Oleh
Hakam Ahmed ElChudrie
Dari beberapa literature,
zakat mempunyai arti suci, berkembang, berkah, tumbuh, bersih dan baik. Zakat
merupakan salah satu rukun Islam yang bersifat ibadah dan sosial, yang
kewajibannya sering digandengkan dengan kewajiban shalat. Namun Zakat secara
syariah terdapat beberapa definisi zakat yang dikemukakan oleh ulama mazhab,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Ulama mazhab Maliki
mendefinisikan zakat adalah mengeluarkan bagian tertentu dari harta tertentu
yang telah mencapai satu nisab bagi orang yang berhak menerimanya, dengan
ketentuan harta itu milik sempurna, telah haul, dan bukan merupakan barang
tambang.
2. Ulama Mazhab Hanafi
mendefinisikan zakat adalah pemilikan bagian tertentu yang dimiliki seseorang
berdasarkan ketetapan Allah SWT.
3. Ulama Mazhab Syafi’i
mendefinisikan zakat adalah sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau jiwa dengan
cara tertentu.
4. Ulama Mazhab Hambali
mendefinisikan zakat adalah hak wajib pada harta tertentu pada waktu yang
tertentu pula .
Dari beberapa definisi
zakat yang diberikan oleh para Imam Mazhab, tentunya antara satu definisi dengan
definisi lainnya tidak terjadi perbedaan yang sangat jauh. Namun dapat ditarik
garis tengah bahwa zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mempunyai
kelebihan harta untuk menyalurkannya kepada asnaf zakat yang delapan sebagaimana
yang terdapat di dalam surat at-Taubah: 60.
Dalam sejarah, rukun zakat
dikerjakan oleh umat Islam setelah mengerti dengan benar tentang arti shalat
lima waktu secara berjama’ah, dimana dua kalimah syahadat telah benar-benar
meresap ke dalam hati dan mewujudkan amal shaleh. Perintah mengeluarkan zakat
ini mulai berlangsung pada tahun ke II Hijriah, dimana Muslimin dan kesatuan
sosialnya telah kokoh dan kuat. Kekuatan kaum Muslimin yang telah menegakkan
satu kebenaran dalam masyarakat telah di atur terikat dalam rasa persatuan yang
amat kokoh dan kuat terkemas rapi dalam shalat lima waktu, hidup dalam persamaan
dan persaudaraan yang mesra di masjid.
Diantara iman yang menjadi
sifat dan sikap seorang mukmin dengan ikhlas melaksanakan zakat adalah berkat
ajaran dan didikan shalat berjama’ah. Dari keterangan di atas, menunjukkan bahwa
kedudukan sistem zakat dalam Islam sangatlah penting dalam hidup matinya umat
Islam itu sendiri. Sebagai individu, tentunya tidak akan lahir ke dunia hanya
membawa roh semata, demikian juga Islam tidak akan dapat lahir dan tumbuh kuat
dan kuasa, apabila di dalam perjalanannya tidak memperoleh pelajaran dan
pendidikan ilmu tentang zakat yang secara nyata menjadi dasar dalam kehidupan
ekonomi Islam.
Begitu seriusnya kedudukan
zakat ini, sehingga pada awal kekhalifahan Abu Bakar dimana telah muncul
orang-orang yang melakukan pembangkangan untuk menunaikan zakat, oleh sebab itu
khalifah melakukan ijtihad dengan memerangi mereka. Khalifah Abu Bakar
menyatakan: "Demi Allah, Saya akan perangi orang yang membedakan antara shalat
dan zakat, karena zakat itu karena zakat itu hak harta; Demi Allah! kalau
sekiranya mereka itu tidak menyerahkan anak-anak unta yang dahulu mereka
serahkan kepada Rasulullah saw, saya akan perangi mereka berdasarkan keengganan
tersebut." (HR. Abu Daud) .
Begitu seriusnya komitmen
Islam dalam menanggulangi kaum dhuafa secara continue dan sistematis. Untuk
mengakomodir jumlah kaum dhuafa yang jumlahnya sangat banyak, pada saat sekarang
ini para amilin menempuh upaya dengan menyalurkan zakat dalam bentuk Produktif.
Sebenarnya, apabila dikaji lebih jauh, sejak dahulu pemanfaatan zakat dapat
digolongkan kepada empat bentuk:
1. Bersifat konsumtif
tradisional yaitu proses dimana pembagian langsung kepada para
mustahiq.
2. Bersifat konsumtif
kreatif yaitu proses pengkonsumsian dalam bentuk lain dari barangnya semula,
seperti di berikan dalam bentuk beasiswa, gerabah, cangkul dan
sebagainya.
3. Bersifat produktif
tradisional yaitu proses pemberian zakat diberikan dalam bentuk benda atau
barang yang diketahui produktif untuk satuan daerah yang mengelola zakat.
Seperti pemberian kambing, sapi, becak dan sebagainya.
4. Bersifat produktif
kreatif yaitu proses perwujudan pemberian zakat dalam bentuk permodalan bergulir
baik untuk usaha program sosial, home industri atau pemberian tambahan modal
usaha kecil.
Penyaluran zakat secara
produktif ini pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW. Dikemukakan dalam sebuah
hadits riwayat Imam Muslim dari Salim bin Abdillah bin Umar dari ayahnya, bahwa
Rasulullah saw telah memberikan zakat kepadanya lalu menyuruhnya untuk
dikembangkan atau disedekahkan lagi. Menurut Didin Hafiduddin dalam buku Panduan
Zakat, dana zakat bukan pemberian sesuap nasi dalam jangka sehari dua hari,
kemudian para mustahiq menjadi miskin kembali, tapi dana zakat itu harus
memenuhi kebutuhan hidup secara lebih baik dalam jangka waktu yang relatif
lama.
Sejalan dengan pendapat
Didin Hafiduddin di atas, Yusuf Qardhawi berpendapat, zakat merupakan ibadah
maaliyah
ijtimaiyah
yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis, dan menentukan, baik dari
sisi ajaran maupun sisi pembangunan dan kesejahteraan ummat. Dalam buku yang
lain, Yusuf Qardhawi juga menyatakan bahwa zakat dapat memberikan solusi dalam
masalah kemiskinan, pengangguran dan pemerataan ekonomi, apabila dilakukan
secara optimal.
Penjelasan Didin Hafiduddin
dan Yusuf Qardhawi di atas telah menunjukkan kepada kita bahwa zakat harus
dikelola dengan baik, karena zakat merupakan salah satu sumber pemasukan dana
yang sangat potensial untuk menjadi alternatif bagi pemberdayaan ekonomi umat.
Oleh sebab itu, melalui pemberdayaan ekonomi produktif ini diharapkan nantinya
akan lahir muzakki-muzakki baru. Para mustahiq didorong untuk menggunakan dana
zakat selain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (konsumtif) juga berorientasi
produktif, dengan mengembangkan potensi usaha yang dimilikinya agar terus
berkembang.
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dalam pembukaan pencanangan Program Aksi Penanggulangan
Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) 2005 dan
pencanangan Tahun Keuangan Mikro 2005 di Jakarta, Sabtu (26/2) meminta para
ulama mengkaji penggunaan dana zakat sebagai sumber pembiayaan usaha produktif.
Dana zakat yang terkumpul tidak hanya digunakan untuk urusan konsumtif tapi
menjadi sumber pendanaan untuk menggerakkan ekonomi masyarakat. Jadi zakat yang
terkumpul bukan hanya untuk ibadah dalam arti memenuhi kebutuhan konsumtif, tapi
bisa juga dijadikan sumber pembiayaan. Hal senada juga disampaikan oleh salah
seorang pakar ekonomi Islam yaitu Ir. H. Adiwarman Azwar Karim, Ia mengingatkan
nilai penting pengelolaan zakat untuk menghasilkan kegiatan ekonomi produktif.
Hal serupa juga disampaikan oleh ketua Majelis Perwakilan Ulama Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Muslim Ibrahim dalam acara kajian tingkat tinggi yang
diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 2007 bertempat di masjid raya Banda Aceh
dalam makalah beliau yang isinya antara lain: Kalau sanggup bekerja mencari
nafkah dan hampir dapat mencukupi dirinya sendiri dan keluarganya, seperti
buruh/tukang, pedagang, petani, dan lain-lain, akan tetapi mereka kekurangan
sarana, prasarana ataupun modal. Mereka tidak memperoleh hasil sesuai dengan
kebutuhannya. Bagi mereka ini dapat diberi sesuatu, misalnya modal usaha.
Diharapkan dengan modal ini, mereka akan dapat hidup layak dan malah dapat
menjadi muzakki pada masa-masa yang akan datang.
Dengan pola produktif ini,
tentunya tidak akan mustahil zakat dapat mempunyai peranan yang sangat penting
dalam membuka lapangan pekerjaan baru, meningkatkan derajat hidup orang-orang
miskin untuk selalu kekurangan dan meningkatkan tali persaudaraan si kaya dan si
miskin. Landasan awal pengelolaan zakat produktif ini adalah bagaimana dana
zakat tidak habis dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi lebih bermakna
karena digunakan untuk melancarkan usahanya. Bukankah Nabi Muhammad saw telah
mengingatkan kita sebagaimana terdapat dalam hadits beliau yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari: "Tidak ada sesuatu makanan yang lebih baik bagi seseorang,
melainkan apa yang dihasilkan dari karya tangannya sendiri." Disamping itu ada
Pepatah mengatakan, Berikanlah kail, bukan ikannya. Oleh sebab itu, Modal usaha
yang digulirkan dari dana zakat diharapkan menjadi kail yang mampu menangkap
ikan-ikan yang tersedia di alam. Dengan demikian ia akan dapat berusaha sendiri
dalam meningkatkan tingkat perekonomiannya sehari-hari.
Kemudian, kewajiban lain
yang harus dilakukan pengelola zakat setelah menyalurkan zakat secara produktif
adalah melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahiq agar kegiatan
usahanya dapat berjalan dengan baik. Pembinaan dan pendampingan tidak hanya
diberikan untuk memperkuat sisi rohani mustahiq, tetapi juga sisi manajerial dan
kemampuan wirausahanya. Harapannya, dengan kemampuan tersebut kehidupannya akan
lebih sejahtera. Fakta yang berkembang di lapangan menunjukkan, pengentasan
kemiskinan seakan-akan menjadi tanggung jawab negara sepenuhnya. Berkaca pada
sejarah, melalui instrumen zakat, kita melihat alternatif lain yang teruji dalam
mensejahterakan masyarakat. Tentu saja butuh kapasitas lebih dari pengelola
zakat untuk mengimplementasikan konsep pemberdayaan ini, baik dari segi sumber
daya manusia (SDM) maupun sistem yang dimilikinya.
Dalam penyaluran zakat
produktif, ketrampilan khusus mustahiq merupakan faktor yang penting disamping
ada faktor yang paling penting yaitu kejujuran. Orang yang memiliki ketrampilan
khusus ataupun mempunyai bakat berdagang, berhak mendapatkan bagian dari zakat
yang ada, agar ia mampu menjalankan profesinya. Diharapkan pada akhirnya, ia
mampu mendapatkan penghasilan tetap yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
Bahkan mencukupi kebutuhan keluarganya dengan teratur dan untuk selamanya. Imam
Nawawi yang merupakan ahli tasawuf pada zamannya menjabarkan dalam sebuah
hadits: "Sesungguhnya Allah mencintai mukmin yang profesional (mempunyai
keahlian). Sedangkan bagi orang yang lemah dan tidak mampu untuk menjalankan
ketrampilan, profesi ataupun bekerja untuk mencari nafkah bagi kehidupannya,
Islam telah mempunyai suatu hukum yang khusus."
Dalam hal ini, Imam An
Nawawi menjelaskan dalam “Majmu” pada pembahasan tentang kadar dan ukuran zakat
yang disalurkan kepada fakir miskin yang ia nuqil dari fiqh mazhab Syafi’i:
Apabila ia terbiasa dalam melakukan suatu ketrampilan tertentu, maka ia
diberikan zakat untuk dapat membeli semua keperluan yang dibutuhkan agar dapat
menunjang ketrampilannya tersebut ataupun untuk membeli alat-alatnya, baik dalam
harga murah maupun mahal, dengan ukuran tersebut ia mampu mendapatkan keuntungan
dari hasil usahanya. Karena itu, ukuran ini berbeda disetiap profesi,
ketrampilan, daerah, zaman dan juga orang yang menerimanya. Para Sahabat kami
pun telah memberikan pendekatan-pendekatan dalam hal ini dengan ungkapan mereka;
Apabila seseorang berprofesi sebagai pedagang jeruk, maka ia mendapatkan
zakatnya sebesar lima sampai sepuluh dirham; bila ia berprofesi sebagai pedagang
perhiasan, maka ia diberikan zakatnya sepuluh ribu dirham, jika dianggap ia
tidak akan mencapai keuntungan kurang darinya …. atau semisal ia adalah seorang
yang berprofesi sebagai money
changer, maka
ia diberikan uang sesuai dengan kebutuhannya tersebut. Dan, apabila seseorang
adalah tukang jahit, tukang kayu, tukang daging, atau lainnya, maka ia diberikan
uang zakat yang cukup untuk dibelikan barang-barang penunjangnya. Apabila
seseorang berprofesi sebagai ahli pertanian, maka ia diberikan zakatnya berupa
dana awal yang dapat digunakan membeli alat-alat pertanian secara permanen.
Namun apabila seseorang belum menguasai suatu keahlian dan ketrampilan yang
dapat menopang dalam memenuhi kehidupan sesuai dengan kebutuhan hidup
orang-orang seumurannya dan daerah di mana ia hidup, namun kebutuhannya tersebut
tidak hanya diukur dalam setahun.
Pendayagunaan zakat
produktif telah dilaksanakan di beberapa negara misalnya Malaysia yang telah
menyalurkan zakat produktif dalam bentuk modal usaha, pendidikan, home industri,
perusahaan, catering, taylor dan lain sebagainya yang kesemuanya ditujukan dalam
rangka untuk lebih cepat meningkatkan tingkat perekonomian kaum dhuafa. Hal ini
disampaikan dalam Tuan Haji Sharir bin Mukhtar. Bahkan zakat produktif ini
disampaikan hampir seluruh Nara Sumber yang ada diantaranya terdiri dari
pakar-pakar zakat se Asia Tenggara.
Di Indonesia, juga tidak
kalah dengan Malaysia, misalnya program bantuan becak, modal usaha perdagangan,
pelatihan bengkel dan lain sebagainya yang disalurkan oleh Dompet Dhuafa. Di
Aceh, penyaluran zakat produktif telah dilaksanakan, namun pada masyarakat kita
terkadang timbul polemik. Artinya ada sebahagian masyarakat kita yang
beranggapan bahwa zakat harus disalurkan secara penuh (konsumtif) dan tidak
boleh bergulir (revoving fund), apabila polemik ini terus terjadi, maka Aceh
yang merupakan satu-satunya daerah yang mendapatkan legitimasi untuk
melaksanakan syari’at Islam dikhawatirkan tidak akan dapat mengurangi jumlah
kaum dhuafa melalui dana zakat, padahal zakat merupakan solusi yang ditawarkan
Islam dalam mengurangi jumlah kaum dhuafa. Program penyaluran zakat produktif di
Aceh diantaranya dilakukan dalam bentuk pemberian modal usaha (pertanian,
perdagangan), home industri, becak, mesin jahit, penggemukan lembu, dan lain
sebagainya. Pola yang diterapkan berbeda-beda, ada yang memakai sistem
Mudharabah dan Qardhul Hasan. Wallahu ‘Alam Bis Shawab.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
§An Nawawi, Majmu'
Syarah al Muhadzdzab, Daaru al Fikr, Bairut,
2002
§Amiruddin Inoed dkk,
Anatomi
Fqih Zakat,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
§Ensiklopedi Hukum Islam,
jilid 6, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006
§Sahri Muhammad,
Mekanisme
Zakat dan Permodalan Masyarakat Miskin, Malang, Bahtera Press,
2006
§Wahyu Dwi Agung dkk,
Zakat
dan Peran Negara, Jakarta: Forum Zakat
(FOZ), 2006
§Yusuf Qardhawi, Dauru Al
Zakat, terj. Sari Narulita, Spektrum
Zakat Dalam Memberdayakan Ekonomi Kerakyatan, Jakarta Timur : Zikrul
Hakim, 2005