Dalam tulisan sebelumnya pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/01/13/ tanggapan-b antahan-bi dah/ kami telah tanggapi tiga buah bantahan mereka akan adanya bid’ah hasanah.
Contoh bid’ah hasanah lainnya adalah pembukuan Al Qur’an, perbuatan ini tidak dilakukan atau tidak dicontohka n oleh Rasulullah .
Mereka membantah dengan pendapat bahwa perbuatan pembukuan Al Qur’an adalah termasuk maslahah mursalah. Kemudian mereka menyampaik an perbedaan maslahah mursalah dengan bid’ah
Maslahah Mursalah : Bisa bertambah dan berkurang atau bahkan ditinggalk an sesuai dengan kebutuhan, karena ia sekedar sarana & bukan tujuan hakiki, alias bukan ibadah yang berdiri sendiri.
Bid’ah : Bersifat paten dan dipertahan kan hingga tidak bertambah atau berkurang, karena ia merupakan tujuan hakiki alias ibadah yang berdiri sendiri dan bukan sarana.
Kalau kita pelajari batasan bid’ah yang mereka sampaikan dan dimaksud oleh mereka tentu sebagai bid’ah dholalah maka perbuatan pembukuan Al Qur’an termasuk bid’ah dholalah sesuai batasan yang mereka sampaikan.
Perbuatan pembukuan Al Qur’an bersifat paten dan terus dipertahan kan , tidak bertambah atau berkurang sebagaiman a yang dicontohka n oleh Salafush Sholeh. Kalau jumlah atau bentuk atau tekhnologi pembukuan Al Qur'an termasuk dalam perbuatan pembukuan Al Qur’an.
Tanda-tand a waqaf, saktah, isymam, dan semisalnya adalah untuk kemudahan untuk membacanya namun perbuatann ya adalah pembukuan Al Qur'an. Sedangkan bentuk pembukuan Al Qur'an dalam bentuk kaset, cd, gadget hanyalah perbedaan bentuk, perbuatann ya tetap pembukuan Al Qur’an
Perbuatan pembukuan Al Qur'an , tujuannya hakiki untuk memudahkan kaum muslim untuk membaca, mengetahui , memahami Al Qur'an sampai akhir zaman
Perbuatan pembukuan Al Qur’an adalah bid’ah (perkara baru) karena tidak pernah dilakukan atau dicontohka n oleh Rasulullah .
Perbuatan pembukuan Al Qur’an adalah bid’ah hasanah karena perbuatan tersebut diluar perkara syariat atau diluar dari apa yang telah diwajibkan oleh Allah Azza wa Jalla dan tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Contoh bid’ah hasanah lainnya adalah perjalanan ibadah haji menggunaka n pesawat terbang ,tentu suatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan atau dicontohka n oleh Rasulullah
Penggunaan pesawat terbang untuk perjalanan ibadah haji diluar perkara syariat atau diluar dari apa yang telah diwajibkan oleh Allah Azza wa Jalla dan tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah sehingga termasuk bid’ah hasanah
Mereka membantah dengan pendapat sebagai berikut,
Penggunaan pesawat terbang untuk perjalanan ibadah haji adalah bid’ah , tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam melaksanak an ibadah haji namun bid'ah secara bahasa jadi hukumnya mubah (boleh) dan merupakan urusan dunia berlandask an perkataan Rasulullah shallallah u alaihi wasallam , “wa antum a’lamu bi amri dunyakum, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-uru san duniamu”. (HR. Muslim 4358 ).
Berdasarka n pendapat mereka tersebut dengan sendirinya mereka membagi bid’ah kedalam dua kategori yakni urusan dunia dan urusan agama walaupun hadits yang berbunyi “kullu bid’atin dholalah” mereka maknai sebagai “seluruh bid’ah adalah dholalah”. Dalam hadits tersebut yang dimaksud dengan bid’ah (mereka katakan) adalah bid’ah (perkara baru) dalam urusan agama.
Hati-hatil ah jangan sampai terjerumus ke dalam paham sekulerism e, paham yang memisahkan urusan dunia dan urusan agama (urusan akhirat).
Firman Allah Azza wa Jalla, alyawma akmaltu lakum diinakum, “Pada hari ini telah Kusempurna kan untuk kamu agamamu” (QS Al Maaidah [5]:3)
Islam itu din yang sempurna, tercakup di dalamnya semua aspek kehidupan di dunia untuk kebahagiaa n di akhirat. Aspek-aspe k itu antara lain kehidupan berpolitik , bermasyara kat, bernegara, bermuamala h dan sebagainya
Apakah sikap dan perbuatan yang termasuk urusan dunia boleh bertentang an dengan Al Qur'an dan As Sunnah ?
Setiap sikap dan perbuatan manusia urusan dunia maupun urusan akhirat harus tetap merujuk dengan Al Qur’an dan As Sunnah dan menetapkan nya dalam hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah). Perbuatan merujuk dengan Al Qur’an dan As Sunnah termasuk dzikrullah (mengingat Allah).
Jadi urusan dunia adalah ibadah juga. Jika urusan dunia tersebut bertentang an dengan Al Qur'an dan As Sunnah maka termasuk amal keburukan (sayyiah) dan jika urusan dunia tersebut tidak bertentang an dengan Al Qur'an dan As Sunnah maka termasuk amal kebaikan.
Urusan dunia yang tidak bertentang an dengan Al qur'an dan As Sunnah dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maka termasuk juga ke dalam bid'ah hasanah
Urusan dunia tidak boleh dilepaskan dengan urusan akhirat, bahkan urusan dunia seperti "jual beli" terkait pula dengan perkara syariat.
Perkara syariat atau disebut dalam beberapa hadits sebagai "urusan agama" atau "urusan kami" adalah, "segala perkara yang telah disyaratka n oleh Allah Azza wa Jalla yang harus dipenuhi sebagai hamba Allah yakni menjalanka n segala apa yang telah ditetapkan Nya atau diwajibkan Nya, wajib dijalankan dan wajib dijauhi, meliputi menjalanka n kewajibanN ya yang jika ditinggalk an berdosa, menjauhi segala yang telah dilarangNy a yang jika dilanggar berdosa dan menjauhi segala yang telah diharamkan Nya yang jika dilanggar berdosa".
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “sesungguhn ya agama itu dari Tuhan, perintah-N ya dan larangan-N ya.” (Hadits riwayat Ath-Thabar ani)
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhn ya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggal kan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjaka n berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamk an sesuatu (dikerjaka n berdosa), maka jangan kamu pertengkar kan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincang kan dia.” (Riwayat Daraquthni , dihasankan oleh an-Nawawi)
Sebagai hamba Allah maka seluruh sikap dan perbuatan kita adalah untuk beribadah kepada Allah ta’ala karena itulah tujuan kita diciptakan Nya. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/12/15/ seluruhnya- ibadah/
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Aku tidak menciptaka n jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS Adz Dzaariyaat 51 : 56)
“Beribadahl ah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputm u” (QS al Hijr [15] : 99)
Perbuatan sebagai hamba Allah hanya 2 kategori yakni perkara syariat dan diluar perkara syariat
Dalam perkara syariat berlaku “hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang mensyari'a tkannya atau menetapkan nya”.
Dalam perkara syariat harus sesuai dengan apa yang disampaika n dan dicontohka n oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Perkara baru (bid’ah) dalam perkara syariat, perkara baru dalam perkara kewajiban (jika ditinggalk an berdosa), perkara larangan (jika dilanggar berdosa) maupun perkara pengharama n (jika dilanggar berdosa) adalah bid’ah dholalah.
Rasulullah shallallah u ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatka n kamu dari surga dan menjauhkan mu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“mendekatk an dari surga” = perkara kewajiban (ditinggal kan berdosa)
“menjauhka n dari neraka” = perkara larangan dan perkara pengharama n (dikerjaka n berdosa)
Jika ulama berfatwa dalam perkara kewajiban (ditinggal kan berdosa), perkara larangan (dikerjaka n berdosa) dan perkara pengharama n (dikerjaka n berdosa) wajib berlandask an dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Katakanlah ! Siapakah yang berani mengharamk an perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hamb aNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah ! Tuhanku hanya mengharamk an hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadany a dan apa yang tersembuny i dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutuk an Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui .” (QS al-A’raf: 32-33)
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-se but oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-ad akan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhn ya orang-oran g yang mengada-ad akan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [QS. An-Nahl : 116].
Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hamb aKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokka n mereka dari agamanya, dan mengharamk an atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaru hi supaya mereka mau menyekutuk an Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim).
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda :
من حلل حراما او حرم حلالا فقد كفر
“Barangsiap a menghalalk an sesuatu yang haram atau mengharamk an sesuatu yang halal, maka dia telah kafir.”
Sedangkan sikap dan perbuatan, diluar perkara syariat (diluar dari apa yang telah diwajibkan Nya) berlaku “hukum asal segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang melarangny a”
Sikap dan perbuatan, diluar perkara syariat (diluar dari apa yang telah diwajibkan Nya) yang tidak pernah dicontohka n oleh Rasulullah berlaku kaidah sebagai berikut
1. Jika bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah dholalah
2. Jika tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah
Imam Syafi’i ~rahimahul lah berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Imam Syafi’i ~rahimahul lah berkata “Perkara-p erkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentang an dengan kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini adalah bid’ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentang an dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayat kan oleh al Hafizh al Baihaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’ i”, Juz I, h. 469)
Perselisih an terjadi disebabkan kesalahpah aman mereka memaknai hadits, "Kullu bid'atin dholalah"
Pengertian kullu ada 3 macam yakni
1. syay’in artinya setiap satu
2. ba’din artinya setiap sebagian
3. jam’in artinya setiap semua.
Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan : “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususka n kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154)
Dikatakan sebagian besar atau kebanyakan bid'ah itu sesat karena bid'ah dholalah adalah perkara baru dalam perkara syariat (perkara yang telah diwajibkan Nya) dan perkara baru diluar perkara syariat yang bertentang an dengan Al Qur'an dan As Sunnah. Sedangkan bid'ah hasanah hanyalah perkara baru diluar perkara syariat yang tidak bertentang an dengan Al Qur'an dan As Sunnah.
Berikut kami uraikan penyalahgu naan hadits, wa antum a’lamu bi amri dunyakum, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-uru san duniamu”. (HR. Muslim 4358 ) yang dilakukan oleh kaum sekulerism e
Hadits selengkapn ya,
حَدَّثَنَ ا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ كِلَاهُمَا عَنْ الْأَسْوَد ِ بْنِ عَامِرٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ وَعَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُو نَ فَقَالَ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ قَالَ فَخَرَجَ شِيصًا فَمَرَّ بِهِمْ فَقَالَ مَا لِنَخْلِكُ مْ قَالُوا قُلْتَ كَذَا وَكَذَا قَالَ أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُم ْ
Telah menceritak an kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan 'Amru An Naqid seluruhnya dari Al Aswad bin 'Amir; Abu Bakr berkata; Telah menceritak an kepada kami Aswad bin 'Amir; Telah menceritak an kepada kami Hammad bin Salamah dari Hisyam bin 'Urwah dari Bapaknya dari 'Aisyah dan dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi shallallah u 'alaihi wasallam pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinka n pohon kurma lalu beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukann ya, kurma itu akan (tetap) baik”. Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi shallallah u 'alaihi wasallam melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau bertanya: 'Ada apa dengan pohon kurma kalian? Mereka menjawab; Bukankah anda telah mengatakan hal ini dan hal itu? Beliau lalu bersabda: 'Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian' (HR Muslim 4358)
Kaum sekulerism e berpendapa t urusan dunia tidaklah diurus oleh agama, terbukti dalam hadits tersebut Rasulullah salah memberikan nasehat dalam penanaman kurma berikut contoh pernyataan mereka selengkapn ya
"Ketika Nabi shallalahu alaihi wasallam memberikan nasihat tentang cara mengawinka n pohon kurma supaya berbuah, ini bisa dianggap bahwa beliau sudah memasukkan otoritas agama untuk urusan duniawi yang di mana beliau tidak mendapatka n wahyu atau kewenangan untuk itu. Tapi ternyata dalam masalah menanam kurma ini pendapat beliau keliru. Pohon kurma itu malah menjadi mandul. Maka para petani kurma itu mengadu lagi kepada Nabi saw, meminta pertanggun gjawaban beliau. Dan beliau menyadari kesalahan advisnya waktu itu dan dengan rendah hati berkata, “Kalau itu berkaitan dengan urusan agama ikutilah aku, tapi kalau itu berkaitan dengan urusan dunia kamu, maka “Antum a’lamu bi umuri dunyaakum” , kamu sekalian lebih mengetahui urusan duniamu. Rasulullah mengakui keterbatas annya. Rasulullah bukanlah penentu untuk segala hal. Rasul bukanlah orang yang paling tahu untuk segala hal. Bahkan untuk urusan dunia di jaman beliau pun beliau bukanlah orang yang paling tahu. Jadi tidak mungkin jika kita menuntut Rasulullah untuk mengetahui segala sesuatu hal tentang urusan dunia. Apalagi kalau mengurusi urusan kita di jaman modern ini…! Tentu tidak mungkin kita harus mencari-ca ri semua aturan tetek-beng ek dalam hadist beliau. Itu namanya set-back. Lha wong di jamannya saja Rasulullah menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak beliau pahami dan hendaknya tidak mengikuti pendapat beliau dalam ‘urusan duniamu’ tersebut."
Dalam hadits di atas Rasulullah hanya memberikan tanggapan mengapa mesti kurma itu dikawinkan segala, mengapa tidak dibiarkan begitu saja secara alami. Hal ini dapat kita ketahui terkait firman Allah Azza wa Jalla, “subhaana alladzii khalaqa al-azwaaja kullahaa mimmaa tunbitu al-ardhu” , “Maha Suci Tuhan yang telah menciptaka n pasangan-p asangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhka n oleh bumi” (QS Yaa Siin [36]:36).
Permasalah an kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak tidaklah terkait dengan tanggapan Rasulullah .
Sedangkan makna perkataan Rasulullah , “wa antum a’lamu bi amri dunyakum, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-uru san duniamu” , yang dimaksud “urusan dunia” khusus urusan disiplin ilmu tertentu atau pengetahua n tertentu di luar ilmu agama, seperti dalam hadits tersebut adalah ilmu pertanian, ilmu pengetahua n manusia dalam membantu perkawinan kurma. Namun ilmu pengetahua n yang didalami oleh manusia harus tetap merujuk dengan Al Qur’an dan As Sunnah dan menetapkan nya dalam hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah). Perbuatan merujuk dengan Al Qur’an dan As Sunnah termasuk ke dalam dzikrullah (mengingat Allah) sebagaiman a Ulil Albab
Ulil Albab sebagaiman a firman Allah yang artinya, “(yaitu) orang-oran g yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptaka n ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharala h kami dari siksa neraka” (Ali Imran: 191).
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830