PERTANYAAN
:
1. Demi ingin berpuasa
sebulan penuh seorang muslimah mngkonsumsi obat anti haid. Bagaimana menurut
islam yang demkian itu ? 2. Gabriel mencoba meminumkan obat tersebut kepada istrinya agar ia dapat menggarap sawah sebulan penuh. Bagamanakah Islam menyikapinya ? [Ayi Yuniar].
JAWABAN
:
Dalam dua pertanyaan di
atas menurut kalangan Syafi'iyyah diperbolehkan asalkan tidak menimbulkan bahaya
pada dirinya. Berikut uraiannya, sekaligus pendapat-pendapat kalangan madzhab
selain syafiiyyah tentang wanita yang minum obat pencegah datangnya
haid.
وَفِيْ
فَتَاوَى الْقَمَّاطِ مَا حَاصِلُهُ جَوَازُ اسْتِعْمَالِ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ
الْحَيْضِ
"Dalam Fatawa Al Qammaath
(Syeikh Muhammd ibn al Husein al Qammaath) di simpulkan diperbolehkannya
menggunakan obat untuk mencegah datangnya haid." (Ghayatut Talkhis: 196). Sumber
kitab : Ghooyah at-Talkhiish al-Murood 247 / halaman 196, maktabah syamilah
(Fiqh Syafi’iyyah).
اَلْمَالِكِيَّةُ
قَالُوْا
أَمَّا
أَنْ تَصُوْمَ الْحَيْضُ بِسَبَبِ دَوَاءٍ فِيْ غَيْرِ مَوْعِدِهِ فَإِنَّ
الظَّاهِرَ عِنْدَهُمْ أَنَّهُ لَا يُسَمَّى حَيْضًا وَلَا تَنْقَضِيْ بِهَ
عِدَّتُهَا وَهَذَا بِخِلَافِ مَا إِذَا اسْتَعْمَلَتْ دَوَاءً يَنْقَطِعُ بِهِ
الْحَيْضُ فِيْ غَيْرِ وَقْتِهِ الْمُعْتَادِ فَإِنَّهُ يُعْتَبَرُ طُهْرًا
وَتَنْقَضِيْ بِهِ الْعِدَّةُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ
تَمْنَعَ حَيْضَهَا أَوْ تَسْتَعْجِلُ إِنْزَالَهُ إِذَا كَانَ ذَلِكَ يَضُرُّ
صِحَّتَهَا لِأَنَّ الْمُحَافَظَةَ عَلَى الصِّحَّةِ وَاجِبَةٌ
"Kalangan Malikiyyah
berpendapat : Haid adalah darah yang yang keluar dari alat kelamin wanita pada
usia yang ia bisa hamil menurut kebiasaan umum. Bila wanita menjalani puasa
akibat obat yang mencegah haid hadir dalam masanya, menurut pendapat yang zhahir
masa-masa tidak dikatakan haid dan tidak menghabiskan masa iddahnya, berbeda
saat ia menjalani haid dan meminum obat untuk menghentikan haidnya diselain
waktu kebiasaannya, maka ia dinyatakan suci namun iddahnya dapat terputus karena
sesungguhnya tidak boleh bagi seorang wanita mencegah atau mempercepat keluarnya
darah haid bila membahayakan kesehatannya karena menjaga kesehatan wajib
hukumnya." (al-Fiqhu 'ala Madzahibil 'Arba'ah, 1/103). Sumber kitab: Al Fiqh
‘alaa Madzaahib al-Arba’ah I/103, maktabah syamilah (Fiqh Muqaarin).
أَحْكَامٌ
عَامَّةٌ
أَوَّلًا
- إِنْزَالُ وَرَفْعُ الْحَيْضِ بِالدَّوَاءِ
صَرَّحَ
الْحَنَابِلَةُ بِأَنَّهُ يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ شُرْبُ دَوَاءٍ مُبَاحٍ لِقَطْعِ
الْحَيْضِ إِنْ أُمِنَ الضَّرَرُ ، وَذَلِكَ مُقَيَّدٌ بِإِذْنِ الزَّوْجِ . لأِنَّ
لَهُ حَقًّا فِي الْوَلَدِ ، وَكَرِهَهُ مَالِكٌ مَخَافَةَ أَنْ تُدْخِل عَلَى
نَفْسِهَا ضَرَرًا بِذَلِكَ فِي جِسْمِهَا . كَمَا صَرَّحُوا بِأَنَّهُ يَجُوْزُ
لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَشْرَبَ دَوَاءً مُبَاحًا لِحُصُوْل الْحَيْضِ ، إِلاَّ أَنْ
يَكُوْنَ لَهَا غَرَضٌ مُحَرَّمٌ شَرْعًا كَفِطْرِ رَمَضَانَ فَلاَ يَجُوْزُ
.
ثُمَّ
إِنَّ الْمَرْأَةَ مَتَى شَرِبَتْ دَوَاءً وَارْتَفَعَ حَيْضُهَا فَإِنَّهُ
يُحْكَمُ لَهَا بِالطَّهَارَةِ ، وَأَمَّا إِنْ شَرِبَتْ دَوَاءً وَنَزَل الْحَيْضُ
قَبْل وَقْتِهِ فَقَدْ صَرَّحَ الْمَالِكِيَّةُ بِأَنَّ النَّازِل غَيْرُ حَيْضٍ
وَأَنَّهَا طَاهِرٌ . فَلاَ تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ ، وَلاَ تَحِل لِلأزْوَاجِ ،
وَتُصَلِّيْ وَتَصُوْمُ لاِحْتِمَال كَوْنِهِ غَيْرَ حَيْضٍ ، وَتَقْضِي الصَّوْمَ
دُوْنَ الصَّلاَةِ احْتِيَاطًا لاِحْتِمَال أَنَّهُ حَيْضٌ .
وَقَدْ
صَرَّحَ الْحَنَفِيَّةُ بِأَنَّهُ إِذَا شَرِبَتِ الْمَرْأَةُ دَوَاءً فَنَزَل
الدَّمُ فِي أَيَّامِ الْحَيْضِ فَإِنَّهُ حَيْضٌ وَتَنْقَضِيْ بِهِ
الْعِدَّةُ
(1)
حاشية ابن عابدين 1 / 202 ، حاشية الدسوقي 1 / 167 ، 168 ، مواهب الجليل 1 / 366 ،
كشاف القناع 1 / 218
Hukum
umum
Keluar dan hilangnya haid
akibat obat. Kalangan Hanabilah menjelaskan : Diperkenankan bagi wanita meminum
obat yang diperbolehkan syara’ untuk memutus datangnya haid bila aman dari
bahaya, itupun bila seijin suami karena suami punya hak anak atas dirinya, Imam
malik memakruhkannya bila menimbulkan bahaya dalam raganya seperti diperkenankan
baginya meminum obat yang diperbolehkan syara’ untuk mendapatkan masa haidnya
hanya saja bila bertujuan yang diharamkan syara’ seperti agar tidak berpuasa
dibulan ramadhan maka tidak diperkenankan.
Wanita yang meminum obat
kemudian hilang haidnya maka dihukumi wanita suci, namun wanita yang meminum
obat agar mendapatkan haidnya sebelum masanya tiba maka darah yang keluar
menurut kalangan malikiyyah bukanlah darah haid dan dia tetap dikatakan suci dan
tidak habis iddahnya dan tidak halal untuk dinikahi, baginya tetap wajib sholat
dan puasa karena kemungkinannya bukan darah haid, boleh mengqadha puasanya bukan
shalatnya karena kemungkinan yang keluar darah haid.
Kalangan Hanafiyyah
menjelaskan : Wanita yang meminum obat kemudian keluar darah haid pada
masa-masanya, yang keluar adalah darah haid dan menghabiskan masa iddahnya."
(Haasyiyah Ibn ‘Aabidiin I/202, Haasyiyah ad-Daasuqi I/167-168, Mawaahib
al-jaliil I/366, Kasysyaaf alQanaa’ I/218). [al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyah, 18/327]. Sumber kitab: Al Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah
XVIII/327, maktabah syamilah (Fiqh Muqaarin).
Catatan:
Berikut ta’bir Kitab
Kasysyaaful Qanaa’ selengkapnya:
(
وَيَجُوزُ شُرْبُ دَوَاءٍ مُبَاحٍ لِقَطْعِ الْحَيْضِ مَعَ أَمْنِ الضَّرَرِ نَصًّا
) كَالْعَزْلِ وَ ( قَالَ الْقَاضِي لَا يُبَاحُ إلَّا بِإِذْنِ الزَّوْجِ ) أَيْ :
لِأَنَّ لَهُ حَقًّا فِي الْوَلَدِ ( وَفِعْلُ الرَّجُلِ ذَلِكَ بِهَا ) أَيْ :
إسْقَاؤُهُ إيَّاهَا دَوَاءً مُبَاحًا يَقْطَعُ الْحَيْضَ ( مِنْ غَيْرِ عِلْمِهَا
يَتَوَجَّهُ تَحْرِيمُهُ ) قَالَهُ فِي الْفُرُوعِ ، وَقُطِعَ بِهِ فِي
الْمُنْتَهَى لِإِسْقَاطِ حَقِّهَا مِنْ النَّسْلِ الْمَقْصُودِ .
(
ومثله ) أي مثل شربها دواء مباحا لقطع الحيض ( شربه كافورا ) قال في المنتهى ولرجل
شرب دواء مباح يمنع الجماع
"[Diperbolehkan meminum
obat yang diperbolehkan syara’ untuk memutus datangnya haid bila aman dari
bahaya atas dasar nash] sebagaimana masalah 'azl. [Qadhi Ibnu Muflih berkata:
tidak diperbolehkan kecuali dengan sejin suami] sebab suami memiliki hak atas
mendapatkan keturunan [serta perbuatan suami akan hal itu] yakni meminumkan obat
yang diperbolehkan syara' pada istri untuk memutus haid [tanpa sepengetahuan
istrinya pantas dinilai haram] diungkapkan dalam kitab Furu', ditegaskan pula
dalam kitab al-Muntaha sebab perbuatan itu melanggar hak istrinya untuk
mendapatkan keturunan yang dikehendakinya
[Sebagaimana hal itu] yakni
sebagaimana meminumkan pada istri obat yang diperbolehkan syara' untuk memutus
haid [boleh juga meminum air kapur] Dijelaskan dalam kitab al-Muntaha bahwa bagi
suami boleh meminum air yang diperbolehkan syara' untuk menolak keinginan
persetubuhan." (Kasysyaful Qana', 1/218). Sumber kitab : Kasysyaaful Qanaa’
karya Syeikh Manshuur ibn Yunuus al Bahuuti juz II halaman 96, maktabah syamilah
(Fiqh Hanabilah). Wallaahu A’lamu bishshawaab. [Masaji
Antoro].