Istilah Zakat Profesi belum
dikenal di zaman Rosulullah SAW bahkan hingga masa berikutnya selama ratusan
tahun. Bahkan kitab-kitab Fiqih yang menjadi rujukan umat ini pun tidak
mencantumkan pembahasan bab zakat profesi dadalamnya.
Harus diingat bahwa meski
di zaman Rosulullah SAW telah ada beragam profesi, namun kondisinya berbeda
dengan zaman sekarang dari segi penghasilan. Dizaman itu pemghasilan yang cukup
besar dan dapat membuat seseorang menjadi kaya berbeda dengan zaman sekarang.
Diantaranya adalah berdagang, bertani, dan berternak. Sebaliknya, di zaman
sekarang ini berdagang tidak otomatis membuat pelakunya menjadi kaya,
sebagaimana juga bertani dan berternak. Nahkan umumnya petani dan peternak di
negeri kita ini termasuk kelompok orang miskin yang hidupnya masih
kekurangan.
Sebaliknya, profesi-profesi
tertentu yang dahulu sudah ada, tapi dari sisi pendapatan saat itu tidaklah
merupakan kerja yang mendatangkan materi besar. Di zaman sekarang ini justru
profesi-profesi inilah yang mendatangkan sejumlah besar harta dalam waktu yang
singkat. Seperti Dokter Spesialis, Arsitek, Komputer Programer, Pengacara, dan
sebagainya. Nilainya bisa ratusan kali lipat dari petani dan peternak miskin di
desa-desa.
Perubahan Sosial inilah
yang mendasari ijtihad para ulama hari ini untuk melihat kembali cara pandang
kita dalam menentukan : siapakah orang kaya dan siapakah orang miskin ? intinya
zakat itu adalah mengumpulkan harta orang kaya untuk diberikan pada orang
miskin. Dizaman dahulu, orang kaya identik dengan Pedagang, Petani, dan
Peternak. Tapi di zaman sekarang ini, orang kaya adalah para profesional yang
bergaji besar. Zaman berubah namun prinsip zakat tidak berubah. Yang berubah
adalah realitas di masyarakat. Tapi intinya orang kaya menyisihkan uangnya untuk
orang miskin. Dan itu adalah intisari Zakat.
Dengan demikian, zakat
profesi merupakan ijtihad pada ulama di masa kini yang nampaknya berangkat dari
ijtihad yang cukup memiliki alasan dan dasar yang juga cukup kuat. Akan tetapi
tidak semua ulama sepakat dengan hal tersebut. Bagaimana sesungguhnya hukum
zakat profesi ? Wajibkah penghasilan setiap profesi dikeluarkan zakatnya ?
Adakah dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menjadi dasarnya ? Berapakah Nisab dan
Prosentasinya ? Bagaimana cara pembayarannya ?
Menanggapi persoalan zakat
profesi ini, pendapat ulama terbagi menjadi dua :
Pendapat
& Dalil Penentang Zakat Profesi
Mereka mendasarkan
pandangan bahwa masalah zakat sepenuhnya masalah 'ubudiyah. Sehingga segala
macam bentuk aturan dan ketentuannya hanya boleh dilakukan kalau ada petunjuk
yang jelas dan tegas atau contoh langsung dari Rosulullah SAW. Bila tidak ada,
maka tidak perlu membuat-buat aturan baru.
Di zaman Rosulullah SAW dan
Salafus Sholeh sudah ada profesi-profesi tertentu yang mendapatkan nafkah dalam
bentuk gaji atau honor. Namun tidak ada keterangan sama sekali tentang adanya
ketentuan zakat gaji atau profesi. Bagaimana mungkin sekarang ini ada
dibuat-buat zakat profesi.
Rosulullah SAW bersabda
“Barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan,
maka ia tertolak” (HR. Muslim).
Rosulullah SAW juga
bersabda “Jauhilah bid’ah, karena bid’ah sesat dan kesesatan ada di neraka” (HR.
Turmudzi).
Diantara mereka yang berada
dalam pandangan seperti ini adalah Fuqaha kalangan Zahiri seperti Ibnu Hazm dan
lainnya dan juga Jumhur Ulama, kecuali Mazhab Hanafiyah yang memberikan
keluasaan dalam kriteria harta yang wajib dizakati.
Umumnnya Ulama Hijaz
seperti Syaikh Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin, dan
lainnya tidak menyetujui zakat profesi. Bahkan Syaikh Dr. Wahbah Az-Zuhaily pun
menolak keberadaan zakat profesi sebab zakat itu tidak pernah dibahas oleh para
ulama salaf sebelum ini. Umumnya Kitab Fiqih Klasik memang tidak mencantumkan
adanya zakat profesi.
Pendapat
& Dalil Pendukung Zakat Profesi
Pendapat ini dikemukakan
oleh Syaikh Abdur Rahman Hasan, Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh Abdul Wahab
Khalaf dan Syaikh Yusuf Qaradhawi. Mereka berpendapat bahwa semua penghasilan
melalui kegiatan profesi dokter, konsultan, seniman, akunting, notaries, dan
sebagainya, apabila telah mencapai nishab, maka wajib dikenakan zakatnya. Para
Peserta Muktamar Internasional Pertama tentang zakat di Kuwait pada 29 Rajab
1404 H / 30 April 1984 M juga sepakat tentang wajibnya zakat profesi bila
mencapai nishab, meskipun mereka berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya.
Pendapat ini dibangun berdasarkan :
Pertama : Ayat-ayat Al-Qur’an yang
bersifat umum yang mewajibkan semua jenis harta untuk dikeluarkan zakatnya,
seperti dalam QS. At-Taubah (9) :103, QS. Al-Baqarah (2) : 267, dan QS.
Adz-Zaariyat (51) : 19. Firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman,
keluarkanlah/nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu” (QS.
Al-Baqarah (2) : 267).
Dalam ayat tersebut, Allah
menegaskan bahwa segala hasil usaha yang baik-baik wajib dikeluarkan zakatnya.
Dalam hal ini termasuk juga penghasilan (gaji) dari profesi sebagai dokter,
konsultan, seniman, akunting, notaries, dan sebagainya. Imam Ar-Razi berpendapat
bahwa apa yang dimaksud dengan “hasil usaha” tersebut meliputi semua harta dalam
konsep menyeluruh, yang dihasilkan oleh kegiatan atau aktivitas manusia. Karena
itu nash ini mencakup semua harta, baik yang terdapat di zaman Rasulullah SAW,
baik yang sudah diketahui secara langsung, maupun yang dikiaskan
kepadanya.
Muhammad bin Sirin dan
Qathadaah sebagaimana dikutip dalam Tafsier Al-Jaami’ Li Ahkaam Al-Qur’an
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata-kata “Amwaal” (harta) pada QS.
Adz-Zaariyaat (51) : 19, adalah zakat yang diwajibkan, artinya semua harta yang
dimiliki dan semua penghasilan yang didapatkan, jika telah memenuhi persyaratan
kewajiban zakat, maka harus dikeluarkan zakatnya. (Tafsir Al-Jaami’ Li Ahkaam
Al-Qur’an Juz I : hal. 310-311).
Sabda Rosulullah SAW
“Menjadi suatu kewajiban bagi setiap orang muslim berzakat (bersedekah)”. Mereka
bertanya, “Hai Nabi Allah, bagaimana yang tidak mempunyai harta ?. Rosulullah
menjawab “Bekerjalah untuk mendapatkan sesuatu untuk dirinya, lalu bersedekah”.
Mereka bertanya “kalau tidak mempunyai pekerjaan ?” Rosul bersabda “Tolonglah
orang yang meminta pertolongan”. Mereka bertanya lagi “Bagaimana bila tak kuasa
?” Rosulullah menjawab ”kerjakanlah kebaikan dan tinggalkanlah kejahatan, hal
itu merupakan sedekah”.
Kedua : Berbagai pendapat para
Ulama terdahulu maupun sekarang, meskipun dengan menggunakan istilah yang
berbeda. Sebagian dengan menggunakan istilah yang bersifat umum yaitu
“al-Amwaal”, sementara sebagian lagi secara khusus memberikan istilah dengan
istilah “al-maal al-mustafad” seperti terdapat dalam fiqh zakat dan al-fiqh
alislamy wa Adillatuhu.
Sekelompok sahabat
berpendapat bahwa kewajiban zakat kekayaan tersebut langsung, tanpa menunggu
batas waktu setahun. Diantara mereka adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Mu’awiyah,
Shadiq, Baqir, Nashir, Daud, dan diriwayatkan juga Umar bin Abdul Aziz, Hasan,
Zuhri, serta Auza’i.
Pendapat-pendapat dan
sanggahan-sanggahan terhadap pendapat-pendapat itu telah ditulis dalam
kitab-kitab, misalnya al-Muhalla oleh Ibnu Hazm, jilid 4 : 83 dan seterusnya
al-Mughni oleh Ibnu Qudamah jilid 2 : 6, Nail-Authar jilid 4 : 148, Rudz
an-Nadzir jilid 2 : 41, dan Subul as-Salam jilid 2 : 129.
Ketiga : Dari sudut keadilan yang
merupakan ciri utama ajaran Islam penetapan kewajiban zakat pada setiap harta
yang dimiliki akan terasa sangat jelas, dibandingkan dengan hanya menetapkan
kewajiban zakat pada komoditi-komoditi tertentu saja yang konvensional. Petani
yang saat ini kondisinya secara umum kurang beruntung, tetap harus berzakat,
apabila hasil pertaniannya telah mencapai nishab. Karena itu sangat adil pula,
apabila zakat inipun bersifat wajib pada penghasilan yang didapatkan para
dokter, konsultan, seniman, akunting, notaries, dan profesi lainnya.
Keempat : Sejalan dengan
perkembangan kehidupan atau manusia, khususnya dalam bidang ekonomi, kegiatan
penghasilan melalui keahlian dan profesi ini akan semakin berkembang dari waktu
ke waktu. Bahkan akan menjadi kegiatan ekonomi yang utama, seperti terjadi di
Negara-negara industry sekarang ini. Penetapan kewajiban zakat kepadanya,
menunjukkan betapa hukum Islam sangat aspiratif dan responsive terhadap
perkembangan zaman. Afif Abdul Fatah Thabari menyatakan bahwa aturan dalam Islam
itu bukan saja sekedar berdasarkan pada keadilan bagi seluruh umat manusia, akan
tetapi sejalan dengan kemaslahatan dan kebutuhan hidup manusia, sepanjang zaman
dan keadaan, walaupun zaman itu berbeda dan berkembang dari waktu ke waktu (Ruuh
al-Dien al-Islamy, hal. 300)
Nishab
dan Cara Mengeluarkan Zakat Profesi
Terdapat beberapa perbedaan
pendapat para Ulama dalam menentukan nisab dan cara mengeluarkan zakat
profesi.
Pertama : Madzhab Empat
berpendapat bahwa tidak ada zakat pada harta kecuali sudah mencapai nishab dan
sudah memiliki tenggang waktu satu tahun. Adapun nishabnya adalah senilai 85 gam
emas dengan kadar zakat sebesar 2,5% (Al-Fiqh Islamy Wa Adillatuhu, juz II :
866, 1989)
Kedua : Pendapat yang di nukil
dari Syeikh Muhammad Ghazali yang menganalogikan zakat profesi dengan zakat
hasil pertanian, baik dalam nishab maupun persentase zakat yang wajib
dikeluarkan, yaitu 10%.
Ketiga : Pendapat yang
menganalogikan zakat profesi ini pada dua hal, yaitu dalam hal nishab pada zakat
pertanian, sehingga dikeluarkan pada saat diterimanya, dan pada zakat uang dalam
hal kadar zakatnya yaitu sebesar 2,5% (Al-Fiqh Islamy Wa Adillatuhu, juz II :
hal. 866). Pendapat yang menganalogikan zakat profesi dengan zakat pertanian,
antara lain diambil dari pendapat sebagian sahabat seperti Ibnu Abbas, Ibn
Mas’ud, dan Mu’awwiyah. Dan juga dari sebagian seperti Imam Zuhri, Hasan Bashri,
Makhul, Umar bin Abdul Aziz, Baqir, Shadiq, Nashir, dan Daud Dzahiri (Al-Fiqh
Islamy Wa Adillatuhu, juz II : hal. 866).
Keempat
: Pendapat
Madzhab Imamiyyah yang menetapkan zakat profesi sebesar 20% dari hasil
pendapatan bersih. Hal ini berdasarkan pemahaman mereka terhadap firman Allah
SWT dalam QS. Al-Anfaal (8) : 41. Menurut mereka kata-kata ghanintum dalam ayat
tersebut bermakna seluruh penghasilan, termasuk gaji, honorarium, dan pendapatan
lainnya.
Bagi yang mempersamakannya
menetapkan prosentasi zakatnya sama dengan zakat perdagangan yakni 2,5% dari
hasil yang diterima setelah dikeluarkannya segala biaya kebutuhan hidup yang
wajar dan selama sisa tersebut dalam masa setahun, telah mencapai batas minimal
yakni senilai 85 gram emas murni. Sedangkan yang menganalogikan hasil-hasil dari
profesitersebut dengan zakat pertanian. Dalam arti begitu ia menerima
penghasilan senilai 653 kg hasil pertanian yang harganya paling murah, maka
seketika itu juga ia harus menyisihkan lima atau sepuluh persen (tergantung
kadar keletihan yang bersangkutan) dan tidak perlu menunggu batas waktu setahun.
Hemat saya pendapat pertama yang mempersamakan zakat profesi dengan zakat
perdagangan lebih bijaksana, karena hasil yang diterima biasanya berupa uang
sehingga lebih mirip dengan perdagangan dan atau nilai emas dan perak. Wa Allah
Alam. [ Hakam
elChudrie
].