Fiqh dan 'Tamaddun'
Saat ini, kerap terlontar dengan begitu entengnya dari
kelompok-k elompok Muslim
tertentu berupa kata-kata "syirik", "kafir", atau "bid'ah". Kata-kata tersebut
diayunkan kepada kelompok Muslim di luar mereka. Bahkan, hanya karena perbedaan
furu'iyyah , bisa menyembur
kata-kata tersebut. Ini fakta yang sudah terjadi di
daerah-dae rah yang kerap
menimbulka n
ketegangan fisik. Ada keyakinan
"laten" dan "manifes" yang dipegangi oleh mereka yang merasa paling benar.
Padahal, bukankah menuduhkan
kata-kata tersebut tidak segampang itu? Model sikap ini
dikhawatir kan akan
berpotensi pada bentuk
radikalism e. Kita hidup di
negeri yang serbamulti . Di
negeri Arab saja yang cenderung "monolitik ", muncul beragam aliran
keagamaan, bahkan aliran di luar
bingkai keagamaan, seperti
sosialisme dan Marxisme. Ada apa
sebenarnya dan bagaimana membaca
kenyataan tersebut?
Menakar fikih Pengkajian kitab-kita b fikih selama ini tampaknya hanya mendaras
kembali kitab-kita b fikih
klasik (al-fuqaha
al-qudama) . Artinya, di sini
belum ada upaya untuk "membaca ulang" beberapa pandangan fikih
terdahulu.
Sebaliknya , hanya
mereproduk si
pandangan- pandangan fikih klasik
dan tidak memproduks i
pandangan- pandangan
alternatif yang lebih mengacu
pada upaya membangun peradaban (tamaddun) . Selama ini, telah muncul beberapa pakar dari
Timur Tengah, seperti Ali Jum'ah dan Jamaluddin Athiyah, Jamal al-Banna, Yusuf
al-Qaradha wi, atau juga Muhammad
Syahrur. Mereka melihat betapa pentingnya membaca ulang fikih klasik secara kritis dengan
arah memperbaru i fikih dan ushul
fikih guna merespons problem kekinian dan melahirkan fikih peradaban. Kecenderun gan untuk memperbaru i fikih terasa penting tatkala muncul
kecenderun gan pemahaman yang
bersifat puritan dan radikal. Sejauh ini, banyak yang
menjadikan fikih bukan sebagai
metode (manhaj) untuk memahami doktrin keagamaan, melainkan sebagai dogma kaku. Di negeri kita,
kesadaran untuk memperluas
cakupan fikih dengan menjadikan
sebagai metodologi dalam
merumuskan masalah
kontempore r,
alhamdulil lah, sudah
bermuncula n. Misalnya saja,
muncul buku-buku seperti "Fikih Jurnalisti k", "Fikih Lintas Agama, dan juga "Fikih
Perlindung an Konsumen" yang
ditulis oleh Soffa Ihsan. Ini pertanda lahirnya kesadaran untuk tidak hanya
mempersemp it ruang fikih dengan
hanya berputar-p utar pada
soal-soal ibadah, halal-hara m,
bid'ah-syi rik, atau babagan
jihad.
Fikih menyimpan formulasi- formulasi ijtihadi yang masih
berserakan dan bisa digali dalam
rangka membaca kekinian. Dimensi keuniversa lan dan kelenturan fikih jangan disembunyi kan dan lalu yang mengedepan kan sosok fikih sebagai "tatapan mata elang",
penebar kebencian dan kecurigaan
terhadap sesama, baik seagama maupun tidak seagama. Kita jadi mafhum mengapa
muncul beberapa istilah yang selalu dianggap musuh dalam fikih klasik, yaitu
"syirik", "bid'ah", dan "kafir". Pertanyaan nya, mengapa watak fikih klasik bisa seperti itu?
Apakah Islam memang benar-bena r
sebagai agama yang menebarkan
konflik dan kekerasan? Inilah
apa yang disebut sebagai dilema paradigma fikih yang merupakan
pemandanga n
menyejarah dan
senantiasa menghiasi pemikiran
keagamaan kontempore r. Banyaknya
kaum terpelajar Muslim di Tanah
Air yang belajar ke Timur Tengah setidaknya menyebabka n pandangan keagamaan mereka arabis dan
teosentris . Menurut Abid
al-Jabiri, fikih yang
dikonstruk si para ulama
terdahulu tidak hanya menutup masa depan atau masa setelah fikih tersebut
dikodifika si, tetapi juga tidak
mengakomod asi tradisi yang
berkembang pada masa-masa
sebelumnya (jabb al-islam ma
qablahu). Hal itu terjadi karena fikih ibarat pendulum yang tidak secara tegas
melakukan dialektika
epistemolo gis.
Fikih hanya
dijadikan upaya untuk memapankan
kepatuhan dan ketundukan
terhadap sebuah aliran dan mazhab tertentu. Memang fikih dan ushul fikih
merupakan khazanah luar biasa kebanggaan Muslim. Dulu Amir al-Mahdi, gubernur di Asia
Tengah, mengirim surat kepada Imam Syafi'i yang isinya tentang
kebingunga n Amir al-Mahdi saat
membaca Alquran dan hadis yang isinya tampak bertentang an. Untuk menjawab ini, Imam Syafi'i menyusun
kitab Al-Risalah yang berisi
kaidah-kai dah ushul fikih yang
kemudian lahir ilmu fikih. Dari sini, ada penjelasan mengenai rukun shalat, yang kalau hanya membaca
Alquran dan hadis, tidak akan ada penjelasan nya secara perinci. Di sisi lain,
formalisas i fikih yang awalnya
bersifat kultural ini, pada akhirnya dijadikan "bahan bakar" untuk
cakar-caka ran karena perbedaan
mazhab serta saling berebut pengaruh. Ini menunjukka n adanya "pendulum peradaban" sebagaiman a disebut Ibnu Khaldun sebagai "tarik ulur" yang
membawa peradaban dari kemegahann ya menuju kehancuran .
Fikih menjadi jumud dan beku, atau yang paling
ekstrem, fikih hanya dijadikan ajang kontestasi untuk saling menyalahka n sesama Muslim. Di sinilah perlunya
mengembali kan fikih kepada
semangatny a yang terbuka dan
progresif sehingga fikih lebih fokus memotret isu-isu peradaban
kemanusiaa n dan hubungan
antarmazha b secara lebih
mendasar. Budaya dan dogma Kekuatan-k ekuatan pengaruh budaya sejatinya sudah bisa kita
saksikan hampir di belahan dunia mana pun. Demikian pula Islam sejak masa Nabi
Muhammad, Khulafaur Rasyidin, sampai renaisans di Cordoba, Spanyol, telah
mengembang kan suatu khazanah
kebudayaan yang kaya dan
beragam. Refleksi sejarah Islam sebagai kekuatan budaya ini telah
memunculka n-menyitir istilah dari Gustav Von
Grunebaum- sebagai "kesatuan dan
keberagama n (unity and variety).
Kekuatan budaya Islam telah melakukan suatu "sintesa" yang kaya dan adaptif
dengan unit-unit kebudayaan
lokal, di mana Islam dapat merambah masuk. Kekuatan-k ekuatan keragaman Islam yang
berpengaru h sampai pada tingkat
pengambila n keputusan fikih,
ikut dipertimba ngkan dalam suatu
tradisi yang berlaku pada saat itu. Dalam taksonomi ajaran Islam sendiri, kita
perlu melihat ada yang disebut dengan bayan ilahi. Istilah ini mengacu pada
wujud ajaran Islam yang sifatnya dogmatik. Ini biasa diistilahk an ma'lumun min al-dini bi
al-dharura h (ajaran Islam yang
sudah "given").
Kemudian, ada yang disebut bayan al-nabawi. Ini mengandung pengertian sebagai petunjuk yang diberikan oleh Nabi
Muhammad, baik dalam ucapan, sikap, maupun perilaku Nabi. Bentuk ini juga
merupakan ajaran yang sifatnya dogmatik. Dan juga, apa yang kita sebut dengan
bayan 'aqli. Artinya, mengacu pada cara olah pikir atau ijtihad yang dilakukan
oleh umat. Misalnya, yang secara individual merujuk pada bentuk qiyas, sedangkan yang
kolektif disebut ijma'. Nah, ini semua sesungguhn ya merupakan pijakan inovasi dan kreasi dalam
rangka melahirkan peradaban
berdasar cahaya keislaman yang bisa memberikan kemaslahat an bagi umat manusia. Tanpa ikhtiar ini, ajaran
Islam akan ditafsirka n secara
stagnan (mauquf) sehingga berpunggun gan dengan cita membangun peradaban yang elok.
Dari uraian ini pula, dituangkan
pengertian bahwa "tafaqquh fi
al-din" berarti kaum Muslimin diperintah kan untuk terus berinovasi dan berkreasi demi membangun peradaban kini dan
esok secara terus-mene rus. Makna
"mendalami agama" tidak mesti
ditafsir secara sempit karena pengertian nya luas yang intinya tidak hanya
berputar-p utar pada masalah
furu'iyyah -ubudiyah, tetapi menjelma sebagai "fikih tamaddun" dalam rangka
membangun peradaban adiluhung yang dipenuhi kearifan dalam menyikapi perbedaan
apa pun. KH Said Aqiel Siradj, Ketua Umum PBNU
disunting oleh: Ahmad Fuady