabkan kepada ayah (orang yang mengangkatnya).[6]
Dan kemudian dijelaskan
bahwa anak angkat tetap dinasabkan kepada ayah kandungnya, bukan kepada bapak
angkatnya. Ini dipahami dari lafaz “ud‘uhum li abaihim.“[7] Dalam sebuah hadist
Nabi Muhammad SAW bersabda:
عَنْ
سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ
غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barang siapa menisbatkan
dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah
ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga”[8]
Dalam hadist di atas
dijelaskan bahwa, seseorang tidak boleh menasabkan dirinya kepada selain ayah
kandunganya, apabila ia tahu siapa ayahnya. Hal ini dipahami dari lafaz “fal
jannatu „alaihi haramum“. Orang yang tidak boleh masuk surga adalah orang yang
berdosa. Jadi apabila seseorang menasabkan dirinya kepada selain ayah
kandungnya, sedangkan dia tahu bahwa itu bukan ayahnya maka dia termasuk orang
yang berdosa, sehingga diharamkan untuknya surga. Islam tidak pernah mengakui
status anak angkat yang berubah menjadi anak kandung secara hukum. Tabanni atau
mengangkat anak memang tidak pernah dibenarkan dalam Islam.
Dahulu Rasulullah SAW
pernah mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak angkat dengan segala
konsekuensinya termasuk menerima warisan. Namun Allah menegur dan menetapkan
bahwa status anak angkat tidak ada dalam Islam. Dan untuk lebih menegaskan
hukumnya, Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk menikahi janda atau
mantan istri Zaid yang bernama Zainab binti Jahsy.?…
فَلَمَّا
قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ
وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا
“Maka tatkala Zaid telah
mengakhiri keperluan terhadap istrinya , Kami kawinkan kamu dengan dia supaya
tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk isteri-isteri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada
isterinya . Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.?(QS. Al-Ahzab :37)
Dengan menikahi Zainab yang
notabene mantan istri ?anak angkatnya sendiri, ada ketegasan bahwa anak angkat
tidak ada kaitannya apa-apa dengan hubungan nasab dan konsekuensi syariah. Anak
angkat itu tidak akan mewarisi harta seseorang, juga tidak membuat hubungan anak
dan ayah angkat itu menjadi mahram. Dan ayah angkat sama sekali tidak bisa
menjadi wali nikah bagi anak wanita yang diangkat. Dan juga tidak boleh bernasab
dan menisbahkan nama seseorang kepada ayah angkat. Islam telah mengharamkan
untuk menyebut nama ayah angkat di belakang nama seseorang. Allah SWT telah
menegaskan di dalam Al-Quran keharaman hal ini :
ادْعُوهُمْ
لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ
فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا
أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا
“Panggilah mereka dengan
nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu
tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,
tetapi apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Ahzab :5) .
[Mujaawib : Mbah
Jenggot II, Zaine Elarifine Yahya, Luthfi Ahmad El-Wadasy].
[1] .
QS. Al-Furqan : 54.
[2] .
Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Islamiyah, t.t), juz. II, hal 12-23.
[3] .
Muhammad Ali ash-Shabuni Pembagian waris menurut Islam terj. AM. Basalamah (Gema
Insani Press) hal 39.
[4] .
DR. Abdul Karim Zaidan Al-Mufassol fi Ahkam al-Mar’ah (Beirut, Muassasah
ar-Risalah tahun 1413 H/ 1993 M) cet. Ke-1 juz 9 hal 321.
[5] .
QS. Al-Ahzab : 4-5.
[6] .
Ibnu Katsir Tafsir Qur’an Al-Adzim jil
[7] .
Imam Thabari Jami’ul Bayan an Ta’wil Ayil Qur’an (Kairo, Dar as-Salam tahun 1428
H/2007 M) cet. Ke-2 jilid 8 hal 6612.
[8] . HR. Bukhari, Shahih Bukhari Kitab
Faraid, Bab “Barang siapa yang menisbatkan kepada selain bapaknya” jilid 4 hal
15 hadits no. 6766. dan Muslim