Setelah kami kaji lebih jauh mengapa mereka salah memahami tentang bid'ah, tampaknya dikarenaka n mereka belum paham yang dimaksud perkara syariat
Perkara syariat atau "urusan kami" adalah apa yang telah diwajibkan Nya yakni wajib dijalankan dan wajib dijauhi meliputi,
Perkara kewajiban yang jika ditinggalk an berdosa
Perkara larangan yang jika dilanggar/ dikerjakan berdosa
Perkara pengharama n yang jika dilanggar/ dikerjakan berdosa
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarka n akal pikiran, sesungguhn ya agama itu dari Tuhan, perintah-N ya dan larangan-N ya.” (Hadits riwayat Ath-Thabar ani)
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhn ya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggal kan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjaka n berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamk an sesuatu (dikerjaka n berdosa), maka jangan kamu pertengkar kan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincang kan dia.” (Riwayat Daraquthni , dihasankan oleh an-Nawawi)
Urusan agama atau perkara syariat atau perkara yang diwajibkan Nya telah sempurna.
Rasulullah shallallah u ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatka n kamu dari surga dan menjauhkan mu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“mendekatka n dari surga” = perkara kewajiban (ditinggal kan berdosa)
“menjauhkan dari neraka” = perkara larangan dan perkara pengharama n (dikerjaka n berdosa)
Dalam perkara syariat atau ibadah yang diwajibkan Nya (wajib dijalankan dan wajib dijauhi) harus sesuai dengan apa yang telah dicontohka n atau dikerjakan oleh Rasulullah . Perkara baru dalam perkara syariat adalah bid'ah dholalah
Perkara syariat atau ibadah yang diwajibkan Nya (wajib dijalankan dan wajib dijauhi) maka berlaku, “hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang mensyari’a tkannya atau menetapkan nya”.
Sedangkan ibadah diluar perkara syariat atau diluar dari apa yang telah diwajibkan Nya (wajib dijalankan dan wajib dijauhi) maka berlaku, “hukum asal segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang melarangny a”
Perbuatan diluar perkara syariat atau diluar dari apa yang telah diwajibkan Nya (wajib dijalankan dan wajib dijauhi) tidak harus sesuai dengan apa yang telah dicontohka n atau dikerjakan oleh Rasulullah .
Perkara baru diluar perkara syariat atau diluar dari apa yang telah diwajibkan Nya (wajib dijalankan dan wajib dijauhi) jika bertentang an dengan Al Qur'an dan As Sunnah adalah bid'ah dholalah
Perkara baru diluar perkara syariat atau diluar dari apa yang telah diwajibkan Nya (wajib dijalankan dan wajib dijauhi) jika tidak bertentang an dengan Al Qur'an dan As Sunnah adalah bid'ah hasanah atau mahmudah
Imam Asy Syafi’i ~rahimahul lah berkata “Apa
yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau
ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah.
Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Para Imam Mujtahid dalam beristinba t, menetapkan hukum perkara suatu ibadah kedalam hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah) menghindar i al-Maslaha h al-Mursala h atau Al-Istisla h atau kadang disamakan juga dengan al-Istihsa n yakni “Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma’ terhadapny a, dengan berdasarka n pada kemaslahat an semata (yang oleh syara’ (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun dilarang”
Menurut Imam Syafi’i cara-cara penetapan hukum seperti itu sekali-kal i bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunaka nnya sama dengan menetapkan syari’at berdasarka n hawa nafsu atau berdasarka n pendapat sendiri (akal pikiran sendiri) yang mungkin benar dan mungkin pula salah.
Ibnu Hazm termasuk salah seorang ulama yang menolak cara-cara penetapan hukum seperti itu Beliau menganggap bahwa cara penetapan seperti itu menganggap baik terhadap sesuatu atau kemashlaha tan menurut hawa nafsunya (akal pikiran sendiri), dan itu bisa benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamk an sesuatu tanpa dalil.
Menetapkan sebagai perkara larangan atau pengharama n yang dikerjakan / dilanggar berdosa atau sebagai perkara kewajiban yang ditinggalk an berdosa berdasarka n maslahah mursalah atau berdasarka n akibat baik dan buruk menurut akal pikiran manusia termasuk kedalam bid'ah dholalah karena yang mengetahui baik dan buruk bagi manusia hanyalah Allah Azza wa Jalla
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Katakanlah ! Siapakah yang berani mengharamk an perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hamb aNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah ! Tuhanku hanya mengharamk an hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadany a dan apa yang tersembuny i dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutuk an Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui .” (QS al-A’raf: 32-33)
Contoh perkara baru diluar perkara syariat atau diluar dari apa yang telah diwajibkan Nya (wajib dijalankan dan wajib dijauhi) yang tidak bertentang an dengan Al Qur'an dan As Sunnah adalah peringatan
Maulid, sholawat badar, sholawat nariyah, ratib al Hadad , qashidah
burdah, maulid barzanji , dan semua amalan baru lainnya yang tidak
bertentang an dengan Al Qur'an dan As Sunnah.
Berikut pendapat para Hafidh, mereka yang menghafal dan memahami lebih dari 100.000 hadits tentang peringatan Maulid
Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahull ah (Guru imam Nawawi) : “Merupakan
Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang
diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallah u alaihi wasallam dengan banyak bersedekah , dan kegembiraa n, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallah u alaihi wasallam dan membangkit kan rasa cinta pada beliau shallallah u alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallah u alaihi wasallam”.
Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahull ah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissy ariif : “Telah diriwayatk an Abu Lahab diperlihat kan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu? , ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaska n budakku Tsuwaibah demi kegembiraa nku atas kelahiran Nabi shallallah u alaihi wasallam dan karena Tsuwaibah menyusuiny a ” (shahih Bukhari hadits no.4813). maka apabila Abu Lahab Kafir yang Alqur’an turun mengatakan nya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi shallallah u alaihi wasallam, maka bagaimana dengan muslim ummat Muhammad shallallah u alaihi wasallam yang gembira atas kelahiran Nabi shallallah u alaihi wasallam?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh-su ngguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.”
Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah berkata “tidak dilaksanak an maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanak an setelahnya , dan tetap melaksanak annya umat Islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memperhati kan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar”.
Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahull ah dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaa n maulid di bulan kelahiran nabi shallallah u alaihi wasallam”
Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahull ah, dengan karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, “Sesungguhn ya membawa keselamata n tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakann ya”.
Imam Al Hafidh Al Qasthalani y rahimahull ah dalam kitabnya Al Mawahibull adunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”
Seluruh sikap dan perbuatan atau amalan diluar perkara syariat atau diluar dari apa yang telah diwajibkan Nya (wajib dijalankan dan wajib dijauhi) yang tidak bertentang an dengan Al Qur'an dan As Sunnah atau yang tidak bertentang an dengan apa yang telah diwajibkan Nya atau tidak bertentang an dengan perkara syariat atau tidak menyelisih i syar’i disebut amalan sunnah atau amal kebaikan.
Amalan sunnah atau amal kebaikan tidak harus apa yang telah dicontohka n atau dilakukan oleh Rasulullah maupun para Sahabat. Melakukan perbuatan yang tidak bertentang an dengan Al Qur'an dan As Sunnah atau tidak bertentang an dengan perkara syariat atau tidak menyelisih i syar’i adalah menjalanka n sunnah untuk berbuat kebaikan.
Secara matematis , “tidak bertentang an” = “tidak menyelisih i” = sesuai
“tidak bertentang an” dengan Al Qur’an dan As Sunnah = ”tidak menyelisih i” perkara syariat = “tidak menyelisih i” syar’i = sesuai dengan syar’i , sesuai dengan syariat untuk berbuat kebaikan
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Sesungguhn ya Allah beserta orang-oran g yang bertakwa dan orang-oran g yang berbuat kebaikan” (QS An Nahl [16]: 28)
Jelas kesalahpah aman mereka yang berpendapa t bahwa hal yang baik hanyalah apa yang telah dilakukan oleh para Sahabat dengan kaidah mereka “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIHI” (Seandainy a hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukann ya).
Apakah hal baik hanya apa yang dilakukan oleh Sahabat saja ?
Bagaimana hal yang baik yang pernah dilakukan kaum sebelum
Muhammad bin Abdullah diutus sebagai Rasul Allah, apakah menjadi tidak
baik karena para Sahabat tidak melakukann ya ?
Bagaimana hal yang baik dilakukan oleh kaum muslim setelah
generasi Sahabat sampai akhir zaman menjadi tidak baik karena para
Sahabat tidak melakukann ya ?
Kesalahpah aman kaidah tersebut telah disampaika n dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/01/16/ bukan-perka taan-salaf /
Seorang muslim melakukan segala sikap dan perbuatan atau
amalan diluar perkara syariat atau diluar dari apa yang telah
diwajibkan Nya (wajib dijalankan dan wajib dijauhi) yang tidak bertentang an dengan Al Qur'an dan As Sunnah atau yang tidak bertentang an dengan apa yang telah diwajibkan Nya atau tidak bertentang an dengan perkara syariat atau tidak menyelisih i syar’i atau amalan sunnah atau amal kebaikan bertujuan untuk memperjala nkan dirinya agar sampai (wushul) kepada Allah atau mendekatka n diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman “hamba-Ku tidak bisa mendekatka n
diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang
telah Aku wajibkan (perkara syariat), jika hamba-Ku terus menerus
mendekatka n diri kepadaKu dengan amalan sunnah (amal kebaikan), maka Aku mencintai dia" (HR Bukhari 6021)
Seorang muslim melakukan segala sikap dan perbuatan atau
amalan diluar perkara syariat atau diluar dari apa yang telah
diwajibkan Nya (wajib dijalankan dan wajib dijauhi) yang tidak bertentang an dengan Al Qur'an dan As Sunnah termasuk amalan / perbuatan mengingat Allah (dzikrullah) .
Seluruh dzikrullah bertujuan untuk memperjala nkan diri agar sampai (wushul) kepada Allah atau mendekatka n diri kepada Allah Azza wa Jalla
Dalam suatu riwayat. ”Qoola a’liyy bin Abi Thalib: Qultu yaa Rosuulollo h ayyun thoriiqoti n aqrobu ilallohi? Faqoola Rasulluloh i: dzikrullah i”. artinya; “Ali Bin Abi Thalib berkata; “aku bertanya kepada Rasullulah , jalan/ metode(Thar iqot) apakah yang bisa mendekatka n diri kepada Allah? “Rasullula h menjawab; “dzikrulla h.”
Dalam urusan mendekatka n diri kepada Allah ta’ala, carilah jalan (washilah) masing-mas ing asalkan akhirnya adalah mencapai muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang ihsan.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai orang-oran g yang beriman, bertakwala h kepada Allah dan carilah jalan (washilah) yang mendekatka n diri kepada-Nya , dan berjihadla h pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntun gan” (QS Al Maa’idah [5]: 35 )”
Contohnya Bilal ra memilih jalan mendekatka n diri kepada Allah dengan amal kebaikan berupa selalu menjaga wudhunya dan menjalanka n sholat selain sholat yang telah diwajibkan Nya
Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada Bilal ketika shalat Shubuh: “Hai Bilal, katakanlah
kepadaku apakah amalanmu yang paling besar pahalanya yang pernah kamu
kerjakan dalam Islam, karena tadi malam aku mendengar derap sandalmu di
dalam surga? ‘ Bilal menjawab; ‘Ya Rasulullah , sungguh saya tidak mengerjaka n
amal perbuatan yang paling besar pahalanya dalam Islam selain saya
bersuci dengan sempurna, baik itu pada waktu malam ataupun siang hari.
lalu dengannya saya mengerjaka n shalat selain shalat yang telah diwajibkan Allah kepada saya.” (HR Muslim 4497)
Tanda-tand a seorang muslim telah dekat dengan Allah atau telah mentaati Allah dan RasulNya sehingga mendapatka n
maqom disisiNya minimal adalah mencapai muslim yang sholeh sehingga
berkumpul dengan 4 golongan muslim disisiNya yakni para Nabi
(Rasululla h yang utama), para Shiddiqin, para Syuhada dan muslim yang sholeh.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan barangsiap a yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya) , mereka itu akan bersama-sa ma dengan orang-oran g yang dianugerah i ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqii n, orang-oran g yang mati syahid, dan orang-oran g saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-bai knya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Semakin dekat kita kepada Allah sehingga menjadi kekasihNya (Wali Allah). Maqom Shiddiqin atau kedekatan dengan Allah diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/09/09/ 2011/09/28/ maqom-wali- allah/
Diantara para salaf yang sholeh pun terdapat perbedaan maqom kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla sebagaiman a yang dapat diketahui dalam hadits berikut.
Suatu hari Umar r.a. kedatangan rombongan dari Yaman, lalu ia bertanya :
“Adakah di antara kalian yang datang dari suku Qarn?”.
Lalu seorang maju ke dapan menghadap Umar. Orang tersebut saling bertatap pandang sejenak dengan Umar. Umar pun memperhati kannya dengan penuh selidik.
“Siapa namamu?” tanya Umar.
“Aku Uwais”, jawabnya datar.
“Apakah engkau hanya mempunyai seorang Ibu yang masih hidup?, tanya Umar lagi.
“Benar, Amirul Mu’minin”, jawab Uwais tegas.
Umar masih penasaran lalu bertanya kembali “Apakah engkau mempunyai bercak putih sebesar uang dirham?” (maksudnya penyakit kulit berwarna putih seperti panu tapi tidak hilang).
“Benar, Amirul Mu’minin, dulu aku terkena penyakit kulit “belang”, lalu aku berdo’a kepada Allah agar disembuhka n. Alhamdulil lah, Allah memberiku kesembuhan kecuali sebesar uang dirham di dekat pusarku yang masih tersisa, itu untuk mengingatk anku kepada Tuhanku”.
“Mintakan aku ampunan kepada Allah”.
Uwais terperanja t mendengar permintaan Umar tersebut, sambil berkata dengan penuh keheranan. “Wahai Amirul Mu’minin, engkau justru yang lebih behak memintakan kami ampunan kepada Allah, bukankah engkau sahabat Nabi?”
Lalu Umar berkata “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallah u alaihi wasallam berkata “Sesungguh nya sebaik-bai k Tabiin adalah seorang bernama Uwais, mempunyai seorang ibu yang selalu dipatuhiny a, pernah sakit belang dan disembuhka n Allah kecuali sebesar uang dinar di dekat pusarnya, apabila ia bersumpah pasti dikabulkan Allah. Bila kalian menemuinya mintalah kepadanya agar ia memintakan ampunan kepada Allah”
Uwais lalu mendoa’kan Umar agar diberi ampunan Allah. Lalu Uwais pun menghilang dalam kerumunan rombongan dari Yaman yang akan melanjutka n perjalanan ke Kufah. (HR Ahmad, HR Muslim 4612)
Muslim yang memperjala nkan diri hingga sampai (wushul) kepada Allah atau muslim yang mendekatka n diri kepada Allah akan mencapai muslim yang Ihsan hingga dapat menyaksika n Allah dengan hati atau mencapai muslim berma’rifa t
Keadaan muslim yang Ihsan diuraikan oleh Rasulullah sebagai “Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Ny a (berma’rif at), maka jika kamu tidak melihat-Ny a maka sesungguhn ya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11)
Rasulullah bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaim u dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Ny a?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah- Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Ny a? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Jika belum dekat dengan Allah atau belum dapat menyaksika n Allah dengan hati atau belum mencapai ma’rifat maka setiap kita akan bersikap atau melakukan perbuatan, ingatlah selalu perkataan Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bahwa “Jika kamu tidak melihat-Ny a maka sesungguhn ya Dia melihatmu. ’ (HR Muslim 11)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830