Rasulullah bersabda, “Barangsiap a yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayat kan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)
Pendapat ulama Al Albani , contohnya termuat pada http:// almanhaj.or .id/ content/ 2324/slash/ 0
“matan (redaksi) hadits ini tidak sah, sebab zhahirnya mencakup orang yang melakukan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-ruku nnya. Yang mana syari’at ini menghukumi nya sah. Meskipun orang yang melakukan shalat tersebut terus menerus melakukan beberapa maksiat, maka bagaimana mungkin hanya karena itu, shalatnya tidak akan menambah kecuali jarak yang semakin jauh. Hal ini tidak masuk akal dan tidak disetujui oleh syari’at ini”
Kami garis bawahi pendapat beliau, “meskipun orang yang melakukan shalat tersebut terus menerus melakukan beberapa maksiat, maka bagaimana mungkin hanya karena itu, shalatnya tidak akan menambah kecuali jarak yang semakin jauh“
Dengan kata lain ulama Al Albani berkeyakin an bahwa orang terus menerus melakukan beberapa maksiat, tidak apa-apa, asalkan melakukan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-ruku nnya
Padahal orang yang sholat namun masih terus menerus melakukan beberapa maksiat menandakan sholatnya lalai
Firman Allah Azza wa Jalla, yang artinya
`…. maka celakalah orang-oran g yang sholat, (yaitu) orang-oran g yang lalai dalam sholatnya, dan orang-oran g yang berbuat riya” (QS Al-Ma’un 107: 4-6)
“… dan janganlah kamu termasuk orang-oran g yang lalai“(QS Al A’raaf 7: 205)
“Sesungguhn ya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).
Barangsiap a tidak khusyuk dalam sholatnya dan pengawasan Allah tidak tertanam dalam jiwanya atau qalbunya, maka ia telah bermaksiat dan berhak mendapatka n siksa Allah ta’ala. Segelintir kaum muslim, ibadah sholat mereka sekedar upacara keagamaan (ritual) atau gerakan-ge rakan yang bersifat mekanis (amal) yang sesuai syarat dan rukun-ruku nnya (ilmu), sebagaiman a robot sesuai programnya .
Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhn ya Allah tidak melihat kepada rupa kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)
"Tidak melihat kepada rupa kalian" maknanya tidak memperhitu ngkan perbuatan yang tampak terlihat atau tidak memperhitu ngkan apa yang dilakukan secara dzahir.
Tidaklah mereka mencapai sholat yang dikatakan oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bahwa “Ash-shalat ul Mi’rajul Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-oran g mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalk an ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhn ya kalian apabila sholat maka sesungguhn ya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”
Allah berfirman yang artinya,
“Sesungguh nya sembahyang (Sholat) itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhn ya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).
Sholat adalah saat-saat utama bertemu dengan Allah Azza wa Jalla, hal ini dialami mereka yang telah berma’rifa t atau mereka yang telah mencapai muslim yang Ihsan (muhsin/ muhsinin)
Apakah Ihsan ?
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَا نُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah , apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Ny a, maka jika kamu tidak melihat-Ny a maka sesungguhn ya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11)
Ada dua kondisi yang dicapai oleh muslim yang ihsan
Kondisi minimal adalah mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla
Kondiri terbaik adalah mereka yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Ny a?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah- Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Ny a? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Rasulullah bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaim u dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Muslim yang merasa/ meyakini diawasi Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb atau muslim yang Ihsan maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , mencegah dirinya dari perbuatan maksiat, mencegah dirinya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. Sehingga terwujud dalam berakhlaku l karimah. Inilah tujuan Rasulullah diutus oleh Allah ta’ala
Rasulullah menyampaik an yang maknanya “Sesungguhn ya aku diutus (Allah) untuk menyempurn akan Akhlak.” (HR Ahmad).
Tanggapan lain terhadap pendapat ulama Al Albani yang salah memahami beberapa hadits lainnya termuat dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2010/04/ inilahahlus sunnahwalj amaah.pdf
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830