Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas namun pemahaman yang dalam haruslah dilakukan oleh orang-oran g yang berkompete n atau ahlinya (ulama).
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatn ya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Pada hakikatnya kita diperintah kan untuk mengikuti orang yang mengetahui Al Qur’an dan As Sunnah
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Maka bertanyala h kepada orang yang mempunyai pengetahua n jika kamu tidak mengetahui .” [QS. an-Nahl : 43]
Pertanyaan lah adalah pemahaman/ pendapat ulama siapakah yang patut kita ikuti agar tidak menimbulka n penyesalan di akhirat kelak.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“(Yaitu) ketika orang-oran g yang diikuti itu berlepas diri dari orang-oran g yang mengikutin ya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (QS al Baqarah [2]: 166)
“Dan berkatalah orang-oran g yang mengikuti: “Seandainy a kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaiman a mereka berlepas diri dari kami.” Demikianla h Allah memperliha tkan kepada mereka amal perbuatann ya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kal i mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS Al Baqarah [2]: 167)
Hal yang harus kita ingat selalu dalam memahami ilmu agama lebih baik dan selamat kita mengikuti pemahaman atau pendapat Imam Mazhab yang empat sebagai pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim pada umumnya (Imam Mujtahid Mutlak) yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh.
Kita mengikuti Imam Mazhab yang empat beserta penjelasan dari ulama-ulam a pengikut mereka sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Begitupula kita dalam belajar agama, di dunia maya melalui media internet maupun di dunia nyata melalui buku, tulisan atau mengaji kepada ulama , pastikanla h apa yang disampaika n bersumber dari pemahaman atau pendapat Imam Mazhab atau pastikan penulis atau pendakwahn ya bermazhab dengan salah satu Imam Mazhab yang empat.
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikan nya (sanad ilmu)”
Sebaiknya janganlah mengikuti pemahaman ulama yang mengaku-ak u mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun kenyataann ya mereka tidak bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh. Darimana mereka mendapatka n pemahaman Salafush Sholeh kalau bukan pemahaman mereka sendiri dengan akal pikiran mereka sendiri.
Sebaiknya jangan pula mengikuti pendapat ulama yang berasal dari perkataan atau kitab Imam Mazhab yang empat namun telah ditahrif atau dipahami oleh ulama bukan pengikut Imam Mazhab dengan akal pikiran mereka sendiri.
Rasulullah telah melarang kita untuk memahami Al Qur’an dengan akal pikiran kita sendiri
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Barangsiap a menguraika n Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarka n akal pikiran, sesungguhn ya agama itu dari Tuhan, perintah-N ya dan larangan-N ya.” (Hadits riwayat Ath-Thabar ani)
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkan nya.” (Diriwayat kan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda…”Barangsiap a yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediaka n tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmid zi)
Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimulla h mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustami y , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahf i 60) ; “Barangsiap a tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Baya n Juz 5 hal. 203
Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits.
Sanad hadits adalah otentifika si atau kebenaran sumber perolehan matan/ redaksi hadits dari lisan Rasulullah .
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifika si atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah .
Hal yang harus kita ingat bahwa Al Qur’an pada awalnya tidaklah dibukukan. Ayat-ayat Al Qur’an hanya dibacakan dan dihafal (imla) kemudian dipahami bersama dengan yang menyampaik annya.
Hal yang akan dipertanya kan terhadap sebuah pendapat / pemahaman seperti :
“Apakah yang kamu pahami telah disampaika n / dikatakan oleh ulama-ulama terdahulu yang tersambung lisannya kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam” ?
“Siapakah ulama-ulam a terdahulu yang mengatakan hal itu” ?
“Dari siapakah mendapatka n pemahaman seperti itu” ?
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikan nya (sanad ilmu)”
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanl ah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-si aplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaik an satu ayat yang diperoleh dari orang yang disampaika n secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin Abdullah Shallallah u alaihi wasallam.
Kita tidak diperkenan kan menyampaik an apa yang kita pahami dengan akal pikiran sendiri dengan cara membaca dan memahami namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari lisan mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallah u alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam menyampaik an agama kepada Sahabat. Sahabat menyampaik an kepada Tabi’in. Tabi’in menyampaik an pada Tabi’ut Tabi’in. Para Imam Mazhab yang empat, pemimpin / imam ijtihad kaum muslim pada umumnya, mereka berijtihad dan beristinba t berlandask an hasil bertalaqqi (mengaji ) pada Salafush Sholeh
Contoh permasalah an yang menjadi perseilsih an adalah dalam memahami tentang bid’ah.
Dalam memahami tentang bid’ah tidak terlepas dengan pemahaman terhadap apa yang dimaksud dengan agama atau perkara syariat atau disebut juga “urusan kami”.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “sesungguhn ya agama itu dari Tuhan, perintah-N ya dan larangan-N ya.” (Hadits riwayat Ath-Thabar ani)
Agama atau perkara syariat adalah segala perkara yang telah disyaratka n oleh Allah Azza wa Jalla yang harus dipenuhi sebagai hamba Allah yakni menjalanka n segala apa yang telah ditetapkan Nya atau diwajibkan Nya, wajib dijalankan dan wajib dijauhi, meliputi menjalanka n kewajibanN ya yang jika ditinggalk an berdosa, menjauhi segala yang telah dilarangNy a yang jika dilanggar berdosa dan menjauhi segala yang telah diharamkan Nya yang jika dilanggar berdosa.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhn ya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggal kan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjaka n berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamk an sesuatu (dikerjaka n berdosa), maka jangan kamu pertengkar kan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincang kan dia.” (Riwayat Daraquthni , dihasankan oleh an-Nawawi)
Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan : “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususka n kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).
Dalam perkara syariat berlaku kaidah “hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang mensyari'a tkannya atau menetapkan nya”.
Dalam perkara syariat harus sesuai dengan apa yang disampaika n dan dicontohka n oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Perkara baru (bid’ah) dalam perkara syariat pastilah termasuk bid’ah dholalah.
Sedangkan sikap dan perbuatan yang baru , yang tidak pernah dilakukan / dicontohkan oleh Rasulullah dan diluar apa yang telah diwajibkan Nya atau diluar perkara syariat maka berlaku kaidah sebagai berikut,
1. Sikap dan perbuatan yang baru bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah dholalah
2. Sikap dan perbuatan yang baru tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah
Perkara baru (bid’ah) diluar apa yang telah diwajibkan Nya atau diluar perkara syariat berlaku kaidah “hukum asal segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang melarangny a”
Segala sikap dan perbuatan diluar apa yang telah diwajibkan Nya atau diluar perkara syariat yang tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah disebut sebagai amal kebaikan sebagai sarana memperjala nkan diri agar sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla atau sebagai sarana mendekatka n diri kepada Allah Azza wa Jalla hingga dapat meraih cintaNya
Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah bersabda, “hamba-Ku tidak bisa mendekatka n diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (perkara syariat), jika hamba-Ku terus menerus mendekatka n diri kepadaKu dengan amalan sunnah (amal kebaikan), maka Aku mencintai dia” (HR Muslim 6021)
Diluar perkara syariat, kita selalu bersikap dan melakukan perbuatan yang tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk dzikrullah (mengingat Allah). Kita mengingat Allah setiap akan bersikap dan berbuat sebagai sarana memperjala nkan diri agar sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla atau sebagai sarana mendekatka n diri kepada Allah Azza wa Jalla hingga dapat meraih cintaNya
Dalam suatu riwayat. ”Qoola a’liyy bin Abi Thalib: Qultu yaa Rosuulollo h ayyun thoriiqoti n aqrobu ilallohi? Faqoola Rasulluloh i: dzikrullah i”. artinya; “Ali Bin Abi Thalib berkata; “aku bertanya kepada Rasullulah , jalan / metode (thariqot) apakah yang bisa mendekatka n diri kepada Allah? “Rasullula h menjawab; “dzikrulla h.”
Segala sikap dan perbuatan diluar apa yang telah diwajibkan Nya atau diluar perkara syariat tidak harus sesuai sebagaiman a yang dicontohka n oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam. Boleh terjadi perkara baru dalam perkara diluar apa yang telah diwajibkan Nya atau diluar perkara syariat.
Imam Syafi’i ~rahimahul lah berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Imam Syafi’i ~rahimahul lah berkata “Perkara-pe rkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentang an dengan kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini adalah bid’ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentang an dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayat kan oleh al Hafizh al Baihaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’ i”, Juz I, h. 469)
Contoh bid’ah hasanah adalah peringatan Maulid Nabi sebagaiman a yang telah disampaika n oleh para ulama yang mengikuti pemahaman atau pendapat Imam Mazhab yang empat.
Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahull ah (Guru imam Nawawi) : “Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallah u alaihi wasallam dengan banyak bersedekah , dan kegembiraa n, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallah u alaihi wasallam dan membangkit kan rasa cinta pada beliau shallallah u alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallah u alaihi wasallam“.
Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahull ah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissy ariif : “Telah diriwayatk an Abu Lahab diperlihat kan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu? , ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaska n budakku Tsuwaibah demi kegembiraa nku atas kelahiran Nabi shallallah u alaihi wasallam dan karena Tsuwaibah menyusuiny a ” (shahih Bukhari hadits no.4813). maka apabila Abu Lahab Kafir yang Alqur’an turun mengatakan nya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi shallallah u alaihi wasallam, maka bagaimana dengan muslim ummat Muhammad shallallah u alaihi wasallam yang gembira atas kelahiran Nabi shallallah u alaihi wasallam?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh-su ngguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya“.
Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah berkata “tidak dilaksanak an maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanak an setelahnya , dan tetap melaksanak annya umat Islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memperhati kan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar”.
Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahull ah dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaa n maulid di bulan kelahiran nabi shallallah u alaihi wasallam”
Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahull ah, dengan karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, “Sesungguhn ya membawa keselamata n tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakann ya”.
Imam Al Hafidh Al Qasthalani y rahimahull ah dalam kitabnya Al Mawahibull adunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.
Mereka yang bukan bermazhab Syafi’i membantah adanya bid’ah hasanah dengan pendapat sebagai berikut
“maksud Imam As-Syafii adalah pengklasif ikasian bid'ah ditinjau dari sisi bahasa. Oleh karenanya beliau berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottoo b :"Sebaik-b aik bid'ah adalah ini (yaitu sholat tarawih berjamaah) ". Padahal telah diketahui bersama - bahwasanya sholat tarwih berjamaah pernah dikerjakan oleh Nabi shallallah u 'alaihi wa sallam”
Kesalahpah aman yang telah terjadi selama ini seolah-ola h Umar bin Al-Khottoo b tidak mengetahui bahwa Rasulullah shallallah u 'alaihi wa sallam pernah mengerjaka n sholat tarwih berjama’ah . Yang dimaksud Umar bin Al-Khottoo b dengan “sebaik-ba ik bid’ah” adalah meramaikan malam bulan ramadhan dengan sholat tarwih berjama’ah sebulan penuh sebagai bagian dari syiar Islam.
“Shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied”. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)
Jadi yang dikatakan bid’ah atau perkara baru adalah melaksanak an sholat tarwih berjama’ah setiap malam di bulan Ramadhan karena Rasulullah tidak melakukann ya setiap malam dan mencontohk an meninggalk annya pada beberapa malam agar kaum muslim tidak berkeyakin an sebagai sebuah kewajiban yang jika ditinggalk an berdosa.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْمَسْجِد ِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلَّى بِصَلَاتِه ِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَ ةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُو ا مِنْ اللَّيْلَة ِ الثَّالِثَ ةِ أَوْ الرَّابِعَ ةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِ ي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ قَالَ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
Telah menceritak an kepada kami Yahya bin Yahya ia berkata, saya telah membacakan kepada Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah bahwasanya ; Pada suatu malam (di bulan Ramadlan), Rasulullah shallallah u 'alaihi wasallam shalat di Masjid, lalu diikuti oleh beberapa orang sahabat. Kemudian (pada malam kedua) beliau shalat lagi, dan ternyata diikuti oleh banyak orang. Dan pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul, namun Rasulullah shallallah u 'alaihi wasallam tidak keluar shalat bersama mereka. Maka setelah pagi, beliau bersabda: "Sesungguh nya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalang iku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian." ( HR Muslim 1270 )
Bid’ah hasanah , jika yang melakukan sholat tarawih berjamaah sebulan penuh berkeyakin an bahwa itu adalah amal kebaikan selama bulan ramadhan walaupun Rasulullah tidak mencontohk an / melakukannya sebulan penuh.
Bid’ah dholalah, jika mereka berkeyakin an bahwa sholat tarawih berjamaah sebulan penuh adalah kewajibanN ya atau perintahNy a (ditinggal kan berdosa) karena sholat tarawih sebulan penuh tidak pernah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban (ditinggal kan berdosa). Yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban (ditinggal kan berdosa) yang harus dikerjakan sebulan penuh pada bulan Ramadhan adalah berpuasa.
Begitupula dengan peringatan Maulid Nabi,
Bid’ah hasanah, jika yang melakukan peringatan Maulid Nabi berkeyakin an sebagai amal kebaikan bukan termasuk perkara syariat atau bukan termasuk apa yang disyaratka n oleh Allah Azza wa Jalla yang harus dipenuhi sebagai hamba atau bukan termasuk perkara syariat
Bid’ah dholalah, jika yang melakukan peringatan Maulid Nabi berkeyakin an sebagai kewajiban yang jika ditinggalk an berdosa karena peringatan Maulid Nabi adalah termasuk perkara yang tidak diwajibkan Nya.
Mereka yang bukan bermazhab Syafi’i kembali membantah adanya bid’ah hasanah dengan pendapat sebagai berikut
"Imam Asy-Syafi' i menghendak i dengan bid'ah hasanah adalah perkara-pe rkara yang termasuk dalam bab al-maslaha h al-mursala h, yaitu perkara-pe rkara adat yang mewujudkan kemaslahat an bagi manusia dan tidak terdapat dalil (nas) khusus, karena hal ini tidaklah tercela sesuai dengan kesepakata n para Sahabat meskipun hal ini dinamakan dengan muhdatsah (perkara yang baru) atau dinamakan bid'ah jika ditinjau dari sisi bahasa".
Pendapat atau pemahaman seperti ini adalah menjurus kepada paham Sekulerism e , suatu paham yang menyakini bahwa ada perbuatan manusia sebagai ibadah yang berhubunga n dengan urusan akhirat dan ada perbuatan manusia sebagai perkara-pe rkara adat atau kebiasaan yang berhubunga n dengan urusan dunia yang mewujudkan kemaslahat an bagi manusia.
Padahal sebagai hamba Allah maka seluruh sikap dan perbuatan kita adalah untuk beribadah kepada Allah ta’ala karena itulah tujuan kita diciptakan Nya. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/12/15/ seluruhnya- ibadah/
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Aku tidak menciptaka n jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS Adz Dzaariyaat 51 : 56)
“Beribadahl ah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputm u” (QS al Hijr [15] : 99)
Sebagai hamba Allah maka kita harus menjalanka n perkara syariat atau menjalanka n apa yang diwajibkan Nya dan diluar perkara syariat atau diluar dari apa yang telah diwajibkan Nya, kita harus bersikap dan melakukan perbuatan yang tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Entah itu perkara adat atau kebiasaan atau perbuatan yang berhubunga n antar manusia atau perbuatan “urusan dunia” harus hanya dilakukan jika tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Seluruh perbuatan diluar perkara syariat atau diluar apa yang telah diwajibkan Nya harus merujuk dengan hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah). Langkah merujuk inilah termasuk dzikrullah (mengingat Allah) sebagai sarana memperjala nkan diri agar sampai (wushul) kepada Allah atau sarana mendekatka n diri kepada Allah.
Berhubunga n antar manusia kita harus mengingat Allah sehingga sikap dan perbuatan antar manusia sesuai dengan apa yang dicintaiNy a. Sedangkan berhubunga n dengan Allah kita harus mengingat bahwa kita adalah hambaNya.
Jadi perbuatan diluar perkara syariat atau diluar apa yang telah diwajibkan Nya adalah termasuk ibadah kepada Allah selama perbuatan tersebut tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah karena sebelum kita melakukan perbuatan tersebut harus mengingat Allah, harus mengingat apakah bertentang an atau tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Kita hanya melakukan perbuatan diluar perkara syariat atau diluar apa yang telah diwajibkan Nya yang tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Jadi mungkin saja akan terjadi perbuatan diluar perkara syariat atau diluar apa yang telah diwajibkan Nya yang tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah namun tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun para Sahabat yang dinamakan bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah.
Sedangkan yang dimaksud al-Maslaha h al-Mursala h atau Al-Istisla h atau kadang disamakan juga dengan al-Istihsa n adalah
“Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma’ terhadapny a, dengan berdasarka n pada kemaslahat an semata (yang oleh syara’ (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun dilarang”
Menurut Imam Syafi’i cara-cara penetapan hukum seperti itu sekali-kal i bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunaka nnya sama dengan menetapkan syari’at berdasarka n hawa nafsu atau berdasarka n pendapat sendiri (akal pikiran sendiri) yang mungkin benar dan mungkin pula salah.
Ibnu Hazm termasuk salah seorang ulama yang menolak cara-cara penetapan hukum seperti itu Beliau menganggap bahwa cara penetapan seperti itu menganggap baik terhadap sesuatu atau kemashlaha tan menurut hawa nafsunya (akal pikiran sendiri), dan itu bisa benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamk an sesuatu tanpa dalil.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarka n akal pikiran, sesungguhn ya agama itu dari Tuhan, perintah-N ya dan larangan-N ya.” (Hadits riwayat Ath-Thabar ani)
Hal yang harus kita hindari adalah menetapkan nya sebagai kewajiban (ditinggal kan berdosa) padahal tidak diwajibkan Nya, menetapkan nya sebagai larangan (dilanggar berdosa) padahal tidak dilarangNy a, menetapkan sebagai perkara haram (dilanggar berdosa) padahal tidak diharamkan Nya dimana kesalahan dalam menetapkan hukum perkara menjerumus kan menjadi ahli bid’ah, mereka yang mengada-ad a dalam agama atau dalam perkara syariat yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla menetapkan nya.
Jadi kesalahpah aman dalam memahami bid’ah , justru akan menjerumus kan menjadi ahli bid’ah, mengada-ad a dalam agama atau mengada-ad a dalam perkara syariat yakni mengada-ad a dalam perkara larangan yang tidak pernah dilarang oleh Allah Azza wa Jalla maupun RasulNya
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Hai orang-oran g yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhn ya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
“Katakanlah ! Siapakah yang berani mengharamk an perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hamb aNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah ! Tuhanku hanya mengharamk an hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadany a dan apa yang tersembuny i dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutuk an Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-se but oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-ad akan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhn ya orang-oran g yang mengada-ad akan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [QS. An-Nahl : 116].
Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hamb aKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokka n mereka dari agamanya, dan mengharamk an atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaru hi supaya mereka mau menyekutuk an Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim).
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda :
من حلل حراما او حرم حلالا فقد كفر
“Barangsiap a menghalalk an sesuatu yang haram atau mengharamk an sesuatu yang halal, maka dia telah kafir.”
Bantahan lainnya dari mereka pengikut ulama Ibnu Taimiyyah berlandask an pendapat beliau sebagai berikut,
Ulama Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniy yah Al-Fiqhiyy ah (hal 112) berkata, “Dengan mencermati syari’at, maka kita akan mengetahui bahwa ibadah-iba dah yang diwajibkan Allah atau yang disukaiNya , maka penempatan nya hanya melalui syari’at”
Dalam Majmu Al-Fatawa (XXXI/ 35), beliau berkata, “Semua ibadah, ketaatan dan taqarrub adalah berdasarka n dalil dari Allah dan RasulNya, dan tidak boleh seorang pun yang menjadikan sesuatu sebagai ibadah atau taqarrub kepada Allah kecuai dengan dalil syar’i”.
Ulama Ibnu Taimiyyah semula bermazhab Hambali, bertalaqqi (mengaji) kepada ulama-ulam a bermazhab Hambali. Namun pada akhirnya ulama Ibnu Taimiyyah memahami Al Qur’an dan As Sunnah lebih menyandark an dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminy a dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah). Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/01/01/ 2011/07/28/ semula-berm azhab-hamb ali/
Dari pendapat Ulama Ibnu Taimiyyah di atas maka kita dapat simpulkan bahwa beliau termasuk salah satu ulama yang berpendapa t bahwa perbuatan manusia ada ibadah dan ada pula bukan ibadah.
Sebenarnya pada saat beliau mengatakan “Semua ibadah, ketaatan dan taqarrub adalah berdasarka n dalil dari Allah dan RasulNya” sudah menjelaska n kategori perbuatan manusia yakni perbuatan yang berhubunga n dengan ketaatan atau perkara syariat dan perbuatan yang berhubunga n dengan upaya taqarrub kepada Allah atau upaya memperjala nkan diri agar sampai (wushul) kepada Allah atau mendekatka n diri kepada Allah. Perbuatan yang mendekatka n diri kepada Allah adalah perbuatan diluar perkara syariat (diluar apa yang telah diwajibkan Nya) yang tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebagaiman a yang telah kami sampaikan diatas bahwa mungkin saja terjadi perbuatan diluar perkara syariat atau diluar apa yang telah diwajibkan Nya yang tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah yang tidak pernah dilakukan atau dicontohka n oleh Rasulullah yang disebut dengan bid’ah hasanah
Contoh Bid’ah hasanah lainnya adalah membuat matan/ redaksi sholawat sendiri yang isinya tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Perintahny a adalah bersholawa tlah namun tidak ada larangan menggunaka n matan/ redaksi sholawat yang dibuat sendiri.
Firman Allah Azza wa Jalla,
“Sesungguhn ya Allah dan malaikat-m alaikat-Ny a bershalawa t untuk Nabi. Hai orang-oran g yang beriman, bershalawa tlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormat an kepadanya” (QS (QS Al Ahzab [33]: 56)
Imam Sayyidina Ali Karramalla hu Wajhah, Imam Syafi’i ~ rahimahull ah dan ulama-ulam a terdahulu lainnya mempunyai matan/ redaksi sendiri sesuai bagaimana mereka mengungkap kan kecintaann ya kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Shalawat Sayyidina ‘Ali Karramalla hu Wajhah:
صَلَوَاتُ اللهِ وَمَلاَئِك َتِهِ وَأَنْبِيَ ائِهِ وَجَمِيْعِ خَلْقِهِ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَعَلَيْهِ مُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَات ُهُ
Shalawatul lahi wa malaa’ikat ihi wa anbiyaa’ih i wa jamii’i khalqihii
‘alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ‘alaih
wa ‘alaihimus salaamu wa rahmatulla ahi wa barakaatuh
"Shalawat Allah, para MalaikatNy a dan para NabiNya serta semua mahlukNya
semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad Saw dan Keluargany a dan keturunann ya,
dan semoga keselamata n Allah, rahmat Allah serta berkahNya terlimpahk an kepada Mereka".
Imam Syafi’i ~rahimahul lah pun mempunyai matan/ redaksi sholawat yang dibuatnya sendiri seperti.
“Ya Allah, limpakanla h shalawat atas Nabi kami, Muhammad, selama orang-oran g yang ingat menyebut-M u dan orang-oran g yang lalai melupakan untuk menyebut-M u ”
atau
“Ya Allah, limpahkanl ah shalawat atas cahaya di antara segala cahaya, rahsia di antara segala rahasia, penawar duka, dan pembuka pintu kemudahan, yakni Sayyidina Muhammad, manusia pilihan, juga kepada keluargany a yang suci dan sahabatnya yang baik, sebanyak jumlah kenikmatan Allah dan karunia-Ny a.”
Tulisan tentang matan/ redaksi atau lafadz sholawat lainnya pada
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830